MEMAHAMI KONSEP-KONSEP TERKAIT ETIKA
C. Etika Sebagai Cabang Filsafat
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya etika adalah ilmu tentang nilai tingkah laku dan moral manusia. Sehubungan dengan itu, menurut Bertens (2002) kajian etika secara lazim dapat dibagi dalam tiga kelompok pendekatan, yaitu etika deskriptif, normatif serta metaetika. Dalam perkembangannya dikenal pula istilah etika terapan/ aplikatif. Pendekatan tersebut akan diuraikan satu persatu secara lebih komprehensif berikut ini untuk memperkaya wawasan pembaca.
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif adalah tentang "bagaimana dunia ini”, merupakan investigasi faktual terhadap standar moral, menjelaskan praksis moral
(pendapat moral, sikap dan tindakan) berdasar sejarah lampau dan kondisi sekarang (Gamlund, 2012). Etika deskriptif menggambarkan tingkah laku moral secara luas, misalnya aturan yang diikuti dalam kebudayaan masyarakat pada tempat, waktu, atau periode tertentu.
Menurut Icheku (2011) etika deskriptif merupakan bentuk penelitian empiris terhadap sikap individu atau kelompok orang. Etika ini melibatkan pengamatan dalam proses pengambilan keputusan moral dengan tujuan untuk mendeskripsikan fenomena. Orang yang memfokuskan diri pada etika deskriptif bertujuan mengungkap keyakinan orang tentang hal-hal seperti nilai, tindakan benar dan salah, dan karakteristik agen moral mana yang layak diikuti. Penelitian terhadap etika deskriptif juga dapat menyelidiki harapan etis masyarakat atau tindakan apa yang akan dihargai atau dihukum oleh hukum atau politik. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa budaya bersifat generasional (relatif dan tentatif tergantung ruang dan waktu) dan tidak statis. Oleh karena itu, generasi baru akan hadir dengan etikanya sendiri dan sesuai syarat dan standar etika mereka. Etika deskriptif kemudian akan mencoba untuk mengawasi apakah etika masih memegang tempatnya. Etika deskriptif biasanya melibatkan penyelidikan empiris, biasanya dilakukan oleh orang yang berkecimpung dalam biologi evolusioner, psikologi, sosiologi maupun antropologi. Informasi yang berasal dari etika deskriptif, bagaimanapun, juga digunakan dalam argumen filosofis.
Lawrence Kohlberg adalah salah satu contoh psikolog yang mengerjakan etika deskriptif. Dalam sebuah penelitian, misalnya Kohlberg mempertanyakan sekelompok anak laki-laki tentang tindakan yang benar atau salah bagi seorang pria yang menghadapi dilema moral: apakah dia harus mencuri obat untuk menyelamatkan istrinya, atau menahan diri dari pencurian meskipun hal itu akan mengarah pada kematian istrinya? Kekhawatiran Kohlberg bukanlah pilihan yang dibuat anak laki-laki, tapi penalaran moral yang ada di balik keputusan mereka. Setelah melakukan sejumlah studi terkait, Kohlberg merancang sebuah teori tentang perkembangan penalaran moral manusia yang dimaksudkan untuk mencerminkan penalaran moral yang benar-benar dilakukan oleh para peserta dalam penelitiannya. Penelitian Kohlberg dapat digolongkan sebagai etika deskriptif sejauh ia menggambarkan perkembangan moral aktual manusia bukan menggambarkan bagaimana manusia seharusnya berkembang secara moral atau preskriptif (Kohlberg, 1971).
2. Etika Normatif
Etika normatif sering dianggap peling penting dalam kajian etika. Etika normatif adalah studi tindakan etis, merupakan cabang etika filosofis yang menyelidiki serangkaian pertanyaan yang muncul saat mempertimbangkan bagaimana seseorang harus bertindak dan berbicara secara moral. Etika normatif berbeda dengan metaetika karena ia mengkaji standar untuk kebenaran dan kesalahan tindakan, sedangkan metaetika mempelajari makna bahasa moral dan metafisika dari sebuah fakta moral. Etika normatif juga berbeda dengan etika deskriptif, karena etika deskriptif hanya melakukan penyelidikan empiris atas kepercayaan moral seseorang. Sebagai contohnya adalah etika deskriptif akan memperhatikan bagaimana proporsi orang percaya bahwa seseorang yang melakukan pembunuhan selalu salah, sementara etika normatif berkaitan dengan apakah benar ia memiliki keyakinan semacam itu. Oleh karena itu, etika normatif terkadang disebut preskriptif, bukan deskriptif. Namun, pada versi atau kondisi tertentu pandangan metaetika menyebutkan bahwa realisme moral, fakta moral bersifat deskriptif dan preskriptif pada saat bersamaan (Cavalier, 2002).
Lebih lanjut menurut Cavalier (2002) etika normatif tertarik untuk menentukan isi perilaku moral kita. Teori etika normatif berusaha memberikan panduan tindakan; prosedur untuk menjawab pertanyaan praktis, "Apa yang harus saya lakukan?" Ketika menjawab pertanyaan itu, seseorang akan melakukan penilaian tentang norma-norma, dan secara rasional penilaian norma itu sangat menentukan sikap yang diambil seseorang, “yang baik’ dan “yang buruk”. Teori moral Kant dan Bentham adalah contoh teori normatif yang berusaha memberikan panduan untuk menentukan tindakan moral yang spesifik.
Cline (2017) menjelaskan bahwa kategori etika normatif juga mudah dipahami, yaitu melibatkan pembuatan atau evaluasi standar moral. Oleh karena itu, usaha untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan orang atau apakah perilaku moral mereka saat ini masuk akal (logis), mengingat standar moral apa pun yang digunakan dalam konteks itu. Secara tradisional, sebagian besar bidang filsafat moral telah melibatkan etika normatif dan hanya ada sedikit filsuf di luar itu yang belum mencoba untuk menjelaskan apa yang mereka pikir harus dilakukan orang dan mengapa. Proses ini melibatkan pemeriksaan standar moral yang digunakan orang saat ini untuk menentukan apakah tindakan tersebut
konsisten, masuk akal, efektif, dan/atau dibenarkan, serta berusaha membangun standar moral baru yang mungkin lebih baik. Dalam kedua kasus tersebut, filsuf secara kritis menyelidiki sifat dan dasar standar moral, prinsip moral, peraturan moral, dan perilaku moral. Pekerjaan semacam itu mungkin mencakup keberadaan Tuhan sebagai premis, meskipun ini jauh lebih mungkin terjadi bila seseorang adalah seorang teolog. Banyak ketidaksepakatan antara atheis dan dengan orang yang percaya agama mengenai pertanyaan moral berasal dari ketidaksepakatan mereka tentang apakah keberadaan Tuhan adalah premis yang relevan atau perlu untuk disertakan saat mengembangkan Etika Normatif.
3. Etika Terapan
Kajian tentang etika normatif mengarahkan kita pada“etika umum dan etika khusus”. Etika umum berlandasarkan norma etis/norma moral, hak dan kewajiban, hati nurani, dan sejenisnya. Etika khusus mengimplementasikan etika umum dalam konteks perilaku secara khusus. Seiring perkembangan waktu, etika khusus berkembang menjadi “etika terapan (applied etics)”. Menurut Cline (2017) etika normatif juga mencakup keseluruhan bidang etika terapan, yang merupakan usaha untuk mengambil wawasan dari karya para filsuf dan teolog dan menerapkannya pada situasi dunia nyata. Misalnya, bioetika adalah aspek penting dan berkembang dari etika terapan yang melibatkan orang-orang yang menggunakan gagasan dari etika normatif untuk menentukan keputusan terbaik dan paling moral mengenai masalah kesehatan, kedokteran, lingkungan, pertanian dan peternakan.
Etika Terapan jauh lebih siap untuk memasukkan wawasan psikologi, sosiologi dan bidang pengetahuan lainnya yang relevan dalam pembahasan problem etis kehidupan. Contoh pertanyaan tentang etika terapan, yaitu: "Apakah melakukan memburu hewan tidak bermoral?", "Apakah menebang pohon di hutan tidak bermoral?", "Apakah tindakan afirmatif benar atau salah?", "Apa hak asasi manusia, dan bagaimana kita menentukannya?" dan "Apakah hewan memiliki hak juga?"
4. Metaetika
Metaetika adalah upaya untuk memahami metafisika, epistemologi, semantik, psikologi, dan komitmen moral, perkataan, dan tindakan. Metaetika mengandung pertanyaan dan teka-teki, misalnya(1) Apakah moralitas lebih merupakan masalah selera daripada kebenaran? (2)
Apakah standar moral secara kultural bersifat relatif? (3) Apakah ada fakta moral? Jika ada fakta moral, apa asal usulnya? Bagaimana ia menetapkan standar yang sesuai untuk perilaku kita? (4) Bagaimana fakta moral dikaitkan dengan fakta lain (tentang psikologi, kebahagiaan, dan konvensi manusia)? (5) Dan bagaimana kita belajar tentang fakta-fakta moral, jika ada? Pertanyaan-pertanyaan ini secara alami menimbulkan teka-teki tentang makna klaim moral dan juga tentang kebenaran moral dan pembenaran komitmen moral kita. Metaetika mengeksplorasi juga hubungan antara nilai, alasan tindakan, dan motivasi manusia, menanyakan bagaimana standar moral tersebut memberi kita alasan untuk melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan apa yang diminta, dan ini membahas banyak masalah yang biasanya terkait dengan sifat kebebasan dan signifikansinya untuk tanggung jawab moral (Sayre-McCord, 2012).
Perwujudan metaetika dalam kehidupan praktis mengkaji kaidah bahada aspek moralitas khususnya yang berkaitan dengan bahasa etika (bahasa moral), yang bertautan dengan akal sehat atau logika, seperti ungkapan atau ucapan (Yosephus, 2010). Bahasa yang digunakan sering memunculkan penilaaian etis tentang baik dan buruk sesuatu berdasar logika. Contoh yang dapat dimunculkan adalah iklan kendaraan bermotor di televisi yang sering menyesatkan. Produsen memunculkan produk yang “semakin di depan, yang lain pasti ketinggalan”, atau “memudahkan kehidupan Anda”, dan slogan lain. Mereka memproduksi jutaan unit kendaraan bermotor. Muncullah polusi dan banyak pula terjadi kecelakaan. Manakala muncul berbagai kritik dari aktivis lingkungan dan masyarakat, maka muncullah “bahasa” atau “slogan” baru yang menjadi “ucapan etis”, misalnya “kendaraan ramah lingkungan” atau “budayakan safety riding”. Ucapan etis tersebut menjadi sejenis perilaku moral baik yang dimunculkan produsen dan dikampanyekan agar masyarakat “bijaksana” dalam memakai kendaraan bermotor.