• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2.2 Teori Estetika Paradoks .1 Sejarah Filsafat Estetika

2.2.2.3 Estetika Paradoks

2.2.2.3.1 Estetika Pola Lima

Masyarakat pada pola lima adalah mereka yang mengandalkan hidupnya dari bersawah. Masyarakat petani sawah berbeda dengan masyarakat petani peladang. Di Indonesia, masyarakat peladang dan pesawah menggantungkan sumber hidupnya dari bertani dengan menanam padi. Kalau masyarakat peladang bertani padi di daerah perbukitan, masyarakat sawah bertani padi di dataran rendah sehingga terdapat perbedaan di antara keduanya (Sumardjo, 2006:107). Dalam masyarakat pola lima dikenal hubungan vertikal yakni relasi Ketuhanan (Transender) dengan kemanusiaan (imanen) seperti digambarkan dibawah ini.

Pengaturan yang transender (rohani, ilahi)

Ke dunia imanen

(media, duniawi, manusiawi) Kehadiran

yang transenden dalam dunia imanen

Gambar 2.3 : Pengaturan Trasenden (Sumardjo, 2006:107)

Dalam penjelasan ini sumardjo menyatakan bahwa tujuan hidup manusia sawah semua kehidupan menyelenggarakan upacara adat, sesajen, dan mantra-mantra. Benda-benda ritual (seni) bangunan rumah dan monumen adalah wujud dari transenden – imanen. Itu semua median yang mengantarkan daya-daya

adikodrati, baik untuk keselamatan manusia di dunia atau musibah yang menimpa manusia.

Menurut Sumardjo, Artefak-artefak seni pramodern harus direkonstruksi kembali secara etik, agar dalam dekonstruksi modern tidak memperpanjang jarak dari makna. Manusia modern dapat membangun konstruksi baru yang sesuai dengan kebutuhan dengan cara mendekonstruksi dari sebuah rekonstruksi yang memadai.

Estetika Pola Lima (mancopot kalimo pancer) terdiri atas unsur alam rohani, alam semesta, alam manusia dan alam budaya. Pada estetika pola lima pada keterangan selanjutnya estetika pola lima tergolong masyarakat yang hidupnya bersawah. Kesatuan kampung terdiri atas empat kampung yang masing-masing menempati arah mata angin dan satu kampung berada di pusatnya.

Pada estetika pola lima ditandai pasangan:

(a) Kawula - Gusti

(b)Hamba - Maha Pencipta (c) Insan - Allah SWT (d)Tunggal - Plural 2.3 Kajian Terdahulu

Penelitian deskriptif tradisi seni pertunjukkan berahoi pernah dilaksanakan pada tahun 1995 – 1996 oleh Kantor Bidang Kesenian pada Kanwil Depdikbud Sumatera Utara. Kantor Bidang kesenian mempunyai program dokumentasi rekaman seni tradisi di Sumatera Utara telah melakukan kegiatan merekam seni

pertunjukkan ahoi-ahoi Melayu Langkat sebagai upaya mendokumentasikan diskripsi seni tradisi tersebut.

Penelitian yang dapat mendukung kajian ini adalah sebagai berikut: Buku Adat Budaya Resam Melayu Langkat (Zainal Arifin AK, 2009), Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara oleh T. Silvana Sinar (2011). Adat Budaya Melayu Batubara (Junit Ibrahim, CS, 2009). Representasi Ideologi Masyarakat Melayu Serdang Dalam Teks, Situasi, dan Budaya (T. Thirhaya Zen, 2009). Kemudian penelitian dilakukan oleh G.L. Koster Buku Mengembara di Taman-taman yang Menggoda(2011), Yoohnnee Kang, Buku Untaian Kata Leluhur (2012), Nathan Porath, Ketika Burung itu Terbang (2012),T.Akhirul” Upacara Tolak bala pada Masyarakat Pesisir Pantai Labu, Robert Sibarani dalam Buku Kearifan lokal fungsi dan peran, dan metode tradisi lisan (2012), Haji Othman bin Daya, Tradisi lisan Bercorak Cerita(2006), Helene Bovier, Lebur, Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madani(2002), T. Luckman Sinar, Sari Sejarah Serdang (2007).

Buku Adat Budaya Resam Melayu Langkat (2009), berupa penelitian yang dilakukan oleh Zainal Arifin AKA tentang budaya Langkat dalam Era Kerajaan Melayu, penulisnya menjabarkan adat bermasyaraat Melayu Langkat (masa kelahiran, masa kanak-kanak, masa remaja dan upacara adat perkawinan). Kemudian Zainal Arifin Aka selaku penulis menjelaskan budaya mempusakakan adat, kesenian dan pemainan tradisional, dan upacara penobatan sultan dan anugerah gelar.

Penelitian T.Silvana Sinar (2011) mengkaji tentang kearifan lokal berpantun dalam perkawinan adat Melayu Batubara yang mengungkapkan struktur, tema, makna, dan fungsi pantun perkawinan adat.

Zein (2009) dalam penelitiannya menjelaskan representasi ideologi masyarakat Melayu Serdang dalam teks, situasi, dan budaya. Dalam penelitian tersebut penulisnya memaparkan ideologi masyarakat Melayu Serdang dalam transitivitas teks dengan mengambil syair, mantra, cerita rakyat, dan pidato pawang dan pidato khutbah Jumat serta acara yang berkaitan dengan perlombaan jenis permainan dalam tradisi Melayu.

Penelitian yang dilakukan G.L. Koster (2011) berjudul “Mengembara Di Taman-taman Yang Menggoda” yang menjelaskan konvensi-konvensi naratif Melayu dengan mengambil Syar Ken Tambuhan, Syair Ikan Terubuk ditinjau dari kerangka framatik dan konstruksi naratif. Kemudian peran dagang dan dalang selaku narator dalam puitika sastra Melayu. Koster menerangkan peran dalang (yang memainkan wayang) yang berkedudukan sebagai empunya cerita, bujangga. Kemudian tipe narator pelaku dagang. Kata dagang secara simultan dapat berarti pedagang atau orang asing. Istilah-istiah lain yang juga lazim digunakan untuk mencirikan tipe orang (musafir, dan fakir). Kemudian Koster menjelaskan tentang keberadaan sebuah kerajaan dalam peristiwa perang (syair Perang Mangkasar, Perang Siak).

Penelitian yang dilakukan Yoohnee Kang (2012) berjudul “Untaian Kata Leluhur Orang Petalangan Riau”. Peneliti menjelaskan bahasa orang Petalang

Riau yang mengenal dunia gaib, ritual pengobatan, mengambil madu dengan lagu cinta menjadikan tubuh sebagai mantra magis, perwujudan dan gender.

Porath (2012) yang mengkaji tradisi lisan yang bermain dengan therapi Shamanis dan Pemeliharaan Batas-batas Duniawiah di Kalangan Orang Sakai Riau. Peneliti mengungkapkan komposisi sosial Siak yang termasuk di dalamnya Orang Batin (Sakai) di wilayah Manda Hulu. Menurut penulisnya, kompleks Shamans Sakai tertanam jauh di dalam pengalaman kesejarahan kawasan Mandau hulu. Orang-orang Sakai adalah orang-orang yang tinggal di hutan di pinggiran kawasan Melayu Siak. Bagi orang Sakai, manusia memiliki kepercayaan pada roh-roh (hantu) dan ‘magis’. Satuan dasar kehidupan orang Sakai bukanlah pada perseorangan, tetapi sebagai makhluk sosial yang bermasyarakat. Orang Sakai juga memahami manusia dalam pengertian kosmologi psikologis, yaitu pengalaman psikologi seseorang dipahami sebagai bagian dari alam gaib yang lebih luas yang menghubungkan sesorang dengan orang lain dengan alam nyata yang lebih luas.

Penelitian upacara mayarakat Melayu Pesisir Tolak Bala di Pantai Labu Deli Serdang oleh Akhirul (2012) mengetengahkan upacara ritual tolak bala dengan mengaitkan fungsi ritual tolak bala, menganalisis dampak negatif munculnya upacara ritual tolak bala dan faktor penyebab hilangnya upacara tolak bala di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Penelitian Tradisi Lisan Semenanjung tanah Melayu dilakukan Haji Othman bin Daya (2006) membicarakan tentang tradisi lisan bercorak cerita yaitu

sejumlah mitos sosio-politik, keagamaan dan etika dalam kebudayaan Melayu di Malaysia. Corak cerita mitos ialah cerita yang mengisahkan asal-usul institusi sosial yang dianggap penting di sisi hidup manusia. Setelah arus perubahan apabila orang Melayu memeluk agama Islam muncul peran dan posisi alim ulama yang berlandaskan hukum dan aturan Islam sebagai fitrah hidup manusia. Mitos tentang perubahan negeri tampak pada hubungan antara manusia dalam sebuah negeri. Meskipun sungai dan anak sungai menjadi petunjuk alam sebuah negeri, kawasannya ditentukan oleh sejauh mana pengaruh seorang raja. Bagi tradisi Melayu, negeri adalah searti dengan raja, kewujudannya adalah satu. Negeri tak beraja bukanlah negeri, dan tuah negeri adalah tuah seorang raja. Maka itu mitos berkaitan dengan kerajaan dan negeri adalah satu pertumbuhan negeri, asal-usul serta permulaan adat-istiadat zaman purba termasuk juga mitos yang berhubungan dengan kerajaan dan negeri.

Penelitian tradisi lisan yang lain dilakukan Bovier (2002) yang mengupas dan menguraikan seni musik dan pertunjukan dalam masyarakat Madura yang digunakan dalam perhelatan ritus puisi, nyanyian, musik, teater serta kehidupan sehari-hari penduduk Madura.

Dalam seni pertunjukan diuraikan teknik pertunjukan atas aspek tubuh yang menonjolkan gender (tubuh untuk merayu: Tayub, tubuh untuk bertanding: pencak silat, tubuh untuk bercerita: topeng, busana pentas, bahasa mimik, dan adegan yang ditarikan). Kemudian suara dan kata-kata: wicara, menyanyi, litani, pengajian dengan nada datar, dan penuturan ritmis efek suara khusus. Kondisi

kegiatan pentas seperti acara kesenian, daur dan almanak, misalnya: perayaan nasional, perayaan muslim, perhelatan di kuburan keramat.

Pada penelitian itu dijelaskan juga perubahan dan kecenderungan dalam: media massa, seni, politik, dan kontrol sosial, kecenderungan dewasa ini: Indonesianisasi, revitalisasi, dan Islamisasi. Istilah ‘lebur’ yang dipakai peneliti berarti ’menghibur’, baik, bagus. Sebaliknya penonton yang bosan dengan pertunjukan dapat berteriak ‘ta lebur’.Dengan demikian istilah lebur menjai inti pengalaman esetis Madura.

Penelitian Sinar, Dkk (2007) berdasarkan hasil konvensi Adat dan Seni Budaya Melayu Kesultanan Serdang 29 Juli 2007 di Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini memetakan kembali wilayah Kerajaan Serdang dari aspek upacara adat, sistem sosial ekonomi, ekosistem alam, olahraga, dan pemainan remaja, seni kuliner, kesenian, dan ornamen Melayu Serdang. Secara historis Kewilayahan Serdang termasuk dalam Residensi Sumatera Timur .Pada saat itu kekuasaan pemerintahan raja-raja Melayu, Karo dan Simalungun itu ditumbangkan dalam kecamuk politik yang disponsori kaum komunis dalam tragedi 3 Maret 1946 dalam peristiwa ‘revolusi sosial’. Banyak kaum bangsawan dibunuh serta, istana diserbu dan khazanah budaya dijarah.

Dokumen terkait