• Tidak ada hasil yang ditemukan

Environmental management system

Dalam dokumen Hubungan antara Kinerja Lingkungan dan K (Halaman 42-46)

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

IV.2 Analisa Statistik Deskriptif

IV.2.1 Corporate environmental performance

IV.2.1.2 Environmental management system

Untuk environmental management system nilainya cukup tinggi, 51 perusahaan atau sekitar 65% dari unit analisa melaporkan telah memilki sistem manajemen lingkungan. Namun demikian, dari keempat dimensi dari variabel laten CEP, EMS

merupakan dimensi kinerja lingkungan yang memiliki nilai mean tertinggi dibandingkan ketiga dimensi CEP lainnya (ED, PREI dan EC) yaitu 3,76.

Perusahaan-perusahaan di Industri Pertambangan umumnya memiliki sistem manajemen lingkungan yang lebih baik dibandingkan perusahaan-perusahaan di Industri Dasar dan Kimia. Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya tekanan terhadap perusahaan-perusahaan di Industri Pertambangan dibandingkan terhadap perusahaan- perusahaan di Industri Dasar dan Kimia. Selain karena tingginya kontribusi industri Pertambangan terhadap penerimaan negara (APBN), faktor lainnya adalah industri pertambangan mendapatkan pengawasan langsung dari Kementrian ESDM. Perusahaan yang berada di sub sektor Migas (Medco, Energi Mega Persada, Benakat Petroleum dan Harum Energy) mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah melalui SKSPMIGAS (eks BPMIGAS), badan yang ditunjuk pemerintah selaku

pengelola dan pengawas industri hulu migas. Sedangkan untuk kontraktor

Engineering, Procurement, Construction and Installation (Elnusa, Ratu Prabu) dan

Service Companies (Petrosea, Mitra, Perdana Karya Perkasa dan Benakat Petroleum) ketika melakukan pekerjaan harus memiliki standar dan klasifikasi pekerjaan yang dkeluarkan oleh Dirjen Migas. Untuk sub sektor pertambangan terbuka pengawasan dilakukan oleh Dirjen Minerba. Sedangkan untuk Industri Dasar dan Kimia tidak ada Kementrian yang melakukan pengawasan secara khusus.

Dari penelusuran informasi lingkungan, 36 perusahaan (46%) membawa isu lingkungan kepada level manajemen ataupun direksi dan komisaris (boards). Nilai

mean EMS1 senilai 0,46 menunjukan bahwa kurang dari separuh perusahaan yang dijadikan unit analisa di dalam penelitan ini membawa isu lingkungan kepada level pimpinannya, jadi bisa dikatakan bahwa isu lingkungan bukanlah hal yang serius bagi para pimpinan perusahan atau cukup hanya ditangani oleh para staff saja. Perbedaan jenis industri akan memberikan perlakuan, tekanan dan prioritas penanganan terhadap isu pada tingkat yang berbeda terhadap perusahaan-perusahaan yang berada di industri tersebut (Chand, 2006).

Hanya 20 perusahaan (25%) yang melaporkan memiliki departemen lingkungan sendiri, dimana hanya 6 perusahaan di Industri Dasar dan Kimia, sisanya 14 perusahaan di Industri Pertambangan. Dari 26 perusahaan pertambangan yang digunakan di unit analisa ini, beberapa perusahan tidak memerlukan departemen lingkungan sendiri dan akan bernaung terhadap departemen lingkungan mereka karena perusahaan-perusahaan tersebut merupakan subkontraktor Engineering, Procurement, Construction and Installation (Elnusa, Ratu Prabu) dan Service

Companies (Petrosea, Mitra Perdana Karya Perkasa dan Benakat Petroleum) dari perusahaan tambang yang merupakan block operator atau kontraktor dari pemerintah Indonesia dan berperan sebagai pihak manajemen kawasan pertambangan. Sedangkan Borneo Lumbung Energy, Bumi Resources dan Central Omega Resources merupakan perusahaan yang melakukan portofolio investasi dan aset pada perusahaan lain di sektor pertambangan dan energi. Maka bila perusahaan di industri Pertambangan melakukan aktivitas produksinya dan bukan merupakan kontraktor maka akan membentuk departemen lingkungan sendiri.

Nilai mean untuk EMS2 rendah yaitu senilai 0,25 hal ini mencerminkan sedikitnya perusahaan di Industri Dasar dan Kimia yang memiliki departemen lingkungan sendiri, karena sebagian besar bentuk organisasi perusahaan di industri ini disusun berdasarkan gugus produksi bukan gugus fungsi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan menjadi sebagian tanggungjawab dari semua departemen di perusahan-perusahaan tersebut karena departemen lingkungannya tidak berdiri sendiri untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja lingkungan perusahaan.

Dari 79 Perusahaan tersebut, 51 perusahan (65%) sudah memiliki sistem manajemen lingkungan dimana 35 perusahaan diantaranya sudah memiliki standar manajemen lingkungan internasional (ISO 14001) maupun telah mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari pemerintah Indonesia (memperoleh PROPER peringkat biru, hijau dan emas). Sedangkan 16 perusahaan lainnya melaporkan telah melkukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL/UPL) seperti yang dipersayaratkan di dalam analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan melakukan pengolahan limbah dengan memilki instalasi pengelolaan limbah (IPAL atau IPC) serta

menggunakan bahan baku produk yang ramah lingkungan maupun hasil pengolahan kembali limbah dari proses produksi (recycle). Perusahaan sangat berhati-hati terhadap isu lingkungan, yang tercermin dari ketika menggunakan audit dari pihak ketiga (eksternal) sebelumnya melakukan audit internal dan monitoring terlebih dahulu serta melakukan training terhadap para pekerjanya yang berhubungan langsung sebelum berhubungan dengan pihak luar. Nilai mean EMS3, EMS4, EMS6,

EMS7 dan EMS8 berkisar di antara (0,46 hingga 0,68).

Penelitian Sebhatu & Enquist (2007) dan Berthelot & Coulmont (2004) juga menunjukan tingginya perusahaan yang menggunakan ISO 14001 dalam menerapkan strategi untuk memperbaiki kinerja lingkungannya. Dari penelusuran laporan keberlanjutan dan laporan tahunan perusahaan ditemukan bahwa hal ini terjadi dikarenakan banyak perusahaan-perusahaan tersebut melakukan perdagangan ke luar Indonesia (ekspor).

Temuan lainnya adalah meskipun beberapa perusahaan di Industri Dasar dan Kimia tidak mengungkapkan sistem manajemen lingkungan mereka, namun karena berorientasi ekspor perusahaan-perusahaan tersebut melakukan standar manajemen mutu (ISO 9001) dan manajemen keamanan pangan (ISO 22000). Hal yang sama juga terjadi di Industri pertambangan, sebelumnya angka kematian dan resiko pekerjaan yang tinggi di Industri ini bila bandingkan dengan industri lainnya membuat banyak perusahaan di Industri Pertambangan lebih menekankan kepada aspek keselamatan dalam bekerja. Hal ini terlihat dengan banyaknya perusahaan melakukan kampanye budaya keselamatan kerja yang baik melalui OHSAS 18001 dan penghargaan zero accident award dari Kementrian Tenaga Kerja. Karena

penilaian CEP di dalam penelitian ini hanya mengukur kinerja lingkungan perusahaan yang mengacu kepada dimensi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Moneva & Ortas (2010), maka hal tersebut tidak memiliki nilai tambah bagi perusahaan-perusahaan tersebut di dalam penelitian ini.

Meskipun perusahaan tidak melaporkan telah menetapkan target lingkungan yang tercermin dari rendahnya nilai mean EMS5 (0,09), namun pihak perusahaan sangat takut kalau limbah yang dihasilkan melebihi nilai ambang batas baku mutu lingkungan yang dikeluarkan oleh Kementrian lingkungan Hidup dan menjadi patokan penilaian petugas Badan Pengawas Lingkungan Hidup setempat. Biaya yang dikeluarkan perusahan untuk melakukan pengolahan limbah hingga memenuhi ambang batas pun tidak sedikit, namun hal ini tidak dimuat atau dilaporkan oleh perusahaan.

Dalam dokumen Hubungan antara Kinerja Lingkungan dan K (Halaman 42-46)

Dokumen terkait