• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN ANAK USIA

SEKOLAH DENGAN INFEKSI CACING STH PADA

LINGKUNGAN YANG TERCEMAR TELUR/LARVA

CACING STH DI DESA BAGAN KUALA

PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh

RITA ASTUTI SURBAKTI

NIM:107027011

MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN ANAK USIA

SEKOLAH DENGAN INFEKSI CACING STH PADA

LINGKUNGAN YANG TERCEMAR TELUR/LARVA

CACING STH DI DESA BAGAN KUALA

PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RITA ASTUTI SURBAKTI

NIM:107027011

MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN ANAK USIA SEKOLAH DENGAN INFEKSI CACING STH PADA TANAH YANG TERCEMAR

TELUR/LARVA CACING STH DI DESA BAGAN KUALA PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

Yang Dipersiapkan Oleh

RITA ASTUTI SURBAKTI / IKT 107027011

Tesis Ini Telah Diperiksa Dan Disetujui Untuk Diseminarkan

Medan 2013

Disetujui Dosen Pembimbing

Prof.dr.A.A.P.Depari, DTM&H, SpPark dr.E.H.Gani,DTM&H, SpPark

(4)

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Rita Astuti Surbakti

NIM : 1070270011

(5)

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rita Astuti Surbakti

NIM : 107027011

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis Jenis Karya Ilmiah : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN ANAK USIA SEKOLAH

DENGAN INFEKSI CACING STH PADA LINGKUNGAN YANG

TERCEMAR TELUR/LARVA CACING STH DI DESA BAGAN

KUALA PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 29 2013 Yang menyatakan

(6)

Nama Mahasiswa : RITA ASTUTI SURBAKTI Nomor Pokok : 107027011

Program Studi : Magister Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. A.A.P. Depari, DTM&H, Sp.Park) (dr. E.H. Gani, DTM&H, Sp.Park)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Tanggal lulus: 18 Juli 2013

CACING STH DI DESA BAGAN KUALA PEMKAB. SERDANG BEDAGAI

(Prof.dr.Gontar.A.Siregar,Sp.PD-KGEH) NIP. 19540220 198011 1 001

(7)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Aman A.P. Depari, DTM&H, Sp.Park Anggota : 1. dr. E.H. Gani, DTM&H, Sp.Park

2. Prof. Dr. Ir. Harmein Nasution, MSIE 3. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK

(8)

DATA PRIBADI

Nama : Rita Astuti Surbakti

Tempat/Tanggal Lahir : Namu Ukur, 25 Oktober 1978

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Nama Ayah : Napai Surbakti

Nama Ibu : Tiran br Tarigan

Nama Suami : Sahat Martua, ST, M.Eng

Nama Anak : Bintang Ridho Balga Nainggolan

Alamat Rumah : Jl. Klambir V Pasar IV Gang Karya No. 4 Kec.Medan Helvetia - Medan

e-mail : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD : SD Negeri Peragahan Tamat : 1991

SMP : SMP Negeri Namu Ukur Tamat : 1994

SMA : SMU Negeri 1 Binjai Tamat : 1997

Strata-1 : Fakultas Kedokteran USU Medan Tamat : 2002

RIWAYAT PEKERJAAN

Staf Puskesmas Kambang Tahun : 2004 – 2006

(9)

Infeksi STH merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi STH adalah higiene, sanitasi (jamban), status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan perbedaan kondisi geografis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan higiene pribadi dengan infeksi STH pada tanah yang tercemar telur/larva STH, dengan metodologi cross sectional pada 100 anak usia sekolah di desa Bagan Kuala. Pencemaran tanah diperiksa dengan metode sentifuse flotase, analisis telur cacing pada feses dengan metode Kato-Katz. Higiene perorangan anak diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan anak atau orangtua anak. Analisis data dengan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan angka pencemaran tanah sebesar 73,2%, prevalensi STH sebesar 78%, ada hubungan yang bermakna antara higiene perorangan anak dengan infeksi STH, dimana tidak cuci tangan pakai sabun sebelum makan yang paling berpengaruh dengan RP 3,92 ( 95% CI:1,64-9,35).

(10)

Soil-transmitted helminth (STH) infection is an important public health problem in Indonesia. Factors influencing the incidence of STH are hygiene, sanitation, socio economic level, educational level, and ecosystem differences.

The objective of this study is to know relationship between personal hygiene with STH infection in region where soil was contaminated with helminth eggs/larvae. A cross sectional study was done on 100 school age children in Bagan Kuala village (where sanitation is inadequate). Centrifuge floatation and Kato-Katz methods were used for soil and stool examinations, respectively. Personal hygiene data were collected by observation and interviewing children or parents of children using a questionnaire. Data analysis is performed using chi square test.

The result shows soil contamination with helminth eggs is 73,2%, STH prevalence is 78%, the personal hygiene was associated with significant protection against STH infection where the habit of not washing hands with soap before meals is the most influential with PR 3,92 (95% CI: 1,64-9,35).

(11)

Bismillahirrahmanirrahiim.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan ilmu dan kesehatan yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan strata-2 pada Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Salawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menyampaikan kebenaran dan sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan yang telah memberikan kesempatan tugas belajar sehingga penulis dapat melaksanakan Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Kedokteran Tropis.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(12)

Seluruh komisi penguji, Prof. Dr. Ir. Harmein Nasution, MSIE yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan bimbingan statistik dan metodologi penelitian kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini, dr. Halinda Sari Lubis, MKKK, dan dr. Lambok Siahaan, MKT, yang telah meluangkan waktu dan dengan penuh kesabaran memberikan pengarahan, bimbingan dan pengajaran.

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis, Bappeda, Dinas Kesehatan, Kepala Desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai beserta jajarannya yang telah memberikan dukungan data dan membantu penulis dalam penulisan tesis ini.

Seluruh rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis angkatan 2010 yang telah memberikan masukan dan dukungan kepada penulis.

Kepada anakku Balga, suami tersayang, kedua orang tua dan keluarga yang telah banyak memberikan dukungan do’a dan keikhlasan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi sesama untuk kebaikan. Segala kebenaran datangnya dari Allah SWT dan segala kesalahan yang ada merupakan kesalahan penulis yang dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.

Medan, Juni 2013

Penulis,

(13)

DAFTAR ISI Daftar Lampiran ……... DAFTAR SINGKATAN ………

i

1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Hipotesis ... 1.4. Tujuan Penelitian ... 1.4.1. Tujuan Umum ………..………... 1.4.2. Tujuan Khusus ………..……….. 1.5. Manfaat Penelitian ...

1

2.1. Soil Transmitted Helminths ... 2.1.1. Cacing Gelang (A. lumbricoides) …... 2.1.2. Cacing Cambuk (T. trichiura) ... 2.1.3. Cacing Tambang (A. duodenate dan

(14)

BAB IV

BAB V

3.6. Defenisi Operasional ... 3.7. Variabel ………... 3.8. Analisisi Data ...

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 4.2. Kondisi Pencemaran Tanah oleh Telur/Larva Cacing

STH di Lokasi Penelitian ………...……….... 4.3. Karakteristik Responden ……… 4.4. Hasil Ukur Penelitian ………. 4.5. Hubungan Umur Dengan Infeksi Cacing STH ……….. 4.6. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Infeksi Cacing STH . 4.7. Hubungan Higiene Dengan Infeksi Cacing STH ……...

.

KESIMPULAN DAN SARAN ………..………

5.1. Kesimpulan ………

5.2. Saran ………...

21 22 22

24 24

28 29 30 32 35 37

45 45 45

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5.

4.6. 4.7. 4.8. 4.9. 4.10. 4.11. 4.12.

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur ..……… Jumlah Kepala Keluarga Menurut Status Pendidikan ……….. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ……… Distribusi Rumah Penduduk Yang Memiliki Jamban Keluarga Pencemaran Tanah oleh Telur/Larva Cacing STH di Desa Bagan Kuala ……….………… Karakteristik Responden Penelitian ………. Hasil Ukur Penelitian ………... Hubungan Umur Dengan Infeksi Cacing STH …………...…. Higiene Anak Berdasarkan Kelompok Umur ……….. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Infeksi Cacing STH ……... Higiene Anak Berdasarkan Jenis Kelamin ………... Hasil uji Chi-Square Antara Keadaan Higiene Dengan Infeksi Cacing STH ……...

26 26 27 28

29 30 31 33 34 35 36

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 3.1. 4.1.

Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ……….. Siklus Hidup Trichuris trichiura ………. Siklus Hidup Cacing Tambang ………..….. Kerangka Konsep ………. Cara Kerja ……… Peta Lokasi Penelitian ………..

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 2 3 4 5

6 7

Kuesioner Penelitian ……… Lembaran Penjelasan Kepada Orangtua dan Subjek Penelitian Surat Persetujuan Mengikuti Penelitian ………... Pemeriksaan Tinja Dengan Metode Kato-Katz ……… Pemeriksaan Tanah Dengan Metode Magnesium Sulfat Sentrifuse-Flotasi ………. Persetujuan Komisi Etik ………... Data Hasil Penelitian ………

50 52 54 55

(18)

Infeksi STH merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi STH adalah higiene, sanitasi (jamban), status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan perbedaan kondisi geografis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan higiene pribadi dengan infeksi STH pada tanah yang tercemar telur/larva STH, dengan metodologi cross sectional pada 100 anak usia sekolah di desa Bagan Kuala. Pencemaran tanah diperiksa dengan metode sentifuse flotase, analisis telur cacing pada feses dengan metode Kato-Katz. Higiene perorangan anak diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan anak atau orangtua anak. Analisis data dengan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan angka pencemaran tanah sebesar 73,2%, prevalensi STH sebesar 78%, ada hubungan yang bermakna antara higiene perorangan anak dengan infeksi STH, dimana tidak cuci tangan pakai sabun sebelum makan yang paling berpengaruh dengan RP 3,92 ( 95% CI:1,64-9,35).

(19)

Soil-transmitted helminth (STH) infection is an important public health problem in Indonesia. Factors influencing the incidence of STH are hygiene, sanitation, socio economic level, educational level, and ecosystem differences.

The objective of this study is to know relationship between personal hygiene with STH infection in region where soil was contaminated with helminth eggs/larvae. A cross sectional study was done on 100 school age children in Bagan Kuala village (where sanitation is inadequate). Centrifuge floatation and Kato-Katz methods were used for soil and stool examinations, respectively. Personal hygiene data were collected by observation and interviewing children or parents of children using a questionnaire. Data analysis is performed using chi square test.

The result shows soil contamination with helminth eggs is 73,2%, STH prevalence is 78%, the personal hygiene was associated with significant protection against STH infection where the habit of not washing hands with soap before meals is the most influential with PR 3,92 (95% CI: 1,64-9,35).

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi Soil-Transmitted Helminths (STH) atau kecacingan yang disebabkan oleh sejumlah cacing usus yang ditularkan melalui tanah merupakan salah satu yang paling umum dari infeksi parasit. Sumber penyakit ini yang sekaligus sebagai penderita adalah manusia, terutama anak-anak usia sekolah dasar dan yang tinggal di pedesaan. Kebiasaan defekasi di atas tanah (tidak di jamban) menjamin berlangsungnya siklus hidup cacing ini. Di Indonesia, prevalensi STH pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada anak-anak. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Infeksi cacing usus yang berakibat menurunnya status gizi penderita juga akan menurunkan daya tahan tubuh, sehingga memudahkan infeksi penyakit lain termasuk HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria (Sardjono, 2009).

Laporan WHO (2006) menyatakan bahwa Ascaris lumbricoides menginfeksi lebih dari satu milyar orang, Trichuris trichiura menginfeksi 795 juta orang, dan cacing tambang (hookworm) menginfeksi 740 juta orang. Tahun 2012 WHO mengatakan lebih dari 1,5 miliar orang, atau 24% dari populasi dunia terinfeksi dengan STH. Sebanyak 270 juta anak usia prasekolah dan 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah dimana parasit ini ditularkan secara intensif.

(21)

mempunyai range yang cukup tinggi yaitu antara 2,7% - 60,7% (Profil PP dan PL, 2012). Berdasarkan survei Dinas Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara (2009) yang dilakukan pada anak SD di 14 Kabupaten/kota, prevalensi A. lumbricoides 39%, Hookworm 5%, dan T. trichiura 24%.

Darlan (2003) meneliti sampel tanah di Kelurahan Ladang Bambu Kecamatan Medan Tuntungan menemukan larva filariform Necator americanus sebesar 28%, telur cacing tambang sebesar 2%, dan telur A.lumbricoides sebesar 22%. Pasaribu (2004) dalam penelitiannya pada anak sekolah dasar di desa Suka diperoleh prevalensi kecacingan (STH) sebesar 89,7%, pencemaran tanah oleh telur A. lumbricoidescukup tinggi yaitu 45,8%. Isra, dkk (2004) pada penelitian terhadap anak sekolah dasar di desa Suka dan Pantai Cermin diperoleh prevalensi kecacingan masing-masing sebesar 62% dan 53%, dan tanah yang terkontaminasi telur cacing masing-masing 68% dan 71%.

Penelitian yang dilakukan oleh Dachi (2005) tentang hubungan perilaku anak sekolah dasar nomor 174593 Hatoguan terhadap infeksi cacing perut di Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir diperoleh adanya hubungan antara pengetahuan, sikap dan tindakan anak sekolah dasar terhadap infeksi cacing perut. Daulay (2008) di SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota tentang hubungan higiene perorangan siswa dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota diketahui bahwa prevalensi kecacingaan sebesar 55,8% dan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan cuci tangan pakai sabun atau tidak, kontak dengan tanah, makanan jajanan dan kebersihan kuku dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota. Penggunaan alas kaki tidak ada hubungannya dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

(22)

Desa Bagan Kuala terletak di Kecamatan Tanjung Beringin yang merupakan salah satu desa di daerah pesisir, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Fasilitas jamban keluarga sangat minim sehingga masyarakat lazim buang air besar di tanah dan di sungai. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di desa ini adalah keluarga fakir miskin dan keluarga berumah tidak layak huni. Pendidikan menjadi suatu persoalan bagi generasi muda desa Bagan Kuala, karena di desa ini terdapat hanya 1 (satu) sekolah yaitu Sekolah Dasar. Untuk melanjutkan jenjang pendidikan harus bersekolah di ibu kota kecamatan yang berjarak 7 km dengan infrastruktur jalan yang rusak berat dan ongkos yang mahal (RKPDes Bagan Kuala, 2012).

1.2.Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Apakah terdapat hubungan higiene perorangan anak usia sekolah dengan infeksi cacing STH di lingkungan yang tercemar telur / larva cacing STH di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.

1.3. Hipotesis

Terdapat hubungan antara higiene perorangan anak usia sekolah dengan infeksi cacing STH di lingkungan yang tercemar telur / larva cacing STH di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.

1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

(23)

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui kondisi pencemaran tanah oleh telur / larva cacing STH di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.

2. Memperoleh data prevalensi infeksi STH pada anak usia sekolah di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai.

3. Mengetahui higiene perorangan anak usia sekolah di desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai yang mempengaruhi terjadinya infeksi STH.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Serdang Bedagai dalam upaya penanggulangan kecacingan khususnya di desa Bagan Kuala.

2. Memberikan informasi bagi masyarakat agar memperhatikan dan menjaga sanitasi serta higiene anak terhadap infeksi kecacingan.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil-Transmitted Helminths

Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Terdapat empat jenis STH yang paling sering ditemukan, yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang atau hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Serra, 2011).

2.1.1 Cacing gelang (A. lumbricoides)

Cacing gelang merupakan cacing yang hidup dan tersebar di daerah tropis dan sub tropis dengan kelembaban udara yang tinggi. Cacing gelang dewasa habitatnya terdapat di usus halus manusia dan stadium larvanya mengalami migrasi ke paru-paru. Cacing dewasa berbentuk silindris memanjang berwarna krem keputihan dengan panjang dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm, dan cacing jantan 15-31 cm dengan diameter 2-4 mm. Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan, paling lama bisa lebih dari 24 bulan. Cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup selama bertahun-tahun (Pacifico, 2001).

(25)

bronki, trakea, dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, esofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa. Dua bulan sejak infeksi (tertelan telur yang infektif), seekor cacing betina mulai mampu bertelur (Soedarto, 2008).

Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

2.1.2 Cacing cambuk (T. trichiura)

Cacing dewasa berbentuk cambuk, dengan bagian anterior yang merupakan tiga perlima panjang tubuh berbentuk langsing seperti tali cambuk, sedangkan dua perlima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan cambuk. Cacing jantan panjangnya sekitar 4 cm, dengan bagian ekor melengkung ke arah ventral, mempunyai satu spikulum yang terselubung refraktil. Cacing betina panjangnya 5 cm dengan bagian caudal membulat tumpul seperti koma. Telur berwarna coklat mirip biji melon, berukuran sekitar 50x25 mikron, mempunyai dua kutub jernih yang menonjol (Pacifico, 2001).

(26)

dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa melekat pada mukosa usus halus terutama di daerah sekum dan kolon dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia (Serra, 2011).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Trichuris trichiura

2.1.3 Cacing tambang (A.duodenale dan N.americanus)

(27)

Dalam siklus yaitu larva rhabdit panjang sekitar 250 langsing dengan p bersama tinja pende larva rhabditiform bronki, trakea, lari filariform A.duode esofagus larva be berlangsung sekita kulit untuk yang ke waktu satu bulan ca

Ga

iklus hidupnya cacing tambang mempunyai dua habditiform (tidak infektif), bentuk tubuhnya agak 250 mikron, dan larva filariform (infektif) n panjang tubuhnya sekitar 600 mikron. Tel

enderita, dalam waktu 2 hari akan tumbuh di orm. Sesudah berganti kulit sebanyak 2 kali, da berkembang menjadi larva filariform. Larva f selama 7-8 minggu. Jika larva filariform m suki pembuluh darah dan limfe, beredar di dala

jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapi nding kapiler masuk ke dalam alveoli, kemudi

aring, dan faring, akhirnya tertelan masuk ke .duodenale jika tertelan juga dapat menyebabka

berganti kulit untuk yang ketiga kalinya kitar 10 hari. Dari esofagus larva masuk ke usus

keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing n cacing betina sudah mampu bertelur (Pacifico, 2001

Gambar 2.3. Siklus Hidup Cacing Tambang

(28)

2.2 Epidemiologi

Cacing STH tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan di negara berkembang. Intensitas infeksi merupakan indeks epidemiologi yang menggambarkan infeksi STH, karena morbiditas dan penularan cacing ini berhubungan langsung dengan jumlah cacing di dalam tubuh manusia. Intensitas infeksi terbesar didapatkan pada anak-anak prasekolah dan anak usia sekolah. Hal ini karena anak-anak tersebut terpapar dengan banyak faktor resiko. Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan tingginya infeksi STH adalah kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing, fasilitas jamban yang belum memadai, higiene pribadi yang buruk, rendahnya tingkat pendidikan, status sosial ekonomi yang lemah (Serra, 2011).

2.2.1 Kondisi Geografis

Kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing STH meliputi iklim dan kondisi tanah (Suriptiastuti, 2006).

a. Iklim

Faktor iklim yang terdiri dari temperatur, curah hujan, cahaya matahari, dan angin, merupakan faktor utama dari penyebaran infeksi STH. Temperatur sangat penting untuk cacing ini melanjutkan siklus hidupnya, setiap jenis cacing mempunyai temperatur optimum yang berbeda. Untuk perkembangan telur A. lumbricoides memerlukan temperatur 200C-250C, T. trichiura memerlukan temperatur 300C, dan cacing tambang antara 280C-320C. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Cahaya matahari berperan dalam memberikan panas, terutama terhadap telur dan larva yang ada pada permukaan tanah. Angin berperan dalam mempercepat proses pengeringan dan penyebaran telur-telur cacing yang infektif melalui debu (Serra, 2011).

b. Tanah

(29)

berdasarkan diameter partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau jumlah air yang diperlukan untuk membuatnya lembab. Untuk perkembangan telurnya, A. lumbricoides dan T. trichiura memerlukan tanah yang liat, lembab, dan terlindung dari cahaya matahari. Kondisi tanah yang paling sesuai dan menguntungkan bagi pertumbuhan larva cacing tambang adalah tanah berpasir, gembur, berhumus dan terlindung dari cahaya matahari langsung, karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Karakteristik lainnya dari ketiga jenis tanah yang juga menguntungkan pertumbuhan dan perkembangan telur cacing adalah berat jenis masing-masing jenis tanah, pasir memiliki berat jenis paling besar dibandingkan dengan lumpur dan tanah liat dan pasir akan tenggelam di air, oleh karena itu pasir ditemukan didasar sungai. Lumpur memiliki berat jenis sama dengan air, maka lumpur akan melayang-layang di air, sedangkan tanah liat memiliki berat jenis lebih kecil daripada air dan tanah liat terdapat di lapisan atas air sungai. Berat jenis telur A. lumbricoides dan T. trichiura sama dengan berat jenis air, oleh karena itu apabila telur-telur cacing tersebut jatuh ke dalam sungai akan bersama-sama dengan lumpur dan keadaan seperti itu akan melindungi telur-telur tersebut dari sinar matahari. Jenis tanah pasir akan sangat menguntungkan telur cacing tambang, sedangkan jenis tanah lumpur sangat menguntungkan telur A.lumbricoides dan T. Trichiura. Kelembaban merupakan faktor penting untuk mempertahankan hidup cacing. Bila kelembaban rendah maka telur A. lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik, dan larva cacing tambang akan cepat mati. Kelembaban tanah tergantung pada besarnya curah hujan (Suriptiastuti, 2006).

(30)

jamban, di bawah pohon, jalan kecil/gang, dan lapangan yang berumput. Singkatnya tempat-tempat dimana manusia biasanya berkumpul dan tempat dimana manusia buang air besar akan berpotensi tinggi tercemar (Gyoten, 2010).

Tanah yang tercemar telur/larva STH dapat terbawa jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki, juga melalui debu yang terbawa angin. Tanah pekarangan rumah maupun sekolah yang tercemar telur/larva cacing akan menjadi sumber penularan infeksi STH terutama pada anak-anak karena anak usia sekolah memiliki frekuensi bermain yang relatif tinggi baik di sekolah, di rumah, dan di kebun. Anak-anak dipedesaan lazimnya bermain bersama-sama. Perilaku bermain anak-anak sering tidak bisa dilepaskan dari terjadinya kontak dengan tanah (Ziegelbauer, 2012).

Terdapat hubungan yang konsisten antara infeksi dan pencemaran tanah pada askariasis dan trichuriasis, sehingga pemeriksaan telur A.lumbricoides dan T.trichiura akan bermanfaat untuk memprediksi infeksi ini pada anggota keluarga. Hubungan antara rasio pencemaran tanah oleh telur STH dengan prevalensi kecacingan adalah signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan tingkat pencemaran tanah oleh telur STH merupakan refleksi status infeksi cacing pada masyarakat (Gyoten, 2010).

2.2.2 Fasilitas Jamban Yang Belum Memadai

(31)

yang banyak mendatangkan masalah dalam bidang kesehatan dan sebagai media bibit penyakit. Selain itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk serta estetika. Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia yang lazim disebut kakus atau WC. Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Tujuan program JAGA (jamban keluarga) yaitu tidak membuang tinja ditempat terbuka melainkan membangun jamban untuk diri sendiri dan keluarga. Penggunaan jamban yang baik adalah kotoran yang masuk hendaknya disiram dengan air yang cukup, hal ini selalu dikerjakan sehabis buang air besar sehingga kotoran tidak tampak lagi. Secara periodik, leher angsa dan lantai jamban digunakan dan dipelihara dengan baik, sedangkan pada jamban cemplung lubang harus selalu ditutup jika jamban tidak digunakan lagi agar tidak kemasukan benda-benda lain. Umar (2006) menyatakan bahwa perilaku buang air besar tidak di jamban menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh tinja yang berisi telur cacing yang dapat menginfeksi anak-anak karena menelan tanah yang tercemar telur cacing atau melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing.

2.2.3 Higiene Pribadi Yang Buruk

(32)

Ada beberapa aspek higiene pribadi yang berhubungan dengan infeksi STH seperti mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar, buang air besar di jamban, kebersihan kuku, dan memakai alas kaki. Mencuci tangan menggunakan air dan sabun memiliki peran yang penting dalam pencegahan infeksi STH. Tangan adalah merupakan vektor yang dapat membawa agan penyakit dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Tangan yang telah kontak dengan feses, tanah, atau makanan yang tercemar dan tidak dicuci dengan bersih dapat membawa telur cacing (WHO, 2008). Mencuci tangan dengan air saja lebih umum dilakukan, namun hal ini terbukti tidak efektif dalam menjaga kesehatan dibandingkan dengan mencuci tangan dengan sabun. Penggunaan sabun menjadi efektif karena meningkatkan waktu kontak kedua tangan, memfasilitasi gesekan, dan memecah lemak dan kotoran sehingga lemak dan kotoran yang menempel akan terlepas saat tangan digosok dan bergesekan pada waktu mencuci tangan. Di dalam lemak dan kotoran yang menempel di tangan inilah kuman penyakit hidup. Transmisi STH dapat dicegah dengan mencuci tangan dengan sabun oleh karena dapat memindahkan secara mekanis debu, tanah, atau kotoran yang mengandung telur cacing dari tangan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara mencuci tangan pakai sabun biasa dengan mencuci tangan pakai sabun anti septik. Hal ini karena patogen lepas dari tangan oleh sabun dan air, bukan karena aktifitas antiseptik yang mematikan kuman (Luby, 2005).

Pada anak-anak infeksi sering terjadi melalui tangan yang tercemar telur yang infektif karena anak-anak suka memasukkan jari-jari ke dalam mulut, atau makan tanpa mencuci tangan. Transmisi STH pada manusia melalui tangan atau kuku jari yang kotor mengandung telur cacing (Sofiana, 2011).

(33)

setelah memegang tanah yang tercemar telur cacing, atau pada infeksi cacing tambang terjadi saat larva filariform menembus kulit manusia yang tidak memakai alas kaki (Ziegelbauer, 2012).

2.2.4 Rendahnya Tingkat Pendidikan

Pendidikan orang tua terutama ibu adalah faktor penting yang mempengaruhi infeksi parasit usus pada anak-anak. Ibu yang berpendidikan akan lebih peduli atau memperhatikan pentingnya sanitasi dan kebersihan, sehingga bisa menerapkan higiene yang baik pada anak-anaknya yang berdampak pada menurunnya prevalensi infeksi parasit usus. Anak-anak yang dibesarkan ibu dengan pendidikan minimal SMA memiliki prevalensi parasit usus lebih rendah (17,1%) dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan atau berpendidikan lebih rendah (59,8%) (Chaudry, 2004).

2.2.5 Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor resiko infeksi parasit usus. Dampak status sosial ekonomi yang rendah terhadap resiko penyakit infeksi secara umum, dimana infeksi parasit merupakan bagiannya adalah kompleks dan berkontribusi dengan beberapa faktor lain seperti minimnya fasilitas air bersih, higiene lingkungan yang buruk, rendahnya akses pendidikan dan kondisi tempat tinggal yang padat (Mehraj, 2008).

2.3 Gejala klinik

Gejala klinik dari infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut serta kronik akibat dari cacing dewasa berada di saluran pencernaan (Bethony, 2006).

2.3.1 Migrasi larva

(34)

hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi, dan pada individu sensitif dapat menyebabkan gejala seperti asma, misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik granuloma pada jaringan paru yang dikenal dengan sindrom Loffler’s, dan hipersensitifitas lokal menyebabkan peningkatan sekresi mukus, inflamasi bronkiolar, dan eksudat serosa. Larva yang mati saat migrasi menimbulkan vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler. Larva filariform cacing tambang saat penetrasi menembus kulit menyebabkan perubahan pada kulit seperti pruritus dan eritema yang disebut Ground itch. Bila larva cacing tambang masuk secara oral dapat mengakibatkan nausea, muntah, iritasi faring, batuk, sesak nafas, dan suara serak (Bethony, 2006).

2.3.2 Parasit di intestinal

Manifestasi klinik akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal umumnya terjadi bila intensitas infeksinya sedang dan berat, dengan intensitas infeksi yang paling tinggi pada anak-anak (Suriptiastuti, 2006).

Cacing dewasa A.lumbricoides dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan rasa sakit, juga dapat membentuk bolus yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal. Juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorpsi vitamin A, dan menghisap karbohidrat dan protein yang berpengaruh pada gangguan nutrisi dan pertumbuhan. Migrasi cacing dewasa dari duodenum ke saluran empedu bisa menyebabkan kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, abses hepar, migrasi ke saluran appendiks menyebabkan appendiksitis (Soedarto, 2008).

(35)

terjadinya anemia defisiensi besi, daya kognitif yang menurun, dan malnutrisi protein (Bethony, 2006).

2.4 Diagnosa

Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur, atau larva, atau cacing dewasa dalam feses (Soedarto, 2008)

2.5 Pencegahan dan pemberantasan

(36)

2.6 Kerangka Konsep

Keterangan:

CTPS : Cuci tangan pakai sabun BAB : Buang air besar

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Higiene Perorangan

Cuci tangan sebelum makan CTPS sebelum makan

Cuci tangan setelah main tanah CTPS setelah main tanah Main di tanah

Memakai alas kaki

Makan jajanan/makanan waktu main di tanah

Menghisap jari/gigit kuku Kuku pendek dan bersih BAB di wc

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan deskripsi analisis dengan menggunakan rancangan cross sectional (sekat lintang) yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah, berkembang atau tumbuh menurut waktu.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai pada bulan Maret 2013.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah di desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai. Sampel adalah sebagian dari anak usia sekolah di desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai yang memenuhi kriteria inklusi yang jumlahnya berdasarkan uji sampel.

Kriteria inklusi:

1. Anak umur 6-15 tahun yang tinggal di desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Bersedia mengikuti penelitian.

Kriteria eksklusi

(38)

Perkiraan besar sampel

Dari dua puluh observasi dan wawancara terhadap higiene perorangan diperoleh total skor higiene (∑ X) sebesar 444. Selanjutnya dilakukan pengecekan obserbasi tersebut memenuhi persyaratan 95% tingkat kepercayaan dan 5% tingkat ketelitian dengan rumus:Ditenbbbtukan

Berbbb.dengan rumus

40 N ∑ X ∑ X ∑ X

Berdasarkan rumus di atas, maka diperoleh besar sampel minimal 54 sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana.

3.4.Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh melalui data primer dan sekunder.

a. Data primer meliputi data higiene perorangan anak yang didapatkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan terhadap anak usia sekolah, serta pemeriksaan sampel tanah dan feses secara laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi FK USU. b. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan

Propinsi Sumatera Utara, Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai, Profil Desa Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai dan data/informasi dari kantor desa yang berhubungan dengan penelitian.

(39)

3.5.Cara kerja

Anak usia sekolah desa Bagan Kuala (100 anak)

Desa Bagan Kuala

Sampel tanah:

• MCK umum

• Sungai

• Pekarangan rumah

• Sekolah

• Pustu

Pemeriksaan infeksi STH (Kato)

Higiene:

(Wawancara dengan kuesioner) • Cuci tangan sebelum makan • Cuci tangan setelah main tanah

• CTPS

• Buang air besar di jamban

• Jamban keluarga

• Bermain di tanah

• Makan jajanan/makanan waktu

bermain di tanah

• Menghisap jari/menggigit kuku

• Kebersihan kuku

• Memakai alas kaki

Pemeriksaan dengan metode Magnesium sulfat sentrifuse-flotase

STH (+) STH (-)

Pot untuk tinja

Albendazole 400 mg

Gambar 3.1. Cara kerja Kondisi pencemaran tanah

(40)

Berdasarkan gambar cara kerja di atas dapat dijelaskan bahwa sampel tanah diambil dari MCK umum sebanyak 8 titik sampel, yaitu pekarangan bagian depan, belakang, samping kiri dan kanan masing-masing MCK. Sampel tanah dari pinggir sungai diambil sebanyak 10 titik sampel yaitu di sekitar lokasi jamban cemplung yang biasa dipakai warga untuk buang air besar. Tanah pekarangan rumah diambil sampel sebanyak 50 rumah dengan titik sampel yang diambil dari tanah pekarangan depan, belakang, samping kiri, dan samping kanan rumah. Jumlah titik sampel tanah pekarangan rumah sebanyak 158 titik sampel.

Tanah lingkungan sekolah diambil dari SDN 102052 Bagan Kuala sebanyak 6 titik sampel, yaitu tanah sekitar jamban, halaman sekolah, koridor depan kelas, pekarangan samping dan belakang sekolah. Tanah lingkungan sekitar puskesmas pembantu Bagan Kuala diambil sebanyak 4 titik sampel yaitu pekarangan depan, balakang, samping kiri dan kanan.

Seluruh sampel tanah yang terkumpul diperiksa dengan Metode magnesium sulfat sentrifuse-flotase di laboratorium Parasitologi FK USU untuk mengetahui kondisi pencemaran tanah oleh telur/larva STH di desa Bagan Kuala. Selanjutnya juga dilakukan pengambilan tinja anak dengan membagikan pot kepada anak dan diperiksa dengan metode Kato di laboratorium Parasitologi FK USU. Wawancara dengan bantuan kuesioner dilakukan untuk mendapatkan data higiene perorangan anak yang berpengaruh terhadap infeksi STH. Anak yang terinfeksi STH diobati dengan Albendazole 400 mg.

3.6.Defenisi operasional 1. Infeksi STH

Infeksi STH adalah apabila ditemukan telur atau larva STH pada feses yang diperiksa dengan metode Kato, dikategorikan menjadi:

a. Positif b. Negatif

(41)

2. Pencemaran tanah

Pencemaran tanah adalah apabila dijumpai telur/larva cacing STH pada satu titik atau lebih dari beberapa titik sampel masing-masing lokasi yang diambil, diperiksa dengan metode Magnesium Sulfat Sentrifuse-flotase Dikategorikan menjadi:

a. Positif b. Negatif

Skala data: nominal

3. Higiene perorangan

Yang termasuk dalam higiene perorangan adalah kebiasaan anak yang berpengaruh untuk terkena infeksi STH, yaitu meliputi kebiasaan cuci tangan sebelum makan, cuci tangan setelah main tanah, cuci tangan pakai sabun, bermain di tanah, makan jajanan/makanan waktu bermain di tanah, menghisap jari/menggigit kuku, buang air besar di wc (jamban keluarga atau mck umum), kebersihan kuku (kuku pendek dan bersih), dan kebiasaan memakai alas kaki, yang dinilai dengan wawancara dengan bantuan kuesioner. Jawaban tiap-tiap pertanyaan kuesioner terdiri dari dua pilihan.

Skala data : ordinal

3.7.Variabel

Variabelbebas dalam penelitian ini adalah higiene perorangan anak, dan variabel tergantung adalah infeksi STH.

3.8.Analisis data

(42)
(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Bagan Kuala merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan

Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara. Desa

Bagan Kuala memiliki luas wilayah 1.500 Ha dan berada pada ketinggian ± 1,5

meter di atas permukaan laut dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Selat Malaka

2. Sebelah Timur : Desa Gelam Sei Serimah Kec. Bandar Khalifah

3. Sebelah Selatan : Desa Tebing Tinggi Kec. Tanjung Beringin

4. Sebelah Barat : Desa Pematang Kuala Kec. Teluk Mengkudu

Jarak dari Desa Bagan Kuala ke Ibukota Kecamatan Tanjung Beringin ± 7

km atau ± 15 km dari Ibukota Kabupaten Serdang Bedagai. Sebagian kecil lahan

yang berada di Desa Bagan Kuala diperuntukkan untuk tempat tinggal

(pemukiman) dan sebagian besar lagi lagi merupakan tanah gambut/lumpur yang

digunakan untuk tambak dan perkebunan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada

Gambar 4.1.

Jumlah penduduk di Desa Bagan Kuala pada tahun 2012 sebanyak 257

kepala keluarga atau 1.410 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 700 jiwa

(49,65%) dan perempuan sebanyak 710 jiwa (50,35%). Selanjutnya jumlah

(44)

Lokasi

Penelitian

Gambar 4.1. Peta Lokasi Penelitian

2

(45)

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur

No Kelompok Umur

(Tahun)

Jenis Kelamin

Jumlah %

Laki-laki Perempuan

1.

Berdasarkan jumlah penduduk menurut kelompok umur yang ada di Desa

Bagan Kuala, yang paling banyak adalah pada kelompok umur 25-44 tahun

sebanyak 461 orang (32,69 %). Jumlah anak usia sekolah (5-15 tahun) yang ada

di desa Bagan Kuala sebanyak 332 anak (23.55%) dari seluruh jumlah

penduduk.

Pada umumnya tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Desa Bagan

Kuala adalah sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama. Hal ini dapat

dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Jumlah Kepala Keluarga Menurut Status Pendidikan

Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat AK/PT

72 228 29 -

Sumber : Kecamatan Tanjung Beringin Dalam Angka 2011

Sebagian besar penduduk desa Bagan Kuala memiliki mata pencaharian

sebagai nelayan (sebanyak 35,60%). Sedangkan selainnya bekerja sebagai

petani, karyawan perkebunan, buruh bangunan, pedagang, pegawai negeri dan

ada juga yang merantau dan bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia (Tabel

(46)

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah %

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Petani Nelayan Pertukangan Pedagang PNS

Dan Lain-lain

21 502

10 46 1 830

1,48 35,60

0,70 3,26 0,07 58,86

1.410 100

Sumber : RKPDes Bagan Kuala 2013

Dari penduduk Desa Bagan Kuala yang berjumlah 257 kepala keluarga,

yang memiliki jamban keluarga hanya 96 kepala keluarga saja (37,35%).

Masyarakat di desa Bagan Kuala masih ada yang berprilaku menanam feses

anak-anak mereka di sekitar pekarangan rumah atau membuang ke lapangan

terbuka yang dibungkus dalam plastik. Sedangkan selebihnya menggunakan

jamban umum dan jamban cemplung, dimana terdapat jamban umum sebanyak 4

buah dan jamban cemplung sebanyak 10 buah jamban. Jamban umum yang ada

merupakan fasilitas MCK yang dibangun oleh pemerintah dengan kondisi yang

baik. Jamban cemplung merupakan jamban yang dibangun oleh masyarakat di

pinggir sungai/anak sungai.

Tanah di sekitar desa Bagan Kuala merupakan tanah berlumpur karena

desa masih ini dikelilingi oleh banyaknya pohon mangrove. Hampir setiap tahun

kondisi desa Bagan Kuala mengalami genangan akibat luapan sungai dan air

pasang laut.

Menurut peneliti, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya

pencemaran tanah oleh telur/larva STH di desa Bagan Kuala. Ketika terjadi

luapan air sungai, maka kotoran yang ada disungai tadi akan terbawa dan naik ke

permukaan sehingga terjadi penyebaran telur/larva STH. Dimana telur/larva

STH yang tinggal selanjutnya akan berkembang pada kondisi yang memenuhi

(47)

Tabel 4.4. Distribusi Rumah Penduduk Yang Memiliki Jamban Keluarga

No Jamban keluarga Jumlah (kk) %

1. 2.

Ada Tidak ada

96 161

37,35 62,65%

257 100

Sumber : Kantor Desa Bagan Kuala 2013

Kondisi jalan utama yang ada di desa Bagan Kuala cukup sulit dilewati

terutama pada saat musim hujan. Sedangkan sarana transportasi umum yang

tersedia menuju Desa Bagan Kuala hanya ojek.

4.2. Kondisi Pencemaran Tanah oleh Telur/Larva Cacing STH di Lokasi Penelitian

Rumah penduduk secara umum dalam posisi mengelompok, ada yang

saling berdempetan serta memiliki gang-gang kecil dan masih terdapat rumah

penduduk yang berbentuk rumah panggung terbuat dari bahan kayu yang

memiliki kolong di bawah rumah. Kondisi rumah panggung seperti ini tentunya

menyediakan ruang bagi terbentuknya tanah yang lembab dan terhalang oleh

sinar matahari, sehingga merupakan kondisi yang baik bagi perkembangan

telur/larva cacing STH.

Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel tanah dari pekarangan

rumah penduduk, lingkungan sekolah, lingkungan puskesmas pembantu, mck

umum dan pinggir sungai, yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara

laboratorium untuk mengetahui kondisi umum dari tanah lokasi penelitian.

Hasil pemeriksaan terhadap sampel tanah di lokasi penelitian

menunjukkan dari 57 tempat pengambilan sampel tanah ditemukan sebanyak 42

tempat pengambilan sampel tanah (73,68%) yang tercemar oleh telur/larva STH

(48)

Tabel 4.5. Pencemaran Tanah oleh Telur/Larva Cacing STH di desa Bagan

Rumah Penduduk

1

Manusia yang terinfeksi STH akan mengeluarkan telur cacing bersama

fesesnya sehingga di daerah dimana masyarakatnya lazim buang air besar di

tempat terbuka seperti di sungai, selokan air, di bawah pohon dan di sekitar

rumah pada anak-anak, maka akan mencemari lingkungan dan pada kondisi

yang sesuai telur cacing tersebut akan berkembang menjadi bentuk infektif.

Hasil penelitian Isra (2004) di desa Pantai Cermin yaitu tanah yang

terkontaminasi telur STH sebesar 71%.

Pencemaran tanah oleh STH berpotensi pada tempat-tempat dimana

manusia biasanya berkumpul dan lokasi buang air besar, seperti halaman rumah,

kebun, tempat mencuci, area pembuangan limbah (selokan), sekitar jamban,

dibawah pohon dan lapangan yang berumput. Terdapat hubungan yang konsisten

antara infeksi dan pencemaran tanah pada ascariasis dan trichiuriasis, dan

menyarankan bahwa analisa telur A. lumbricoides dan T. trichiura pada tanah

dapat memprediksi infeksi STH pada anggota rumah tangga. Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat pencemaran tanah oleh telur STH mencerminkan

status infeksi STH pada masyarakat (Gyoten, 2010).

4.3. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini merupakan anak usia sekolah yang berada

(49)

dimana dari 112 anak yang terpilih sebagai sampel yang bersedia

mengumpulkan dan mengembalikan tinja sebanyak 100 anak. Karakteristik

responden dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Karakteristik Responden Penelitian (n=100 anak)

No Karakteristik Responden n (%)

1. Umur

6-10 tahun 11-15

56 44

56 44

2. Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

55 45

55 45

Berdasarkan karakterisitik responden diketahui bahwa umur responden

antara 6 sampai 15 tahun. Responden dengan kelompok umur 6 sampai 10 tahun

berjumlah 56 anak (56%), dan responden dengan umur 11 sampai 15 tahun

berjumlah 44 anak (44%). Responden laki-laki berjumlah 55 anak (55%) dan

responden perempuan berjumlah 45 anak (45%).

4.4. Hasil Ukur Penelitian

Hasil pemeriksaan laboratorium feses 100 anak usia sekolah desa Bagan

Kuala seperti terlihat pada Tabel 4.7. memperlihatkan bahwa ditemukan

sebanyak 78 anak (78%) yang positif terinfeksi STH, sedangkan sebanyak 22

anak (22%) tidak terinfeksi STH.

Infeksi STH berdasarkan jenis cacing dalam penelitian ini ditemukan

bahwa anak usia sekolah yang terinfeksi A. lumbricoides sebanyak 6 anak

(7,69%), yang terinfeksi T. trichiura sebanyak 4 anak (5,13%), dan yang

(50)

Tabel 4.7. Hasil Ukur Penelitian

2. Infeksi STH berdasarkan jenis cacing

A.lumbricoides T.trichiura

A.lumbricoides + T.trichiura Hookworm

Cuci tangan sebelum makan Ya

Tidak

CTPS sebelum makan Ya

Tidak

Cuci tangan setelah main tanah Ya

Tidak

CTPS setelah main tanah Ya

Tidak Main di tanah

Ya Tidak

Makan jananan/makanan waktu main di tanah Ya

Tidak

Menghisap jari/gigit kuku Ya

Tidak BAB di wc

Ya Tidak

Kuku pendek dan bersih Ya

4. Ketersediaan jamban keluarga

(51)

Berdasarkan kebiasaan anak usia sekolah yang menjadi responden dalam

penelitian ini yang berhubungan dengan higiene anak diperoleh bahwa sebanyak

72% mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, 18 anak (25%)

mempunyai kebiasaan cuci tangan pakai sabun sebelum makan, 42 anak (42%)

mempunyai kebiasaan cuci tangan setelah main, 16 anak (38,1%) mempunyai

kebiasaan cuci tangan pakai sabun setelah main tanah, 86 anak (86%)

mempunyai kebiasaan main di tanah, 89 anak (89%) mempunyai kebiasaan

makan jajanan/makanan waktu main di tanah, 41 anak (41%) mempunyai

kebiasaan mengisap jari/gigit kuku, 35 anak (35%) mempunyai kebiasaan

menjaga kuku pendek dan bersih dan sebanyak 39 anak (39%) mempunyai

kebiasaan BAB di wc.

Jumlah ketersediaan jamban keluarga pada penelitian adalah sebanyak 23

anak (23%) memiliki jamban keluarga, sedangkan sebanyak 77 anak (77%) tidak

memiliki jamban keluarga.

4.5. Hubungan Umur dengan Infeksi Cacing STH

Berdasarkan klasifikasi umur pada anak usia sekolah (Tabel 4.8.)

ditemukan sebanyak 49 orang anak (87,50%) yang berada pada kelompok umur

6 sampai dengan 10 tahun positif terinfeksi STH. Sedangkan yang berada pada

kelompok umur 11 sampai dengan 15 tahun sebanyak 29 orang anak (65,91%)

yang positif terinfeksi STH. Umur termuda yang terinfeksi STH berusia 6 tahun

(52)

Tabel 4.8. Hubungan umur dengan infeksi cacing STH

Kelompok umur (tahun)

Infeksi STH

Jumlah p

positif Negative

n % n %

6 – 10 11 – 15

49 29

87,50 65,91

7 15

12,50 34,09

56

44 0,01

Jumlah 78 78 22 22 100

Perilaku higiene anak berdasarkan kelompok umur ditunjukkan pada Tabel

4.9. Dari tabel tersebut terlihat bahwa anak pada kelompok umur 6-10 tahun

yang cuci tangan sebelum makan sebanyak 60,7%, sedangkan anak pada

kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 86,4%. Cuci tangan pakai sabun sebelum

makan pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 8,8% sedangkan pada

kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 39,5%. Cuci tangan setelah main tanah

pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 32,1%, sedangkan pada kelompok

umur 11-15 tahun sebanyak 54,5%. Cuci tangan pakai sabun setelah main tanah

pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 27,8%, sedangkan pada kelompok

umur 11-15 tahun sebanyak 45,8%. Main di tanah pada kelompok umur 6-10

tahun sebanyak 89,3%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak

81,8%. Makan jajanan/makanan waktu main di tanah pada kelompok umur 6-10

tahun sebanyak 92,9%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak

84,1%. Menghisap jari/gigit kuku pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak

55,4%, sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 22,7%. Menjaga

kuku pendek dan bersih pada kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 35,7%,

sedangkan pada kelompok umur 11-15 tahun sebanyak 34,1%. BAB di wc pada

kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 35,7%, sedangkan pada kelompok umur

(53)

Tabel 4.9. Higiene anak berdasarkan kelompok umur

Higiene anak 6-10 Kelompok umur 11-15

n (%) n (%)

Cuci tangan sebelum makan Ya

Tidak

CTPS sebelum makan Ya

Tidak

Cuci tangan setelah main tanah Ya

Tidak

CTPS setelah main tanah Ya

Tidak Main di tanah

Ya Tidak

Makan jananan/makanan waktu main di tanah Ya

Tidak

Menghisap jari/gigit kuku Ya

Tidak

Kuku pendek dan bersih Ya

terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan infeksi STH.

Hal tersebut dikarenakan anak usia sekolah di desa Bagan Kuala dengan

kelompok umur 11-15 tahun memiliki perilaku higiene yang lebih baik daripada

anak yang berada pada kelompok umur 6-10 tahun, sehingga anak dengan

kelompok umur 6-10 tahun lebih banyak yang terinfeksi cacing STH

(54)

Hasil ini sejalan dengan Darnely (2011) yang meneliti infeksi parasit usus

pada anak panti asuhan di Pondok Gede Bekasi yang berumur antara 6 sampai

dengan 15 tahun didapatkan hubungan yang bermakna antara usia dengan

prevalensi infeksi parasit usus (p = 0,001). Hotez (2008) menyatakan bahwa

dibandingkan dengan kelompok usia lain, maka anak usia sekolah memiliki

potensi tertinggi terkena infeksi STH.

Suriptiastuti (2006) menyatakan bahwa prevalensi infeksi A.

lumbriocoides dan T. trichiura terbesar didapatkan pada anak berusia 5 sampai

15 tahun, dan akan menurun pada usia dewasa.

4.6. Hubungan Jenis Kelamin dengan Infeksi Cacing STH

Infeksi STH berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.10.) menunjukkan bahwa

anak laki-laki yang terinfeksi STH sebanyak 43 anak (78,18%) dan anak

perempuan yang terinfeksi STH sebanyak 35 anak (77,18%).

Tabel 4.10. Hubungan jenis kelamin dengan infeksi cacing STH

Jenis Kelamin

Infeksi STH

Jumlah p

positif Negative

n % n %

Laki-laki Perempuan

43 35

78,18 77,78

12 10

21,82 22,22

55

45 0,961

Jumlah 78 78 22 22 100

Perilaku higiene anak berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan pada Tabel

4.11. Dari tabel tersebut terlihat bahwa anak laki-laki yang cuci tangan sebelum

makan sebanyak 67,3%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 77,8%. Cuci

tangan pakai sabun sebelum makan pada anak laki-laki sebanyak 29,7%

(55)

Tabel 4.11. Higiene anak berdasarkan jenis kelamin

Higiene anak Laki-laki Jenis kelamin Perempuan

n (%) n (%)

Cuci tangan sebelum makan Ya

Tidak

CTPS sebelum makan Ya

Tidak

Cuci tangan setelah main tanah Ya

Tidak

CTPS setelah main tanah Ya

Tidak Main di tanah

Ya Tidak

Makan jananan/makanan waktu main di tanah Ya

Tidak

Menghisap jari/gigit kuku Ya

Tidak

Kuku pendek dan bersih Ya

perempuan sebanyak 28,6%. Main di tanah pada anak laki-laki sebanyak 85,5%,

sedangkan pada anak perempuan sebanyak 86,7%. Makan jajanan/makanan

waktu main di tanah pada anak laki-laki sebanyak 87,3%, sedangkan pada anak

perempuan sebanyak 91,1%. Menghisap jari/gigit kuku pada anak laki-laki

(56)

kuku pendek dan bersih pada anak laki-laki sebanyak 27,3%, sedangkan pada

anak perempuan sebanyak 44,4%. BAB di wc pada anak laki-laki sebanyak

45,5%, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 31,1%.

Berdasarkan hasil uji Chi-square hubungan jenis kelamin dengan infeksi

STH seperti terlihat pada Tabel 4.10. di atas diperoleh nilai p=0,961, sehingga

dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin

dengan infeksi STH.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Chaundry (2008) yang

menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan terjadinya infeksi

parasit usus. Hal yang sama pada hasil penelitian Darnely (2011) menunjukkan

tidak didapatkan hubungan antara jenis kelamin dengan prevalensi parasit usus.

4.7. Hubungan Higiene dengan Infeksi Cacing STH

Higiene perorangan anak usia sekolah yang menyebabkan terjadinya

infeksi STH dalam penelitian ini adalah kebiasaan mencuci tangan sebelum

makan, cuci tangan pakai sabun sebelum makan, cuci tangan setelah main tanah,

cuci tangan pakai sabun setelah main tanah, main di tanah, makan

jajanan/makanan waktu main di tanah, menghisap jari/menggigit kuku serta

kuku pendek dan bersih. Hasil perhitungan statistik hubungan higiene dengan

infeksi STH menggunakan perhitungan SPSS seperti terlihat pada Tabel 4.12.

(57)

Tabel 4.12. Hasil uji Chi-Square antara keadaan higiene anak dengan infeksi

Cuci tangan sebelum makan Ya

Tidak

CTPS sebelum makan Ya

Tidak

Cuci tangan setelah main tanah Ya

Tidak

CTPS setelah main tanah Ya

Tidak Main di tanah

Ya Tidak

Makan jananan/makanan waktu main di tanah

Ya Tidak

Menghisap jari/gigit kuku Ya

Tidak

Kuku pendek dan bersih Ya

Hasil analisis hubungan antara cuci tangan sebelum makan dengan infeksi

STH memperlihatkan bahwa persentase yang positif terinfeksi STH lebih tinggi

pada anak yang tidak mencuci tangan sebelum makan. Dari 28 anak yang tidak

mencuci tangan sebelum makan sebanyak 27 anak (96,43%) positif terinfeksi

STH. Sedangkan dari 72 anak yang mencuci tangan sebelum makan ada

sebanyak 51 anak (70,83%) yang positif terinfeksi STH. Hasil uji Chi-square

diperoleh nilai p=0,006, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

(58)

nilai RP 1,36 (95% CI : 1,15-1,61). Anak usia sekolah yang tidak cuci tangan

sebelum makan akan mempunyai kemungkinan 1,36 kali terinfeksi STH

dibandingkan anak usia sekolah yang cuci tangan sebelum makan.

Analisis hubungan antara cuci tangan pakai sabun sebelum makan dengan

infeksi STH menunjukkan bahwa dari 18 anak yang cuci tangan pakai sabun

sebelum makan sebanyak 4 anak (22,22%) positif terinfeksi STH. Sedangkan

dari 54 anak yang tidak cuci tangan pakai sabun sebelum makan sebanyak 47

anak (87,03%) positif terinfeksi STH. Hasil uji chi-square diperoleh nilai

p=0,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara cuci tangan pakai sabun sebelum makan terhadap infeksi STH, dengan

nilai RP 3,92 (95% CI : 1,64-9,35). Anak usia sekolah yang tidak cuci tangan

pakai sabun sebelum makan akan mempunyai kemungkinan 3,92 kali terinfeksi

STH dibandingkan anak usia sekolah yang cuci tangan pakai sabun sebelum

makan.

Analisis hubungan antara cuci tangan setelah main tanah dengan infeksi

STH memperlihatkan bahwa dari 42 anak yang cuci tangan setelah main tanah

sebanyak 24 anak (57,14%) terinfeksi STH. Sedangkan dari 58 anak yang tidak

cuci tangan setelah main tanah diperoleh sebanyak 54 anak (93,10%) yang

positif terinfeksi STH. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p=0,000, sehingga

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara cuci tangan

setelah main tanah terhadap infeksi STH, dengan nilai RP 1,63 (95% CI :

1,24-2,14). Anak usia sekolah yang tidak cuci tangan setelah main tanah akan

mempunyai kemungkinan 1,63 kali terinfeksi STH dibandingkan anak usia

sekolah yang tidak cuci tangan setelah main tanah.

Analisis hubungan antara cuci tangan pakai sabun setelah main tanah

dengan infeksi STH memperlihatkan bahwa dari 16 anak yang mempunyai

kebiasaan cuci tangan pakai sabun setelah main tanah sebanyak 5 anak (31,25%)

terinfeksi STH. Sedangkan dari 26 anak yang tidak cuci tangan pakai sabun

setelah main tanah sebanyak 19 anak (73,08%) positif terinfeksi STH. Hasil uji

(59)

hubungan yang signifikan antara cuci tangan pakai sabun setelah main tanah

terhadap infeksi STH, dengan nilai RP 2,34 (95% CI : 1,09-5,02). Anak usia

sekolah yang tidak cuci tangan pakai sabun setelah main tanah akan mempunyai

kemungkinan 2,34 kali terinfeksi STH dibandingkan anak usia sekolah yang cuci

tangan pakai sabun setelah main tanah.

Dalam penelitian ini semua aspek higiene pribadi yang terkait dengan

kebiasaan cuci tangan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan

terjadinya infeksi STH terhadap anak usia sekolah yang ada di desa Bagan

Kuala. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jalaluddin (2009)

di Sekolah Dasar Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe, bahwa secara

statistik ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan cuci tangan dengan

infeksi kecacingan. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Umar (2006)

pada murid sekolah dasar di Kabupaten Pesisir Selatan yang menunjukkan

bahwa prilaku cuci tangan juga terbukti berhubungan/bermakna dengan kejadian

kecacingan.

WHO (2008) menyatakan bahwa tangan merupakan vektor yang dapat

membawa penyakit dari satu orang ke orang lain baik secara langsung maupun

tidak langsung. Tangan yang telah kontak dengan feses, tanah, atau makanan

yang tercemar dan tidak dicuci dengan bersih dapat membawa telur cacing.

Kebiasaan mencuci tangan sangat perlu diterapkan dalam menjaga kesehatan

terutama pada anak-anak. Sebab masa anak-anak merupakan suatu masa yang

mereka gunakan untuk bereksplorasi, sehingga tangannya banyak menyentuh

segala sesuatu yang belum terjamin kebersihannya. Apalagi ketika memasukkan

tangannya ke dalam mulut yang dapat menimbulkan penyakit termasuk infeksi

STH.

Anak usia sekolah yang ada di desa Bagan Kuala secara umum

menunjukkan bahwa cuci tangan pakai sabun sebelum makan, cuci tangan

setelah main tanah dan cuci tangan pakai sabun setelah main tanah masih

tergolong rendah. Menurut peneliti hal ini disebabkan pengetahuan anak yang

Gambar

Gambar 2.2. Siklus Hidup Trichuris trichiura
Gambar 2.3. Siklus Hidup Cacing Tambang Ga
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3.1. Cara kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait