• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Landasan Teori

3. Etika Kerja Islami

Etika berasal dari bahas Yunani, ethios yang mempunyai beragam arti: pertama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar-salah, wajib, tanggung jawab, dan lain-lain. Kedua, pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan- tindakan moral. Ketiga, pencarian kehidupan yang baik secara moral.

Menurut kamus umum bahasa Indonesia, etika pada umumnya didefinisikan sebagai suatu usaha yang sistematis dengan menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral individual dan social sehingga dapat menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku manusia serta nilai-nilai yang berbobot untuk dapat dijadikan sasaran dalam hidup.

Etika menurut Frans dalam Panuju (1995: 2), adalah filsafat yang merefleksikan ajaran-ajaran moral, yang bersifat rasional, kritis, sistematis, mendasar dan normative. Erarti tidak sekadar melaporkan pandangan-pandangan moral, melainkan menyelidiki pandangan moral yang seharusnya.

Menurut Imam Ghozali dalam Ali hasan (2009: 171), mendefiniasikan etika sebagai sifat yang tetap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tidak membutuhkan pikiran.

Etika merupakan alasan-alasan rasional tentang semua tindakan manusia dalam semua aspek kehidupannya. Sementara itu etika kerja Islami muncul ke permukaan dengan landasan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Isllam merupakan kumpulan aturan-aturan ajaran

(doktrin) dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia dalam

kehidupannya menuju tujuan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

Dari berbagai pengertian di atas, definisi etika adalah alat yang digunakan untuk menilai atau mengukur baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan seseorang berdasarkan akal pikiran atau rasionalitas. Etika yang Islami tidak hanya menggunakan rasio dalam menilai perbuatan, tetapi juga didasarkan pada Al-Quran dan Hadits.

Sehingga tindakan yang dinilai etika Islam adalah berdasarkan akal pikiran yang sesuai dengan ajaran syariat Islam.

Menurut Ali (2009: 171), ada empat pilar utama dalam konsep etika kerja Islami yaitu:

1. Berusaha (effort), seorang muslim diwajibkan untuk berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan masyarakat. Islam sangat menjunjung tinggi produktifitas kerja karena akan meminimalisir berbagai permasalahan social dan ekonomi.

2. Persaingan (competition), seorang pekerja harus mampu bersaing dengan karyawan lain secara fair dan jujur dengan niat

fastabiqul koirat (berlomba untuk mencapai kebajikan).

3. Keterbukaan (transparency), keterbukaan terhadap berbagai kegiatan yang ada dalam organisasi.

4. Moralitas (morality), segala bentuk kegiatan harus berdasarkan etika Islam, karena agama Islam tidak mengenal dikotomis antara urusan keduniaan dan agama.

Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, islam mengajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut ini (Jannah: 2013):

1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam Alquran, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang

kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.”(Q.S,

17: 36).

2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana dapat dipahami dari hadis Nabi saw, “Apabila

suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka

tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-

Bukhari).

3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang

telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu

kerjakan.” (Q.S. Al-Mulk: 67: 2). Dalam Islam, amal atau

kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar mutu.

4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung

jawab, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah,

“Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan

orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(Q.S. 9:

105).

5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi. Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan kiamat.

6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan. Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam Alquran ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan

kebaika.”(Q.S. 53: 31). Dalam hadis Nabi dikatakan,

“Sesuatu yang paling berhak untuk kamu ambil imbalan

atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R. al-Bukhari). Jadi,

menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan pengkajian terhadapnya,

tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam agama.

7. Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai riza Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut. Sabda Nabi saw. itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu, komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat kesungguhan tertentu.

8. Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk keberadaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi

keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene

Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia – maka sesungguhnya, dalam ajaran

Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat,

maka aku ada.Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri: “Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa

yang ada dalam lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhan-mulah tujuan

yang penghabisan”.

Etika kerja Islami diukur dengan teori yang dikemukakan oleh Mustaq (2001: 109) harus memiliki tata karma sebagai berikut:

a. Murah Hati

Karyawan senantiasa melakukan pelayanan dengan selalu bersikap ramah, sopan, murah senyum, suka mengalah namun penuh tanggung jawab.

b. Motivasi Berbakti

Karyawan hendaknya berniat untuk memberikan pengabdian yang diharapkan oleh masyarakat, dan memberikan perhatian pada kepentingan orang lain, yang karena alas an tertentu tidak mampu melindungi dan memproteksi kepentingan dirinya sendiri.

c. Selalu ingat Allah

Karyawan tidak melalaikan kewajibannya kepada Allah meski dalam menjalankan pekerjaannya.

Dokumen terkait