• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Epidemiologi Penyakit Diare

2.5.1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Diare a. Menurut orang

Penyakit diare adalah penyakit yang sangat berbahaya dan terjadi hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan bisa menyerang seluruh kelompok usia baik laki-laki maupun perempuan. Diare paling sering menyerang anak-anak, terutama usia antara 6 bulan sampai 2 tahun. Juga umum terjadi pada bayi bawah 6 bulan yang minum susu sapi atau susu formula. Penyakit diare dengan tingkat dehidrasi berat dengan angka kematian paling tinggi banyak terjadi pada bayi dan balita. Di negara berkembang termasuk Indonesia biasanya balita menderita diare lebih dari sekali dalam setahun dan hal ini yang menjadi penyebab kematian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian pada balita.12,23

Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur dengan insidensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%. Sedangkan menurut jenis kelamin insidensi laki-laki dan perempuan hampir sama,

yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada perempuan. Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-3 setelah TB dan Pneumonia. Di Indonesia penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak disebabkan oleh diare (31,4%) dan pneumonia (23,8%). Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%). Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare, 3% lebih tinggi dari temuan SDKI 2002-2003 (11 %). Insidensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti umur 6-11 bulan dan umur 23-45 bulan.4

b. Menurut Tempat

Diare merupakan masalah kesehatan terutama pada balita baik di tingkat global, regional maupun nasional. Pada tingkat global, diare menyebabkan 16% kematian, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pneumonia, sedangkan pada tingkat regional (negara berkembang), diare menyumbang sekitar 18% kematian balita dari 3.070 juta balita. Di Indonesia, diare menjadi penyebab utama kematian pada balita (RISKESDAS, 2007). Hal ini tentu menjadi masalah yang serius untuk Indonesia dalam rangka mencapai tujuan keempat dari pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yaitu menurunkan angka kematian bayi menjadi 2/3 dalam kurun waktu 25 tahun (1990-2015).4

KLB diare menyerang hampir semua provinsi di Indonesia. Angka kematian karena diare yang cukup tinggi di Indonesia membuat perhatian para ahli kesehatan masyarakat tercurah pada penanggulangan KLB diare secara tepat.22 Berdasarkan

ditjen PPM dan PL tahun 2005 bahwa KLB diare yang paling tinggi terjadi pada daerah NTT dengan jumlah penderita 2.194 orang dan CFR 1,28% diikuti oleh Kota Banten dengan jumlah penderita 1.371 orang dan CFR 1,9%. 24

Penelitian tentang diare telah diakukan di berbagai tempat. Hasil penelitian Asny Olyfta di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang (2010) dengan desain cross sectional didapatkan proporsi diare pada anak balita sebesar 38,2%.25 c. Menurut Waktu

Masih seringnya terjadi wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) diare menyebabkan pemberantasannya menjadi suatu hal yang sangat penting. Di Indonesia, KLB diare masih terus terjadi hampir di setiap musim di sepanjang tahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2000 dapat dilihat penurunan angka kesakitan diare dari 29,79 per 1000 penduduk pada tahun 1990 mencapai angka terendah 23,57 per 1000 penduduk pada tahun 1996, tetapi meningkat lagi menjadi 26,3 per 1000 penduduk pada tahun 1999.22

Pada tahun 2005 dilaporkan terjadi KLB diare di 11 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 5.051 orang, jumlah kematian sebanyak 127 orang atau CFR sebesar 2,44%. Pada tahun 2006 Kejadian Luar Biasa (KLB) diare terjadi di 18 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 13.451 orang, jumlah kematian sebanyak 291 orang dengan CFR sebesar 2,16 %.4 Pada tahun 2007 ada sebanyak 8 provinsi yang dilanda KLB diare dimana jumlah penderitanya adalah sebanyak 3.661 orang dan jumlah kasus yang meninggal sebanyak 46 orang atau CFR sebesar 1,3% .26

Pada tahun 2008 dilaporkan terjadi KLB diare di 15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 8.443 orang, jumlah kematian sebanyak 209 orang atau CFR sebesar 2,48%.10 Pada tahun 2009 Kejadian Luar Biasa (KLB) diare terjadi di 15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 5.756 orang, jumlah kematian sebanyak 100 orang atau CFR sebesar 1,74%.11 Pada tahun 2010 Kejadian Luar Biasa (KLB) diare terjadi di 11 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 4.024 orang, jumlah kematian sebanyak 73 orang dengan CFR sebesar 1,74 %.12

2.5.2. Determinan Penyakit Diare a. Host (Penjamu)

Beberapa faktor pada penjamu bisa mempengaruhi terjadinya kejadian diare. Faktor-faktor tersebut antara lain :

a.1. Umur

Diare paling sering menyerang anak-anak, terutama usia antara 6 bulan sampai 2 tahun. Juga umum terjadi pada bayi bawah 6 bulan yang minum susu sapi atau susu formula.23 Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur dengan insidensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%.4 Kejadian diare biasanya tinggi pada kelompok umur muda dan tua (balita dan manula), rendah pada kelompok umur remaja dan produktif.9

Hasil penelitian Asny Olyfta di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang (2010) dengan desain cross sectional didapatkan proporsi diare terbanyak pada anak balita dengan kelompok umur <24 bulan (46,67%).25

a.2. Jenis Kelamin

Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada bayi daripada anak yang lebih besar. Kejadian akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan.5 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 insidensi diare menurut jenis kelamin hampir sama, yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada perempuan.9

Penelitian Kasman (2003) di Puskesmas Air Dingin Kecamatan Koto Tengah Kota Padang dengan desain cross sectional menunjukkan bahwa proporsi diare berdasarkan jenis kelamin pada balita perempuan (53,1%) lebih tinggi dari pada proporsi diare pada balita laki-laki (46,9%).27

a.3. ASI Eksklusif

ASI Eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja kepada bayi baru lahir sampai bayi mencapai usia 6 bulan. Pemberian ASI penuh akan memberikan perlindungan diare 4 kali dari pada bayi dengan ASI disertai susu botol. Bayi dengan susu botol saja akan mempunyai risiko diare lebih berat dan bahkan 30 kali lebih banyak daripada dengan ASI penuh (Sutoto, 1992).28

Hasil Penelitian Mei Yati Simatupang (2003) tentang kejadian diare pada balita di Kota Sibolga yang menggunakan desain case control menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Diare dimana nilai p = 0,000 dan nilai OR= 2,2 artinya anak balita yang menderita diare kemungkinan besar 2,2 kali tidak mendapat ASI Eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita diare.29

a.4. Status Imunisasi

Berdasarkan laporan Ditjen PPM dan PLP tahun 2005 bahwa diare sering timbul menyertai campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu, anak harus segera diberi imunisasi campak setelah berumur 9 bulan.22

Hasil penelitian Asny Olyfta (2010) tentang analisis kejadian diare pada anak balita di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang yang menggunakan desain cross sectional, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian diare dengan nilai p = 0.014. Hasil Ratio Prevalens kejadian diare pada anak balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dibanding dengan anak balita yang mendapatkan ASI Eksklusif adalah 5,495 (95% CI: 0,824- 36,642). Artinya tidak mendapatkan ASI Eksklusif merupakan faktor resiko terjadinya diare.25

a.5. Status Gizi

Pada anak dengan malnutrisi, serangan diare terjadi lebih sering dan lebih lama (Sabii, 1963 ; Godon dkk.,1964). Diare merupakan salah satu gambaran klinis yang penting pada kwashiorkor (Hanafy dkk,1968). Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan semakin berat diare yang dideritanya. Diduga bahwa mukosa yang kurang gizi sangat peka terhadap infeksi. Diare dapat terjadi pada keadaan kekurangan gizi, seperti pada kwashiorkor, terutama karena gangguan pencernaan dan penyerapan makanan di usus.30

Hasil penelitian Zulkifli (2003) di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan

adanya hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan kejadian diare dengan nilai p<0,05.31

b. Agent28

Beberapa penyebab diare dapat dibagi menjadi : 1. Peradangan usus oleh :

a. Bakteri, seperti : Escherichia coli, Salmonella typhi, Salmonella Paratyphi A, B, C, Shigella flexneri, Vibrio cholera, vibrio eltor, vibrio parahemolyticus, Clostridium perferingens, Campilabacter, Staphilococcus, Coccidiosis.

b. Parasit, seperti : Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonashominis isospora), cacing (Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris trichiura, Vermicularis, Taenia saginata, Taenia solium), jamur (candida).

c. Virus, seperti : Rotavirus,Farvovirus, Adenovirus, Norwalk. 2. Makanan, yaitu :

a. Sindroma malabsorpsi : malabsorpsi karbohidrat, lemak, dan protein.

b. Keracunan makanan dan minuman yang disebabkan bakteri (Clostridium bottulinus, staphylococcus) atau bahan kimia.

c. Alergi, misalnya tidak tahan pada makanan tertentu seperti susu kaleng atau susu sapi.

d. Kekurangan Energi Protein (KEP)

3. Immunodefisiensi terutama Sig A (secretory immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat gandanya bakteri/flora usus dan jamur terutama Candida.

4. Psikologis : rasa takut dan cemas. Walaupun jarang, dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar.

c. Environment (Lingkungan)

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan prilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (Depkes RI, 2002). c.1. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi merupakan salah satu komponen dari kesehatan lingkungan, yaitu perilaku yang disengaja untuk membudayakan hidup bersih untuk mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Rendahnya mutu sanitasi lingkungan merupakan keadaan yang potensial untuk menjadi sumber penularan penyakit diare.32

Berdasarkan hasil Penelitian Amzal di Kecamatan Blang Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2003 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa proporsi balita penderita diare yang memiliki sanitasi lingkungan yang buruk (62,70%) lebih tinggi dari pada proporsi balita penderita diare yang memiliki sanitasi lingkungan yang baik (45,2%). Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian diare dengan sanitasi lingkungan (p = 0,009).33

c.2. Higiene perorangan

Higiene perorangan atau yang sering disebut sebagai Personal Hygiene adalah upaya seseorang dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk

memperoleh kesejahteraan fisik dan psikologis (Wahit Iqbal, 2008). Laporan Subdit Pengendalian Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan mengatakan bahwa KLB diare masih sering terjadi dengan jumlah penderita dan kematian yang banyak. Rendahnya cakupan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan sering menjadi faktor risiko terjadinya KLB diare.4

Berdasarkan hasil Penelitian Kasman di Puskesmas Air Dingin Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Tahun 2003 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa proporsi balita penderita diare yang memiliki higiene perorangan yang buruk (72,70%) lebih tinggi dari pada proporsi balita penderita diare yang memiliki higiene perorangan yang baik (27,3%) . Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian diare dengan sanitasi lingkungan (p = 0,000).27

c.3. Penyediaan Air Bersih

Pentingnya penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan (fisik, kimia dan biologi) bersama-sama dengan fasilitas sanitasi lingkungan sebagai usaha jangka panjang untuk pencegahan diare (WHO, 1978).

Berdasarkan hasil penelitian Mei Yati Simatupang di Kota Sibolga tahun 2003 dengan desain case control diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara penyediaan air bersih dengan kejadian diare pada balita dengan nilai p = 0,000 dan OR = 4,3 artinya anak balita yang menderita diare kemungkinan besar 4,3 kali berasal dari keluarga yang mempunyai penyediaan air bersih yang tidah memenuhi syarat kesehatan dibandingkan dengan balita yang besaral dari keluarga yang mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan.29

c.4. Ketersediaan Jamban

Menurut laporan SDKI 2007 dapat diketahui bahwa persentase diare lebih rendah pada anak yang tinggal di rumah dengan fasilitas kakus sendiri dibandingkan dengan yang tidak memiliki kakus. Seperti yang diprediksi prevalensi diare paling tinggi terjadi pada anak yang tinggal di rumah tanpa akses air bersih dan yang memakai fasilitas kakus di sungai/kolam/danau (18,4%). 4

Penelitian Dewi Ratnawati dkk (2006) di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta dengan desain penelitian case control, menunjukkan bahwa penggunaan jamban yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko 2,5 kali lebih besar balitanya untuk terkena diare akut dibandingkan dengan penggunaan jamban yang memenuhi syarat dan secara statistik bermakna.34

Dokumen terkait