• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Etil Asetoasetat

Etil asetoasetat, atau yang dikenal pula dengan nama etil 3-oksobutanoat merupakan turunan dari senyawa organik asam asetat yang memiliki rumus molekul C6H10O3. Senyawa etil asetoasetat memiliki rumus struktur seperti ditunjukkan sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur Etil Asetoasetat

Etil asetoasetat mempunyai karakteristik seperti ester yakni memiliki aroma khas seperti buah. Etil asetoasetat banyak digunakan dalam sintesis kimia, salah satunya sebagai zat perantara dalam sintesis senyawa dihidropirimidinon sebagai senyawa antibakteri (Fauziyah, 2015). Etil asetoasetat dapat disintesis dari etil asetat dan natrium etoksida melalui Kondensasi Claisen. Reaksinya sebagai berikut (Hart, 2003):

O O

|| α || 1. NaOCH2CH3

CH3C—OCH2CH3 + H—CH2—C—OCH2CH3

etil asetat etil asetat dalam etanol 2. H3O+

O O || ||

CH3C—CH2—C—OCH2CH3 + CH3CH2OH etil asetoasetat etanol Gambar 2. Reaksi Sintesis Etil Asetoasetat

6

Tabel 1. Sifat Kimia dan Fisika Etil Asetoasetat Massa molekul 130,14 g/mol

Bentuk Cairan tidak berwarna

Titik leleh - 45oC Titik didih 180-184oC

Densitas 1,0358 g/cm3 (17oC)

Kelarutan Sedikit larut dalam air, sangat larut dalam pelarut organik

Sumber : Encyclopedia of Food and Color Additive Volume 1

Menurut Clayden sebagaimana dikutip oleh Firdausiah (2012), berdasarkan struktur kimia dari etil asetoasetat dapat diketahui bahwa senyawa ini memiliki dua posisi hidrogen α, yaitu hidrogen α yang bertetangga dengan gugus karbonil keto dan hidrogen α yang diapit oleh dua gugus karbonil. Keasaman kedua posisi hidrogen α ini berbeda, dimana hidrogen α yang diapit oleh dua gugus karbonil bersifat lebih asam (pKa=11) dibandingkan hidrogen α yang bertetangga dengan gugus karbonil keto (pKa>20).

Akibat memiliki keasaman yang tinggi pada hidrogen α serta asamnya mudah mengalami dekarboksilasi termal untuk menghasilkan senyawa keton, senyawa etil asetoasetat dapat digunakan sebagai material awal untuk pembuatan keton seperti yang telah dilakukan Firdausiah (2012), dalam sintesis senyawa 6-hidroksi-2-heksanon dari reaksi alkilasi antara etil asetoasetat dan 3-bromo-1-propanol dengan basa natrium etoksida.

7 2. Etil Bromida

Etil bromida atau yang memiliki nama lain bromoetana merupakan senyawa kimia dengan rumus molekul CH3CH2Br. Adapun sifat kimia dan fisika etil bromida dapat ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Sifat Fisika dan Kimia Etil Bromida Massa molekul 108,97 g/mol

Bentuk Cairan tidak berwarna

Titik leleh - 118,09oC (- 180,6oF) Titik didih 38,04 oC (100,5oF)

Densitas 1,46 g/mL

Kelarutan Larut sebagian dalam metanol, dietil eter. Sedikit larut dalam air dingin, air panas. Sumber : Sciencelab.com

Senyawa ini merupakan turunan dari etana dimana salah satu atom hidrogen digantikan oleh atom Bromin. Etil bromida dapat diperoleh dari sintesis etanol dengan asam bromida melalui reaksi substitisi nukleofilik. Reaksi ini terjadi apabila gugus pengganti merupakan pereaksi nukleofil. Asam bromida terionisasi melalui reaksi HBr H+ + Br-. Reaksinya sebagai berikut:

Tahap 1. Penyerangan nukleofil etanol terhadap atom hidrogen asam bromida menghasilkan ion etiloksonium yang bermuatan positif dan gugus lepas Br-.

8

Tahap 2. Ion bromida sebagai pereaksi nukleofil menyerang atom C yang mengikat atom oksigen dan mendorong air keluar.

Gambar 3. Reaksi Sintesis Etil Bromida dari Etanol dan Asam Bromida Etil bromida juga dapat diperoleh dari sintesis antara etena dengan asam bromida melalui reaksi adisi elektrofilik (Sumardjo, 2008). Reaksinya sebagai berikut:

Tahap 1. Penyerangan ikatan rangkap etena pada atom H asam bromida menghasilkan karbonium dan gugus lepas Br-.

Tahap 2. Penyerangan nukleofil pada karbonium

Gambar 4. Reaksi Sintesis Etil Bromida dari Etena dan Asam Bromida

3. Reaksi Alkilasi Etil Asetoasetat

Reaksi alkilasi erat hubungannya dengan pembentukan enolat yang dihasilkan karena adanya perlakuan dengan alkil halida. Reaksi alkilasi berguna untuk tujuan sintesis karena memungkinkan pembentukan ikatan karbon-karbon baru. Ikatan karbon-karbon yang baru terbentuk melalui reaksi

9

tipe SN2. Enolat akan bereaksi melalui tahap reaksi SN2 dengan alkil halida menghasilkan produk teralkilasi. Reaksinya dapat ditunjukkan sebagai berikut:

Gambar 5. Reaksi Alkilasi Enolat Melalui Reaksi SN2 (Fessenden, R.H & Fessenden, J.S., 1999)

Ion enolat jauh lebih berguna dibanding enol dengan dua alasan. Pertama, enol murni secara normal tidak dapat terurai; mereka hanya terbentuk sebagai intermediet yang singkat dalam konsentrasi yang kecil. Sebaliknya, larutan yang mengandung ion enolat murni lebih mudah dibuat dari kebanyakan senyawa karbonil yang apabila diberi perlakuan dengan basa kuat. Ion enolat jauh lebih reaktif dibandingkan dengan enol. Karena ion enolat membawa penuh muatan negatif, yang membuatnya lebih nukleofilik.

Enolat yang lazim digunakan adalah enolat yang diperoleh dari etil asetoasetat. Etil asetoasetat mempunyai hidrogen α yang bersifat protik dan memiliki pKa=11, sehingga akan mudah membentuk enolat dengan adanya ion etoksida (Firdausiah, 2012).

Menurut Clayden yang dikutip oleh Firdausiah (2012), pada reaksi terhadap etil asetoasetat, pemilihan basa menjadi hal yang penting. Pilihan terbaik biasanya suatu alkoksida yang identik dengan komponen alkoksida dari senyawa esternya.

10

Etil asetoasetat dapat mengalami reaksi alkilasi dengan metil iodida menggunakan katalis basa natrium etoksida. Reaksi etil asetoasetat dengan natrium etoksida dalam etanol akan menghasilkan ion enolat. Ion enolat berperan sebagai nukleofil yang menyerang hidrogen α yang diapit oleh dua gugus karbonil. Mekanisme reaksinya dapat ditunjukkan sebagai berikut:

a. Pembentukan ion enolat dari penyerangan nukleofil etoksida terhadap atom Hα etil asetoasetat.

b. Penyerangan ion enolat terhadap atom karbon pusat senyawa metil iodida dan melepaskan gugus lepas I-.

c. Pembentukan ion enolat kedua dari penyerangan nukleofil etoksida terhadap atom Hα etil asetoasetat lain.

d. Penyerangan ion enolat terhadap atom karbon pusat senyawa metil iodida dan melepaskan gugus lepas I- (reaksi alkilasi kedua).

11

Gambar 6. Reaksi Alkilasi antara Etil Asetoasetat dan Metil Iodida Menggunakan Katalis Natrium Etoksida (Fox & Whitesell, 1947)

Produk yang dihasilkan dari reaksi alkilasi masih mempunyai hidrogen α yang dapat bereaksi kembali dengan ion etoksida. Reaksi alkilasi kedua dapat terjadi dari hidrogen α lain yang terletak pada ikatan karbon-karbon diantara gugus karbonil. Hidrogen α lain kembali diserang oleh nukleofil etoksida dan menghasilkan ion enolat. Selanjutnya ion enolat menyerang atom karbon pusat senyawa metil iodida. Namun, reaksi ini berjalan lambat dibandingkan dengan reaksi alkilasi pertama. Pada alkilasi kedua juga dapat direaksikan dengan alkil halida yang berbeda, menghasilkan produk yang tersubstitusi grup alkil berbeda (Fox & Whitesell, 1947).

Alkil halida yang digunakan adalah alkil halida yang harus tidak memiliki efek sterik (Carey, 2000). Alkil halidanya dapat berupa alkil halida metil, primer, sekunder, dan tersier. Alkil halida metil dan primer memberikan rendemen yang baik; alkil halida sekunder memberikan rendemen yang lebih rendah karena adanya reaksi eliminasi yang menyaingi, sedangkan alkil halida tersier bereaksi hanya melalui eliminasi (Fessenden, R.J., & Fessenden, J.S., 1999).

Ada beberapa reaksi samping yang ditemukan di dalam reaksi alkilasi. Pertama, alkil halida dapat mengalami penataan ulang, sebagai contoh n-propil

12

klorida menghasilkan turunan isopropil; dan yang kedua adalah halida produk dapat bereaksi lebih lanjut (Firdaus, 2012).

4. Reaksi Hidrolisis dan Dekarboksilasi Ester Asetoasetat

Hidrolisis merupakan reaksi pemecahan senyawa kimia menggunakan air. Secara umum, reaksi hidrolisis dapat terjadi ketika suatu asam bertemu dengan basa yang akan menghasilkan garam dan air (Abi, 2017). Reaksi hidrolisis selalu melibatkan air, namun dalam reaksi hidrolisis ester dibantu dengan katalis. Ester dapat mengalami hidrolisis menjadi asam karboksilat dan alkohol.

Hidrolisis ester menjadi asam karboksilat dapat terjadi baik menggunakan katalis asam maupun katalis basa. Pada hidrolisis ester terkatalisis asam, semua tahapannya bersifat reversible, dan mekanisme pembentukan ester merupakan kebalikan dari hidrolisis ester. Mekanismenya ditunjukkan pada Gambar 7.

a. Protonasi oleh asam

13 c. Deprotonasi oleh molekul air

d. Protonasi oleh asam

e. Pelepasan molekul metanol akibat resonansi elektron

f. Deprotonasi oleh molekul air

Gambar 7. Mekanisme Reaksi Hidrolisis dan Pembentukan Ester Terkatalis Asam (Miller & Solomon, 1999).

Hidrolisis ester terkatalisis basa, dapat disebut juga dengan reaksi penyabunan (saponifikasi), yaitu reaksi hidrolisis yang bersifat irreversible.

14

Hal ini karena pada kondisi ini, asam karboksilat terkonversi menjadi anion karboksilat dan anion ini tidak dapat mentransfer asil ke alkohol. Mekanismenya ditunjukkan pada Gambar 8.

a. Penyerangan nukleofil hidroksida terhadap atom C karbonil

b. Pelepasan gugus metoksi akibat reonansi elektron

c. Penyerangan gugus metoksi terhadap proton dari asam karboksilat

Gambar 8. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ester Terkatalis Basa (Carey, 2000)

Dekarboksilasi merupakan reaksi penghilangan CO2 dari gugus karboksil (Bettelheim, 2013). Dekarboksilasi dapat terjadi hanya dengan gugus karbonil kedua tepat pada posisi β asam, karena produk dekarboksilasi harus diubah sebagai enol. Enol yang dihasilkan akan mengalami tautomerisasi menjadi keton. Kondisi dekarboksilasi harus pada suhu yang tinggi untuk melepaskan CO2 (Clayden, Greeves, and Warren, 2012). Suhu yang digunakan dalam reaksi

15

dekarboksilasi berkisar 140-160 oC (Allinger, 1980). Mekanisme reaksi dekarboksilasi dari derivat asetoasetat dapat ditunjukkan pada Gambar 9.

a. Reaksi hidrolisis terkatalis basa menggunakan NaOH yang telah dilarutkan dengan aquades

b. Reaksi protonasi anion karboksilat menjadi asam karboksilat

c. Reaksi dekarboksilasi menggunakan suhu tinggi menghasilkan enol

d. Enol mengalami tautomerisasi menjadi keton

16

Saponifikasi dan dekarboksilasi dari derivat teralkilasi etil asetoasetat dapat menghasilkan keton. Reaksi ini disebut sintesis ester asetoasetat. Reaksi ini merupakan prosedur standar pembentukan keton dari etil asetoasetat dan alkil halida menggunakan katalis etoksida (Carey, 2000).

5. Spektroskopi FTIR

Spektroskopi infrared atau inframerah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan gelombang elektromagnetik yang berada pada panjang gelombang 0,75-1000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000-10 cm-1 (Atun, 2016). Fungsi utama dari spektroskopi inframerah ini adalah memberikan informasi mengenai jenis gugus fungsional yang terdapat dalam senyawa yang tidak diketahui.

Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) merupakan metode instrumen inframerah modern yang digunakan untuk mendapatkan spektrum inframerah dari absorbansi, emisi, fotokonduktivitas atau Raman Scattering dari sampel padat, cair, dan gas (Fauzi, 2016). Prinsip kerja spektrofotometer inframerah adalah cahaya dari sumber dilewatkan melalui cuplikan kemudian dipecah menjadi frekuensi-frekuensi tunggal dalam monokromator dan intensitas relatif dari frekuensi masing-masing diukur oleh detektor (Atun, 2016).

Salah satu serapan paling khas dalam spektrum inframerah adalah kelompok gugus karbonil, menghasilkan puncak dengan intensitas kuat yang berada pada bilangan gelombang 1640-1820 cm-1. Senyawa aldehid, keton,

17

asam karboksilat, dan ester termasuk ke dalam kelompok gugus karbonil. Vibrasi regangan dari beberapa senyawa gugus karbonil dapat ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Vibrasi Regangan dari Beberapa Senyawa Gugus Karbonil

Tipe senyawa Posisi serapan

cm-1 µm Aldehid, 1720-1740 5,75-5,81 Keton, 1705-1750 571-5,87 Asam karboksilat, 1700-1725 5,80-5,88 Ester, 1735-1750 5,71-5,76

Sumber : Fessenden, R.J., and Fessenden, J.S., 1998

Keton memberikan spektra sederhana dari senyawa karbonil. Jika senyawa keton alifatik, akan memiliki regangan absorpsi yang kuat dan mengandung gugus C=O, C-H dan C-C.

Analisis menggunakan spektrofotometer FTIR memiliki beberapa kelebihan utama dibandingkan dengan spektrofotometer IR yaitu:

1. Dapat digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan, sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat.

2. Sensitivitas FTIR adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi dispersi standar karena resolusinya lebih tinggi .

3. Pada FTIR, mekanik optik lebih sederhana dengan sedikit komponen yang bergerak dibanding spektroskopi IR, sehingga dapat mengidentifikasi

18

material yang belum diketahui, serta dapat menentukan kualitas dan jumlah komponen sebuah sampel.

6. Spektroskopi GC-MS

Spektroskopi Massa merupakan suatu metode identifikasi yang tidak menggunakan interaksi antara gelombang elektromagnetik dengan materi, tetapi dengan menembakkan elektron berenergi tinggi (70 eV) pada sampel dalam keadaan gas, sehingga membentuk ion molekul dan ion fragmen (pecahan), selanjutnya ion akan dipisahkan berdasarkan massa/rasio muatan yang terekam sebagai data spektrum massa. Di dalam medan magnet, partikel-partikel bermuatan positif akan dibelokkan, sedangkan partikel-partikel-partikel-partikel yang tidak bermuatan (netral) tidak dibelokkan, sehingga partikel bermuatan positif yang akan terdeteksi dalam spektrofotometer massa (Atun, 2016).

Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa merupakan kombinasi sinergis dari dua teknik mikroanalisis yang sangat baik. Kromatografi gas memisahkan komponen dari campuran dalam waktu tertentu dan spektrometer massa menghasilkan informasi yang membantu dalam indentifikasi dari masing-masing komponen (Kitson, Larsen, and Mc Ewen, 2011).

Secara umum spektrometer massa berfungsi untuk menghasilkan berkas sinar kation dari zat, menghasilkan berkas kation menjadi bentuk spektrum (m/z), serta mendeteksi dan mencatat nilai massa relatif (m/z) dan kelimpahan isotopnya (%) atau intensitasnya (Atun, 2016). Spekrometer massa juga dapat digunakan untuk menetapkan massa molekul (Hart, 2003).

19

Keunggulan dari metode ini adalah sebagai berikut :

1. Efisien dan resolusi tinggi sehingga dapat digunakan untuk menganalisa partikel berukuran sangat kecil seperti polutan dalam udara

2. Aliran fasa bergerak (gas) sangat terkontrol dan kecepatannya tetap

3. Sensitivitas tinggi sehingga dapat memisahkan berbagai senyawa yang saling bercampur dan mampu menganalisa berbagai senyawa meskipun dalam kadar/konsentrasi rendah. Seperti dalam udara, terdapat berbagai macam senyawa yang saling bercampur dan dengan ukuran partikel/molekul yang sangat kecil.

B. Penelitian yang Relevan

Reaksi alkilasi etil asetoasetat telah dilakukan oleh Firdausiah (2012) yaitu dengan mensintesis senyawa 6-hidroksi-2-heksanon sebagai tahapan awal sintesis molekul feromon seks Conopomorpha Cramerella. Senyawa tersebut diperoleh dari alkilasi senyawa etil asetoasetat dan 3-bromo-1-propanol dengan katalis basa natrium etoksida pada suhu 78oC selama 3 jam. Kemudian dilanjutkan dengan reaksi hidrolisis dan dekarboksilasi pada suhu 97oC selama 2 jam. Dalam penelitian ini dihasilkan senyawa 6-hidroksi-2-heksanon dengan rendemen 36,09%.

Sintesis berbahan dasar etil asetoasetat juga telah dilakukan oleh Fauziyah (2015) yaitu dengan mensintesis senyawa dihidropirimidinon dari etil asetoasetat dan aplikasinya sebagai antibakteri. Senyawa etil asetoasetat hasil sintesis digunakan sebagai zat perantara dalam sintesis dihidropirimidinon sebagai

20

senyawa antibakteri. Dalam penelitian ini, belum terbentuk senyawa etil asetoasetat melainkan senyawa etil asetat dan berdasarkan uji aktivitas antibakteri senyawa dihidropirimidinon tidak menunjukkan adanya daya hambat.

C. Kerangka Berpikir

Senyawa etil asetoasetat merupakan senyawa yang berguna sebagai material awal dalam pembuatan keton. Namun, penelitian akan hal ini masih belum banyak dilakukan. Untuk meningkatkan pengetahuan tersebut, maka perlu dilakukan pengembangan ilmu sintesis senyawa organik dengan melakukan sintesis senyawa 3-etil-2-pentanon dari etil asetoasetat dan etil bromida menggunakan katalis etoksida melalui reaksi alkilasi dan dekarboksilasi. Reaksi ini merupakan reaksi substitusi elektrofilik dimana ion etil dari etil bromida berperan sebagai elektrofil akan menggantikan satu atom H pada posisi C3 dari senyawa etil asetoasetat yang berperan sebagai nukleofil. Berdasarkan mekanisme reaksi, maka memungkinkan senyawa 3-etil-2-pentanon akan terbentuk melalui dua kali reaksi alkilasi. Senyawa hasil sintesis kemudian diidentifikasi menggunakan FTIR dan GC-MS.

21 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah senyawa 3-etil-2-pentanon.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah rendemen dan identifikasi dari senyawa 3-etil-2-pentanon hasil sintesis.

B. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat-alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rangkaian alat refluks, termometer 100oC dan 200oC, magnetic stirrer, hot plate, spektrofotometer FTIR (Shimadzu FTIR), spektrometer GC-MS (GCMS-QP2010 SE), dan peralatan gelas yang umum digunakan dalam laboratorium (gelas kimia, gelas ukur, Erlenmeyer, pengaduk gelas, pipet ukur, gelas arloji, corong gelas, dan corong pisah).

2. Bahan-bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah, logam Na, etil asetoasetat, etil bromida, NaOH 7%, H2SO4 50%, Na2SO4 anhidrat, NaHCO3 10%, etanol p.a, dietil eter p.a aquades, dan kertas saring biasa.

22 C. Prosedur Penelitian

1. Reaksi Alkilasi Etil Asetoasetat

Sebanyak 1,4375 gram (0,0625 mol) logam Na dan 16 mL etanol kering dicampurkan dalam labu alas bulat leher tiga yang dilengkapi dengan kondensor. Campuran diaduk pada suhu kamar hingga logam Na benar-benar larut. Setelah logam Na larut, ditambahkan 7,97 mL (8,13 g, 0,0625 mol) etil asetoasetat, kemudian diaduk selama 10 menit pada suhu kamar. Ditambahkan 4,66 mL (6,81 g, 0,0625 mol) etil bromida secara perlahan sambil diaduk. Kemudian larutan direfluks selama 3 jam pada suhu 78oC. Setelah proses refluks selesai, hasil refluks didiamkan dan didekantasi untuk dipisahkan cairan berwarna kuning dari endapannya. Kemudian endapan dicuci dengan 2 x 3 mL etanol kering. Selanjutnya larutan dievaporasi untuk menguapkan pelarutnya dan didapatkan cairan kental berwarna kuning. Cairan kental berwarna kuning inilah yang digunakan pada tahap selanjutnya.

2. Reaksi Hidrolisis dan Dekarboksilasi

Hasil dari tahap pertama, dimasukkan ke dalam labu alas bulat leher tiga. Ditambahkan 15 mL NaOH 7% secara perlahan dan direfluks selama 2 jam pada suhu 103oC. Campuran didiamkan hingga mencapai suhu kamar dengan cara labu leher tiga direndam menggunakan air, kemudian dimasukkan kembali ke dalam labu alas bulat dan ditambahkan 3 mL H2SO4 50% secara perlahan sambil diaduk selama 1 jam. Setelah diaduk, larutan direfluks selama 2 jam pada suhu 103oC. Larutan didinginkan pada suhu kamar dan dimasukkan ke dalam corong pisah untuk diambil lapisan minyaknya.

23

Lapisan minyak diekstraksi dengan 25 mL dietil eter. Lapisan dietil eter dicuci dengan 20 mL NaHCO3 10%, kemudian dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat selama semalam. Lapisan dietil eter didekantasi dan dievaporasi hingga pelarut dietil eter menguap sehingga yang tersisa hanyalah senyawa yang diduga mengandung senyawa keton. Hasil sintesis yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan FTIR dan GC-MS. Analisis GC-MS dikerjakan dengan kolom J&W 122-5731 (30 m x 250 µm x 1,0 µm). Suhu oven 70oC yang dipertahankan selama 5 menit dan diprogram pada laju 10oC/menit sampai mencapai 300oC. Dan dipertahankan selama 33 menit.

D. Teknik Analisis Data

1. Data Kuantitatif

Data kuantitatif diperoleh dengan cara menghitung rendemen senyawa hasil sintesis yaitu:

( ) ( )

2. Data Kualitatif

Data kualitatif diperoleh dari bentuk dan warna senyawa hasil sintesis serta hasil identifikasi senyawa 3-etil-2-pentanon yang dihasilkan menggunakan FTIR dan GC-MS.

% kemurnian senyawa hasil sintesis berdasarkan kromatogram GC

24 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Hasil sintesis senyawa 3-etil-2-pentanon

Sintesis senyawa 3-etil-2-pentanon diperoleh dari reaksi alkilasi etil asetoasetat dan etil bromida menggunakan katalis etoksida. Produk hasil reaksi alkilasi selanjutnya dihidrolisis dan dekarboksilasi. Pada penelitian ini dilakukan tiga kali percobaan. Hasil sintesis yang diperoleh, dapat ditunjukkan pada tabel 4.

Tabel 4. Data Pengamatan Hasil Sintesis Senyawa 3-etil-2-pentanon

Parameter Hasil sintesis

Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3 Massa hasil sintesis (gram) 0,050 0,055 0,049

Bentuk Cair Cair Cair

Warna Cokelat Cokelat Kuning

(1) (2) (3) Gambar 10. Senyawa Hasil Sintesis 3-etil-2-pentanon

25

2. Hasil Pengamatan Tahapan Reaksi Alkilasi

Tahapan reaksi alkilasi diawali dengan pembuatan katalis etoksida dari reaksi eksoterm logam Na dengan etanol kering. Setelah itu, reaksi alkilasi antara etil asetoasetat dan etil bromida. Pengamatan tahapan reaksi alkilasi dapat dirangkum pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengamatan Tahapan Reaksi Alkilasi Etil Asetoasetat dengan Etil Bromida

No Perlakuan Hasil pengamatan

1 Logam Na + etanol kering Cairan kental kuning pucat 2 Penambahan etil asetoasetat,

diaduk 10 menit pada suhu kamar

Cairan kuning jernih

3 Penambahan etil bromida, direfluks 3 jam 78oC

Cairan keruh berwarna kuning kemerahan

4 Didekantasi I Cairan kuning kemerahan +

endapan putih

5 Cairan dievaporasi Cairan sedikit keruh berwarna kuning kemerahan

6 Didekantasi II Cairan kuning kemerahan + endapan putih

3. Hasil Pengamatan Tahapan Reaksi Alkilasi

Produk hasil reaksi alkilasi berupa cairan kuning kemerahan kemudian dihidrolisis dan dekarboksilasi. Pengamatan dari tahapan reaksi hidrolisis dan dekarboksilasi dapat dirangkum pada Tabel 6.

26

Tabel 6. Pengamatan Tahapan Reaksi Hidrolisis dan Dekarboksilasi

No Perlakuan Pengamatan

1 Penambahan NaOH 7%, direfluks 2 jam 103 oC

Cairan coklat kekuningan + endapan coklat

2 Penambahan H2SO4 50%, diaduk 1 jam pada suhu kamar dengan cara merendam labu leher tiga dengan air

Pembentukan gelembung gas, larutan berwarna kuning pucat

3 Direfluks 2 jam 103oC Larutan berwarna kuning pucat 4 Dimasukkan ke corong pisah

dan didiamkan semalam

Terbentuk 2 lapisan,

1) Lapisan minyak (mengambang) berwarna kuning kecoklatan 2) Lapisan air kuning keruh 5 Lapisan minyak diekstraksi

dengan dietil eter

Larutan berwarna kuning

6 Lapisan dietil eter dicuci dengan NaHCO3 5%

Terbentuk 2 lapisan,

1)* Lapisan dietil eter (atas) berwarna putih bening kekuningan

2) Lapisan NaHCO3 (bawah), berwarna kuning bening 7 Penambahan Na2SO4 anhidrat

ke dalam lapisan dietil eter 1)* dan didiamkan semalam

Larutan berwarna putih bening kekuningan

27

4. Hasil Identifikasi FTIR Senyawa 3-etil-2-pentanon

Identifikasi FTIR dilakukan pada ketiga percobaan hasil sintesis. Pada senyawa hasil sintesis percobaan pertama diperoleh hasil FTIR sebagai berikut:

Gambar 11. Spektrum IR Hasil Sintesis Percobaan Pertama

Berdasarkan spektrum IR diatas, senyawa hasil sintesis 3-etil-2-pentanon percobaan pertama memiliki beberapa gugus fungsi. Hasil pengamatan spektrum IR dapat ditunjukkan pada Tabel 7.

OH

C-H

28

Tabel 7. Daerah Serapan Gugus Fungsi Pada Spektrum IR Hasil Sintesis Percobaan Pertama

Bilangan gelombang (cm-1) Kemungkinan gugus fungsi

3295,48 Gugus hidroksi (OH)

2967,39 Gugus alifatik (C-H)

1695,48 Gugus karbonil (C=O)

Selanjutnya dilakukan identifikasi FTIR hasil sintesis percobaan kedua. Pada senyawa hasil sintesis percobaan kedua diperoleh hasil FTIR sebagai berikut:

Gambar 12. Spektrum IR Hasil Sintesis Percobaan Kedua

OH C-H

29

Berdasarkan spektrum IR diatas, senyawa hasil sintesis 3-etil-2-pentanon percobaan kedua memiliki beberapa gugus fungsi. Hasil pengamatan spektrum IR dapat ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Daerah Serapan Gugus Fungsi Pada Spektrum IR Hasil Sintesis Percobaan Kedua

Bilangan gelombang (cm-1) Kemungkinan gugus fungsi

3294,72 Gugus hidroksi (OH)

2972,19 Gugus alifatik (C-H)

1691,45 Gugus karbonil (C=O)

Selanjutnya dilakukan identifikasi FTIR hasil sintesis percobaan ketiga. Pada senyawa hasil sintesis percobaan ketiga diperoleh hasil FTIR sebagai berikut:

Gambar 13. Spektrum IR Hasil Sintesis Percobaan Ketiga C=O

CH2

CH3

30

Berdasarkan spektrum IR diatas, senyawa hasil sintesis 3-etil-2-pentanon percobaan ketiga memiliki beberapa gugus fungsi. Hasil pengamatan spektrum IR dapat ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Daerah Serapan Gugus Fungsi Pada Spektrum IR Hasil Sintesis Percobaan Ketiga

Bilangan gelombang (cm-1) Kemungkinan gugus fungsi

3425,58 Gugus hidroksi (OH)

Dokumen terkait