• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cacing STH tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan di negara berkembang. Intensitas infeksi merupakan indeks epidemiologi yang menggambarkan infeksi STH, karena morbiditas dan penularan cacing ini berhubungan langsung dengan jumlah cacing di dalam tubuh manusia. Intensitas infeksi terbesar didapatkan pada anak-anak prasekolah dan anak usia sekolah. Hal ini karena anak-anak tersebut terpapar dengan banyak faktor resiko. Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan tingginya infeksi STH adalah kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing, fasilitas jamban yang belum memadai, higiene pribadi yang buruk, rendahnya tingkat pendidikan, status sosial ekonomi yang lemah (Serra, 2011).

2.2.1 Kondisi Geografis

Kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing STH meliputi iklim dan kondisi tanah (Suriptiastuti, 2006).

a. Iklim

Faktor iklim yang terdiri dari temperatur, curah hujan, cahaya matahari, dan angin, merupakan faktor utama dari penyebaran infeksi STH. Temperatur sangat penting untuk cacing ini melanjutkan siklus hidupnya, setiap jenis cacing mempunyai temperatur optimum yang berbeda. Untuk perkembangan telur A. lumbricoides memerlukan temperatur 200C-250C, T. trichiura memerlukan temperatur 300C, dan cacing tambang antara 280C-320C. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Cahaya matahari berperan dalam memberikan panas, terutama terhadap telur dan larva yang ada pada permukaan tanah. Angin berperan dalam mempercepat proses pengeringan dan penyebaran telur-telur cacing yang infektif melalui debu (Serra, 2011).

b. Tanah

Jenis tanah merupakan faktor yang mempengaruhi epidemiologi STH yang berperan sebagai penunjang perkembangan dan penyebaran cacing, yaitu terdiri dari pasir, lumpur, dan tanah liat. Ketiga jenis tanah ini dibedakan

berdasarkan diameter partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau jumlah air yang diperlukan untuk membuatnya lembab. Untuk perkembangan telurnya, A. lumbricoides dan T. trichiura memerlukan tanah yang liat, lembab, dan terlindung dari cahaya matahari. Kondisi tanah yang paling sesuai dan menguntungkan bagi pertumbuhan larva cacing tambang adalah tanah berpasir, gembur, berhumus dan terlindung dari cahaya matahari langsung, karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Karakteristik lainnya dari ketiga jenis tanah yang juga menguntungkan pertumbuhan dan perkembangan telur cacing adalah berat jenis masing-masing jenis tanah, pasir memiliki berat jenis paling besar dibandingkan dengan lumpur dan tanah liat dan pasir akan tenggelam di air, oleh karena itu pasir ditemukan didasar sungai. Lumpur memiliki berat jenis sama dengan air, maka lumpur akan melayang-layang di air, sedangkan tanah liat memiliki berat jenis lebih kecil daripada air dan tanah liat terdapat di lapisan atas air sungai. Berat jenis telur A. lumbricoides dan T. trichiura sama dengan berat jenis air, oleh karena itu apabila telur-telur cacing tersebut jatuh ke dalam sungai akan bersama-sama dengan lumpur dan keadaan seperti itu akan melindungi telur-telur tersebut dari sinar matahari. Jenis tanah pasir akan sangat menguntungkan telur cacing tambang, sedangkan jenis tanah lumpur sangat menguntungkan telur A.lumbricoides dan T. Trichiura. Kelembaban merupakan faktor penting untuk mempertahankan hidup cacing. Bila kelembaban rendah maka telur A. lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik, dan larva cacing tambang akan cepat mati. Kelembaban tanah tergantung pada besarnya curah hujan (Suriptiastuti, 2006).

Pencemaran tanah oleh STH ditandai dengan adanya telur/larva STH pada tanah permukaan. Dengan indikasi tanah tersebut telah tercemar oleh kotoran manusia yang terinfeksi STH. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan jamban keluarga. Di daerah endemis cacing, pencemaran tanah oleh STH umumnya meliputi telur A.lumbricoides dan telur T.trichiura, dan larva cacing tambang. Lingkungan rumah tangga yang berpotensi tercemar telur STH meliputi bagian dalam rumah (dapur, ruang keluarga, kamar mandi), teras atau halaman, kebun, tempat mencuci, area pembuangan limbah, sekitar

jamban, di bawah pohon, jalan kecil/gang, dan lapangan yang berumput. Singkatnya tempat-tempat dimana manusia biasanya berkumpul dan tempat dimana manusia buang air besar akan berpotensi tinggi tercemar (Gyoten, 2010).

Tanah yang tercemar telur/larva STH dapat terbawa jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki, juga melalui debu yang terbawa angin. Tanah pekarangan rumah maupun sekolah yang tercemar telur/larva cacing akan menjadi sumber penularan infeksi STH terutama pada anak-anak karena anak usia sekolah memiliki frekuensi bermain yang relatif tinggi baik di sekolah, di rumah, dan di kebun. Anak-anak dipedesaan lazimnya bermain bersama-sama. Perilaku bermain anak-anak sering tidak bisa dilepaskan dari terjadinya kontak dengan tanah (Ziegelbauer, 2012).

Terdapat hubungan yang konsisten antara infeksi dan pencemaran tanah pada askariasis dan trichuriasis, sehingga pemeriksaan telur A.lumbricoides dan T.trichiura akan bermanfaat untuk memprediksi infeksi ini pada anggota keluarga. Hubungan antara rasio pencemaran tanah oleh telur STH dengan prevalensi kecacingan adalah signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan tingkat pencemaran tanah oleh telur STH merupakan refleksi status infeksi cacing pada masyarakat (Gyoten, 2010).

2.2.2 Fasilitas Jamban Yang Belum Memadai

Fasilitas jamban dapat mengurangi setengah resiko terinfeksi oleh STH. Ziegelbauer (2012) menemukan bahwa ketersediaan dan penggunaan jamban berhubungan signifikan terhadap pencegahan infeksi STH yaitu odds ratio (OR) = 0,51 (95% CI= 0,44–0,61). Dibandingkan dengan orang tanpa akses ke jamban, kesempatan terinfeksi STH orang-orang yang memiliki akses ke jamban adalah 0,49. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan orang-orang yang menggunakan jamban lebih kecil untuk terinfeksi parasit cacing. Penyediaan sarana pembuangan tinja masyarakat tidaklah mudah, karena menyangkut peran serta masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya dengan perilaku, tingkat ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Pembuangan tinja perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan satu bahan buangan

yang banyak mendatangkan masalah dalam bidang kesehatan dan sebagai media bibit penyakit. Selain itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk serta estetika. Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia yang lazim disebut kakus atau WC. Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Tujuan program JAGA (jamban keluarga) yaitu tidak membuang tinja ditempat terbuka melainkan membangun jamban untuk diri sendiri dan keluarga. Penggunaan jamban yang baik adalah kotoran yang masuk hendaknya disiram dengan air yang cukup, hal ini selalu dikerjakan sehabis buang air besar sehingga kotoran tidak tampak lagi. Secara periodik, leher angsa dan lantai jamban digunakan dan dipelihara dengan baik, sedangkan pada jamban cemplung lubang harus selalu ditutup jika jamban tidak digunakan lagi agar tidak kemasukan benda-benda lain. Umar (2006) menyatakan bahwa perilaku buang air besar tidak di jamban menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh tinja yang berisi telur cacing yang dapat menginfeksi anak-anak karena menelan tanah yang tercemar telur cacing atau melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing.

2.2.3 Higiene Pribadi Yang Buruk

Higiene perorangan atau usaha kesehatan pribadi merupakan upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri, yang meliputi: memelihara kebersihan, makanan yang sehat, cara hidup yang teratur, meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, menghindari terjadinya penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah, melengkapi rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat, dan pemeriksaan kesehatan (Entjang, 2001). Menurut WHO (2008) higiene adalah merupakan praktek atau tindakan untuk menjaga diri dan lingkungan seseorang agar tetap bersih dan bebas dari resiko infeksi. Ada banyak praktek higiene yang dapat membantu mencegah penyakit, salah satunya yang terbukti efektif dan efisien di negara berkembang adalah cuci tangan pakai sabun.

Ada beberapa aspek higiene pribadi yang berhubungan dengan infeksi STH seperti mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar, buang air besar di jamban, kebersihan kuku, dan memakai alas kaki. Mencuci tangan menggunakan air dan sabun memiliki peran yang penting dalam pencegahan infeksi STH. Tangan adalah merupakan vektor yang dapat membawa agan penyakit dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Tangan yang telah kontak dengan feses, tanah, atau makanan yang tercemar dan tidak dicuci dengan bersih dapat membawa telur cacing (WHO, 2008). Mencuci tangan dengan air saja lebih umum dilakukan, namun hal ini terbukti tidak efektif dalam menjaga kesehatan dibandingkan dengan mencuci tangan dengan sabun. Penggunaan sabun menjadi efektif karena meningkatkan waktu kontak kedua tangan, memfasilitasi gesekan, dan memecah lemak dan kotoran sehingga lemak dan kotoran yang menempel akan terlepas saat tangan digosok dan bergesekan pada waktu mencuci tangan. Di dalam lemak dan kotoran yang menempel di tangan inilah kuman penyakit hidup. Transmisi STH dapat dicegah dengan mencuci tangan dengan sabun oleh karena dapat memindahkan secara mekanis debu, tanah, atau kotoran yang mengandung telur cacing dari tangan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara mencuci tangan pakai sabun biasa dengan mencuci tangan pakai sabun anti septik. Hal ini karena patogen lepas dari tangan oleh sabun dan air, bukan karena aktifitas antiseptik yang mematikan kuman (Luby, 2005).

Pada anak-anak infeksi sering terjadi melalui tangan yang tercemar telur yang infektif karena anak-anak suka memasukkan jari-jari ke dalam mulut, atau makan tanpa mencuci tangan. Transmisi STH pada manusia melalui tangan atau kuku jari yang kotor mengandung telur cacing (Sofiana, 2011).

Manusia yang terinfeksi STH akan mengeluarkan telur cacing bersama fesesnya sehingga di daerah dimana masyarakatnya lazim buang air besar di tempat terbuka seperti di sungai, selokan air, di bawah pohon dan di sekitar rumah pada anak-anak, maka akan mencemari lingkungan dan pada kondisi yang sesuai telur cacing tersebut akan berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi terjadi bila tertelan telur yang infektif melalui makanan atau minuman, seperti makan sayur mentah yang tidak dicuci bersih, tidak mencuci tangan

setelah memegang tanah yang tercemar telur cacing, atau pada infeksi cacing tambang terjadi saat larva filariform menembus kulit manusia yang tidak memakai alas kaki (Ziegelbauer, 2012).

2.2.4 Rendahnya Tingkat Pendidikan

Pendidikan orang tua terutama ibu adalah faktor penting yang mempengaruhi infeksi parasit usus pada anak-anak. Ibu yang berpendidikan akan lebih peduli atau memperhatikan pentingnya sanitasi dan kebersihan, sehingga bisa menerapkan higiene yang baik pada anak-anaknya yang berdampak pada menurunnya prevalensi infeksi parasit usus. Anak-anak yang dibesarkan ibu dengan pendidikan minimal SMA memiliki prevalensi parasit usus lebih rendah (17,1%) dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan atau berpendidikan lebih rendah (59,8%) (Chaudry, 2004).

2.2.5 Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor resiko infeksi parasit usus. Dampak status sosial ekonomi yang rendah terhadap resiko penyakit infeksi secara umum, dimana infeksi parasit merupakan bagiannya adalah kompleks dan berkontribusi dengan beberapa faktor lain seperti minimnya fasilitas air bersih, higiene lingkungan yang buruk, rendahnya akses pendidikan dan kondisi tempat tinggal yang padat (Mehraj, 2008).

Dokumen terkait