• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Epidemiologi

Kejadian MDR – TB tidak merata di seluruh belahan dunia. Dari laporan survei yang dilakukan WHO tahun 1994 -1999 diperkirakan 70 % kasus baru MDR – TB terjadi hanya pada 10 negara, sehingga kasus MDR – TB ini lebih dianggap menjadi masalah lokal. Sedangkan laporan yang dibuat oleh

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yang melakukan survei pada tahun 1994 -1997 terhadap 35 negara, dijumpai bahwa resistensi obat anti tuberkulosis terdapat di seluruh negara yang disurvei. Hal ini mengarahkan bahwa kasus MDR-TB ini merupakan masalah global.22 Survei yang dilakukan pada 54 negara antara tahun 1996 -1999 didapatkan bahwa angka resistensi tertinggi dijumpai di Estonia (36,9%), diikuti oleh propinsi Henan di Cina (35%), Ivanovo Oblast di Federasi Rusia (32,4%) dan Latvia (29,9%).8 Hasil survei yang dilakukan WHO mengenai prevalensi resistensi obat secara global dapat dilihat pada tabel berikut :18

Tabel 1. Resistensi Obat Primer Secara Global 18 Penelitian Banyak Obat H (%) S (%) R (%) E (%) H+R (%) Cohn dkk (1985–1994) - 0 – 16,9 0,1 – 23,5 0 – 3,0 0 - 4,2 0 – 10,8 WHO-IUATLD ( 1994-1997) 9,9 (2,0-40,6) 7,3 (1,5-31,7) 6,5 (0,3-32,4) 1,8 (0-16,8) 1,0 (0-9,9) 1,4 (0-14,4) WHO-IUATLD (1996-1999) 10,7 (1,7-36,9) 6,2 (0-28,1) 5,2 (0,3-32,4) 1,2 (0-15,8) 0,6 (0-11,1) 1 (0,0-14,1) WHO-IUATLD (1999-2002) 10,2 (0-57,1) 5,7 (0-42,6) 6,3 (0,51-5) 1,4 (0-15,6) 0,8 (0-24,8) 1,1 (0-14,2)

Tabel 2. Resistensi Obat Sekunder Secara Global 18 Penelitian Banyak Obat H (%) S (%) R (%) E (%) H+R (%) Cohn dkk (1985–1994) - 4 – 53,7 0 – 19,4 0 – 14,5 0 - 13,7 0 – 48,0 WHO-IUATLD ( 1994-1997) 36,0 (5,3-100,0) _ _ _ _ 13,0 (0-54,4) WHO-IUATLD (1996-1999) 23,3 (0,0-93,8) 19,6 (0,0-50,0) 12,4 (0,0-53,4) 12,0 (0,0- 50,0) 5,9 (0,0- 32,1) 9,9 (0,0-48,2) WHO-IUATLD (1999-2002) 18,4 (0-82,1) 14,4 (0-71,0) 11,4 (0-77,1) 8,7 (0-61,4) 3,5 (0-54,2) 7,0 (0-58,3)

Tahun 2000 di negara Jerman dijumpai angka resistensi sebesar 8,7%.8

Beberapa negara yang menjadi ”hot spot” MDR-TB mempunyai angka

prevalensi MDR-TB yang tinggi dan dapat mengancam keberhasilan program penanggulangan MDR-TB. Negara yang termasuk di dalamnya adalah Estonia, Latvia di Eropa; Argentina dan Repoblik Dominika di Amerika; serta Cote d’Ivoire di Afrika.22 Penelitian yang dilakukan oleh Tsao dkk. di Chang Gung Memorial Hospital Taiwan pada tahun1992-1996 didapatkan 28%-29% resisten terhadap paling sedikit dua jenis obat.24 Penelitian yang dilakukan oleh Alicia dkk. di Pilipina tahun 1999 didapatkan angka resistensi sebesar 17,6%, termasuk 14,9% terhadap isoniazid, 4,3% terhadap rifampisin, 6,4% terhadap streptomisin dan 1,1% terhadap etambutol dan pirazinamid,

sedangkan angka MDR-TB didapatkan 4,3%.25 Penelitian terbaru yang

dilakukan di Gujarat India didapatkan angka MDR – TB sebesar 35,2%.22 Di Indonesia MDR – TB di RS Persahabatan tahun 1996 dan 1997 sebesar 5,8

% menjadi 4,85% (resistensi primer) serta 24,45% menjadi 41,60% (resistensi sekunder), sedang di BP4 Surakarta selama 5 tahun (1996-2000) rata-rata resistensi primer 0,18% dan resistensi sekunder 15,51%.7 Penelitian yang dilakukan oleh Bashar dkk. di Bellevue Hospital Center New York dijumpai 36% kasus MDR pada penderita TB dengan DM dibandingkan

dengan 10% kasus MDR pada penderita TB tanpa DM.9 Sedangkan

penelitian yang dilakukan Suradi dkk. di Surakarta didapatkan 33% kasus MDR pada penderita TB dengan DM dibandingkan dengan 3,3% pada penderita TB tanpa DM.7

2.3. RESISTENSI MIKROBA

Resistensi sel mikroba merupakan suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba.21 Secara umum resistensi dapat diartikan suatu keadaan dimana organisme secara normal mempunyai kemampuan untuk menentang agen di sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya secara alamiah. Pada keadaan tertentu, apabila interaksi antara obat dengan mikroba kurang baik atau tidak terjadi sama sekali, maka dinyatakan bahwa antibiotika tersebut telah resisten terhadap mikroba tertentu.22

2.3.1. Mekanisme Resistensi Mikroba a. Resistensi Alamiah

Faktor yang menentukan sifat resistensi atau sensitivitas mikroba terhadap antimikroba terdapat pada elemen yang bersifat genetik. Didasarkan pada lokasi elemen untuk resistensi ini, dikenal resistensi kromosom dan resistensi ekstrakromosomal. Sifat genetik dapat menyebabkan suatu mikroba sejak awal resistensi terhadap suatu antimikroba. Resistensi ini disebut resistensi genetika atau resistensi bawaan atau resistensi alamiah.21,22,23

b. Resistensi Didapat

Mikroba yang semula peka terhadap suatu antimikroba dapat berubah sifat genetiknya menjadi kurang atau tidak peka. Perubahan sifat genetik terjadi karena kuman memperoleh elemen genetik yang membawa sifat resisten. Resistensi ini disebut dengan resistensi didapat (acquired resistant). Elemen resistensi ini dapat diperoleh dari luar dan disebut resistensi yang dipindahkan (transferred resistant), dapat juga terjadi akibat mutasi genetik spontan atau akibat rangsangan anti mikroba (induced resistant).21,22,23

Kemampuan bakteri resistensi untuk tetap tumbuh dan multifikasi dengan kehadiran antimikroba menggambarkan adanya perbedaan genetika bakteri resisten dengan bakteri yang sensitif. Bagaimana terjadinya

perubahan genetika dari bakteri yang sensitif menjadi bakteri yang resisten terhadap anti biotika belum dapat dijelaskan secara pasti.22

Dengan mutasi spontan gen mikroba berubah, sehingga yang sensitif terhadap suatu antimikroba menjadi resisten. Dengan adanya antimikroba tersebut terjadi seleksi, strain yang masih sensitif terbasmi, sehingga berakhir dengan terbentuknya populasi resisten.23

Mikroba dapat berubah resisten akibat memperoleh suatu elemen pembawa faktor resisten. Faktor ini mungkin didapat dengan cara transformasi, transduksi atau konyugasi. Dengan transformasi, mikroba menginkorporasi faktor-faktor langsung dari media disekitarnya (lingkungannya). Pada transduksi, faktor resistensi dipindahkan dari suatu mikroba resisten ke mikroba sensitif dengan perantara bakteriofag. Dalam hal ini yang dipindahkan adalah suatu komponen DNA dari kromosom yang mengandung faktor resisten tersebut. Dengan konyugasi terbentuk hubungan langsung antara isi sel bakteri khususnya komponen yang membawa faktor resistensi. Faktor resistensi yang dipindahkan terdapat dalam dua bentuk yaitu plasmid dan episom. Plasmid merupakan suatu elemen genetik (DNA- plasmid) yang terpisah dari DNA-kromosom, jadi merupakan suatu DNA non kromosom. Tidak semua plasmid dapat dipindahkan. Yang dapat dipindahkan adalah plasmid faktor R, disebut plasmid penular (infectious plasmids). Faktor R ini terdiri dari dua unit yaitu segmen RTF (resistance

terjadinya perpindahan faktor R. Masing-masing unit-r membawa sifat resistensi terhadap satu unit mikroba. Dengan demikian berbagai unit-r pada 1 plasmid faktor R membawa sifat resistensi terhadap berbagai anti mikroba sekaligus.21

2.3.2. Mekanisme Resistensi Mycobacterium Tuberculosis

Berbeda dengan resistensi pada kebanyakan bakteri terhadap antibiotika dimana resistensi yang didapat dengan cara transformasi, transduksi atau konyugasi gen, resistensi yang didapat basil Mycobacterium tuberculosis

adalah pada mutasi kromosom utama.23Basil tuberkulosis mempunyai

kemampuan secara spontan melakukan mutasi kromosom yang mengakibatkan basil tersebut resisten terhadap obat antimikroba. Mutasi yang terjadi adalah unlinked, oleh karenanya resistensi obat yang terjadi biasanya tidak berkenaan dengan obat yang tidak berhubungan. Munculnya resistensi obat menggambarkan peninggalan dari mutasi sebelumya, bukan perubahan yang disebabkan karena terpapar dengan pengobatan. Mutasi yang bersifat unlinked ini menjadi dasar utama dalam prinsip pengobatan tuberkulosis modern.17,24

Mutan basil yang resisten terhadap suatu obat timbul secara alamiah dan diseleksi oleh pengobatan yang tidak adekuat. Pengobatan yang tidak adekuat ini meliputi penggunaan satu macam obat saja (direct monotherapy) atau penggunaan terapi kombinasi tetapi strain kuman hanya sensitif

terhadap satu macam obat saja, sebagai hasilnya timbul resistensi sekunder terhadap satu obat. Mutasi yang baru pada populasi basil yang berkembang ini akhirnya dapat menimbulkan MDR apabila pengobatan yang tidak adekuat dilanjutkan. Penderita tuberkulosis dengan resistensi sekunder bisa menularkan kuman yang sudah resisten tersebut kepada orang lain yang kemudian disebut resistensi primer. Resistensi primer, sama seperti resistensi sekunder dapat ditularkan kepada orang lain sehingga terjadi penyebaran penyakit resisten obat pada masyarakat.25

Mutasi alam Mutan resisten

Koloni M. Tuberculosis

Seleksi strain resisten karena terapi inadekuat

T Transmisi droplet MDR sekunder multipel Infeksi HIV Kontrol infeksi inadekuat Terlambat diagnostik MDR primer ( multipel )

Lebih banyak MDR primer ( multipel)

2.3.3. Resistensi Terhadap INH

Isoniazid adalah derivat nikotinamid yang juga dikenal dengan isonikotinic acid hydrazide (INH) dengan rumus kimia 4-pyridinecarboxylic acid hidrazide. Target kerja isoniazid sebagai antituberkulosis sama dengan mekanisme terjadinya resistensi isoniazid. Sacchetiniand Blachard menunjukkan bahwa isoniazid bekerja menghambat enoyl-acyl carier protein reductase, yang diperlukan dalam biosintesa asam mikolat dinding sel kuman tuberkulosis. Isoniazid menghambat pembentukan dinding sel kuman dalam bentuk isoniazid aktif yaitu setelah mengalami oksidasi. Aktivasi isonizid memerlukan enzim catalase-periksidase (gen katG) dan hidrogen peroksida yang

dihasilkan kuman TB. KatG adalah satu-satunya enzim yang dapat

mengaktifkan isoniazid, dengan demikian mutasi gen katG strain kuman TB merupakan kuman yang resisten terhadap isoniazid. Demikian juga mutasi gen inhA yang diperlukan dalam pembentukan asam mikolat pada kuman TB akan menjadikan kuman resisten terhadap isoniazid.16,23,26,27,28

2.3.4. Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin menghambat proses transkripsi RNA kuman TB dengan

berikatan pada sub unit beta (RpoB) RNA polimerase dan mencegah

pembentukan RNA. Mutasi pada gen RpoB menyebabkan kuman TB resisten terhadap rifampisin. Resisten terhadap rifampisin dapat dianggap mewakili

MDR – TB sejak dijumpai paling banyak strain kuman TB yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid.12,23,26

2.3.5. Resistensi Terhadap Pirazinamid

Pirazinamid dengan struktur kimia yang sama dengan nikotinamid, sejak tahun 1952 telah diketahui sebagai obat antituberkulosis, tetapi menjadi komponen yang penting OAT jangka pendek baru pada pertengahan tahun 1980-an. Pirazinamid aktif menyerang semi dorman kuman TB yang mana efek tersebut tidak dimiliki oleh obat lain, disamping mempunyai daya kerja sinergis yang sangat kuat bersama isoniazid dan rifampisin sebagai kemoterapi dalam pengobatan TB, sehingga bisa mengurangi jangka waktu pengobatan dari 9 sampai 12 bulan menjadi 6 bulan. Pirazinamid sama seperti isoniazid juga menghambat sintesa dinding sel kuman TB, namun mekanisme kerjanya yang benar-benar pasti belum diketahui. Pirazinamid hanya efektif membunuh kuman TB apabila kuman tersebut menghasilkan nikotinamidase dan pirazinamidase, yaitu enzim yang diperlukan dalam mengubah pirazinamid menjadi asam pirazinoat. Scorpio dan Zhang

mengisolasi gen pncA mikobakteria, kode untuk enzim amidase,

menunjukkan mutasi gen pncA bertanggung jawab terhadap terjadinya

2.3.6. Resistensi Terhadap Etambutol

Etambutol dengan rumus kimia dextro-2,2’-(ethildimino)-di-1 onol adalah senyawa kimia sintetis yang mempunyai efek antimikroba. Sampai sekarang mekanisme kerja ethambutol serta dasar genetik resistensi belum diketahui secara jelas. Spesifik etambutol untuk spesies mikobakteria diindikasikan bahwa target yang dituju menyangkut pengrusakan dinding sel. Etambutol mencegah pembentukan dinding sel dengan menghambat

arabinosyltransferase yang menyangkut dalam biosintesa arabinogalactan

dan lipoarabinomannan. Resistensi terhadap etambutol ternyata

berhubungan dengan perubahan pada gen embCAB arabinosyltransferase,

dengan kode protein embA, embB dan embC. Protein ini berperan dalam produksi komponen dinding sel arabinogalactan dan lipoarabinomannan.

Alcaide dkk. menunjukkan bahwa mutasi pada embB sangat berhubungan dengan resistensi kuman TB terhadap etambutol.16,32,35

2.3.7. Resistensi Terhadap Streptomisin

Streptomisin merupakan obat antituberkulosis yang telah lama ditemukan dan dikenal sangat aktif membunuh kuman TB dengan mengganggu

pembacaan kode amicoacyl-tRNA, sehingga menghambat penterjemahan

mRNA. Salah satu yang umum sebagai tambahan mekanisme resistensi kuman terhadap streptomisin adalah asetilasi obat oleh enzim modifikasi

TB terhadap streptomisin dihubungkan dalam dua kelas mutasi yang berbeda, yaitu mutasi pada point S12 protein ribosom dengan kode gen rpsL

dan mutasi pada 16S rRNA dengan kode gen rrs. Mutasi pada rpsL dan rrs

dapat menyebabkan resistensi kuman TB terhadap streptomisin.32,33,35

2.4. PENYEBAB MDR – TB

Ada berbagai faktor yang berpengaruh dalam menyebabkan timbulnya MDR –TB yaitu :

a. Faktor genetik

Diperkirakan bahwa dijumpai fakta yang mengarahkan faktor genetik dari host merupakan predisposisi untuk terjadinya MDR – TB walaupun itu tidak terlalu meyakinkan. Penelitian yang terbaru di India dimana pasien dengan HLA-DRB1 13 dan –DRB1 14 mempunyai kemungkinan timbul MDR – TB dua kali lebih besar. Park dkk. menemukan bahwa ada hubungan erat antara penderita MDR – TB pada orang Korea dengan HLA-DRB1 08032- 0601 haplotipe. Peran dari faktor-faktor ini secara terperinci belum diketahui. 22

b. Faktor yang berhubungan dengan pemberian anti tuberkulosis sebelumnya1,3,8,17

1) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis yaitu pemberian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis akan

dalam sputum akan menurun tajam. Namun sebagian kecil mutan yang resisten akan terus berkembang biak. Setelah dua minggu sampai beberapa bulan kuman yang resisten ini akan tumbuh melebihi kuman yang sensitif sehingga kuman kembali muncul pada sputum penderita. Hal ini dikenal sebagai fenomena timbul dan tenggelam (fall and rise phenomen) akibat pemberian obat tunggal.

2) Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi

3) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya.

4) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan dengan baik, sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

5) Fenomena addition syndrome adalah penambahan obat dalam suatu paduan obat yang tidak berhasil. Bila ketidak berhasilan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten.

6) Penyediaan obat yang tidak teratur ke suatu daerah, kadang obat dikirim, kadang berhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

7) Pemakaian obat anti tuberkulosis yang cukup lama sehingga menimbulkan Kejemuan

8) Kurangnya pengetahuan pasien tentang penyakit tuberkulosis c. Faktor lain

Beberapa hal yang juga menjadi faktor risiko meningkatnya kasus MDR – TB adalah : infeksi HIV, sosio ekonomi yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah serta keadaan imunokompromais seperti penerima transplantasi, penderita yang mendapat terapi anti kanker dan penderita DM.18

2.5. HUBUNGAN DM DAN MDR – TB

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemi yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya. 34,35 Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan bila dijumpai kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl yang disertai gejala klasik diabetes berupa poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas atau kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar gula darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl.36 Keadaan hiperglikemi yang kronik pada diabetes mellitus dapat menyebabkan terjadinya komplikasi

pembuluh darah. Pasien diabetes tidak hanya rentan terhadap infeksi tetapi infeksi pada diabetes bisa lebih berat sebab diabetes merupakan pasien

immunocompromised. Diabetes mellitus dan TB paru sering berhubungan

dan telah banyak dibicarakan pada beberapa tahun yang lalu. TB paru sering didapati terutama pada penderita DM yang tidak terkontrol, yang lebih rentan terhadap TB paru dibandingkan dengan penderita non DM. Infeksi TB paru pada DM biasanya lebih sering disebabkan oleh reaktivasi fokus yang lama daripada melalui kontak langsung.34,35 Risiko relatif reaktivasi kuman tuberkulosis ini akan berkembang menjadi TB paru dengan bakteriologis positif dua sampai lima kali lebih tinggi.37,38 Penelitian secara autopsi pada tahun 1800-an mendapatkan bukti adanya tuberkulosis pada 38% sampai 50% pasien dengan diabetes mellitus . Pada tahun tahun 1932, Root telah mencatat bahwa tuberkulosis paru berkembang 10 kali lebih sering pada pasien dengan diabetes.39 Proporsi penderita TB paru aktif jauh lebih tinggi diantara penderita DM dibandingkan dengan non DM.34

DM merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya reaktivasi dari infeksi tuberkulosis. Pada keadaan reaktivasi, kuman tuberkulosis sangat besar kemungkinan untuk timbulnya MDR.35,37 Disamping itu keadaan gula darah yang tinggi mengganggu fungsi makrofag alveolus dan CD4+ sel sehingga penyakit tuberkulosis yang terjadi pada penderita DM lebih berat dan agresif serta kerusakan paru yang timbul lebih parah dan sering resistensi terhadap obat tuberkulosis. Penderita tuberkulosis dengan DM yang mendapat

pengobatan, keadaan gula darah yang tinggi mengganggu absorbsi obat di saluran cerna dan kadar obat yang sampai ke jaringan tidak adekuat sehingga menimbulkan resistensi obat anti tuberkulosis.9,40

2.6. DIAGNOSIS MDR –TB 2.6.1. Metode Konvensional

Secara tradisional, kultur dengan Lowenstein-Jensen(LJ) dilakukan untuk menentukan uji sensitivitas obat menggunakan : a. metode konsentrasi absolut; b. metode resistensi rasio; c. metode proporsi. Dengan menggunakan metode konvensional ini hasil uji sensitivitas akan didapat setelah 6-8 minggu.17

2.6.2. Metode Modern

Metode radiometrik dibuat untuk mendapatkan hasil uji sensitivitas

M.tuberculosis yang lebih cepat. Ada beberapa pemeriksaan yang telah

dilakukan dalam metode ini yaitu : pemeriksaan BACTEC-460, mycobacteria growth indicator tube (MGIT), restriction fragment length polymorphism

(RFLP), ligase chain reaction (LCR), FASTPlaque TB-RIF, polymerase chain reaction (PCR) dan line probe assay(LiPA) Dengan sistem BACTEC yang merupakan modifikasi dari metode proporsional (konvensional) hasil uji sensitivitas akan didapat dalam 10 hari. Pemeriksaan mycobacteria growth

memberikan hasil yang cepat, sebanding dengan pemeriksaan BACTEC. Pemeriksaan restriction fragment length polymorphism (RFLP) digunakan

untuk mengkategorikan kuman M.tuberculosis dan membandingkannya

sehingga memudahkan dalam penjelasan molekul epidemiologi TB. Pada tehnik ini DNA diperas dari kultur bakteri. Pemeriksaan RFLP juga digunakan untuk mengikuti penyebaran kuman yang resisten. Pemeriksaan ligase chain reaction (LCR) membutuhkan penggunaan enzim DNA ligase yang berfungsi menyambung dua rantai DNA membentuk rantai ganda. Teknik ini dapat mengidentifikasi sensitivitas kuman dalam 48 jam. Pemeriksaan FASTPlaque TB-RIF merupakan pemeriksaan yang cepat dalam menentukan resistensi kuman M.tuberculosis terhadap obat rifampisin.

Polymerase chain reaction (PCR) merupakan pemeriksaan yang sering

dilakukan untuk mengetahui mekanisme resistensi obat pada mikobakterIa. Sedangkan pemeriksaan line probe assay(LiPA) dilakukan untuk menentukan dengan cepat resistensi terhadap rifampisin.17

2.7. PENGENDALIAN MDR – TB

Tujuan utama pengendalian MDR – TB adalah mencegah perkembangan kasus ini. Hal ini dapat dilakukan dengan program Directly Observed Treatment Short Course (DOTS), yang merupakan cara paling murah untuk pencegahan dan pengobatan MDR – TB. Pada waktu yang sama ketika kasus MDR – TB kurang respon terhadap pengobatan dengan DOTS,

diperlukan alternatif lain untuk penanggulangannya. Karena pengadaan obat baru tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat maka yang harus dilakukan untuk keberhasilan pengobatan ini adalah penegakan diagnosis serta pengobatan yang cepat dan tepat. Disamping program penanggulangan tuberkulosis yang kuat diperlukan juga survei dari resistensi obat secara teratur dan berkelanjutan untuk mendapatkan informasi mengenai tipe obat yang digunakan untuk pengobatan dan juga memberikan informasi mengenai parameter evaluasi program pengobatan yang sedang berlangsung atau yang sudah lewat. Diperlukan perbaikan panduan program nasional berdasarkan tingkat resistensi, pelatihan orang yang ahli, memperkuat program penanggulangan TB nasional, pembatasan penggunaan rifampisin ( hanya untuk TB dan lepra ), jaminan ketersediaan obat secara nasional, pengawasan pengobatan dan edukasi. WHO pada tahun 1998 mengusulkan rencana kerja yang disebut dengan DOTS Plus dan untuk itu WHO membentuk komite Green Light. Tujuan utama dari komite ini adalah untuk menyetujui, melaksanakan dan mengawasi pilot project berdasarkan panduan yang ditetapkan pilot project DOTS Plus. Sedangkan DOTS Plus meliputi strategi penatalaksanaan pengendalian tuberkulosis dan MDR – TB.18,41

Infeksi yang disebabkan kuman MDR – TB sangat berbahaya sehingga perlu diberikan perhatian khusus untuk mengurangi risiko kontak dengan

mekanis dan chemoprophylaxis. Yang termasuk ke dalam aspek mekanis adalah ventilasi yang baik, penyinaran dengan UV, penggunaan masker, alat respirator dan filtrasi serta isolasi pasien. Aspek chemoprophylaxis adalah pengobatan penderita dengan pirazinamid dan ofloxacin/ciprofloxacin ataupun etambutol dan pirazinamid dengan ofloxacin/ciprofloxacin.18

Dokumen terkait