B. PENELITIAN UTAMA
1. Esterifikasi, Transesterifikasi dan Netralisasi
Proses esterifikasi dilakukan untuk menurunkan nilai Bilangan Asam minyak mentah. Proses esterifikasi ini dipengaruhi oleh suhu, jumlah katalis, jumlah metanol yang digunakan serta lama waktu reaksi. Suhu esterifikasi adalah 60oC dan katalis yang digunakan adalah HCl 37%. Bilangan asam minyak awal setelah degumming sekitar 17 mg KOH/g minyak. Setelah diesterifikasi bilangan asam turun menjadi 4-10 mg KOH/g minyak.
Jumlah katalis (HCl) yang digunakan adalah 1,0% (v/v). Jumlah ini sudah cukup menurunkan bilangan asam minyak kesambi yang diesterifikasi. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah molekul katalis HCl yang digunakan sudah cukup membawa pereaksi-pereaksi menuju kondisi yang efektif.
Interaksi antara asam lemak dan alkohol bersifat reversibel dan prosesnya sangat lambat. Mekanisme reaksi esterifikasi berkatalisis asam
21
melibatkan proses pertukaran gugus hidroksil dari suatu karboksilat dengan gugus alkil dari alkohol dan pembentukan molekul air.
Reaksi pertukaran antara molekul alkohol (metanol) dengan asam lemak merupakan proses yang sangat lambat dan sangat menentukan proses reaksi keseluruhan. Jumlah alkohol yang cukup banyak sangat membantu tahapan ini karena akan mendorong reaksi ke arah kanan (produk). Dalam kasus minyak kesambi, sebenarnya jumlah metanol dengan rasio 15:1 sudah mencukupi untuk proses esterifikasi karena perbandingan molar yang tepat adalah 1:1 seperti terlihat pada Gambar 4 (1 mol asam lemak bebas tepat bereaksi dengan 1 mol alkohol), namun penggunaan metanol dengan nisbah 20:1 terbukti memberikan penurunan bilangan asam yang lebih besar
Dalam proses esterifikasi, selain dihasilkan alkil ester juga dihasilkan air. Kandungan air yang tinggi pada minyak hasil proses esterifikasi harus dikurangi agar tidak mengganggu proses transesterifikasi. Jika kandungan air dalam minyak hasil esterifikasi terlalu tinggi, akan terjadi reaksi hidrolisis yang akan menjadi reaksi tandingan untuk reaksi transesterifikasi. Sebaliknya kandungan air yang rendah di dalam minyak tidak akan mengganggu reaksi transesterifikasi, karena anion metoksida (CH3O-) lebih kuat dibanding dengan anion hidroksida (OH-) dari air, sehingga pembentukan ikatan ester dengan alkohol lebih dominan terjadi dibandingkan dengan reaksi hidrolisis. Kandungan air maksimum yang tidak akan mengganggu reaksi transesterifikasi adalah sebesar 7% (Gerpen et al., 2004).
Gambar 4. Reaksi esterifikasi (Khan, 2002)
22
Bilangan asam dipengaruhi oleh jumlah metanol yang diberikan. Pada tahapan ET, ENT maupun ETN menunjukkan penurunan bilangan asam jika dilakukan penambahan jumlah metanol (Gambar 5).
b. Netralisasi
Dalam penelitian ini juga dicoba penambahan tahapan proses yaitu netralisasi. Penambahan tahapan ini dilakukan setelah esterifikasi (ENT) dan setelah transesterifikasi (ETN). Netralisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penetralan atau penghilangan asam lemak bebas yang masih tersisa pada minyak/biodiesel. Proses yang terjadi dalam netralisasi sering disebut proses penyabunan (saponification). Netralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH. Senyawa ini dipilih karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan senyawa yang lain (NaCO3). Selain itu penggunaan senyawa NaOH juga membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran berupa getah dan lendir dalam minyak (Ketaren, 2005). Reaksi penyabunan bisa dilihat pada Gambar 6.
1.253 1.052 0.755 0.691 0.866 0.800 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.0 2.0 ET ENT ETN
Gambar 5. Histogram pengaruh jumlah metanol terhadap bilangan asam
15:1 20:1
23
Dalam reaksi penyabunan (netralisasi), akan dihasilkan sabun sekaligus pengurangan/penghilangan asam lemak bebas (penurunan bilangan asam). Walaupun mampu mengurangi asam lemak bebas, netralisasi juga berdampak terhadap pengurangan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena NaOH tidak hanya bereaksi dengan asam lemak bebas tetapi bereaksi pula dengan ester, sehingga terjadi penurunan jumlah ester (Gambar 6).
Jika dilihat dari nilai bilangan asam, proses ENT menghasilkan nilai yang paling rendah dan ETN terlihat lebih tinggi. Namun demikian, dengan uji lanjut Duncan perbedaan nilai bilangan asam antara ENT dan ETN tidak signifikan (Lampiran 4).
c. Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi dilakukan untuk mengkonversi minyak kesambi yang sudah diesterifikasi (netral) menjadi metil ester asam lemaknya. Reaksi ini dipengaruhi oleh kondisi dari minyak dan kondisi yang berasal dari luar minyak. Pengaruh dari kondisi minyak itu sendiri misalnya kandungan air, kandungan asam lemak bebas, dan kandungan zat
a. Penyabunan dari asam lemak bebas
b. Penyabunan dari ester atau
Asam lemak bebas Basa
Gambar 6. Reaksi penyabunan (Khan, 2002) Basa Sabun (garam) Sabun (garam) Air Alkohol sederhana Panas Air
24
terlarut maupun tak terlarut yang dapat mempengaruhi reaksi. Pengaruh yang bukan berasal dari minyak dan dapat mempengaruhi reaksi diantaranya adalah suhu, waktu, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis dan jumlah rasio molar metanol terhadap minyak.
Transesterifikasi adalah reaksi kimia berkatalis yang melibatkan minyak (minyak nabati) dan alkohol untuk menghasilkan fatty acid alkil
ester dan gliserol. Transesterifikasi juga disebut alkoholisis yang
merupakan penggantian gugus alkohol dari ester dengan alkohol lain. Dalam prosesnya mirip dengan hidrolisis, kecuali alkohol dibutuhkan sedangkan air tidak. Trigliserida sebagai komponen utama minyak nabati, terdiri dari tiga asam lemak rantai panjang yang terikat pada gliserol. Saat trigliserida bereaksi dengan alkohol (metanol), tiga asam lemak dibebaskan dari gliserol dan bergabung dengan alkohol untuk membentuk
fatty acid metil ester (FAME atau biodiesel).
Berbeda dengan reaksi esterifikasi yang berkatalis asam, reaksi transesterifikasi berkatalis basa (NaOH) tidak melalui proses protonasi gugus karbonil asam lemak dan tidak melalui tahapan pertukaran antara ion oksonium dengan alkohol. Sebagai gantinya, terjadi pertukaran antara ion karboksilat dengan ion metoksida. Ion metoksida, berasal dari reaksi metanol dengan katalis basa, merupakan nukleofilik kuat yang dapat dengan mudah menukarganti gugus karbonil pada asam lemak (Anonim,
Gambar 7. Transesterifikasi (Bajpai dan Tyagi, 2006)
25
2008). Karena alasan tersebut, reaksi transesterifikasi dapat berjalan dengan cepat. Selain itu reaksi ini juga bersifat eksoterm, sehingga panas yang dihasilkan dapat mempercepat reaksi. Menurut Janulis et al., (2005), laju reaksi transesterifikasi tercepat terjadi pada 15 menit pertama dan rendemen hampir tidak berubah setelah 30 menit.
Penggunaan katalis basa dalam transesterifikasi memiliki resiko terbentuknya sabun karena adanya reaksi penyabunan antara asam lemak bebas dengan kation alkali (Na+) dari katalis basa yang digunakan. Jenis katalis yang sering dipakai adalah natrium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida (KOH). Penggunaan NaOH sebagai katalis dipilih karena lebih reaktif dan lebih murah dibandingkan dengan KOH.
Reaktan yang dipakai dalam transesterifikasi adalah metanol. Metanol lebih ekonomis (murah) dibandingkan etanol atau alkohol berantai panjang lain. Nisbah molar metanol dengan minyak yang digunakan adalah 6:1. Sebenarnya perbandingan yang tepat adalah 3:1 (3 mol alkohol dengan 1 mol ester atau trigliserida). Perbandingan 6:1 dipilih dengan tujuan mendorong reaksi ke arah produk. Perbandingan molar metanol terhadap minyak yang terlalu besar akan menyulitkan dalam proses pemisahan gliserol karena akan meningkatkan kelarutan gliserol di dalam metil ester (Meher et al., 2006).
Dalam proses esterifikasi dan transesterifikasi, selain jumlah pereaksi dan jumlah katalis, faktor lain yang menentukan adalah suhu dan pengadukan. Suhu diperlukan untuk mencapai kondisi reaksi, sedangkan pengadukan bertujuan untuk meningkatkan kontak antar reaktan yang juga akan mempercepat reaksi.
2. Biodiesel