• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Erithropoetin Sebagi Terapi

2.3.1 Recombinant Human Erythropoetin (rHuEPO)

Produksi EPO dengan derajat kemurnian tinggi dapat terlaksana karena perkembangan teknik rekayasa genetika. Penggunaan EPO endogen untuk tujuan terapi tidak dimungkinkan karena hormon EPO terdapat pada tubuh manusia dengan konsentrasi rendah. Dalam perkembangan pembuatan rHuEPO,beberapa penelitian melaporkan bahwa proses N-glikosilasi memberikan kemampuan biologi rHuEPO. Adanya peningkatan jumlah akan meningkatkan aktivitas biologi rHuEPO.

EPO berperan baik sebagai factor ketahanan hidup dan factor mitogen.Pada sel progenitor eritroid manusia dengan reseptor EPO yang banyak, yaitu CFU-E dan proeritroblas, EPO berperan sebagai faktor ketahanan hidup.Model ertropoesis yang didasarkan pada mekanisme pada mekanisme penghambatan kematian sel yang terprogram oleh EPO dalam populasi sel progenitor eritroid. Progenitor eritroid tingkat lanjut (CFU-E dan proeritoblas) bergantung pada adanya EPO secara terus menerus untuk menekan pengguguran (apoptosis) dan bersifat berbeda bagian (heterogen) sesuai dengan kepekaannya terhadap EPO(Stockes, 2008).

Dalam kondisi normal (Gambar A), hanya 1 bagian progenitor eritoid tingkat lanjut yang membutuhkan sedikit EPO dapat bertahan hidup dan menghasilkan sejumlah normal eritrosit yang matur.

Pada keadaan gagal ginjal terminal yang ditandai dengan adanya kegagalan produksi EPO, yaitu sejumlah besar (mayoritas) progenitor eritroid mengalami apoptosis oleh karena rendahnya kadar EPO dalam sumsum tulang. Hanya sebuah subpopulasi progenitor yang sangat senditif terhadap EPO dan hanya membutuhkan kadar EPO dengan dengan pada kadar sangat rendah dapat bertahan hidup. Pemberian rHuEPO menyebabkan suatu peningkatan aktivitas eritropoesis dengan jalan menghambat proses apoptosis dari sejumlah besar progenitor eritrosit tingkat lanjut yang memiliki sensitivitas intermediet (Gambar B) (Cazolla, 1997).

Pada keadaan anemia karena hemolisis atau kehilangan darah akut, produksi EPO endogen dari ginjal meningkat beberapa kali lipat yang menyebabkan tinggi kadar EPO dalam sumsusm tulang. Hampir semua progenitor eritroid, dapat bertahan hidup.Keadaan ini menyebabkan peningkatan eritropoesis secara maksimal. Pemberian rHuEPO tidak diperlukan untuk meningkatkan eritropoesis lebih lanjut (Gambar C) (Cazolla, 1997).

Gambar 2.a : Dalam kondisi normal(normal epo production) Gambar 2.b :Pada Keadaan Gagal Ginjal (blunted epo production) Gambar 2.c :Pada Keadaan Anemia(increased epo production)

2.3.2 Pemakaian (aplikasi) Klinik Penggunaan EPO pada Keadaan Uremia Sebelum pemakain EPO secara massal, sekitar 75% pasien-pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis memiliki kadar <30% dimana sekitar 15-25% menurunkan transfuse sel darah merah secara periodic. Pemakian EPO pada pasien-pasien HD reguler yang memerlukan tarnfusi darah di Amerika menunjukkan penurunana kebutuhan transfusi yang signifikan.

Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa reguler, transfuse darah biasanya dilakukan durante hemodialisis untuk menghindari kelebihan cairan dalam tubuh.

Terapi yang efektif sampai saat ini didapati dari recombinant human erithropoetin.terapi ini diberikan secara intravena kepada pasien hemodialisa, telah terbukti meningkatkan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfuse darah berakhir.

2.3.3 Farmakokinetik dan Keadaan Uremia

Secara umum pemberian sub-kutan lebih efektif dibandingkan dengan pemberian intravena. Penelitian farmakokinetik menunjukkan bahwa waktu paruh pemberian intravena adalah 4-9 hari, sedangkan waktu paruh pemberian sub-kutan > 24 jam. Perlu diperhatikan untuk tidak menghentikan pemberian rHuEPO hanya karena target Hb tercapai, Karena kadar Hb menurun lebih rendah dari yang dapat diantisipasi karena peningkatan Hb sebelumnyamenekan produksi EPO endogen (Fisher, 2003)

2.3.4 Dosis dan Evaluasi Terapi rHuEPO

The National Kidney Foundation Dialisis Outcomes Quality Initiative (NFK-DOQI) merekomendasikan suatu pendekatan terapi anemia pada penderita (pasien) gagal ginjal kronik bila Hb < 11g/dl pada wanita premenopause dan prepubertas, Hb < 12 g/dl pada wanita pasca menopause dan pria dewasa. Perhimpunana Nefrologi Indonesia (PERNEFRI, 2001) merekomendasikamn terapi EPO apabila Hb < 10 g/dl dan hematocrit < 30% sudah disingkirkan.

2.3.5 Evaluasi Pemberian Terapi rHuEPO

Europian best Practise Guidelines merekomendasikan target Hb > 11 g/dl pada penderita gagal ginjal kronik. National Kidney Foundationmerekomendasikan target Ht 33-38%. Berdasarkan Konsensus Manajemen Anemia pada gagal ginjal kronik, oleh PERNEFRI 2001 target Hb > 10 g/dl dan Hematokrit > 30%.

Parameter yang perlu dievaluasi pada pemberian terapi EPO: hemoglobin atau hematocrit, indeks sel darah merah, jumlah retikulosit, parameter Status Besi Tubuh yaitu serum (SI), ion total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferrin, dan ferritin serum.

Pemberian terapi dengan rHuEPO pada keadaan uremia dan non-uremia menyebabkan terjadinya keadaan defisiensi besi.Oleh karena itu pada pemberina terapi rHuEPO perlu diperhatikan gejala dan tanda keadaan defisinisi besi yaitu ferritin serum, saturasi transferrin, dll.

Dua bentuk keadaan iron-deficienct erythropoiesis dapat terjadi dengan pemberian rHuEPO yaitu (Cazolla, 1997):

1. True Iron Deficiencyterjaid selama pemberian rHuEPO jangka panjang disebabkan karena adanya perpindahan progresif besi cadangansimpanan besi tubuh menuju ke eriron.

2. Functional atau Relative Iron Deficiency terjadi pada saat kadar cadangan status besi yang normal tetapi suplai besi dalam eritron tidak adekuat untuk memenuhi sel progenitor eritroid.

Adanya ketidakseimbangan suplai besi terhadap eritropoesis ditandainya dengan adanya oenurunan saturasi transferrin (<20%). Secara umum kadar ferritin serum < 100 g/L berhubungan dengan adanya functional iron deficiency pada pemberian terapi dengan rHuEPO. Macdougal dkk. Pada tahun 1992 menggunkan automated cell counter untuk mendapatkan persentase eritrosit yang hipokromik (Hb eritrosit individual < 28 g/dl). Pada keadaan normal berjumlah kurang dari 2,5% dari seluruh eritosit. Adanya peningkatan lebih drai 10% selama pemberian terapi rHuEPO menunjukkan adanya keaddan functional iron deficiency dan hal ini mebutuhkan terapi intensif dengan tambahan suplemen besi (Sanders, 1994).

Deteksi awal iron-restricted erythropoiesis dapat dilakukan dengan menggunakan evaluasi reticulocyte Hb content (CHr).Pada penderita yang memenuhisalah satu dari kriteria di atas (saturasi transferrin < 20%, ferritin serum <100 mikrogram / liter, > 10% eritrosit hipokromik, atau retikulosit dengan CHr rendah), perlu dipertimbangkan untuk memberikan terapi tambahan suplementasi besi yang lebih agresif.

2.3.6 Efek Samping Terapi EPO

Tetapi sebagai terapi recombinant human erythropoietin memiliki efek samping yaitu meningkatkan Ht. antibody yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eriproetin tidak terjadi.Efek samping utamnya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis.Pada beberapa pasien, thrombosis pada pembuluh darah dapat terlihat.

Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga penigkatan tonus vaskuler perifer.Komplikasi thrombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimana pun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit.

2.4 Jenis Terapi Epo 2.4.1 Epoetin alpfa.

Bentuk biosintesis dari erythropoietin hormone glikoprotein.Urutan asam amino dan logika sifat bio dari epoetin alfa yang identic dengan en- erythropoietin manusia dogenous diekstrak dari urine pasien dengan anemia aplastik. Obat ini dibuat dari genetika rekayasa mamalia yang menggunakan teknologi DNA rekombinan (Davis, 1997).

Cara kerja dari eritropoetin alfa adalah dengan menginduksi produksi eritrosit eritrosit terutama drngan meangsang terjadi ploriferasi dan diferensiasi dengan bekerja sama dengan BFU-E , CHU-E, CFU-MK, CFU-GM) (Lodish, 1995).

Farmakokinetik dari epoetin alfa. Epoetin alfa tidak dapat diberikan secara oral karena akan hancur saat sampai di saluran gastrointestinal, dikarenakan oleh

sifat protein yang dimiliki oleh obat. Sehingga harus diberikan melalui parental (IV, injeksi subkutan, injeksi intraperitoneal). Penyerapan obat akan lebih lambat apabila melalui sub kutan atau intarperitoneal. Namun konsentrasi serum lebih meningkat apabila pemberian melalui intravena.Epoetin alfa dipecah menjadi kompertemen tunggal dengan volume distribusi yang mendekati volume plasma (sekitar 4-5% dari berat badan) (Faulds, 1989).

2.4.2 Epoetin Beta

Epoetin beta adalah glikoprotein yang merangsang proliferasi dan diferensiasi proses kompartemen sel erythroid induk dan juga memiliki efek stimulsi pada proliferasi dan pematangan kompartemen erythron terebut. Oleh karena itu epoetin beta menyebabkan peningkatan pembentukan hemoglobin dan percepatan terkait pemasangan sel dan pengurangan waktu siklus sel. Efek lebih lanjut dari epoetin beta adalah percepatan pematangan retikulosit dan penignkatan pelepasan retikulosit.

Proses penyerapan epoetin beta. Pemberian obat melalui sub kutan memberikan waktu paruh selama 12 -28 jam setelah pemberian. Waktu paruh dari epoetin beta secara intravena antara 4-12 jam.

Volume distribusi epoetin beta intravena sesuai dengan 1-2 kalli volume plasma.

BAB 1 PENDAHULUAN

Dokumen terkait