• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

C. Etnis Pribumi

Hasil penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995) menyebutkan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri.

Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian (Lubis, 1995).

C. Etnis Pribumi

Etnis Pribumi adalah kelompok etnis yang mempunyai daerah mereka sendiri (Suryadinata, 2003). Sanjatmiko (1999) membagi masyarakat Indonesia dalam dua golongan besar yaitu golongan etnis Pribumi dan etnis pendatang (Eropa, India, Cina).

Menurut (Arief 1997) golongan Pribumi adalah golongan mayarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Hal senada diberikan oleh Issamudin (2002), yang menyatakan etnis Pribumi adalah warga negara Indonesia yang tidak berkulit putih, dan bukan merupakan golongan Timur asing atau golongan Eropa.

Dari pengertian etnis Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan

 

kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan.

Dari pengertian etnis Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Propinsi Sumatera Utara tahun 2000, penduduk kota Medan terdiri dari :

Tabel 1

Persentase Penduduk Kota Medan Tahun 2000

Suku Persentase Melayu 6,59 Karo 4,10 Simalungun 0,69 Tapanuli/Toba 19,21 Mandailing 9,36 Pak-pak 0,34 Nias 0,69 Jawa 33,03 Minang 8,60 Cina 10,65 Aceh 2,78 Lainnya 3,95 Catatan : - Melayu mencakup semua suku Melayu di pulau Sumatera (Melayu

Deli, Melayu Langkat, Melayu Asahan, Melayu Riau dll) - Mandailing mencakup suku Mandailling dan Angkola

- Termasuk dalam suku Jawa adalah suku lain yang ada di pulau Jawa (Betawi, Banten, Sunda, Jawa dan Madura)

- Warga negara asing tercakup dalam lainnya

Berdasarkan tabel 1, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud etnis Pribumi di kota Medan adalah suku Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli, Mandailing, Jawa, Minang, dan Aceh.

 

D Prasangka Etnis Tionghoa Terhadap Etnis Pribumi Di Kota Medan

Dalam sejarah sosial Indonesia, etnis Tionghoa adalah etnik yang selalu menjadi sasaran olok-olok, prasangka, diskriminasi, dan kambing hitam atas berbagai kegagalan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Sismanto, 2007). Peristiwa-peristiwa ini tentunya akan menjadi pupuk subur dari generasi ke generasi etnis Tionghoa bahwa mereka adalah kaum minoritas yang terancam dan rapuh.

Pengalaman yang tidak menyenangkan ini akan berpotensi melahirkan prasangka. Abu Ahmadi (1999) menyatakan bahwa kesan yang menyakitkan dan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi timbulnya prasangka. Brehm dan Kassim (1993) menambahkan bahwa Ancaman-ancaman yang datang terhadap kelompok etnik minoritas menyebabkan mereka memiliki kecurigaan yang lebih tinggi terhadap orang lain dan mereka juga lebih tertutup dalam pergaulan sosial.

Budi Susetyo (1999) mengamati bahwa sebenarnya hubungan antara etnik Cina dan Pribumi sejak lama memang sudah tidak baik. Generasi-generasi berikutnya dari kedua kelompok ini kemudian mewarisi perasaan tidak sukanya melalui proses sosialisasi dalam kelompok dan mengalami penguatan lewat beberapa peristiwa yang dilihat ataupun dialaminya sendiri.

Hal ini diperkuat oleh Baron dan Byrne (2000) yang menyatakan bahwa pengalaman masa lalu dan proses belajar merupakan salah satu sumber dari timbulnya prasangka. Menurut pandangan Social Learning, anak mendapat sikap negatif terhadap berbagai kelompok sosial karena belajar dari pandangan yang di

 

ekspresikan oleh orang tua, teman, guru dan lainnya. Kemudian hal ini diperkuat dengan pemberian reward secara langsung (dengan pujian dan persetujuan) kepada anak karena meniru pandangan mereka (Baron dan Byrne 2000).

Pengalaman etnis Tionghoa dalam berinteraksi dengan sebagian etnis Pribumi dan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia (terutama kejadian 1998), memperkuat prasangka yang ada. Prasangka yang ada pada etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi tampak dari stereotip-stereotip negatif tentang etnis Pribumi yang berkembang pada etnis Tionghoa. Orang Pribumi dikatakan sebagai pemalas, hidup hanya untuk mencari kesenangan, mau cari untung tanpa keluar keringat, bodoh, pemeras, dan seterusnya (Dahana dalam Susetyo, 1999).

Begitu juga halnya yang terjadi pada etnis Tionghoa di kota Medan, seperti yang dikatakan oleh Jo (20) salah satu etnis Tionghoa totok di kota Medan, bahwa larangan untuk bergaul rapat dengan etnis Pribumi didapatkan banyak etnis Tionghoa di kota Medan dari orang tua mereka. Stereotip tentang etnis Pribumi yang didapat dari orangtua mereka mendapat pembenaran dari kejadian-kejadian tak menyenangkan yang mereka alami dengan beberapa etnis Pribumi (Komunikasi personal, Agustus 2007 ).

Baron dan Byrne (1991) mengartikan stereotip sebagai suatu kepercayaan tentang anggota kelompok sosial tertentu berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu. Lebih lanjut, Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara prasangka dan stereotype. Prasangka dapat menimbulkan stereotip dan stereotip dapat memperkuat prasangka yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu.

 

Kota Medan tidak mempunyai kebudayaan dominan sehingga setiap etnis mempertahankan budayanya masing-masing. Hal ini menyebabkan terjadinya proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas. Setiap kelompok etnik membuat kampung baru dan mempergunakan norma, aturan, serta ideologi tradisional daerah asal masing-masing. Gaya hidup dan sikap eksklusif antara satu etnis dengan yang lain berkembang subur. Pola pemukiman kota Medan yang segretif menimbulkan hambatan psikologis bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi dengan etnis lainnya dan membuat prasangka yang dipupuk dari generasi ke generasi semakin subur (Lubis, 1999).

Hal ini senada dengan pernyataan Brigham (1986) bahwa pada level kognitif membuat perbandingan ingroup (mereka) dan outgroup (kita) dapat meningkatkan prasangka. Prasangka etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi dapat timbul karena adanya rasa perbedaan antar kelompok Kategori ingroup (etnis Tionghoa) dan outgroup (etnis Pribumi) dan juga sebaliknya dapat dengan mudah terbentuk dalam kondisi masyarakat tersegresi seperti di kota Medan.

Dampak yang terlihat dari penguatan rasa kesatuan etnis ini adalah kurangnya interaksi etnis Tionghoa terhadap etnis Pribumi. Etnis Tionghoa di kota Medan sebagian besar hidup, dan tumbuh dalam perkampungan Cina yang tersegresi. Mereka bersekolah dan hidup di lingkungan etnis Cina. Etnis Tionghoa di Medan lebih senang untuk menggunakan bahasa Cina dalam berkomunikasi (Manurung dan Lina, 2005). Interaksi etnik Tionghoa di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik

 

Tionghoa. Etnis Tionghoa dikota Medan pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa (Lubis, 1995).

Keengganan untuk berinteraksi rapat dengan etnis Pribumi pada sebagian etnis Tionghoa di kota Medan tampak dalam keseharian mereka. Interaksi etnik Cina di Medan contohnya di pusat-pusat belajar dan keramaian hanya berputar pada teman sesama etnik Cina. Mereka pergi dan pulang, atau mengelompok di tempat duduk tertentu, tetap saja dengan teman-teman sesama etnik Cina (Lubis, 1995).

Penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995), juga mengatakan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri.

Peranan norma dan lingkungan sangat mempengaruhi prasangka yang ada dan berkembang di kota Medan. Pettigrew (dalam Baron dan Byrne, 2000) menyatakan bahwa norma sosial merupakan hal yang penting dalam pengekspresian prasangka. Di kota Medan, ada norma tak tertulis bahwa keluarga etnis Tionghoa mengharapkan anak mereka untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa yang menikahi etnis selain etnis Tionghoa akan diasingkan dari komunitas mereka (Lubis, 1999).

Prasangka yang ada pada etnis Tionghoa di kota Medan tercermin dari penghindaran mereka untuk bergaul rapat dengan etnis Pribumi. Hal ini juga diperkuat dengan stereotip-stereotip yang mereka dapatkan dari orang tua dan

 

lingkungan mereka tentang etnik Pribumi. Pemukiman etnis Tionghoa yang tersegresi dan eksklusif adalah salah satu faktor yang membuat prasangka yang ada berkembang subur.

BAB III

Dokumen terkait