• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis dan Karakterisasi Magnetit Sintesis magnetit

Magnetit disintesis menggunakan metode hidrotermal, yaitu metode yang sudah dikenal baik untuk mensintesis nanomagnetit dengan temperatur tinggi (200ºC) dan tekanan autogenous (Ramimoghadam et al. 2014). Cheng et al. 2010 berhasil mensintesis nanomagnetit dengan metode hidrotermal menggunakan 4 bahan kimia yaitu FeCl3, natrium sitrat, poliakrilamida dan urea. Namun poliakrilamida merupakan bahan yang mahal, sehingga dilakukan sintesis nanomagnetit tanpa poliakrilamida yang telah berhasil dilakukan oleh Saprudin et al. 2013 menggunakan 3 bahan kimia yaitu FeCl3, natrium sitrat, dan urea. Pembentukan nanomagnetit dilakukan selama 12 jam pada suhu 2000C, karena nanomagnetit dapat terbentuk sempurna pada waktu 12 jam pemanasan (Saprudin

et al. 2013). Pembentukan magnetit menggunakan 3 bahan kimia ini diduga mekanismenya adalah sebagai berikut: FeCl3 digunakan sebagai sumber besi yang menyediakan Fe3+ seperti pada reaksi (1):

FeCl3 → Fe3+ + 3Cl- (1) Natrium sitrat digunakan sebagai pereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ (reaksi 2) diawali dengan mengionnya natrium sitrat menjadi ion sitrat. Kemudian, ion sitrat dan Fe3+ membentuk kompleks Fe(III)-sitrat. Adanya ion H+ dalam larutan mengakibatkan terjadinya reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sedangkan sitrat teroksidasi.

Fe3+ + e → a i i a , a Fe2+ (2)

Sedangkan urea sebagai pemberi suasana basa. Urea pada saat pemanasan akan terdekomposisi menjadi NH3 dan CO2 (reaksi 3) yang membuat suasana basa dalam sistem reaksi (reaksi 4). Suasana basa ini mengakibatkan terbentuknya Fe(OH)3 (reaksi 5) dan Fe(OH)2 (reaksi 6). Sehingga Fe(OH)3 dan Fe(OH)2 akan membentuk Fe3O4 dengan proses dehidrasi (reaksi 7).

CO(NH2)2 + H2O → 2NH3 + CO2 (3)

NH3 + H2O → NH4+ + OH- (4)

Fe3+ + 3OH-→ Fe(OH)3 (5)

Fe2+ + 2OH-→ Fe(OH)2 (6)

2Fe(OH)3 + Fe(OH)2→ Fe3O4 + 4H2O (7) Hasil sintesis yang diperoleh merupakan serbuk berwarna hitam yang tertarik oleh magnet (Lampiran 2). Filtrat dari hasil sintesis diperoleh berwarna kuning jernih yang merupakan indikasi keberhasilan terbentuknya magnetit (Liang

et al. 2011). Untuk mengetahui Fe-terendapkan, di ukur kadar Fe pada filtrat hasil sintesis menggunakan AAS. Hasil diperoleh bahwa kadar Fe yang terendapkan hanya sekitar 0.01% yang menunjukkan bahwa 99.99% Fe telah terkonversi menjadi produk.

Karakterisasi magnetit

Serbuk hitam hasil sintesis dicirikan menggunakan XRD untuk melihat derajat kristalinitas, ukuran kristal, bentuk kristal, dan pembuktian hasil sintesis dengan magnetit standar JCPDS. Dari hasil pencirian, diperoleh derajat kristalinitas hasil sintesis yaitu 76.2% dan ukuran kristal rata-rata adalah 38.21 nm yang ditentukan dari setengah lebar garis difraksi menggunakan persamaan Scherrer (perhitungan ukuran kristal pada Lampiran 5).

Gambar 10 Difraktogram serbuk hasil sintesis dan standar magnetit (JCPDS) No. 19-0629

0 50 100 150 200 250 300 10 20 30 40 50 60 70 80 In ten si ta s (cp s) 2θ(º) Magnetite nanosphere synthesized JCPDS 19-0629

Gambar 10 menunjukkan puncak difraksi yang sesuai dengan standar magnetit pada JCPDS No: 19-0629, hal ini menunjukkan serbuk hasil sintesis adalah magnetit. Dari perbandingan sudut difraksi antara standar magnetit dengan serbuk hasil sintesis menunjukkan kemiripan puncak difraksi yang timbul, terutama puncak tertinggi sebagai ciri khas magnetit yaitu pada 2θμ 35.519 (pada hasil sintesis) yang mendekati standar magnetit yang timbul pada 2θμ 35.422 (JCPDS 19-0629). Hal ini menunjukkan bahwa serbuk hasil sintesis benar merupakan nanomagnetit.

Tabel 1 Pola nilai hkl magnetit

hkl h2 + k2 + l2 18.3800 111 3 35.5190 311 11 43.0890 400 16 53.6240 422 24 57.0330 511 27 62.9610 440 32

Berdasarkan pola hkl pada Tabel 1 menunjukkan bahwa bentuk kristal magnetit hasil sintesis tersebut adalah kubus berpusat muka dengan menyesuaikan pada Tabel 2 dan penentuan pola hkl ini ditunjukkan pada Lampiran 4.

Tabel 2 Penentuan struktur kristal (Klug, H.P dan Alexander, L.E. 1974)

Struktur Kristal h2 + k2 + l2

Simple Cubic (SC) 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,....

Body Centered Cubic (BCC) 2,4,6,8,10,12,14,16,....

Face Centered Cubic (FCC) 3,4,8,11,12,16,19,20,24,27,....

Gambar 11 menunjukkan pencirian SEM untuk magnetit hasil sintesis berbentuk seperti bola yang berkumpul membentuk bulatan (spherical) yang menandakan adanya efek magnetisasi (Cheng et al. 2010). Gaya magnet yang terdapat dalam magnetit menyebabkan partikel-partikel magnetit tersebut saling tarik menarik membentuk bulatan (Zhao dan Asuha 2010). Gambar 11 (a) pada perbesaran 1.000× terlihat spherical magnetit yang seragam. Sedangkan pada Gambar 11 (b) menunjukkan salah satu ukuran kumpulan spherical magnetit yang terlihat dengan perbesaran 12.500×. Diameter partikel spherical magnetit berukuran 121.5 nm. Pencirian SEM sesuai dengan laporan Cheng et al. (2010) bahwa diperoleh nanomagnetit yang berbentuk bulat. Liang et al. (2011) melaporkan berbagai bentuk pencirian SEM nanomagnetit yaitu: berbentuk memanjang seperti batang, bulat dan terbentuk aglomerasi butiran, serta bulat dengan ukuran partikel yang seragam.

Pada penelitian ini dengan tidak adanya poliakrilamida dapat menghasilkan nanomagnetit yang berbentuk bulat dan seragam, namun masih terdapat agregasi antar sperical. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak adanya surfaktan seperti poliakrilamida yang dapat bersifat sebagai stabilizer ukuran nano, sehingga jika disimpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan antar partikel atau kumpulan partikel beragregasi membentuk ukuran yang lebih besar. Berdasarkan Setyoningsih et al. 2010 yang menggunakan asam oleat sebagai stabilizer ukuran, menunjukkan bahwa penambahan asam oleat pada sintesis nanokristal magnetit

mampu menurunkan ukuran kristal magnetit. Penambahan asam oleat dalam suasana basa akan menghasilkan suatu surfaktan natrium oleat yang akan melapisi partikel-partikel magnetit. Ukuran kristal yang dilaporkan oleh Setyoningsih et al.

2010 lebih kecil dibandingkan pada penelitian ini yaitu sekittar 36.93 nm, sedangkan ukuran kristal yang lebih besar juga dilaporkan oleh Fauziah et al. 2012 yaitu 46.66 nm. Penggunaan teknik hidrotermal pada sintesis magnetit akan menghasilkan tekanan di atas 1 atm sehingga mampu menghasilkan ukuran kristal yang lebih kecil (Setyoningsih et al. 2012).

(a) (b)

Gambar 11 Pencirian SEM serbuk magnetit hasil sintesis a). Perbesaran 3.000×; b) perbesaran 12.500×

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dengan melihat bentuk dan warna serbuk serta filtrat hasil sintesis, analisis AAS, analisis XRD dan SEM menunjukkan bahwa sintesis nanosphere magnetit berhasil dilakukan.

Karakterisasi Elektrode

Elektrode dibuat 3 jenis, yaitu elektrode tanpa pemodifikasi (EPK), elektrode dengan pemodifikasi Q0 (EPKQ) dan elektrode dengan pemodifikasi nanomagnetit (EPKM). Untuk menguji elektrode tersebut baik untuk pengukuran, maka dilakukan karakterisasi dengan larutan elektrolit KCl dan K3[Fe(CN)6]. Pada KCl diharapkan tidak menimbulkan puncak, dan pada K3[Fe(CN)6] diharapkan dapat melihat puncak oksidasi dan reduksinya. Gambar 12 menunjukkan elektrode yang dibuat dapat mendeteksi arus yang ditimbulkan dari larutan elektrolit KCl yang tidak menimbulkan puncak dan dari larutan elektrolit K3[Fe(CN6)] yang menimbulkan puncak pada daerah sekitar 0.5 Volt yang menunjukkan elektrode yang dibuat berfungsi dengan baik.

Dapat dilihat dari Tabel 3 bahwa K3[Fe(CN)6] mengalami oksidasi lebih awal (pada potensial lebih rendah) pada EPKM dibandingkan pada EPKQ dan EPK, yang menunjukkan bahwa dengan adanya nanosphere magnetit dapat mempercepat laju reaksi redoks dari elektrolit K3[Fe(CN)6]. Selain itu EPKM juga memiliki ∆Ep yang paling kecil (Tabel 3) dibandingkan dua elektrode lainnya (EPKQ dan EPK). Menurut Scholz (2010), berdasarkan persamaan energi bebas Gibbs, jika beda potensial antara puncak oksidasi dan reduksi lebih kecil sama dengan 54 mV, maka

reaksi redoks tersebut termasuk reaksi reversibel. Ketiga elektrode tersebut tidak bersifat reversibel, karena beda potensial yang dihasilkan melebihi 54 mV, namun semakin kecil beda potensial yang dihasilkan maka semakin mendekati reversibel dan EPKM nerupakan elektrode terbaik dibandingkan dua elektrode lainnya.

Tabel 3 Nilai perubahan potensial anodik dan katodik K3[Fe(CN6)] pada 3 jenis elektrode

Potensial Jenis Elektrode

EPK EPKQ EPKM

Epa (Volt) 0.606 0.568 0.500 Epc (Volt) 0.290 0.346 0.320 ∆E (Volt) 0.316 0.222 0.180 Ipa (µA) 107.34 225.85 313 Ipa (µA) 86.39 188.76 320 Ipa/Ipc(µA) 1.242 1.196 0.978

EPKM juga dapat mendeteksi puncak rata-rata oksidasi dan reduksi K3[Fe(CN)6] 1.52 and 3.27 lebih tinggi daripada EPKQ dan EPK, berturut-turut dengan nilai Ipa/Ipc pada EPKM lebih mendekati 1 dibandingkan EPKQ dan EPK. Elektrode terbaik adalah yang memiliki nilai Ipa/Ipc mendekati 1. Dari Tabel 3 dapat dilihat pada EPK dan EPK nilai puncak anodik lebih tinggi dari puncak katodik, hal ini disebabkan karena adanya lapisan pada permukaan elektrode yang menghalangi transfer elektron. Namun dapat dilihat pada EPKM puncak katodik hampir sama tingginya dengan puncak anodik, hal ini membuktikan bahwa adanya magnetit dapat semakin memediasi reaksi redoks sehingga dapat meningkatkan puncak katodik. Hal ini menunjukkan nanosphere magnetit dapat meningkatkan laju transfer elektron pada K3[Fe(CN)6], yang membuktikan bahwa nanosphere magnetit hasil sintesis bersifat elektrokatalitik. Proses elektrokatalitik dapat ditingkatkan dengan memperkecil ukuran partikel katalis. Sehingga penggunaan nanosphere magnetit diharapkan dapat meningkatkan sensitivitas dari elektrode.

(a) (b)

(c)

Gambar 12 Voltamogram siklik antara arus dan potensial pada (a) EPK, (b) EPKQ, (c) EPKM

10% dalam larutan elektrolit KCl (hitam) dan K3[Fe(CN)6] (merah)

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 -80 -60 -40 -20 0 20 40 C u rre n t ( A)

Potential Vs Ag/AgCl (Volt) KCl K3[Fe(CN)6] -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 C u rre n t ( A) V vs Ag/AgCl (Volt) KCl K3[Fe(CN)6] -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -300 -200 -100 0 100 200 C u rre n t ( A) V vs Ag/AgCl (Volt) KCl K 3[Fe(CN) 6]

Immobilisasi enzim

Enzim xantina oksidase diimmobilisasi ke permukaan elektrode dengan media immobiisasi adalah BSA (Bovine serum abumine) dan Glutaradehida dengan ikatan cross linking. Keberhasilan immobilisasi ditandai dengan terdeteksinya arus yang ditimbulkan dari proses antara xantina sebagai analit dengan enzim xantin oksidase yang terimmobilisasi pada permukaan elektrode yang menunjukkan timbulnya puncak pada daerah sekitar 0.5-0.6 volt (Gambar 13). Adapun skema dugaan reaksi kimia yang terjadi saat immobilisasi enzim pada elektrode kerja ditunjukkan pada (Gambar 14).

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 13 Voltamogram siklik pengukuran xantina dengan immobilisasi xantina oksidase a,b,c,d, dan e berturut-turut untuk EPK, EPKM 5%, EPKM 10%, EPKM 15%, dan EPKQ.

Dari Gambar 13 terlihat bahwa kelima elektrode dapat mendeteksi arus oksidasi yang ditimbulkan dari transfer elektron pada reaksi dalam larutan analit (setelah ditambahkan xantina) yang dapat dibandingkan dengan arus blanko/buffer (sebelum ditambahkan xantina) seperti pada Gambar 13. Hal ini menunjukkan bahwa immobilisasi enzim secara cross linking dengan BSA dan GA berhasil dilakukan. Namun arus reduksi tidak dapat terukur (sangat kecil), hal ini dapat disebabkan karena tidak adanya mediator yang cocok pada pengujian elektrokimia yang akan membantu proses reduksi. Sehingga diharapkan untuk penelitian

-0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 I ( A) E (Volt) Blanko (Buffer) Xantina 1mM

Voltamogram siklik EPKEPK

-0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 25 Potensial (Volt) Blanko (Buffer) Xantina 1mM Voltamogram pengukuran EPKM5%

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 E (Volt) -1 -1 I ( A) EPKM 5% -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 I ( A) E (Volt) Blanko (Buffer) Xantina 1mM Voltamogram siklik EPKM 10%

EPKM 10% -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -15 -10 -5 0 5 10 15 Aru s ( Potensial (Volt) Blanko (Buffer) Xantina 1mM

Voltamogram pengukuran EPKM 15%

EPKM 15% -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 I ( E (Volt) Blanko (Buffer) Xantina 1 mM Cyclic Voltamogram of QCPE EPKQ

lanjutan menggunakan mediator yang cocok agar arus reduksinya juga dapat dideteksi, beberapa mediatot yang sering digunakan adalah ferrosena dan K3[Fe(CN)6].

Gambar 14 Dugaan skematis dari reaksi kimia yang terlibat dalam fabrikasi elektrode

EPK-nFe3O4-BSA-GA-XO

Dapat dilihat dari Gambar 14 bahwa diduga pasta karbon akan berikatan kovalen dengan nanomagnetit membentuk EPK/nano-Fe3O4 (Thandavan et al.

2013), matriks immobilisasi enzim xantina oksiadse yang digunakan adalah BSA (Bovine serum albumin) dan GA (glutaraldehida), Secara cross-linking BSA akan berikatan dengan GA, GA juga berperan sebagai agen penjebak untuk enzim xantina oksidase, sehingga BSA akan berikatan dengan nanomagnetit membentuk EPKM-BSA-GA-XO. Menurut Pundir dan Devi (2014) metode cross linking (gabungan antara ikatan kovalen dan penjebakan) adalah metode terbaik dalam mengimmobilisasikan enzim XO dibandingkan metode lainnya. Sebagian besar digunakan untuk menstabilkan penyerapan XO dan mencegah kebocorannya. Metode ini juga memberikan immobilisasi yang sangat kuat dengan enzim.

Penentuan Kondisi Optimum XO

Untuk menentukan kondisi optimum dari elektrode kerja, dilakukan optimasi elektrode secara kualitatif menggunakan Respons Surface Method (RSM) dengan metode Central Composite Design (CCD) yang terdapat pada perangkat lunak statistik Minitab.v.16 English. Pada metode RSM, kondisi optimum yang diperoleh adalah memperhatikan hubungan masing-masing parameter terhadap respon dan hubungan antar-parameter terhadap respons. Berbeda dengan optimasi secara konvensional yang kondisi optimum untuk masing-masing parameternya ditentukan secara terpisah tanpa memperhatikan hubungan antar parameter dalam waktu yang sama. Parameter yang digunakan adalah suhu (10-300C), pH (6-9), konsentrasi xantina (0.1-1.0 mM) dan konsentrasi magnetit (5-15%). Kombinasi

faktor-faktor peubah bebas dari keempat variabel tersebut dapat dilihat pada (Lampiran 6). Pengukuran dilakukan pada rentang -500 hingga 1500 mV dengan laju sebesar 100 mV/s. Kontur hubungan antar variabel terhadap arus oksidasi yang dihasilkan ditampilkan pada Gambar 15.

Gambar 15 Kontur hubungan 4 parameter: pH, konsentrasi xantina, konsentrasi magnetite, dan suhu pada optimasi aktivitas xantina oksidase

Kontur menunjukkan perubahan arus puncak oksidasi yang tertinggi pada daerah dengan warna hijau gelap. Dari kontur ini dicari variabel yang paling berpengaruh terhadap arus. Dari P value pada output minitab, diperoleh faktor yang berpengaruh adalah pH dengan P<0.05 (0.018) dan hubungan pH dengan [magnetit] (P= 0.038). Dari kontur yang dihasilkan (a-f) diketahui bahwa arus yang paling tinggi dihasilkan pada kontur b dan d (>9 µA). Dari kontur a dan d dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi xantina, maka semakin tinggi pula arus yang dihasilkan, selain itu kedua kontur ditinjau dari pH sekitar 7.5, dan konsentrasi magnetit sekitar 10%. untuk menentukan optimasinya, diperlukan data optimizer yang diperoleh dari output Minitab (Lampiran 6). Dengan menggunakan optimizer, output minitab menunjukkan kondisi optimim yang menghasilkan aktivitas enzim terbaik adalah pada pH 7, konsentrasi magnetit 10%, konsentrasi xantina 1mM dan pada suhu 20ºC. Kondisi optimum ini digunakan untuk kondisi pengukuran analit selanjutnya. Kondisi suhu optimum yang sama juga dilaporkan oleh Iswantini and Darusman (2003)namun berbeda dengan pH dan konsentrasi xantina optimum berturut-turut yaitu 7.5 dan 0.7mM. Konsentrasi xantina yang sama juga dilaporkan oleh Iswantini

et al. (2014) dengan nilai pH dan suhu yang berbeda yaitu 7.5 dan 30ºC. Cengiz et al. (2012) melaporkan kondisi optimum aktivitas xantina oksidase yang berbeda yaitu pada pH 9 dan suhu 37ºC. Perbedaan kondisi optimum aktivitas xantina oksidase ini dapat terjadi karena perbedaan waktu pengukuran, alat, kondisi lingkungan, dan metode yang digunakan.

Gambar 16 Voltamogram siklik pengukuran xantina pada kondisi optimum untuk perbandingan arus yang dihasilkan pada a). EPKM 5% (hitam), EPKM 10% (merah), EPKM 15% (hijau); b).

EPK (hitam), EPKQ (merah) dan EPKM 10% (hijau)

Dari Gambar 16 (a) dapat dilihat perbandingan arus puncak oksidasi yang dihasilkan dari 3 jenis elektrode termodifikasi magnetit dengan konsentrasi bervariasi yaitu 5%, 10% dan 15%. Diperoleh Arus yang terdeteksi oleh EPKM 10% > EPKM 15% > EPKM 5%. Sehingga elektrode pasta karbon termodifikasi magnetit yang digunakan untuk pengukuran selanjutnya adalah EPKM 10%, hal ini sesuai dengan hasil optimizer dari RSM. Kemudian EPKM 10% terpilih dibandingkan dengan elektrode termodifikasi Q0 (EPKQ) dan elektrode tanpa pemodifikasi (Gambar 16 b). Elektrode yang menghasilkan arus oksidasi paling tinggi adalah elektrode pasta karbon yang dipemodifikasi Nanosphere magnetit diikuti oleh elektrode pasta karbon dengan pemodifikasi Q0 dan yang terakhir adalah elektrode

pasta karbon yang tidak dipemodifikasi. Dari hal ini dapat diketahui bahwa magnetit dapat meningkatkan arus oksidasi xantina menjadi asam urat dan dibandingkan dengan Q0 sebagai pemodifikasi yang sering digunakan untuk biosensor asam urat (Iswantini

et al. 2014).

Adapun reaksi yang terjadi pada elektrode tersebut hingga dihasilkan puncak oksidasi adalah seperti persamaan reaksi di bawah ini berdasarkan Devi et al. (2013):

Xantina + O2 + H2O → Asam Urat + H2O2

H2O2

�� ����

→ 2H+ + O2 + 2e-

2e-→ Elektrode Kerja

Berdasarkan prinsip dasar biosensor xantina menurut Devi et al. (2013), xantina akan teroksidasi menjadi asam urat dan peroksida, kemudian dengan diberikan potensial maka peroksida tersebut teroksidasi menghasilkan elektron dan elektron inilah yang dikonversi menjadi sinyal yang dapat terbaca sebagai puncak pada voltamogram hasil pengukuran. Pada penelitian ini peran Fe3O4 (nanosphere magnetit) adalah mempercepat (katalisis) proses transfer elektron yang dihasilkan dari oksidasi H2O2 dengan adanya potensial menuju elektrode kerja hingga munculnya puncak.

Kinerja Elektrode

Kinerja analitik seperti sensitivitas, linearitas dan limit deteksi ditentukan untuk EPK, EPKQ dan EPKM 10%. Rentang konsentrasi xantina yang dipakai adalah 1µM hingga 1mM. Diperoleh LOD (limit deteksi) untuk EPK, EPKQ, dan EPKM 10% berturut-turut adalah 0.025 mM, 0.010 mM dan 0.005 mM. EPKM 10% menghasilkan limit deteksi terbaik diantara dua lainnya. Adapun penelitian yang melaporkan limit deteksi yang lebih besar dari EPKM 10% yaitu 0.2 mM (Villalonga et al. 2007). Sedangkan limit deteksi yang lebih kecil untuk biosensor xantina yaitu 0.1 M (Devi

et al. 2013; Gao et al. 2009) dan 0.75 µM (Torres et al. 2013).

Gambar 17 Voltamogram siklik dari Linearitas arus yang dihasilkan dengan variasi konsentrasi xantina dari 0.01-1.00 mM -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 25 C u rre n t ( A)

Potential vs Ag/AgCl (Volt)

0,01 mM 1 mM -1 -1 I ( A) 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 E (Volt)

Dari Gambar 17 dapat dilihat voltamogram siklik dari EPKM 10% yang menunjukkan linearitasnya dari konsentrasi substrat xantina oksidase 0.01 mM hingga 1 mM, yang menunjukkan semakin besar konsentrasi xantina maka semakin tinggi juga arus yang dihasilkan. Perubahan arus yang diperoleh dapat diasumsikan sebagai aktivitas xantina oksidase dan kemudian di plotkan pada grafik hubungan antara aktivitas xantina oksidase dengan konsentrasi substrat, baik pada EPK, EPKQ maupun EPKM yang dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Persamaan regresi dan linearitas hubungan konsentrasi substrat dengan aktivitas xantin oksidase

Grafik menunjukkan perbedaan arus yang dihasilkan dari pengukuran xantina menggunakan EPK, EPKQ, dan EPKM 10%. Dari Gambar 18 dapat diketahui sensitivitas dan linearitasnya. Linearitas dilihat dari nilai regresi linearnya (R2). R2 EPKM 10% > EPKQ > EPK dengan nilainya berturut-turut (0.01-1mM) dengan R2=99.24%; (0.1-1mM) dengan R2=97.77%; (0.1-1.0mM) dengan R2=94.15%. Pada dasarnya ketiga elektrode berada pada daerah yang linier, namun EPKM 10% merupakan elektrode terbaik dilihat dari ketiga kinerja elektrode yang diamati. Linearitas EPKM 10% dapat dilihat pada voltamogram di Gambar (17). Hasil yang diperoleh untuk elektrode pasta karbon termodifikasi nanosphere magnetit lebih baik dibandingakan linearitas yang dilaporkan Iswantini et al. (2014) pada rentang yang sama yaitu 0.01-1.00mM dengan R2 yang lebih kecil (0.978). Penelitian lain yang melaporkan rentang linearitas yang lebih sempit adalah 0.0015-0.07mM(Dodevska et al. 2010) dan 0.1-300 µM (Devi et al. 2013).

Sensitivitas dapat dilihat dari persamaan garis yang diperoleh, EPKM adalah elektrode yang memiliki sensitivitas terbesar dibandingkan dengan kedua elektrode lainnya yaitu sebesar 5.16 µA mM-1, 1.3× lebih tinggi dibandingkan EPKQ (3.99 µA mM-1) dan 4× lebih tinggi dibandingkan EPK (1.29 µA mM-1).

Hasil ini berkorelasi dengan hasil karakterisasi elektrode menggunakan K3[Fe(CN)6] yang menunjukkan magnetit dapat mempercepat transfer elektron sehingga dapat meningkatkan arus puncak oksidasi K3[Fe(CN)6] dan lebih cepat teroksidasi dibandingkan dua elektrode lainnya (EPKQ dan EPK). Penelitian lain yang melaporkannilai sensitivitas yang lebih kecil di antaranya adalah sebesar 0.95 A mM-1 (Iswantini et al. 2014). Adapun nilai sensitivitas yang lebih besar di antaranya dilaporkan oleh Zhao et al. (2009)sebesar 2λ.5 A mM-1.

y = 1,2946x - 0,0321 R² = 0,9415 y = 3,9904x + 0,0049 R² = 0,9777 y = 5,1611x + 0,5139 R² = 0,9924 0 1 2 3 4 5 6 0,000,050,100,150,200,250,300,350,400,450,500,550,600,650,700,750,800,850,900,951,00 EPK EPKQ EPKM [Xantina] (mM) I (µ A)

Ekstraksi dan Daya inhibisi (IC50) dari ekstrak air S.polyanthum

Ekstraksi Syzygium polyanthum (daun salam) dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut air. Pemilihan pelarut ini berdasarkan hasil penelitian pendahuluan antara dua pelarut yaitu etanol dan air. Sebagai hasil, ekstrak air S. polyanthum lebih berpotensi dalam menginhibisi aktivitas xantina oksidase dibandingkan ekstrak etanol (Gambar 19). Rendemen ekstrak air S. polyanthum

diperoleh sebesar 6.62% dengan kadar air sebesar 7.44% (perhitungan pada lampiran 7). Analisis daya inhibisi terhadap xantina oksidase oleh ekstrak air S. polyanthum dilakukan dengan konsentrasi ekstrak yang bervariasi. Tujuan divariasikannya konsentrasi ekstrak ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi ekstrak terhadap peningkatan inhibisi xantina oksidase. Dengan divariasikannya konsentrasi ekstrak maka akan diperoleh nilai IC50 dari ektrak sebagai pemilihan konsentrasi untuk penetuan kinetika inhibisi enzim selanjutnya. Hubungan konsentrasi ekstrak air daun salam dengan daya inhibisinya terhadap xantina oksidase ditunjukkan pada Tabel 4 dan konsentrasi allupurinol pada Tabel 5.

Tabel 4 Daya inhibisi ekstrak S. polyanthumterhadap xantina oksidase secara elektrokimia

No [Ekstrak] (ppm)

Aktivitas Enzim

(ΔIpa) (µA) % Inhibisi

1 0 12.670 0.000 2 5 9.533 24.756 3 10 9.033 28.703 4 20 8.610 32.044 5 50 7.376 41.778 6 100 6.113 51.749 7 200 4.053 68.008

Tabel 4 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak

S. polyanthum maka bertambah pula inhibisi terhadap enzim xantina oksidase. Hal ini juga ditunjukkan dengan berkurangnya arus yang terdeteksi oleh elektrode pasta karbon termodifikasi magnetit yang dianalogikan sebagai aktivitas enzim xantina oksidase setelah penambahan ekstrak S. polyanthum berbagai konsentrasi.

Dari Grafik (Gambar 19) diperoleh persamaan logaritmik antara % inhibisi dengan konsentrasi ekstrak S. polyanthum. Dari persamaan tersebut dapat diketahui nilai IC50 (Konsentrasi terendah yang dapat menghambat 50% aktivitas enzim Xantina Oksidase). Diperoleh IC50 untuk ekstrak etanol S. polyanthum

adalah 238,07 ppm sedangkan IC50 untuk ekstrak air S. polyanthum adalah 69,47 ppm. Semakin kecil nilai IC50, maka ekstrak tersebut semakin berpotensi untuk menghambat aktivitas Xantina Oksidase. Ekstrak air S. polyanthum memiliki IC50

lebih kecil dibandingkan ekstrak etanol S. polyanthum, sehingga untuk pengujian selanjutnya digunakan ekstrak air S. polyanthum. Menurut Thuong et al. (2006) suatu senyawa dikatakan aktif apabila memiliki nilai IC50 kurang dari 100 ppm. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak air S. polyanthum aktif sebagai inhibitor XO.

Gambar 19 Hubungan antara % inhibisi dengan ekstrak S. polyanthum menggunakan pelarut a). Etanol; b). Air

Sebagai perbandingan ekstrak air daun salam juga diuji penghambatannya terhadap enzim xantina oksidase secara spektrofotometri (Lampiran 8). Diperoleh nilai IC50 sebesar 99.566 ppm dengan persamaan garis yaitu y = 11,751ln(x) – 4,0643. Sedangkan secara elektrokimia persamaan garis yang diperoleh adalah y = 11,217ln(x) + 2,4297. Hal ini menunjukkan pengukuran secara elektrokimia memiliki sensitivitas yang lebih baik dari metode spektrofotometri, dan menghasilkan nilai IC50 ekstrak air S. polyanthum lebih kecil dibandingakan secara spektrofotometri. Ditinjau dari penggunaan enzim xantina oksidase, metode elektrokimia jauh lebih sedikit menggunakan enzim xantina oksidase, sehingga metode elektrokimia ini lebih ekonomis dibandingkan metode spektrofotometri.

Untuk kontrol positif, digunakan allupurinol yang merupakan obat komersial asam urat dengan cara kerja menghambat enzim xantina oksidase. Pengaruh penambahan konsentrasi allupurinol terhadap xantina oksiadse ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Daya inhibisi allupurinol terhadap xantina oksidase

No [Allupurinol] (ppm) Aktivitas Enzim (ΔIpa) (µA) % Inhibisi

1 0.0 12.670 0.000 2 0.1 11.373 10.234 3 0.5 9.810 22.573 4 1.0 8.246 34.912 5 2.0 6.997 44.778 6 4.0 3.987 68.535 7 6.0 2.597 68.008

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh regresi untuk inhibisi allupurinol adalah y = 14,97ln(x) +38,95. Berdasarkan persamaan ini diperoleh IC50 allupurinol sebesar 2.092 ppm (Gambar 20). Penelitian lainnya tentang daya inhibisi allopurinol menunjukkan IC50 allopurinol yang bervariasi di antaranya sebesar 6.10 ppm (Umamaheswari et al. 2009; Apaya dan Cristine 2011), 3.74 ppm (Azmi et al.

y = 7,2655ln(x) + 10,239 R² = 0,983 y = 11,217ln(x) + 2,4297 R² = 0,9268 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 % I n h ib is i

Konsentrasi Ekstrak S. polyanthum (ppm)

ekstrak etanol ekstrak air

2012), 4.29 ppm (Septianingsih et al. 2012), dan 2.45 (Iswantini et al. 2014). Hal ini menunjukkan bahwa metode elektrokimia yang dilakukan pada penelitian ini memberikan nilai IC50 yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode spektrofotometri yang dilaporkan oleh Apaya et al. (2009), Azmi et al. (2012), Umamaheswari et al. 2009, Septianingsih et al. (2012), dan (Iswantini et al. 2014). Sedangkan pengujian IC50 Allupurinol secara spektrofotometri pada penelitian ini adalah sebesar 3.119 ppm (Gambar 21)

Gambar 20 Grafik hubungan antara konsentrasi Allupurinol terhadap % inhibisi enzim xantina oksidase secara elektrokimia.

Gambar 21 Grafik hubungan antara konsentrasi Allupurinol terhadap % inhibisi enzim xantina oksidase secara spektrofotometri.

Namun demikian penelitian lainnya juga melaporkan nilai IC50

allopurinol yang relatif lebih kecil sebesar 0.60 ppm (Wang et al. 2008). Perbedaan nilai IC50 dapat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi pengujian (McPherson et al.

2007; Sarawek 2007). y = 14,97ln(x) + 38,95 R² = 0,907 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 % I n h ib is i [Allupurinol] (ppm) y = 16,943ln(x) + 30,727 R² = 0,9532 0 10 20 30 40 50 60 70 0 1 2 3 4 5 6 7 % I n h ib iti o n [Allupurinol] (ppm)

Kinetika Inhibisi XO oleh Syzygium polyanthum (Daun Salam)

Konsentrasi ekstrak yang dipilih dalam uji kinetika inhibisi adalah 100 ppm. Pemilihan ini berdasarkan pada kemampuan daya inhibisinya yang besar (> 50%), dan konsentrasi ini juga merupakan konsentrasi terdekat dari nilai IC50

ekstrak air S. polyanthum yang telah diperoleh sebelumnya. Analisis kinetika inhibisi dari ekstrak ditentukan dengan metode Lineweaver-Burk dan Eadie-Hofstee. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 9), nilai koefisien determinasi (R2)

Dokumen terkait