• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNOEKOLOGI DAN DINAMIKA LINGKUNGAN MASYARAKAT BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA MASYARAKAT BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA

LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA Persebaran Dayak Benuaq

3. ETNOEKOLOGI DAN DINAMIKA LINGKUNGAN MASYARAKAT BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA MASYARAKAT BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA

Abstrak

Penelitian etnoekologi ini untuk mengungkapkan hubungan masyarakat Benuaq dengan lingkungannya. Penelitian ini meliputi persepsi dan sistem pengelolaan lingkungan oleh masyarakat Benuaq dan pengaruh aktifitas mereka terhadap lingkungannya di Kecamatan Muara Lawa, Kalimantan Timur. Pengelolaan sumberdaya lokal di beberapa kampung Dayak Benuaq digambarkan secara fenomologi. Data-data penelitian di lapangan diperoleh secara etnoekologi dan ekologi. Sejarah pemukiman dan peladangan selama lebih dari 300 tahun

membentuk mosaik- mosaik seluas 444,5 km2, yang terdiri dari ladang-ladang padi

(umaq), ladang yang diberakan (urat bataakng), kebun (kebotn), kebun hutan

campuran (simpukng), hutan peliharaan (ewei teweletn), kawasan tempat lebah

madu (keletn tanyut), dan kawasan konservasi berupa lahan kuburan (simpukng

lubakng) dan hutan keramat (lati pingit). Sistem pengetahuan tradisional mereka sangat menyatu ke dalam mosaik-mosaik penggunaan lahan. Pada perkembangan ladang sekarang diketahui bahwa pengetahua n lokal mungkin kunci untuk kelestarian.

Abstract

The objective of the ethnoecology study of the Benuaq society was to

know relationship between Benuaq and their environment. This study covers the perception and traditional management system of environment by the Benuaq society, and also the impact of their activities to the environment change in Muara Lawa District, East Kalimantan. The local resource management of Dayak Benuaq villages has been described in a phenomenological way. Data were collected by applying ethnological and ecological field methods. Settlement and cultivation history of more than 300 years has created a mosaic forest of 444,5

km2, consisting of current rice fields (umaq), fallow forest (urat bataakng),

gardens (kebotn), mixed forest gardens (simpukng), safeguarding forest (ewei

teweletn), also honeybees nest trees area (kelatn tanyut), conservation area consist of grave area (simpukng lubakng) and sacred forest (lati pingit). Their indigenous knowledge systems are heavily integrated into their mosaic of land use practices. In the field of development there is now recognition that indigenous knowledge may be the key to sustainibility.

Key words: Benuaq, ethnoecology, traditional.

Pendahuluan

Etnoekologi merupakan cabang ilmu yang kehadirannya relatif baru, karenanya beberapa ahli dalam menentukan terminologinya belum ada kesepakatan. Bidang ilmu ini muncul akibat dari adanya perspektif paradigma

baru ilmu ekologi yaitu sustainability. Oleh karena itu ilmu ekologi berkembang tidak hanya mempelajari interaksi antara suatu bentuk kehidupan dengan bentuk kehidupan lainnya berikut kondisi lingkungannya, tetapi bersifat holistik hingga suatu analisis tentang sistim pengetahuan suatu kelompok masyarakat atau etnik dalam pengelolaan sumber daya alam beserta lingkungannya. Bidang ilmu etnoekologi berasal dari 4 sumber utama yaitu bidang ilmu antropologi (etnosains), etnobiologi, agro-ekologi, dan geografi lingkungan (Purwanto, 2003). Oleh karena itu pengelolaan lingkungan suatu kawasan tidak mungkin berhasil tanpa melibatkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Keberadaan masyarakat lokal sangat penting terutama perannya sebagai salah satu komponen dari kawasan tersebut. Masyarakat lokal merupakan aktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan, walaupun pada kawasan tertentu, pendatang dari luar juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kerusakan lingkungan. Dan kerusakan yang diakibatkannya bahkan dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat lokal.

Sistem pendayagunaan sumber daya hutan pada setiap daerah dan suku mempunyai karakteristik yang khas. Perbedaan ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi segala kegiatan atau aktifitas manusia dalam hidupnya. Dengan demikian tidak heran jika dijumpai pola kehidupan maupun perilaku yang berlainan di setiap suku. Pemahaman pengetahuan masyarakat lokal tentang tata ruang bertujuan untuk mengetahui tingkat strategi adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. Selain itu pemahaman ini juga untuk mengidentifikasi aktifitas masyarakat dan menilai pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan. Selanjutnya kita dapat pula melihat bagaimana masyarakat mengelola dan memanfaatkan lingkungannya tersebut. Karena sering ditemukan sistem manajemen sumber daya tradisional justru berjalan baik dan efektif dalam penyelamatan lingkungan khususnya pencegahan degradasi kawasan hutan.

Kajian mengenai pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat telah mendapat perhatian yang terus meningkat dalam tiga dasawarsa terakhir. Hal ini dimotivasi oleh keinginan untuk mencari fakta- fakta empiris tentang kehandalan masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam secara

Colfer 2005). Peneliti-peneliti yang mengadakan penelitian ekstensif di Kalimantan menemukan beberapa cara pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan meminimal pembukaan hutan primer (Crevello, 2004).

Pentingnya peran masyarakat dibuktikan melalui perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya hutan di beberapa negara. Hal serupa terjadi di Indonesia pasca reformasi dimana dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang baru masyarakat lokal ditempatkan sebagai pelaku utama. Berbagai kajian membuktikan bahwa komunitas masyarakat lokal di Kalimantan melalui kelembagaan adat yang dimilikinya mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan secara berkelanjutan (Anau, 2003; Devung, 1997; Sardjono, 2004). Di Kalimantan keseluruhan sejarah masyarakat Dayak mengantungkan nasibnya pada sumber daya hutan. Sebagai masyarakat yang hidup dalam hutan maka lingkungan membentuk budaya dan kehidupan mereka sehingga terjalin hubungan dengan lingkungan di sekitarnya yang menghasilkan suatu sistem yang komplek dari aspek budaya. Hutan- hutan di sekitar masyarakat lokal sering dikelola dengan ketat dan produktif. Kemampuan masyarakat tradisional tersebut tidak terlepas dari sejumlah kearifan-kearifan lokal yang tidak hanya sekedar dimiliki, namun dengan teguh dipertahankan oleh segenap anggota masyarakatnya.

Masyarakat Dayak dan kelompok masyarakat lokal lainnya yang memiliki pengetahuan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya hutan juga mengalami perubahan budaya. Bagaimanapun, nilai pengetahuan tradisional dari budaya Dayak tetap melekat dalam setiap aspek kehidupannya. Pengetahuan masyarakat lokal ini menyediakan kesempatan yang berharga bagi kita untuk memahami aspek-aspek ekologi lanskap di sekitar mereka. Misalnya sistem perladangan yang mereka lakukan, dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan hidup di sekitarnya atau dapat bersifat lestari. Mengingat adanya pandangan yang tidak tepat mengenai sistem perladangan berpindah yang banyak dilakukan oleh masyarakat Dayak ini. Lebih lanj ut sejarah lanskap dapat diketahui dengan baik dan dapat diakses melalui informan-informan lokal. Dimana informasi ini akan membantu kita untuk memahami perubahan lanskap masa lalu dan pola-pola vegetasi masa sekarang dan masa yang akan datang.

Menurut sejarah hingga sekarang ini masyarakat Benuaq melakukan aktifitas peladangan berpindah, agroforestri yang intensif dan ekstraksi sumber daya hutan. Lahan ladang yang diberakan tetap penting bagi komunitas Dayak Benuaq karena di sana mereka memelihara agroforestri yang intensif untuk menyuplai kebutuhan kayu, makanan dan obat-obatan. Banyak cara dari ladang yang diberakan berubah menjadi agroforestri yang permanen sehingga penting dilakukan penelitian dan dokumentasi sistem penggunaan lahan oleh masyarakat Dayak Benuaq. Dari bahasan tersebut di atas, maka peneliti melaksanakan penelitian Etnoekologi Perladangan Masyarakat Dayak Benuaq di kecamatan Muara Lawa. Studi etnoekologi masyarakat Benuaq ini bertujuan: (1) untuk menganalisis dan mengevaluasi secara ekolo gis aktivitas intelektual dan tindakan praktis yang dilakukannya terhadap kondisi alamiahnya; (2) mengeksplorasi bagaimana masyarakat Benuaq sebagai produser (informan) menyusun pemikiran

(corpus) dan selanjutnya memanfaatkan (praxis) produktivitas sumber daya alam;

(3) menganalisis secara ilmiah untuk menilai sistim pengetahuan masyarakat Benuaq dalam mengelola sumber daya alam; dan (4) melakukan analisis perbandingan dan konfrontasi antara sistim pengetahuan lokal dengan sistim pengetahuan ilmiah untuk membuktikan keilmiahan sistim pengelolaan lingkungan masyarakat Benuaq.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2006 hingga Desember 2007 di Kampung Cempedas, Kampung Dingin, Kampung Lambing, dan Kampung Muara Lawa di Kecamatan Muara Lawa. Alasan pemilihan kampung-kampung tersebut adalah sebagai berikut: a) mayoritas penduduknya hidup dari berladang; b) penduduk kampung ini relatif homogen (penduduk asli) kecuali Kampung Lambing dan Kampung Muara Lawa yang merupakan ibukota kecamatan; c) masih banyak orang tua yang mengetahui tentang adat tradisional mereka.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Alat rekam suara, rol meter ukuran 50 meter, kompas, peta, diameter tape, altimeter, magnifying lo upe, binokuler, jangka sorong, mistar, parang, gunting stek, haga altimeter, tali plastik, kantong plastik berbagai ukuran, amplop sample, kertas mounting, label gantung,

kertas koran, kantong plastik, sasak, kamera, film, dan alat-alat tulis. Bahan kimia yang digunakan adalah alkohol 70%, fo rmalin 5%, dan spiritus.

Dalam studi etnoekologi masyarakat Benuaq di Kecamatan Muara Lawa ditempuh melalui empat tahap yaitu :

1. Membuat deskripsi serinci mungkin tentang kondisi ekosistem yang

mempengaruhi produktivitasnya sesuai dengan yang diamati, misalnya tipe vegetasinya, jenis dan sifat tanah, kekayaan flora dan fauna, kondisi topografi, kondisi iklim, siklus air, dan lain- lainnya. Untuk mendapatkan data-data tersebut dengan menggunakan metode baku dalam penelitian ekologi dan

pedologi (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974; Gilbertson et al, 1989;

Hairston, 1991).

2. Menyusun kembali pola pemikiran (corpus) dari masyarakat (informan) dan

melakukan dialog dengan para informan. Untuk mengungkapkan sistim pengetahuan dan pola pikir masyarakat Benuaq digunakan metode baku penelitian antropologi (Cotton, 1996), misalnya dengan cara melakukan pengamatan langsung dan turut serta dalam aktivitas kehidupan masyarakat serta dengan menggunakan berbagai teknik wawancara (wawancara bebas atau open ended, semi struktural dan struktural).

3. Menganalisis bentuk-bentuk produktivitas sumber daya alam sesuai dengan

pandangan masyarakat (praxis). Caranya adalah dengan mendiskripsi bentuk

aktivitas masyarakat dalam mengelola sumber daya alam berikut teknologinya, produk-produk ya ng dihasilkan, pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan dan aspek lainnya.

4. Melakukan penilaian secara ekologis sebuah praxis melalui analisis dampak

pemanfaatan sumber daya alam terhadap struktur dan dinamika ekosistem yang telah dimanfaatkan tersebut. Penilaian tersebut didasarkan pada pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan metode baku dalam

penelitian ekologi (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974; Gilbertson et al,

1989; Hairston, 1991). Misalnya untuk mengetahui komposisi dan dinamika vegetasinya dilakukan dengan cara membuat plot di setiap satuan lingkungan yang terbentuk di kawasan tersebut yang ukuran dan cara pengamatannya disesuaikan dengan bentuk dan kondisi satuan lingkungannya.

Hasil

Pandangan masyarakat Dayak Benuaq terhadap lingkungan dan sumber daya alam disekitarnya tidak lepas dari falsafah dan religi yang mendasari kehidupannya. Hal ini bahkan tercermin dalam struktur lembaga adat mereka, dimana ada bidang khusus yang mengurusi tentang lingkungan hidup (Lampiran 1). Ini menunjukkan bahwa komunitas masyarakat Dayak Benuaq melalui kelembagaan adat yang dimilikinya mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan mereka. Budaya rumah panjang (lou) yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan adalah wujud penetapan wilayah oleh hukum adat terhadap norma hutan sebagai sumber kehidupan (Gambar 6). Ada kesepakatan sosial antara masyarakat lou yang dikuatkan hukum adat bahwa peruntukan tanah dan hutan disesuaikan dengan kodifikasi nenek- moyang, di mana tanah dan hutan

menduduki tempat penting bagi kelestarian lou beserta habitat flora dan fauna

yang hidup di dalamnya.

Konsep lati tana mengandung suatu persepsi mengenai ruang dan tata

ruang manusia yang bermukim di dalamnya serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Menurut persepsi masya rakat Benuaq kawasan ini meliputi pemukiman yaitu kampung (kampukng), rumah panjang (lou), rumah individual (belaai), dan

pekaragan (natar); kawasan pertanian meliputi kawasan peladangan (umaq lati

tana) yang terdiri dari ladang (umaq), bekas ladang (urat bataakng) dan kawasan perkebunan (kebotn); kawasan agroforestri (simpukng lou, simpukng belaai, simpukng lalaq, simpukng bua lati, simpukng ruyaq, simpukng berahatn, keletn

tanyut, sopatn); kawasan untuk konservasi mencakup hutan peliharaan (ewei

teweletn), pekuburan (simpukng lubakng) dan hutan keramat (lati pingit); dan kawasan alami yang terbuka bagi siapa saja yaitu sungai dan danau, hutan primer (asli bengkar) dan hutan kerangas (lati lajah).

Walaupun telah ditentukan kawasan untuk produksi, namun pada kawasan tertentu ekstraktivisme hanya dibolehkan pada waktu tertentu saja seperti pada hutan perburuan (simpukng berahatn) dan hutan peliharaan (ewei teweletn). Dengan demikian, masyarakat memegang peranan dalam pemulihan alam lingkungan dengan mengambil seperlunya dari alam, sesuai dengan kebutuhan, dan tetap menyediakan area-area tertentu yang memungkinkan tumbuhan dan

hewan bisa hidup dan berkembang secara berkesinambungan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai pengetahuan ekologi tradisional (traditional ecological knowledge) yang cukup baik tentang sumber daya alam yang dimanifestasikan dalam tata cara mengelola sumber daya alam tersebut.

Gambar 6 Sistem tata guna lahan tradisional masyarakat Dayak Benuaq

Secara hukum adat pun ditetapkan kawasan yang menjadi milik bersama warga masyarakat (kawasan komunal) meliputi beberapa kawasan agroforestri

yaitu simpukng lou, simpukng lalaq, simpukng bua lati, simpukng ruyaq,

simpukng berahatn, sopatn, dan kelatn tanyut milik kampung. Tanah adat milik Lou i a l e B Simpukng lubakng Simpukng berahatn Ewei teweletn Simpukng Ruyaq Lati pingit Lati jaras Keletn

kampung merupakan bagian dari kawasan suatu kampung dan status kepemilikannya adalah milik bersama semua warga desa dan pengelolaannya

diatur oleh Mantiq (kepala adat). Definisi hutan adat secara lokal adalah seluruh

hutan rimba yang bukan milik keluarga atau milik pribadi yang ada di sekitar kampung. Walaupun masyarakat Dayak Benuaq mempunyai kebiasaan membuka ladang secara turun temurun, namun masyarakat tidak diperkenankan untuk membuka lahan sesuka hatinya tetapi menurut aturan adat yang telah digariskan oleh nenek moyang mereka. Kawasan yang menjadi milik pribadi dan keluarga adalah ladang (umaq), lahan bekas ladang (urat bataakng), agroforestri (simpukng belaai, simpukng munan), kebun (kebotn), dan pohon lebah madu (tanyut) milik keluarga.

Aktifitas masyarakat telah merubah satuan lingkungan alamiah seperti hutan primer menjadi satuan lingkungan-satuan lingkungan antropik yang masing- masing memiliki karakter tersendiri sesuai dengan jenis aktifitas manusia di satuan lingkungan tersebut. Sebagai konsekuensi dari intervensi masyarakat terhadap sumber daya dan lingkungannya tersebut, terjadi perubahan ciri dan karakter lingkungannya. Perubahan tersebut ada yang menguntungkan secara ekonomi saja dan menguntungkan secara ekologi saja, atau menguntungkan secara ekonomi dan ekologi. Namun intervensi masyarakat terhadap lingkungan tersebut telah menyebabkan perubahan permanen lingkungan alami di Kutai Barat. Hal menarik ditemukan pada masyarakat Dayak Benuaq dalam mengklasifikasikan lahan berdasarkan pada kekayaan sumberdaya tumbuhan yang

terdapat di dalamnya. Hal ini tercermin dari penamaan suatu lahan seperti: urat-

bataakng (berisi semak belukar), simpukng bua lati (berisi berbagai jenis pohon

buah-buaha n), keletn uwe (berisi berbagai jenis rotan), dan keletn tanyut (berisi

berbagai jenis pohon madu).

Pemahaman pengetahuan masyarakat tentang tata ruang di mulai dari unit satuan lingkungan pemukiman, satuan lingkungan antropik (misalnya lahan pertanian atau perladangan) dan satuan lingkungan sakral (hutan keramat atau tempat keramat), dan satuan lingkungan alamiah seperti sungai dan danau, hutan primer, hutan sekunder dan lain- lainnya. Selama berabad-abad masyarakat Benuaq telah mengeksploitasi sumber daya biotik di sekitarnya secara terus-

menerus. Pengetahuan lokal telah terakumulasi dan terasah melalui beberapa generasi yang memungkinkan manusia hidup “dekat” dengan lingkungannya secara harmonis. Adanya kearifan lokal dan hukum adat yang mengatur interaksi suku-suku dengan sumber alam di sekitarnya merupakan dasar keharmonisan tersebut. Satuan lingkungan yang terdapat di wilayah masyarakat Dayak Benuaq sesuai dengan konsep lati tana adalah sebagai berikut:

A. Kawasan pemukiman: