• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERALATAN SAMPLING DAN WET LAB:

3.4 Metoda Pengolahan Data

4.1.4 Estimasi Nilai Atenuasi

Gelombang dalam penjalarannya secara vertical menuju dasar laut akan mengalami pengurangan energi karena adanya proses atenuasi. Atenuasi menyebabkan pelemahan energi sehingga amplitudo gelombang yang sampai pada penerima menjadi lebih kecil dari pada amplitudo yang dikirimkan oleh pemancar. Untuk melihat hubungan atenuasi dengan frekuensi maka dibuktikan dengan table di bawah ini.

Table 3. Nilai Koefisien Atenuasi pada Lempung M ( ) Frekuensi (kHz) α (dB/λ) m 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 0,02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 1.2 1.5 1.7 1.9 2.0 2.2 2.4 2.6 2.7 2.9 *(Sumber: Lurton, 2002)

Table 4. Nilai Koefisien Atenuasi pada Pasir M ( ) Frekuensi (kHz) α (dB/λ) m 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0,02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.6 *(Sumber: Lurton, 2002)

Secara kuantitatif jenis sedimen lempung (Tabel 3) nilai m terkecil pada frekuens 0.02 kHz sebesar 1.2 dan nilai m terbesar pada frekuensi 0.2 kHz sebesar 2.9. Sedangkan jenis sedimen pasir (Tabel 4) nilai m pada pada frekuensi 0.02 sebesar 0.2, pada spektrum frekuensi 0.04 kHz – 0.06 kHz nilai m sebesar 0.3, pada spektrum frekuensi 0.08 kHz – 0.12 kHz nilai m sebesar 0.4, pada spektrum frekuensi 0.14 kHz – 0.18 kHz nilai m sebesar 0.5, dan pada frekuensi 0.2 kHz nilai m sebesar 0.6.

Dari hasil perhitungan diatas (Tabel 3 dan Tabel 4) bahwa nilai m cenderung memiliki kisaran 0 sampai 3, semakin besar spektrum frekuensinya maka semakin besar nilai m dan semakin besar pula koefisien atenuasinya. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi dan nilai koefisien atenuasi dari setiap sedimen. Nilai reflection loss dari dasar laut dipengarui oleh densitas, kecepatan suara, dan koefisien atenuasinya.

76 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis FFT gelombang seismik dari lima trace pada line 14 dan line 15 di daerah Paternoster, Doang, dan Spermonde yang terletak di antara Selat Makassar dan Laut Flores, maka dapat disimpulkan bahwa:

1) Terdapat perubahan amplitudo gelombang seismik sejak merambat dari daerah permukaan, dasar laut, dan dibawah dasar laut terhadap respon frekuensinya. Hal ini disebabkan bahwa semakin dalam gelombang seismik merambat ke dasar sedimen maka semakin lemah frekuensi tingginya. Faktor lain yang mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur.

2) Berdasarkan hasil filtering menggunakan software Seisee yang berfungsi untuk melihat penetrasi gelombang seismik terhadap dasar perairan maka penggunaan frekuensi rendah akan mendapatkan penetrasi batuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi tinggi.

3) Koefesien refleksi pada jenis sedimen pasir dan lempung nilainya berbeda tergantung dari jarak sumber suara dengan dasar periaran, sudut datang, absorbsi, dan nilai atenuasinya.

4) Besar kecilnya frekuensi yang digunakan akan mempengaruhi penetrasi dari gelombang seismik, karena semakin besar spektrum frekuensinya maka semakin besar nilai kuadrat frekuensinya (m) dan semakin besar pula koefisien atenuasinya. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi dan nilai koefisien atenuasi dari setiap sedimen. Nilai reflection loss dari dasar laut dipengarui oleh tiga faktor yaitu densitas, kecepatan suara, dan koefisien atenuasinya.

5.2 Saran

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik, sebaiknya pada penelitian selanjutnya digunakan data-data seismik yang terintegrasi dengan data pemboran. Hal ini untuk memastikan ketepatan penghitungan nilai impedansi akustik dan amplitudo gelombang pada saat berefleksi.

78 

Abdullah, A. 2008. Ensiklopedia Seismik. In http : / / www.

Ensiklopediaseismikblogspot.com. htm. Diunduh tanggal 28 September 2010

Anonim. 2011. Atenuasi. http://www.ndted.org /EducationResources/

CommunityCollege/Ultrasonics/Physics/attenuation.htm. Diunduh tanggal 3 Februari 2011

Bullen, K. E. 1959. An Introduction to The Theory of Seismology. University Press. Cambridge.

Clay, C.S., dan H. Medwin. 1998. Accoustical Oceanoghraphy: Principles and Aplications. A Willey-Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York.

Hamilton, E.L. 1976. Sediment Sound Velocity Measurements Made In Situ from The Bathyscape Trieste. J.Geophys. Res.68: 5991-5998.

Hasanudin, M. Teknologi Seismik Refleksi Untuk Eksplorasi Minyak dan Gas. Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta Kearns, R and F. C. Boyd. 1963. The Effect of a Marine Seismic Exploration on

Fish Population in British Colombia. Vancouver, Canada.

Lubis, S., B. Rahmat, dan A. Ibrahim. 1999. Metoda Interpretasi Rekaman Seismik Resolusi Tinggi. In Teori dan Aplikasi Metoda Seimik Resolusi Tinggi. Bidang Geofisika Kelautan. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral. Departemen

Pertambangan dan Energi. Bandung, Hal: 53-82

Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustic. Springer, Praxis. Chichester, UK.

Prawirasastra, R,. L. Arifin, dan A. Yuningsih. 1999. Seismik Pantul Saluran Tunggal Resolusi Tinggi. In Teori dan Aplikasi Metoda Seimik Resolusi Tinggi. Bidang Geofisika Kelautan. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral. Departemen

Rahardjo, P., I. R. Silaluhi, dan M. Yosi. 1999. Seismik Stratigrafi. In Teori dan Aplikasi Metoda Seimik Resolusi Tinggi. Bidang Geofisika Kelautan. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Direktorat Jendral Geologi dan

Sumberdaya Mineral. Departemen Pertambangan dan Energi. Bandung, Hal: 114-125

Rahardjo, P., M. Wijajanegara, N. Darwis, dan M. Hanafi. 1999. Metoda Analisa Gelombang Seismik Refleksi. In Teori dan Aplikasi Metoda Seimik

Resolusi Tinggi. Bidang Geofisika Kelautan. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral. Departemen Pertambangan dan Energi. Bandung, Hal: 154-170

Robinson, E. S. and S. Treitel. 1980. Geophysical Signal Analisis. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.

Sanny, T. A. 2004. Panduan Kuliah Lapangan Geofisika Metode Seismik Refleksi. Dept. Teknik Geofisika, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Susilawati. 2004. Seismik Refraksi (Dasar Teori dan Akuisisi Data). Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Fisika, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Trabant, Peter K. 1984. Applied High-Resolution Geophysical Methods. IHRDC, Boston.

80

Konfigurasi streamer yang dipergunakan selama kegiatan survei seismik multichannel. Empat activesection atau 48 channel dipergunakan untuk akuisisi data. Streamer ditarik pada kedalaman 5 – 7 meter dari permukaan laut. TES (Tail Elastic Section) dipasang di belakang streamer untuk mengurangi noise dari Tail Buoy.

Lampiran 1. Survei Seismik Multichannel Dua Dimensi dengan Kapal

SHIP PARTICULAR

Ship Name : KM. GEOMARIN III

Port of Registry : Jakarta

Flag : Indonesia

IMO No. : 9499565

Call Sign : P M J V

MMSI : 525. 015. 307

Vessel Type : Survey Vessel (Marine Geology & Geophysical) Classification : NK (Nipon Toikoku Kaiji Kyokai) dan

BKJ (Biro Kalsifikasi Indonesia) Shipbuilder : PT. PAL – Surabaya

Built in : 2008

Gross Tonnage : 1254

Net Tonnage : 377

Lengt Over All (LOA) : 61,70 Meter Lengt B. P (LBP) : 55,00 Meter Breadth (Middle) : 12,00 Meter Maximum Draft : 3,70 Meter Maximum Speed : 13,5 Knot Service Speed : 12,5 Knot Survey Speed : 4 Knot

Owner : PUSLITBANG GEOLOGI KELAUTAN

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL

Main Engien (ME) : MAN B&W L23/30A (2 x 800 Kw / 825,0 Rpm) Auxiliary Engine (AE) : MAN D 2840 LE 301 (3 x 443 Kw / 1500 Rpm) Emergency Diesel Generator : MAN D 2866 TE 20 (177 Kw / 1500 Rpm) Bow Thruster : Type HRP 4008 TT

Type Propellers & Rudder : 2 x 4 Blades CCP Fuel Oil Tank Capacity : 267 M3

Lube Oil Tank Capacity : 11 M3 Fresh Water Tank Capacity : 124 M3 Ballast Tank Capacity : 110 M3 Provision Store : 17,0 Ton

Fuel Consumption : 8,5 Ton / 10.000 Liter per Days Sea Service (12 Knot) : 5.400 Miles

Streaming Range : 30 Days

Life Rafts : 1 Unit

Rubber Boat : 1 Unit

Rescue Boat : 1 Unit

Working Boat : 1 Unit

Ship Crew : 21 Person

Scientist and technicians : 30 Person Total Component on Board : 51 Person

Kapal Penelitian Geomarin III 1. Air gun

Type Gun II 150 Selang pada gun

Pengaturan gas ke gun Kabel gun Gun saat diledakan

Sinyal Trigger pada gun Gun setting

Pengaktifan Air gun bisa menggunakan Air gun tertentu dengan memilih on dan off saja. Air gun dicoba terlebih dahulu sebelum dipakai untuk survei.

2. Gas

Kompresor Pengaturan gas Reduktor gas Survei seismik memiliki sumber (air gun) dengan tipe G Gun II 150, penerima (streamer), record (di laboratorium geofisika). Gun memiliki 3 selang yaitu selang untuk kompresor (angin), (time break) pengaturan waktu yang akan diledakan dengan pengaturan di laboratorium geofisika dan solenoid (record

sinyal trigger) yang disambungkan ke laboratorium geofisisika. Air gun terdapat

trigger yang berupa penguat sinyal untuk pemicu peledakan. Gun diisi gas campuran seperti udara bebas melalui kompresor dengan adanya pengaturan gas yang dilewati oleh reduktor gas. Untuk mengurangi keluaran gas yang akan masuk ke selang Air gun. Gas yang keluar dari kompresor akan diatur dengan

pengaturan gas yang akan dikeluarkan. Kemudian masuk kedalam kabel gun, kabel ini akan dimasukan kedalam Air gun.

3. Streamer

Hidrofonpada Streamer Rolling streamer

Streamer dan Bird Streamer

Streamer memiliki cairan berupa kerosin, cairan ini digunakan karena dapat meredam noise dan mampu menghantarkan gelombang suara ke hidrofon di dalam streamer. Streamer memiliki hidrofon yang dilapisi dengan kain busa/kasa. Dihubungkan dengan kumparan yang dililit tali. Data yang diterima terlihat secara real time dalam pengaturan satu channel. Streamer merupakan alat yang digunakan untuk menerima pulsa suara terpantul oleh struktur perlapisan bumi di bawah permukaan dasar laut. Streamer Sercel/ baby Seal dipergunakan dalam kegiatan survei seismik ini dengan panjang maksimal 600 meter atau 4 active section (ALS) yang terdiri dari 48 active channel, dengan spasi antar channel

panjang masing-masing 150 meter, sehingga setiap active section terdapat 12

active channel. Pada masing-masing channel terdapat 16 hidrofon aktif yang disambungkan secara paralel. Enam unit Field Digitizer Unit (FDU) dipasang di dalam streamer berfungsi mengubah signal analog yang diterima oleh hidrofon menjadi digital, sehingga signal yang dikirimkan ke recording system di Laboratorium Geofisika Geomarin III telah dalam bentuk digital.

4. Digibird

digibird dalam survei

Streamer yang digunakan untuk merekam sinyal kembali dari bawah laut dengan hidrofon perlu diatur kedalamannya sehingga dapat menghasilkan kualitas data yang terbaik dan terhindar dari noise (gangguan suara). Pengontrolan

streamer ini sendiri diatur kedalamnnya oleh digibird. Pengaturannya berlangsung di dalam kapal tepatnya di bagian geofisik. Digibird dites dulu sebelum survey dilakukan yakni dengan digibird control pada software diberikan nilai -15 artinya fin dapat bergerak ke bawah 15 derajat dan +15 artinya bergerak naik keatas.

Coil 

Monitoring bird Pengaturan bird Tampilan posisi bird

Digibird control menggunakan software DigiCourse . Digibird dipasang pada setiap section di streamer untuk pengontrol kedalaman. Untuk idealnya dalam mendapatkan data, streamer berada pada kedalaman 5-9 meter. Jika

digibird naik kurang dari angka tersebut maka dapat meningkatkan noise dan data seismik yang dihasilkan kurang baik. Pada survei kali ini hanya digunakan 3 bird.

Contoh log book data Bird yang ditulis setiap 30 menit disertai dengan keterangan

5. Tail buoy

Tail buoy Lampu Tail buoy Tail buoy saat diturunkan

Tail buoy digunakan untuk memberi tanda sejauh mana akhir dari

streamer dan biasanya juga dapat digunakan untuk memberikan posisi namun harus dilengkapi dengan sebuah sensor posisi. Lampu Tail buoy sangat berguna jika dimalam hari karena biasanya saat gelap lampu pada Tail buoy akan menyala untuk member tanda terhadap keberadaan posisi streamer.

6. Sampling

Gravity Core Core Capture

Winch Tampilan Kabel yang dikeluarkan

oleh Winch

Gravity Core saat dinaikkan ke kapal dan diambil paralon yang mengandung sedimen bawah laut

Dalam pengambilan sampel dengan menggunakan gravity core, alat ini mampu mencapai kedalaman ribuan meter. Paralon dimasukan kedalam gravity core sebelum pengambilan sampel, pencatatan data posisi sampling dilakukan di navigasi di laboratorium geofisik kemudian gravity core diturunkan sampai mencapai dasar perairan dengan melihat cabel out. Sampel yang didapat diberikan nama top dan bottom pada paralon.

Grab digunakan sebagai alat pengambil sedimen di bawah laut sama halnya seperti Gravity core. Botol Nansen yang dimodifikasi diatas digunakan ntuk mengambil sampel air di permukaan perairan untuk diteliti lebih lanjut.

7. Navigasi

Data navigasi kapal

Data posisi dari C-Nav diperoleh setiap detik dan diproses oleh GeoNav

untuk dapat memberikan pulsa penembakan airgun setiap interval jarak 12.5 meter. Data tersebut juga digunakan untuk memberikan informasi posisi dan arah kapal yang ditampilkan pada Helsman’s Display di Laboratorium Geofisika maupun anjungan kapal sebagai acuan bagi juru mudi kapal. Walaupun rencana lintasan sudah ditentukan sedemikian rupa sebelumnya pada prakteknya arah dan kecepatan kapal dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Keterangan gambar :

SPD : Kecepatan kapal HDG : Heading merupakan arah

L.BRG : Besarnya sudut arah tidak tepatnya pada lintasan CMG : Magnetic

DCC : Besarnya bergesernya arah kapal terlihat dari warna. Jika berwarna hijau angkanya bergeser ke kanan dan jika bernilai merah angkanya bergeser kekiri.

D start :Panjangnya lintasan yang telah dilalui D end : Sisa lintasan yang di tempuh

Depth : Kedalaman perairan

T EOL- time end of line : Waktunya sampai di lintasan

8. Rekaman data seismik

Data seismik yang terekam pada monitor

Seismic recording system di Geomarin III terdiri dari beberapa sub-sistem yang disebut sebagai Sercel Seal System, disamping itu juga terdapat deck system

Lampiran 2. Syntax Hubungan Waktu dengan Amplitudo subplot(2,1,1) load ('de.txt'); time=de(:,1) amp=de(:,2) plot (time,amp) hold on subplot(2,1,2) load('de.txt'); y = de(:,2); Y = fft(y,4000); Pyy=20*log10(Y); Pyy=Pyy(1:end/2); f = 250*(1:4000)/256; f=f(1:end/2); plot(f,Pyy)

Lampiran 3. Syntax Hubungan Spektrum Frekuensi dengan Amplitudo

load('bottom.txt'); y = bottom(:,2); Y = fft(y,70); Pyy=20*log10(Y); Pyy=Pyy(1:end/2); f = 250*(1:70)/256; f=f(1:end/2); plot (f,Pyy)

Lampiran 4. Rumus Mencari Koefisien Refleksi dan Impedansi

Pada contoh data coring akan dicari koefisien refleksi dengan menggunakan rumus :

Koefisien Refleksi (R) =

,

dengan = Impedansi akustik dari sedimen 1 dan

= impedansi akustik dari sedimen 2. Sedangkan untuk Impedansi dengan menggunakan rumus Z = ρ.c dengan ρ adalah densitas (Kg/m3) dan c adalah cepat rambat (m/s).

Titik sampling GM‐3‐2010‐2010‐20, pasir (Sand) dan lempung pasiran (Sandy Clay) Zpasir= ρ.c = 1.950 x 1725 = 3363.75 gr/cm2 /det

Z

Lumpur Pasiran= ρ.c = 1.200 x 1470 = 1762 gr/cm2 /det (R) = = ‐0.3125 gr/cm2 /det

Titik sampling GM‐3‐2010‐1910‐27,  pasir (Sand)

Zpasir= ρ.c = 1.950 x 1725 = 3363.75 gr/cm2

Lampiran 5. Rumus Mencari Koefisien Atenuasi

Hubungan frekuensi dengan penetrasi dipengaruhi nilai absorbsi pada dasar perairan. Untuk melihat pengaruh nilai absorbsi tersebut dapat dilihat dari persamaan:

dimana αb merupakan dB/meter, f adalah frekuensi dalam kHz, dan kp adalah rata-rata ukuran butir. Berikut contoh perhitungan:

   

Konfigurasi streamer yang dipergunakan selama kegiatan survei seismik multichannel. Empat activesection atau 48 channel dipergunakan untuk akuisisi data. Streamer ditarik pada kedalaman 5 – 7 meter dari permukaan laut. TES (Tail Elastic Section) dipasang di belakang streamer untuk mengurangi noise dari Tail Buoy.

HAQQU RAMDHANI. Pengaruh Frekuensi Akustik Terhadap Penetrasi Sub Bottom Profile Dengan Penerapan Acoustic Filtering. Dibimbing oleh HENRI M. MANIK dan SUSILOHADI.

Kebutuhan data geofisika kelautan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat akibat semakin maraknya kegiatan eksplorasi sumberdaya mineral dan energi di laut. Salah satu metode yang cukup handal untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah metode seismik refleksi, karena memiliki keakuratan yang tinggi untuk mengetahui karakteristik dasar laut, seperti ketebalan dan volume endapan sedimen permukaan laut, struktur dasar laut, dan kedalaman suatu perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh frekuensi akustik terhadap penetrasi metoda seismik refleksi ke bawah permukaan batuan dengan penerapan analisis spektrum data digital dan AcousticFiltering.

Akuisisi data lapangan dilaksanakan pada tanggal 23 Juli – 21 Agustus 2010 di daerah Pastenoster, Doang, dan Spermonde yang terletak di antara Selat Makassar dan Laut Flores pada koordinat 05°00’00’ – 07°00’00” LS dan

117°00’00”–120°00’00” BT. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (PPPGL) di Bandung.

Dalam pengolahan data seismik untuk penelitian ini software Promax dan Matlab digunakan untuk mengevaluasi dan menganalisis data serta Seisee

digunakan untuk melihat tampilan digital data seismik dan mengekstraknya dalam Microsoft Exel. Analisis dilakukan terhadap spektrum frekuensi dari trace-trace seismik yang diolah.

Berdasarkan hasil analisis FFT gelombang seismik dari lima trace pada line 14 dan line 15 Terdapat perubahan amplitudo gelombang seismik sejak merambat dari daerah permukaan, dasar laut, dan dibawah dasar laut terhadap respon frekuensinya. Hal ini disebabkan bahwa semakin dalam gelombang seismikmerambat ke dasar sedimen maka semakin lemah frekuensi tingginya. Faktor lain yang mempengaruhi amplitudo gelombang akustik yang dipantulkan adalah sudut datang gelombang akustik pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang akustik oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi akustik yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur. Berdasarkan hasil filtering menggunakan software Seisee, penggunaan frekuensi rendah akan mendapatkan penetrasi batuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi tinggi.

Berdasarkan hasil pemetaan sedimen yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (PPPGL) adanya perbedaan nilai koefesien refleksi pada jenis sedimen pasir dan lempung tergantung dari jarak sumber suara dengan dasar periaran, sudut datang, absorbsi, dan nilai atenuasinya. Besar

kecilnya frekuensi yang digunakan akan mempengaruhi penetrasi dari gelombang seismik, karena semakin besar spektrum frekuensinya maka semakin besar nilai kuadrat frekuensinya (m) dan semakin besar pula koefisien atenuasinya. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi dan nilai koefisien atenuasi dari setiap sedimen.

Dokumen terkait