• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.

Tinjauan tentang Negara Hukum, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia

2.

Tinjauan tentang Perlindungan Hukum dalam Kesehatan dan Keselamatan Kerja

3.

Tinjauan tentang Tanggung Gugat terhadap Wewenang Negara

B.

Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran akan dituangkan dalam bentuk bagan yang berfungsi untuk menunjukkan alur berpikir yang digunakan penulis dalam penelitian ini.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan dan menyajikan hasil penelitian dan pembahasan secara komprehensif berdasarkan 2 rumusan

permasalahan berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk Negara memenuhi Hak Insentif bagi dokter dan tenaga kesehatan selama masa pandemi Covid-19

2. Bagaimana tanggung gugat yang dapat dilakukan terhadap tanggung jawab negara dalam memenuhi hak perlindungi Kesehatan dan keselamatan kerja?

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini penulis akan menarik simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya serta penulis juga akan memberikan saran terkait dengan permasalahan yang

diangkat dalam penelitian. Adapun sistematika pada bab penutup yaitu:

a.

Simpulan

b.

Saran

9

10

BAB II

Tinjauan Pustaka A. Kerangka Teori

a.

Tinjauan tentang Negara Hukum

Sebuah pemikiran terkait negara hukum sudah berkembang dari tradisi yunani kuno(Jimly Ashiddiqie, 1994: 11) para filsuf yunani pada masa sekitar abad V sebelum Masehi, telah menggagas cita-cita negara hukum yang ideal, di mana pada waktu itu lebih dikenal sebagai negara polis(Dahlan Thaib, 2000). Sosok-sosok seperti Plato(429-347 SM), Aristoteles(384 SM) dan beberapa filsuf lainnya berupaya agar dapat merumuskan sebuah negara ideal bagi manusia. Seiring berjalannya waktu perumusan negara hukum ini terus berlanjur dengan beberapa nama-nama baru yang diantaranya Thomas Hobbes(1588- 1679), John Locke(1632), Montesquieu (1689), dan J.J. Rousseau (1712). Akan tetapi istilah negara polis mulai berganti menjadi istilah baru, pembahasan terkait negara hukum sering diidentikkan dengan istilah rechtsstaat, sedangkan Rule of law sering digunakan oleh penganut paham Anglo Saxon.

Aristoteles melalui karyanya Politica buku IV (baru ditemukan tahun 1891) menerangkan keharusan suatu negara dengan konstitusi dan kedaulatan hukum(recht souvereniteit). Berkaitan dengan itu seperti yang dikutip oleh Azhari, Aristoteles mengatakan:

“Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyrakat, konstitusi merupakan aturan-aturan, dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut” (Azhari, 1995: 12)

Negara hukum secara umum memiliki arti bahwa kekuasaan negara dibatasi oleh hukum yang berlaku, Segala sikap pemerintahan atau aparatur negara maupun warga negara harus sesuai dengan hukum. Sudargo Gautama berpendapat, ada tiga ciri atau unsur-unsur Negara Hukum, yakni:

a.

Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, maksudnya adalah negara tidak dapat bertindak sewenang- wenang, tindakan negara dibatasi oleh hukum, individu mempunyai hak terdapat negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.

b.

Asas Legalitas yang berarti bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparatnya

11 c.

Pemisahan Kekuasaan(Abdul Aziz Hakim, 2011: 117-118)

Pendapat berikut didasarkan pendapat oleh F.J. Stahl yang mengemukakan bahwa elemen dari negara hukum antara lain: (1) adanya jaminan; 2) adanya pembagian kekuasaan Pemerintah berdasarkan peraturan hukum; 3) danya peradilan administrasi negara(Abdul Aziz Hakim, 2011: 10)

Albert Van Dicey mengemukakan ada tiga unsur utama dalam negara yang memiliki konsep hukum Anglo Saxon, meliputi:

a)

Supremacy of law adalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ialah hukum (kedaulatan hukum).

b)

Equality before the law ; kesamaan bagi kedudukan di depan hukum untuk semua warga negara, baik selaku pribadi maupun sebagai pejabat negara .

c)

Constitution based on individual right; konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia diletakan dalam konstitusi itu hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi.

Utrecht berpendapat negara hukum memiliki perkembangan yang menyesuaikan dengan perkembangan masyrakatnya itu sendiri, terdapat dua macam(Uthrecht, 1962: 9) yaitu negara hukum formil dimana negara memiliki tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketertiban(

nactwackerstaats) lalu dalam negara hukum materiil tugas bagi negara tidak sekedar melaksanakan ketertiban melainkan juga mencapai kesejahteraan masyrakat untuk tercapainya keadilan (welfarestate). Negara hukum ini materiil memprioritaskan negara sebagai pelayan bagi masyarakat agar dapat tercapainya kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya.

Menurut Maria Farida(Maria Farida Indrati, 1998: 1), Indonesia sebagai negara yang sudah melewati cukup pengaruh sistem negara hukum yang ada sebelumnya berprinsip sebagai negara pengurus(Verzonginstaat). Hal ini ditegaskan juga pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea IV, frasa

“kesejahteraan” menjadikan Indonesia memiliki prinsip yang hampir mirip dengan konsep negara hukum kesejahteraan. Penegasan yang ada memunculkan sebuah konsekuensi pada negara Indonesia yang tidak hanya tunduk pada hukum dalam kehidupan bermasyrakat, berbangsa, dan bernegara(Pasal 1 ayat(3) UUD NRI 1945).

Akan tetapi juga menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama.

12 b.

Tinjauan tentang Demokrasi

Demokrasi itu sendiri berasal dari dua kata, yaitu demos yang memiliki arti rakyat dan kratein yang memiliki arti pemerintahan. Hans Kelsen berpendapat Demokrasi berarti bahwa “kehendak” yang dinyatakan dalam tatanan hukum negara identik dengan kehendak dari para subyek hukum(Hans Kelsen, 2006:

402) Demokrasi langsung merupakan demokrasi yang memiliki ciri-ciri seperti fakta dalam pembuatan undang-undang dan juga fungsi eksekutif dan yudkatif dilaksanakan oleh rakyat di dalam rapat umum untuk mekanisme keberjalanan pemerintahan negara sebagai salah satu bentuk mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara yang dijalankan pemerintah tersebut.(Hans Kelsen, 2006: 409)

Ajaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan yang dikenal sebagai Trias Politika dimana ajaran ini juga yang menentukan tipe demokrasi modern dan ajaran Rousseau(Soehino, 2005: 146). Dalam ajaran Trias Politika ada tiga jenis kekuasaan negara, yaitu (Soehino, 2005: 146):

a)

Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang presentatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas, atau

sistem presidensiil.

b)

Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi di antara badan legislatif dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling mempengaruhi, atau sistem parlementer.

c)

Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang reprsentatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan, dan dengan control secara langsung dari rakyat.

“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” merupakan sebuah adegium yang dikemukan oleh Abrahan Lincoln tentang bagaimana dia menerjemahkan demokrasi itu sendiri. Ciri demokrasi dari penjelasan tersebut seperti kekuasaan berada ditangan rakyat, rakyat merupakan penguasa, dan pemerintahan yang diperoleh dari rakyat di berikan kembali pada rakyat juga. Akhirnya dapat ditemukan ruang politik yang memungkinkan bagi rakyat untuk bisa berkembang serta partisipasi dalam politik terbuka. Selain itu demokrasi juga memberikan kondisi bahwa rakyat tetap menjadi tujuan utama yang tidak hanya sekedar menjadi pemberi suara dalam pemilu.

William Andrews menyatakan bahwa negara demokrasi modern berdiri di atas basis kesepakatan umum mayoritas rakyat terkait struktur negara yang di

13

idealkan(Jimly Ashiddiqie, 2009: 398). Dari pendapat tersebut berarti perkembangan

demokrasi modern rakyat lah yang menjadi tujuan dari segala keputusan, pembangunan negara, dan kebijakan- kebijakan negara.

Negara Demokrasi tentu akan berjalan beriringan juga dengan pemenuhan hak dari masyarakat dari negara tersebut.

c.

Tinjauan tentang HAM

10 Desember 1948 PBB memproklamirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang terdapat 30 pasal menjelaskan tentang hak dan kewajiban umat manusia. Menurut Jerome J. Shestack, Ilmu tentang ketuhanan menghadirkan landasan untuk suatu teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi daripada negara dan sumbernya adalah langsung dari Tuhan (Supreme Being). Tetapi istilah

‘HAM’ tidak ditemukan dalam agama manapun. Teori ini mengandaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM(Theodor Meron, 1992: 76). Hak Asasi Manusia adalah hak yang sudah melekat pada diri manusai sejak manusia itu dilahirkan dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan merupakan anugerah Tuhan yang wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah , dan setiap orang demi perlindungan serta kehormatan harkat martabat manusia (Michael W. Giles & Arth(Asri Wijayanti, 2009: 10)ur Evans, 1986)

Dalam pasal 1 DUHAM ditegaskan : “Semua Manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak mereka dikarunia akal dan hati nurani dan harus bertindak sesama manusia dalam semangat persaudaraan.” Dapat ditarik kesimpulan dari pernyataan diatas bahwa HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental.

John Locke berpendapat hak asasi manusia adalh suatu hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karena itu tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabut hak tersebut.

Hak ini sifatnya sangat mendasar(fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia da merupakan suatu hak yang sudah kodrati dan berarti tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia(Masyhur Effendi, 1994: 3) Dalam persoalan HAM, ada beberapa teori yang penting dan relevan, antara lain yaitu: “teori hak-hak kodrati(natural rights theory), teori positivisme (posistivist theory), dan teori relativisme budaya (cultural relativist theory).

Teori hak-hak yang kodrati menegaskan bahwa HAM adalah suatu hak- hak yang sepantasnya dimiliki oleh semua orang karena telah dilahirkan sebagai manusia.

HAM memiliki sifat yang universal maka pengakuan dari pemerintah ataupun hukum tidak dibutuhkan karena sumber HAM sebenarnya dari manusia. (Todung Mulya

14

Lubis, 1993: 15-16) lalu penganut teori positivis berpendapat bahwa sesungguhnya

sesuatu eksistensi hak hanya dapat diturunkan dari suatu hukum negara. Sedangkan penganut teori relativisme budaya, berpendapat bahwa tidak ada suatu hak yang bersifat universal dan hak-hak yang dimiliki seluruh manusia berlaku setiap saat dan di setiap hak- hak yang dimiliki seluruh manusia berlaku setiap saat dan di setiap tempat seharusnya diciptakan dan diberikan oleh konstitusi, hukum atau kontrak yang menjadikan manusia terlepas secara sosial dan budaya.

HAM pada hakikatnya harus dihormati dan dilindungi untuk menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu sebuah keseimbangan natara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum(Tim ICCE UIN Jakarta, 2003:201) Menurut Rhons K.M. Smith prinsip hak asasi manusia ada tiga, yaitu kesetaraan, non-diskriminasi, dan kewajiban positif setiap Negara. Prinsip kesetaraan, larangan dalam diskriminasi, dan kewajiban positif yang dibebankan kepada negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu yang lebih luas. Ketiga prinsip yang ada sudah sangat memberikan cerminan tersendiri tentang HAM itu sendiri.

Prinsip kewajiban positif ada sebagai konsekuensi dari adanya ketentuan menurut hukum HAM internasional bahwa individu adalah pihak memegang HAM (right bearer) sedangkan Negara berposisi sebagai pemegang kewajiban terhadap HAM, yaitu kewajiban untuk: melindungi, menjamin, dan memenuhi HAM setiap individu.

d.

Tinjauan tentang Perlindungan Hukum dalam Kesehatan dan Keselamatan Kerja Philipus berpendapat, “Perlindungan hukum selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha.” (Asri Wijayanti, 2009: 10). Menurut Setiono, Perlindungan hukum merupakan upaya untuk melindungi masyrakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.(Setiono, 2004: 3)

Kedua penjelasan tersebut bermaksud bahwa rakyat mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan yang memerlukan perlindungan hukum baik dalam hubungan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum maupun dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi. Berkaitan dengan tenaga kerja berarti hukum

15

memberikan perlindungan terhadap hak-hak tenaga kerja dalam kesehatan dan

keselamatan kerja(K3). Seorang ahli dalam keselamatan dan kesehatan kerja yaitu Willie Hammer mengatakan bahwa program keselamatan dan kesehatan kerja di adakan karena 3(tiga) alasan penting, meliputi:

1)

Alasan berdasarkan prikemanusiaan

Pertama para manajer mengadakan pencegahan kecelakaan kerja atas dasar prikemanusiaan yang sesungguhnya, mereka melakukan demikian untuk mengurangi sebanyak-banyaknya rasa sakit, dan pekerja yang menderita luka serta keluarganya sering diberi penjelasan mengenai akibat kecelakaan kerja.

2)

Alasan berdasarkan Undang-Undang

Ada juga alasan yang mengadakan progam keselamatan dan kesehatan kerja berdasarkan undang-undang. Sekarang di Amerika Serikat terdapat Undang-Undang federal, Undang- Undang Negara bagian dan undang-Undang kota Praja tentang keselamatan dan kesehatan kerja, dan bagi mereka yang melanggar ketentuan akan dikenakan denda dan sanksi.

3)

Alasan Ekonomis

Dengan tingginya biaya akibat kecelakaan bagi perusahaan, akhirnya mereka sadar pentingnya progam keselamatan dan kesehatan kerja (Wilson, 2012).

Berdasarkan Undang-Undang terdapat Pengaturan K3 dalam sistem perundang-undangan di Indonesia yang telah berlaku sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja(UU Keselamatan Kerja). UU ini dibentuk Keselamatan Kerja dapat diatur sesuai dengan perkembangan masyarakat, industrialisasi dan teknologi serta terdapat pengakuan bahwa tenaga kerja mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam melaksanakan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktifitas nasional(Sholiki, 2020: 6). Lalu sebagai hak dasar pekerja, K3 juga menegaskan pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang saat ini menjadi dasar pengaturan hubungan ketenagakerjaan.Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) mengatur:

1)

Setiap pekerja/ Buruh mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan atas:

a)

keselamatan dan kesehatan kerja;

16 b)

moral dan kesusilaan; dan

c)

perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

2)

Untuk melindungi keselamatan pekerja/ buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mewajibkan setiap pengelola tempat kerja untuk menerapkan K3. Pengaturan K3 rumah sakit(K3RS) secara teknis telah diatur dalam Permenkes K3RS. Penerapan K3 merupakan kewajiban bagi pengelola rumah sakit. Rumah sakit merupakan industri jasa yang melibatkan pekerja sangat banyak (labour intensive), padat modal dan padat teknologi sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) sangat tinggi, oleh karena itu upaya K3 sudah menjadi suatu keharusan.(Sri Rejeki, 2016: 160). Selain pengaturan pada Permenkes K3RS, upaya serupa juga diatur dalam Permenkes PPI. Permenkes PPI ini khusus mengatur upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit. Setiap fasilitas layanan kesehatan harus melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi. Penyakit Infeksi terkait dengan layanan kesehatan merupakan salah satu masalah bidang kesehatan dan berdampak secara langsung sebagai beban ekonomi negara sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Ini menunjukkan upaya perlindungan pekerja dan masyarakat yang berada di rumah sakit memiliki prioritas yang sangat tinggi.

Pelaksanaan program PPI sangat penting dan menjadi keharusan diterapkan di rumah sakit. Program ini melengkapi K3RS yang berupaya mewujudkan keselamatan dan kesehatan bagi pekerja, masyrakat dan lingkungan di sekitar rumah sakit. Akan tetapi kewaspadaan terkait K3RS dan PPI pada masa pandemi meningkat disbanding pada situasi normal. Selain itu ketersediaan alat pelindung diri dan peralatan- peralatan penunjang lainnya juga harus mendapat perhatian lebih. Hingga kini masih terdapat kejadian tenaga medis dan kesehatan yang terpapar COVID-19 bahkan beberapa kejadian mengakibatkan meninggal dunia. Kejadian ini menjadi tantangan besar di tengah masih terjadinya pandemi COVID-19 mengingat tenaga medis dan kesehatan menjadi unsur utama dan terdepan dalam melakukan penanganan COVID-19.

e.

Tinjauan tentang Tanggung Gugat terhadap Wewenang Negara Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan

17

penyelenggaraan kekuasaan dilakukan dibawah kekuasaan hukum. Tanggung jawab

negara atau pemerintah sebagai negara hukum ini bisa berarti memberikan kompensasi apabila negara atau pemerintah melakukan suatu kesalahan ataupun kerugian baik kepada individu ataupun kepada masyrakat, secara langsung ataupun secara tidak langsung, materiil atau immateriil kepada warganya. Mengenai pelaksanaan negara hukum guna untuk mewujudkna tujuan hukum yang luhur, yaitu keadilan, kemanfaatan dan ketertiban. Maka diperukan suatu tolak ukur tersebut berupa asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPPL) atau Good Governance(Anindita Purnama Ningtyas, 2013: 6).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 8 mengatur bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”.

Substansi dari Pasal diatas menjelaskan tentang peranan dan kewajiban yang dimiliki oleh Negara, sehingga tanggung jawab disini memiliki arti tanggung jawab akan pelaksanaan dan atau tidak melaksanakan kewajiban. Negara adalah personifikasi yang berbentuk abstrak dan pemerintah memiliki posisi sebagai individu atau organisasi yang berbadan hukum serta mewakili segala kepentingan Negara. Pemerintah melakukan perbuatan dengan perantara orang-orang apparat Negara sehingga memenuhi kapasitas sebagai Tindakan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan Negara disebut sebagai imputasi, imputabilitas, atau atribusi.

Secara khusus membuat klasifikasi kelompok berdasarkan subjek-subjek yang mampu disebut sebagai sebuah presentasi dari sebuah Negara untuk melakukan Tindakan-tindakan tertentu dengan konsekuensi Negara bertanggung gugat atas perbuatannya(Eko Riyadi, 2012: 331-332)

Pemerintah wajib untuk bertanggung jawab karena perbuatan melanggar hukum yang berprinsip untuk mengembalikan kondisi seperti semula sebelum ada terjadinya pelanggaran hukum, namun pengembalian kondisi seperti semula tersebut tidak dapat dilakukan maka dari itu pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi, sebagai tanggung gugat. (Ridwan, 2014: 194)

Menggugat pemerintah bukan karena ada atau tidaknya kerugian tetapi apakah pemerintah tersebut melanggar hukum atau tidak melanggar hukum, maka jika suatu perbuatan yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian bagi setiap warga negara, pemerintah itu dibebani tanggung gugat dan memiliki kewajiban untuk memberikan ganti kerugian untuk warga negaranya. Akan tetapi apabila tidak terjadi perbuatan yang melanggar hukum, pemerintah tidak dibebani tanggung gugat dan tidak memiliki kewajiban untuk memberikan ganti kerugian kecuali terdapat peraturan perundang-undangan yang secara khusus menentukan pemberian ganti rugi

18

tersebut.(Ridwan, 2014: 196)

Tanggung jawab dan tanggung gugat pemerintah lahir karena adanya pelanggaran yang harusnya dilindungi oleh peraturan perundang-perundangan serta adanya kerugian dari pihak warga negara, maka negara harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Tanggung gugat negara atau pemerintah ini hadir menyeimbangkan prinsip-prinsip negara hukum itu sendiri, prinsip tersebut nantinya akan menjadi tetap setelah dioperasionalkannya melalui tanggung gugat negara atau pemerintah.

Terkait dengan tujuan negara yang dicerminkan dalam pembukaan UUD NRI 1945, terdapat salah satu pasal yang terimplementasikan dari tujuan negara tersebut.

Pasal tersebut adalah pasal 34 ayat 1 yang mengatur bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar pada dasarnya dipelihara dan menjadi tanggung jawab negara secara mutlak. Pemberian rehabilitasi sosial, jaminan sosial, perlindungan sosial, dan serta memberikan keterampilan untuk dapat menapak kehidupan kedepan yang wajib dilakukan oleh pemerintah, disini karena wilayah Indonesia sangatlah luas dan disertai tanggung jawab pemerintah tidak terpusat dalam hal ini saja maka pemerintah menyerahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk membantu dalam mengatasi hal tersebut. Pembagian wewenang tersebut tercermin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. mengenai kesehatan memiliki peraturan khusus yang mengatur. Aturan khusus tersebut tercermin dalam Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 Mengenai Kesehatan, hal tersebut diatur karena bentuk pertanggung jawaban pemerintah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok mengenai kesehatan dan serta implementasi dari suatu negara hukum. Di dalam undang-undang tersebut kesehatan diberikan penjelasan bahwa keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Masyarakat dapat mengajukan gugatan melawan hukum terhadap pemerintah yang berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) (“Perma 2/2019”). Perma tersebut menjadi panduan bagi masyrakat untuk mengajukan gugatan terhadap badan dan/atau pejabat pemerintahan, untuk menyatakan tidak sah dan/atau batalnya Tindakan pejabat pemerintahan, beserta ganti ruginya. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Perma 2/2019:

Tindakan pemerintahan yang dimaksud adalah perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau

19

tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan

pemerintah.

Di masa pandemi apabila pemerintah dinilai tidak melakukan Tindakan pencegahan Covid-19 dengan layak ataupun belum maksimal dalam upaya mencegah meluasnya penyebaran Covid-19, masyrakat dapat mengajukan gugatan melawan hukum terhadap pemerintah. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perma 2/2019 berikut:

Perkara perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara.

20

B. Kerangka Pemikiran

Premis Mayor Premis Minor

Hubungan antara dokter dan tenaga Kesehatan dengan negara dalam pemenuhan hak selama pandemi Covid- 19 merupakan tanggung gugat.

1.

Teori Negara Hukum, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia.

2.

Teori perlindungan hukum dalam Kesehatan dan keselamatan kerja

3.

Teori tanggung gugat terhadap wewenang negara

1.

Negara memiliki urgensi dalam memenuhi Hak Insentif bagi dokter dan tenaga Kesehatan.

2.

Dokter dan tenaga Kesehatan memiliki kesempatan untuk menggugat jika haknya tidak terpenuhi.

Penggunaan data sekunder meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

1. Kewajiban Negara untuk memenuhi Hak Perlindungan Kesehatan dan keselamatan kerja bagi dokter dan tenaga Kesehatan.

2. Tanggung gugat terhadap tanggung jawab negara dalam

memenuhi hak perlindungan Kesehatan dan keselamatan kerja

2. Tanggung gugat terhadap tanggung jawab negara dalam

memenuhi hak perlindungan Kesehatan dan keselamatan kerja

Dokumen terkait