• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnoekologi perladangan dan kearifan botani lokal masyarakat dayak benuaq di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etnoekologi perladangan dan kearifan botani lokal masyarakat dayak benuaq di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur"

Copied!
372
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOEKOLOGI PERLADANGAN DAN

KEARIFAN BOTANI LOKAL MASYARAKAT

DAYAK BENUAQ DI KABUPATEN KUTAI BARAT

KALIMANTAN TIMUR

MEDI HENDRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Etnoekologi Perladangan dan Kearifan Botani Lokal Masyarakat Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 28 Agustus 2009

Medi Hendra

(3)

MEDI HENDRA. Etnoecology of Shifting Cultivation and Traditional Botanical Knowledge on Dayak Benuaq Society in Kutai Barat Regency, East Kalimanta n. Under direction of EDI GUHARDJA, DEDE SETIADI, EKO BAROTO WALUJO , and Y. PURWANTO.

The common purpose of this research was to know Benuaq’s totality knowledge in manage environment resources in biodiversity conservation term. As a whole, there were 4 specific purposes, those one : discovered plant diversity and then application; exposed local knowledge about their environment related to shifting cultivation; exposed Benuaq category system of forest, land tenure and plants in cultivation ecosystem and also to know vegetation dynamics as a consequence of shifting cultivation. The result showed that Dayak Benuaq society perspective on forest is a communal place for all creatures. It means that man are part of forest ecosystem and not allowed to exploited forest just for their own interest. Long house (lou) culture concretization which is connected in environment preservation is formed by custom law of area establishment. As Benuaq custom law, production and conservation area were settled. Production area inc ludes swidden (umaq), advanced fallow (urat bataakng), agroforestry (various of simpukng), and garden (kebotn). Conservation area consist of safeguarding forest (ewei teweletn), grave yard (simpukng lubakng) and sacred forest (lati pingit) and also honeybees nest trees area (kelatn tanyut). Benuaq custom law also set area as communal and private family areas. Traditional ecological knowledge of Benuaq society habit is sourced and passed through generation by continuously individual learning and guided by ancestor wisdom, which influence society ability to manage resources. It also strengthen with enthusiasm to revitalize customary institutional to support resources management and sustainability. Simpukng was an interesting example for forest regeneration which motivate natural succession from swidden (umaq) to forest (bengkar). Benuaq society recognizes ethics and positively rules to minimize resources damaged. Cultural aspect which is manifested in practical swidden and agroforestry (simpukng) gave a shape of fallow vegetation. Phases of fallow succession started with umaq, balik batakng, batakng to bengkar uraq showed that there are swidden rotation cycle. Dayak Benuaq society has good indigenous knowledge about biodiversity surround ing them. It shows by their recognition on plants diversity, characteristic and utilization. Plants were used for food, medicines, constructions, fabrics, fuel, arts and local technology, dye, poison, ritual ceremony etc. Futhermore, plants morphological knowledge was reflected from local terminology. Benuaq traditional classification based on character similarity and plants habitus show their ability as a society which is close to nature.

(4)

Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh H. EDI GUHARDJA sebagai ketua dan DEDE SETIADI, EKO BAROTO WALUJO dan Y. PURWANTO sebagai anggota.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui totalitas pengetahuan masyarakat Benuaq dalam mengelola sumber daya alam lingkungannya dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati. Secara keseluruhan ada 5 tujuan khusus penelitian ini yaitu: pertama mengungkapkan bagaimana sistem kategorisasi mengenai tata ruang hutan, tanah dan tanaman dalam ekosistem perladangan masyarakat Dayak Benuaq. Kedua mengungkapkan pengetahuan lokal masyarakat Dayak Benuaq tentang lingkungan hidupnya berkaitan dengan sistem perladangan berpindah dari perspektif mereka sendiri. Ketiga mengetahui dinamika vegetasi yang diakibatkan oleh aktivitas perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat Dayak Benuaq. Keempat mengungkap pengetahuan keanekaragaman tumbuhan dan pemanfaatannya, dimulai dengan menginventarisasi jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sampai kepada penggalian pengetahuan masyarakat dalam pengenalan jenis-jenis tumbuhan. Kelima mengungkapkan aktifitas berburu dan menangkap ikan yang mendukung keberlanjutan sistem perladangan.

Pelaksanaan penelitian ini ditempuh melalui empat tahap yaitu: 1. Membuat deskripsi serinci mungkin tentang kondisi ekosistem yang mempengaruhi produktivitasnya sesuai dengan yang diamati, misalnya tipe vegetasi, jenis dan sifat tanah, kekayaan flora dan fauna, kondisi topografi, kondisi iklim, siklus air dan lain-lainnya; 2. Menyusun kembali pola pemikiran (corpus) dari masyarakat (informan) dan melakukan dialog dengan para informan. Untuk mengungkapkan sistem pengetahuan dan pola pikir masyarakat Benuaq digunakan metode baku penelitian antropologi, ya itu dengan cara melakukan pengamatan langsung dan turut serta dalam aktivitas kehidupan masyarakat sehari- hari serta menggunakan berbagai teknik wawancara (wawancara bebas atau open ended, semi struktural dan struktural); 3. Menganalisis bentuk-bentuk produktivitas sumber daya alam sesuai pandangan masyarakat (praxis) dengan mendeskripsikan berbagai bentuk aktivitas masyarakat dalam mengelola sumber daya alam berikut teknologinya, produk-produk yang dihasilkan, pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan dan aspek lainnya; 4. Melakukan penilaian secara ekologis sebuah praxis melalui analisis dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap struktur dan dinamika ekosistem yang telah dimanfaatkan tersebut.

(5)

Artinya, tanah yang telah ditetapkan untuk wilayah masing- masing harus dijaga, digarap, dan dimanfaatkan sebagaimana hukum adat menentukannya.

Peruntukkan wilayah berdasarkan konsep lati tana adalah pembagian kawasan berdasarkan kegunaannya yaitu kawasan untuk pemukiman, pertanian, agroforestri, konservasi dan kawasan alami yang terbuka untuk umum. Kawasan pemukiman meliputi kampung (kampukng), rumah panjang (lou), rumah individual (belaai), pekarangan (natar), sungai dan danau (sunge dan butokng). Kawasan pertanian meliputi kawasan peladangan (umaq lati tana) yang terdiri dari ladang (umaq), bekas ladang (urat bataakng) dan kawasan perkebunan (kebotn); kawasan agroforestri (simpukng lou, simpukng belaai, simpukng lalaq, simpukng bua lati, simpukng ruyaq,

simpukng berahatn, ewei teweletn, keletn tanyut, sopatn); Meskipun demikian pada kawasan tertentu ekstraktivisme hanya dibolehkan pada waktu tertentu saja seperti pada hutan perburuan (simpukng berahatn) dan hutan peliharaan (ewei teweletn). Hal di atas menunjukkan bahwa mereka mempunyai pengetahuan ekologi tradisional (traditional ecological knowledge) yang cukup baik tentang sumber daya alam yang dimanifestasikan dalam tata cara mengelola sumber daya alam tersebut. Kawasan untuk konservasi mencakup kawasan pekuburan (simpukng lubakng) dan hutan keramat (lati pingit). Kawasan alami yang terbuka bagi siapa saja yaitu hutan primer (asli bengkar) dan hutan kerangas (lati lajah).

Selanjutnya hukum adat Benuaq pun mengatur kepemilikan lahan oleh masyarakat sehingga ada kawasan yang menjadi milik bersama warga (kawasan komunal) dan kawasan yang menjadi milik perseorangan (pribadi dan keluarga). Kawasan komunal meliputi beberapa kawasan agroforestri yaitu simpukng lou,

simpukng lalaq, simpukng bua lati, simpukng ruyaq, simpukng berahatn dan keletn tanyut milik kampung. Kawasan milik pribadi dan keluarga adalah ladang (umaq), lahan bekas ladang (urat bataakng), agroforestri (simpukng belaai, simpukng munan), kebun (kebotn), dan pohon lebah madu (tanyut) milik keluarga. Sistem ini mengacu pada hak- hak tetap (permanent right) yang berasal dari pembukaan pertama (first clearing) hutan primer. Hak pakai atau hak penggunaan permanen dapat diperoleh melalui pembukaan hutan primer dan hak tersebut dapat dipindahkan kepada pihak lainnya, baik individu maupun kelompok dalam masyarakat. Beberapa cara pemindah-tanganan hak atas tanah pada masyarakat Benuaq adalah melalui: 1. pewarisan (waris waalar), 2. jual-beli (bogai-moli), 3. pemberian (nyeq), 4. gadai (gadeq), dan 5. tukar- menukar (simaai).

(6)

dalam praktek pengerjaan perladangan dan agroforestri (simpukng) membentuk corak vegetasi pasca perladangan. Tahapan pengerjaan ladang dan agroforestri (simpukng) yang diikuti restriksi dan ritual khusus mendeterminasikan suksesi ladang menjadi hutan. Tahapan-tahapan suksesi pasca perladangan dari urat, balikng bataakng,

bataakng, bengkar uraq hingga bengkar tuhaq menunjukkan adanya sistem rotasi perladangan yang berdaur ulang.

Sistem perladangan ini berkelanjutan jika kondisi hasil tanaman yang rendah dan kepadatan penduduk yang rendah dalam sistem ini dari segi sosial dan ekonomi masih tetap sesuai. Keberlanjutan sistem ladang pada masyarakat Benuaq ini dapat dipertahankan dalam waktu panjang karena mendapatkan dukungan dari strategi subsisten lainnya, misalnya hasil-hasil lanjutan dari hutan dan agroforestri (simpukng). Sumberdaya alam ini memberi dukungan dan menopang kebutuhan pokok mereka. Oleh karena itu bahan-bahan pangan yang diperoleh dari hutan seperti sayur-sayuran, jamur, dan buah-buahan merupakan kebutuhan utama sebagian masyarakat. Demikian pula dengan hasil tangkapan ikan dan buruan mereka seperti babi, rusa, kera, dan burung-burung dima nfaatkan untuk mencukupi kebutuhan protein sehari- hari. Sumberdaya alam tersebut, selain memenuhi kebutuhan hidup, juga dimanfaatkan sebagai penyumbang dana bagi kepentingan ekonomi masyarakat.

Masyarakat Dayak Benuaq mempunyai sistem pengetahuan botani yang cukup baik tentang keanekaragaman hayati di lingkungannya. Hal ini ditunjukkan dengan cara mereka mengenal keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut, mencirikan dan memanfaatkannya. Berbagai pemanfaatan jenis tumbuhan adalah untuk bahan pangan, bahan obat-obatan, bahan bangunan, bahan sandang, bahan kayu bakar, bahan seni, bahan kerajinan dan teknologi lokal, bahan pewarna, bahan racun dan anti racun, bahan ritual dan lain- lainnya. Selanjutnya pengetahuan tentang morfologi tumbuhan tercermin dari terminolo gi lokal untuk bagian-bagian tumbuhan. Demikian pula tata nama tradisional masyarakat Benuaq berdasarkan pada kesamaan ciri-ciri dan habitus anggota kelompok tumbuhan menunjukkan kemampuan mereka sebagai masyarakat yang dekat dengan alam. Pelaksanaan upaca ra-upacara adat dan ritual pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Benuaq merupakan hasil budaya yang menarik untuk dilestarikan dalam memperkaya khasanah budaya bangsa. Selanjutnya praktek pengobatan tradisional dengan ritualnya yang unik perlu didorong oleh pemerintah daerah karena ritual-ritual tersebut sangat menarik bagi turis lokal dan turis mancanegara. Dalam rangka pengembangan dan menggalakkan obyek-obyek pariwisata, maka keunikan-keunikan dan ragam adat- istiadat suku Dayak Benuaq yang dikembangkan merupakan salah satu alternatif pengembangan pariwisata di Kabupaten Kutai Barat.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

KEARIFAN BOTANI LOKAL MASYARAKAT

DAYAK BENUAQ DI KABUPATEN KUTAI BARAT

KALIMANTAN TIMUR

MEDI HENDRA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Nama : Medi Hendra

NRP : G 361020071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Edi Guhardja, M.Sc. Prof. Dr. Ir Dede Setiadi, M.S.

Ketua Anggota

Prof. Dr. Eko Baroto Walujo Dr. Ir. Y. Purwanto, APU.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi S., DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, M.S.

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup:

Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud (Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogo r) Dr. Ibnul Qoyim (Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka:

Prof. Dr. Emil Salim, SE. (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan Guru Besar Universitas Indonesia)

(11)

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan ke Khadirat Allah Rabbul Alamin, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak tahun 2005 ini ialah etnoekologi dan kearifan botani lokal, dengan judul: Etnoekologi Perladangan dan Kearifan Botani Lokal Masyarakat Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Disertasi ini memuat beberapa bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 4 berjudul Aktifitas Perladangan Berpindah dalam Budaya Masyarakat Dayak Benuaq telah diterbitkan sebagian (Biodiversitas 10(2): 97-101) dan Bab 3 Etnoekologi dan Dinamika Lingkungan Masyarakat Benuaq di Kecamatan Muara Lawa sebagian telah diterbitkan dalam Prosiding Seminar Nasional Etnobotani IV ” Keanekaragaman Hayati, Budaya & Ilmu Pengetahuan” Bogor 18 Mei 2009.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Edi Guhardja, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, MS., Bapak Prof. Dr. Eko Baroto Walujo dan Bapak Dr. Ir. Y. Purwanto, APU. sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala upaya dan waktu yang telah disediakan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, nasehat dan dorongan, mulai dari tahap awal sampai selesainya penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud dan Dr. Ibnul Qoyim yang menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Bapak Prof. Dr. Emil Salim, SE. dan Dr. Kuswata Kartawinata yang menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka dan telah memberikan masukan dan kritik yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan disertasi ini.

(12)

kepada Kepala Herbarium Bogoriense dan Herbarium Wanariset Samboja beserta seluruh staf peneliti, teknisi dan staf pustakanya.

Secara khusus, penulis sampaikan terima kasih yang tulus ikhlas kepada istri tercinta Dijan Sunar Rukmi, M.Si. atas segala pengorbanan, kesetiaan, kesabaran, pengertian, dorongan moril dan doa sejak menikah sampai sekarang. Kepada kedua orang tua penulis: Ibunda Martina (alm) dan Bapak Tan Maaruf (alm) yang dimasa hidup beliau berdua selalu mendorong agar penulis dapat mencapai gelar akademik tertinggi dengan doa dan pengorbanan baik moril maupun materiil demi keberhasilan penulis, mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setulus-tulusnya. Selanjutnya terima kasih pula buat Uda-uda dan Uni- uni serta adik penulis serta segenap keluarga besar Tan Maaruf atas pengertian dan segala bantuannya baik materi maupun moril hingga terselesaikan tugas akhir ini.

Tak lupa pula penulis haturkan terima kasih buat mertua Mama Endang Puruhito, BBA dan Papa Drs. Soeratno Ra chmat, Tante Dra. Sri Wahyu Widayati, Apt. dan Om Drs. Iman Adji, Pakde Ir. Bambang Waluyono, Dipl. HE. dan Bude Wardani serta keluarga besar Eyang R. Roespandi Suryokusumo. Kepada ins tansi pemerintahan dan aparat tempat dilakukannya penelitian ini, keluarga Bapak Awang Idjau Duk, keluarga Yulius Nuhai, keluarga Bapak Gon, Bapak Kentukng, Bapak Jotung dan masyarakat Kampung Dingin, Lambing, Muara Lawa, dan Muara Begai, serta Tajudin, Ha mlis, Rini Anita, Rahmadona, Junianto dan Sukartus atas bantuannya di lapangan.

Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penyajian hasil penelitian ini mungkin banyak ditemukan kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritikan yang bersifat konstruktif senantiasa penulis harapkan. Semoga karya penelitian ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, 28 Agustus 2009

(13)

Penulis dilahirkan di Sijunjung, Sumatera Barat, pada tanggal 16 Mei 1971 sebagai anak ke sembilan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Bapak Tan Ma’ruf dan Ibunda Martina.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada SD Inpres Sijunjung tahun 1984, SMP Negeri Sijunjung tahun 1987 dan SMA Negeri 1 Muaro-Sijunjung Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung tahun 1990. Lulus dari Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas Padang tahun 1996. Tahun 1997 mengikuti S2 Biologi Program Studi Taksonomi Tumbuhan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa Karyasiswa-DUE dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan menamatkannya pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor di Program Studi Biologi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Pada tahun 2005, penulis menikah dengan Dijan Sunar Rukmi, S.Si. M.Si di Jakarta.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mulawarman Samarinda sejak tahun 1999 sampai sekarang dan menjadi anggota Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia. Karya ilmiah berjudul Etnoekologi Masyarakat Benuaq dan Dinamika Lingkungan di Kecamatan Muara Lawa telah disajikan pada Seminar Nasional Etnobotani IV di Bogor pada tanggal 18 Mei 2009. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Traditional Cultivation Practices and Knowledge of Local Varieties among Benuaq Farmers in Muara Lawa District West Kutai pada jurnal Biodiversitas

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ……….. iii

RINGKASAN ………..………. iv

LEMBAR PENGESAHAN ...……….. ix

PRAKATA ……….. xi

RIWAYAT HIDUP …..……… xiii

DAFTAR ISI ………. xiv

DAFTAR TABEL ………. xvii

DAFTAR GAMBAR ……… xix

DAFTAR LAMPIRAN ………. xxi

1. PENDAHULUAN ……… 1

Latar Belakang ……… 1

Perumusan Masalah ……… 4

Tujuan Penelitian ……… 5

Manfaat Penelitian ……….. 6

2. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………. 8

LINGKUNGAN FISIK ... ……….. 8

LINGKUNGAN BIOLOGI ……….... 15

LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA ……... 17

3. ETNOEKOLOGI DAN DINAMIKA LINGKUNGAN MASYARAKAT BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA ……… ...… .. 35

Abstrak ... 35

Abstract ... 35

Pendahuluan ... 35

Metode Penelitian ... 38

Hasil ... 40

Pembahasan ... 77

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

4. AKTIFITAS PERLADANGAN BERPINDAH DALAM BUDAYA

MASYARAKAT DAYAK BENUAQ ... 86

Abstrak ... 86

Abstract ... 86

Pendahuluan ... 87

Bahan dan Metode ……….. 88

Hasil ... 91

Pembahasan ……….……… 131

Kesimpulan ... 138

5. ETNOBOTANI LOKAL MASTARAKAT DAYAK BENUAQ DI KECAMATAN MUARA LAWA KUTAI BARAT ... 140

Abstrak ... 140

Abstract ... 140

Pendahuluan ... 141

Bahan dan Metode ... 143

Hasil ... 149

Pembahasan ... 181

Kesimpulan ... 185

6. AKTIFITAS BERBURU DAN MENANGKAP IKAN DALAM BUDAYA MASYARAKAT DAYAK BENUAQ ... 186

Abstrak ... 186

Abstract ... 186

Pendahuluan ... 187

Metode Penelitian ... 188

Hasil ... 189

Pembahasan ... 200

Kesimpulan ... 202

(16)

DAFTAR ISI

Halaman

Adaptasi dan Perspektif Masyarakat Benuaq Terhadap Sumber Daya Alam 204 Agroforestri Tradisional dan Model Pengelolaan Sumberdaya Alam

Hutan ... 211

Pengembangan Pertanian di Kutai Barat di Masa Depan ... 216

Etnobiologi Lokal ... 222

8. KESIMPULAN DAN SARAN ... 224

Kesimpulan ... 224

Saran ... 226

DAFTAR PUSTAKA ………... 229

(17)

DAFTAR TABEL

TABEL Halaman

1. Jenis-jenis pohon yang umum ditemukan dalam agroforestri

(simpukng) dan proses budidayanya ………. 60

2. Indeks Nilai Penting beberapa jenis pohon buah dalam simpukng

belaai di Kampung Dingin Kecamatan Lawa ………... 64

3. Aktivitas masyarakat Dayak Benuaq terhadap lingkungannya …….. 78 4. Sistem kategorisasi hutan pada masyarakat Benuaq di Kabupaten

Kutai Barat ... 79 5. Jenis-jenis tumbuhan indikator kesuburan tanah pada masyarakat

Benuaq ………...……….. 98

6. Tahap-tahap pertumbuhan padi ladang masyarakat Dayak Benuaq .. 107 7. Keanekaragaman jenis tanaman pangan yang dibudidayakan

masyarakat Dayak Benuaq di Kecamatan Muara Lawa ……… 108 8. Rata-rata jumlah varietas padi yang diketahui peladang berdasarkan

kelompok umur ………. 114

9. Pembagian kerja antara pria dan wanita di ladang dan kebun karet 116 10.Rata-rata hari kerja dalam kegiatan ladang masyarakat Benuaq …... 117 11.Antropisasi dan formasi vegetasi di Kecamatan Muara Lawa ……... 131 12.Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori

etnobotani (Quality of use categories in ethnobotany) ………. 145 13.Kategorisasi yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan

jenis tumbuhan berguna (Intensity of use) ……… 148 14.Kategorisasi yang menggambarkan tentang tingkat eklusivitas

(exclusivity value) ……… 148

15.Terminologi lokal untuk pengenalan tumbuhan pada masyarakat

Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat ……….. 150 16.Jumlah jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Dayak

(18)

TABEL Halaman

17.Penyakit dan jumlah jenis tumbuhan yang digunakan untuk

pengobatan ………. 158

18.Keanekaragaman jenis rotan yang bernilai ekonomi di Kecamatan

Muara Lawa ………... 176

19.Katagorisasi nilai ICS tumbuhan berguna pada masyarakat Benuaq 178 20.Sepuluh nilai Indeks Kepentingan Budaya (ICS) tertinggi pada

masyarakat Benuaq di Kecamatan Muara Lawa ... 179 21. Jenis-jenis pohon yang mempunyai Indeks Nilai Penting tertinggi

(19)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman

1. Kerangka penelitian etnoekologi dan pengetahuan botani lokal di

Kecamatan Muara Lawa Kabupaten Kutai Barat ………... 7

2. Peta lokasi penelitian (lingkaran merah) di Kabupaten K utai Barat .. 9

3. Rata-rata curah hujan, suhu dan kelembaban bulanan di Stasiun Melak Kutai Barat tahun 1989-2006 ………. 13

4. Peta curah hujan daerah penelitian yang terletak dalam kawasan Danau Jempang dan sekitarnya ……….. 14

5. Peta persebaran Dayak Benuaq di Kalimantan Timur yang terletak pada Sub DAS Bongan (BN), Sub DAS Jempang (Jmp) dan Sub DAS Kadang Pahu (KdP) ... 19

6. Sistem tata guna lahan tradisional masyarakat Dayak Benuaq ... 41

7. Rumah panjang (atas) dan sketsa rumah panjang Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat ... 45

8. Sketsa pembagian tata ruang rumah panjang Dayak Benuaq ……… 46

9. Sketsa rumah individual (belaai) masyarakat Dayak Benuaq ……... 49

10.Skema pembagian tata ruang belaai masyarakat Dayak Benuaq …... 50

11.Profil vegetasi pada kebun (kebotn dukuh) ... 56

12.Profil agroforestri (simpukng belaai) di kampung Dingin ... 63

13.Wawancara pengumpulan data di Lapangan ……… 90

14.Siklus pengerjaan ladang pada masyarakat Dayaq Benuaq ... 95

15.Tahap membersihkan sisa-sisa kayu yang tidak habis terbakar …... 104

16.Tahap menugal pada pengerjaan ladang ………..…... 105

17.Alokasi waktu tahunan masyarakat Dayak Benuaq di Kutai Barat ... 118

18.Tahapan regenerasi hutan bekas ladang berdasarkan pengetahuan lokal Dayak Benuaq ... 119

(20)

GAMBAR Halaman

21.Struktur vegetasi ladang diberakan 20 th (bataakng) dengan

∅ = 4cm ... 126

22.Struktur vegetasi ladang diberakan > 40 tahun (bengkar uraq)

dengan ∅= 5 cm ... 128

23. Pertambahan jenis dan suku serta tumbuhan bermanfaat pada lahan

bekas ladang ... 135 24. Siklus penggunaan lahan untuk perladangan dan agroforestri pada

masyarakat Dayak Benuaq di Kecamatan Muara Lawa ………….... 136 25. Contoh jerat dan perangkap yang digunakan masyarakat Benuaq:

perora (atas) dan tongop (bawah) ... 195 26. Sistem ekologi perladangan masyarakat Dayak Benuaq ... 205 27. Model untuk pengelolaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kutai

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN Halaman

1. Struktur organisasi Lembaga Adat Besar Kecamatan Muara

Lawa …………... 243 2. Hasil analisa vegetasi pada plot A (Urat) dengan masa bera 1

tahun di Kecamatan Muara Lawa ………...

244

3a. Hasil analisa vegetasi pohon pada plot B (Balikng Bataakng)

dengan masa bera 10 tahun di Kecamatan Muara Lawa ……….. 246 3b. Hasil analisa vegetasi belta pada plot B (Balikng Bataakng)

dengan masa bera 10 tahun di Kecamatan Muara Lawa ……… .. 247 3c. Hasil analisa vegetasi semai pada plot B (Balik ng Bataakng)

dengan masa bera 10 tahun di Kecamatan Muara Lawa ……… .. 249 4a. Hasil analisa vegetasi pohon pada plot C (Bataakng) dengan

masa bera 20-25 tahun di Kecamatan Muara Lawa … …... 250 4b. Hasil analisa vegetasi belta pada plot C (Bataakng) dengan

masa bera 20-25 tahun di Kecamatan Muara Lawa ….... ... 251 4c. Hasil analisa vegetasi semai pada plot C (Bataakng) dengan

masa bera 20-25 tahun di Kecamatan Muara Lawa …………... 253 5a. Hasil analisa vegetasi pohon pada plot D (Bengkar Uraq)

dengan masa bera lebih dari 30 tahun di Kecamatan Muara

Lawa ... 254 5b. Hasil analisa vegetasi belta pada plot D (Bengkar Uraq) dengan

masa bera lebih dari 30 tahun di Kecamatan Muara Lawa ... 257 5c. Hasil analisa vegetasi semai pada plot D (Bengkar U raq)

dengan masa bera lebih dari 30 tahun di Kecamatan Muara

Lawa ...…... 260 6. Hasil analisa vegetasi pohon pada plot E Bengkar Tuhaq (hutan)

di Kecamatan Muara Lawa ……... 261 7a. Keanekaragaman jenis buah-buahan dan status budidayanya di

(22)

LAMPIRAN Halaman

7b. Keanekaragaman jenis tumbuhan penghasil karbohidrat dan

status budidayanya di Kecamatan Muara Lawa ... 267 7c. Keanekaragaman jenis tumbuhan sayur- mayur dan

bumbu-bumbuan serta status budidayanya di Kec. Muara Lawa ... 268 7d. Keanekaragaman jenis tumbuhan penghasil minuman dan

penyegar di Kecamatan Muara Lawa ... 271 8. Keanekaragaman tumbuhan obat tradisional pada masyarakat

Dayak Benuaq di Kecamatan Muara Lawa ……...… 272 9. Keanekaragaman tumbuhan untuk kegiatan ritual pada

masyarakat Dayak Benuaq ... 282 10. Keanekaragaman tumbuhan untuk metode pengobatan rerukng

pada masyarakat Dayak Benuaq ……... 286 11. Keanekaragaman kayu bangunan dan pertukangan pada

masyarakat Dayak Benuaq di Kutai Barat ... 287 12. Keanekaragaman tumbuhan untuk teknologi lokal pada

masyarakat Dayak Benuaq di Kecamatan Muara Lawa ... 292 13. Keanekaragaman tumbuhan untuk kecantikan pada masyarakat

Dayak Benuaq ... 295 14. Keanekaragaman tumbuhan serat dan bahan pakaian pada

masyarakat Dayak Benuaq ... 295 15. Keanekaragaman tumbuhan racun dan anti racun pada

masyarakat Dayak Benuaq ... 296 16. Keanekaragaman tumbuhan pewarna pada masyarakat Dayak

Benuaq ... 297 17. Keanekaragaman tumbuhan kayu bakar pada masyarakat Dayak

Benuaq ... 298 18. Keanekaragaman tumbuhan tali-temali dan rotan pada

masyarakat Dayak Benuaq ... 299 19. Keanekaragaman kultivar padi lokal (Oryza sativa L.) pada

(23)

LAMPIRAN Halaman

20. Keanekaragaman kultivar padi pulut (Oryza glutinosa) pada

peladang berpindah Dayak Benuaq di Kecamatan Muara Lawa.. 301 21. Data jenis-jenis tumbuhan pangan tambahan berdasarkan

sistematik lokal Benuaq ... 302 22. Daftar jenis tumbuhan bermanfaat dan nilai Indeks Kepentingan

Budaya pada masyarakat Dayak Benuaq (ICS) ... 304 23. Analisa tanah pada beberapa tahapan suksesi perladangan

masyarakat Dayak Benuaq ... 314 24. Keanekaragaman jenis ikan air tawar yang dikonsumsi

masyarakat Benuaq ... 315 25. Keanekaragaman jenis hewan buruan di Muara Lawa ... 317 26. Potret aktivitas masyarakat Dayak Benuaq ... 319 27. Beberapa karya seni ukir dalam kehidupan masyarakat Dayak

(24)

Suku Dayak merupakan penduduk asli yang menghuni pulau Kalimantan. Secara harfiah ‘Dayak’ berarti orang pedalaman dan merupakan istilah kolektif untuk bermacam- macam golongan suku, yang berbeda dalam bahasa, bentuk kesenian, dan banyak unsur budaya serta organisasi sosial. Pada umumnya masyarakat Dayak adalah peladang berpindah padi huma yang menghuni tepi-tepi sungai di Kalimantan dengan alat transportasi utama adalah perahu, oleh karena itu pula budaya orang Dayak disebut budaya sungai (riverin culture). Mereka kebanyakan berada dalam masyarakat rumah panjang, dan tunduk pada hukum adat (Hong, 1987; Jessup & Vayda, 1988).

Dayak Benuaq merupakan salah satu suku Dayak di Kalimantan Timur yang jarang disebutkan dalam literatur populasi Dayak di Borneo, oleh sebab itu hampir tidak dikenal (Massing, 1981). Suku ini tergolong ke dalam kelompok Lawangan. Perkampungan mereka terletak di sepanjang anak-anak sungai Mahakam sebelah selatan, yaitu sungai Bongan, sungai Ohong, sungai Jelau, sungai Kelawit, sungai Tuang, sungai Lawa, sungai Kedang Pahu dan sungai Nyuwatan dan juga bagian hulu sungai Teweh di Kalimantan Tengah. Suku Dayak Benuaq bukan hanya kelompok Dayak terbesar di Kabupaten Kutai Barat tetapi juga memiliki lebih banyak adat-istiadat dibanding kelompok Dayak lainnya (Mallinckrodt dalam Massing, 1981).

(25)

Sistem pendayagunaan sumber daya hutan pada setiap daerah dan suku mempunyai karakteristik yang khas. Perbedaan ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi segala kegiatan atau aktifitas manusia dalam hidupnya. Dengan demikian tidak heran jika dijumpai pola kehidupan maupun perilaku yang berlainan di setiap suku. Pemahaman pengetahuan masyarakat lokal tentang tata ruang bertujuan untuk mengetahui tingkat strategi adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingk ungan yang ada di sekitarnya. Selain itu pemahaman ini juga untuk mengidentifikasi aktifitas masyarakat dan menilai pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan. Selanjutnya kita dapat pula melihat bagaimana masyarakat mengelola dan memanfaatkan lingkungannya tersebut. Karena sering ditemukan sistem manajemen sumber daya tradisional justru berjalan baik dan efektif dalam penyelamatan lingkungan khususnya pencegahan degradasi kawasan hutan.

Teknik pemanfaatan lahan oleh masyarakat Dayak Benuaq tidak hanya dipengaruhi oleh adat-istiadat melainkan kondisi sumber daya alam yang tersedia, kesuburan tanah, teknik perladangan dan sistem kerja. Masyarakat Dayak Benuaq terkenal sangat taat dan berpegang teguh pada ajaran nenek moyang mereka yang diwariskan turun temurun secara lisan. Menurut kepercayaan nenek moyang suku Dayak Benuaq bahwa adanya roh dan kekuatan pada setiap benda. Bahwa mulai dari manusia sampai kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan mempunyai kekuatan gaib. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat berkaitan dengan kebutuhan sehari- hari dan lingkungannya haruslah sesuai dengan adat dan tata krama yang dicontohkan oleh nenek moyang yang dapat diketahui melalui legenda atau cerita turun temurun yang dipercaya sebagai pesan-pesan tertentu.

(26)

memahami perubahan lanskap masa lalu dan pola-pola vegetasi masa sekarang dan mendatang. Menurut Crevello (2004) sangat penting dilakukan penelitian dan dokumentasi sistem penggunaan lahan oleh masyarakat Dayak Benuaq, yang merupakan salah satu kelompok masyarakat lokal yang menghadapi tekanan dinamika budaya akibat perkembangan Indonesia yang cepat dan desentralisasi sektor kehutanan.

Studi etnoekologi ini dilakukan untuk menganalisis dan mengevaluasi secara ekologis aktivitas intelektual dan tindakan praktis yang dilakukan masyarakat Dayak Benuaq sesuai dengan kondisi alamiahnya. Sehingga perspektif studi etnoekologi ini adalah mengeksplorasi bagaimana masyarakat Dayak Benuaq sebagai produser (informan) menyusun pemikiran (corpus) dan selanjutnya memanfaatkan (praxis) tentang produktivitas sumber daya alam (1), kemudian peneliti mempunyai analisis yang didasarkan pada kedua aspek di atas secara ilmiah untuk menilai sistem pengetahuan dari masyarakat Dayak Benuaq tersebut (2). Sehingga analis is dari perbandingan dan konfrontasi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem pengetahuan ilmiah akan diperoleh suatu pembuktian keilmiahan dari sistem pengelolaan lingkungan oleh masyarakat Dayak Benuaq memiliki implikasi yang berarti dalam menangani pengelolaan kelestarian pemanfaatan keanekaragaman hayati di kabupaten Kutai Barat ini.

(27)

pemukiman ini mengingatkan kita pada peradaban-peradaban kuno (peradaban Babilonia di antara sungai Tigris dan Efrat) yang senantiasa memilih tepi sungai sebagai lahan yang potensial. Sungai, dalam filosofi masyarakat Dayak Ngaju tidak saja merupakan gambaran sumber-sumber yang terdapat di dalamnya yang dapat memberikan kehidupan tetapi yang lebih utama adalah air sebagai sumber kehidupan. Sedangkan sumber daya hutan digambarkan dengan berbagai macam hewan seperti babi, rusa, burung, beruang dan bermacam-macam pohon buah-buahan untuk sumber makanan.

Bukti-bukti Paleoetnobotani menunjukkan bahwa ketergantungan ma nusia terhadap tumbuh-tumbuhan telah diketahui sejak jaman prasejarah (Smith, 1986), sehingga peran manusia atau kelompok etnis ini dengan segala tata cara kehidupannya sangat menentukan nasib lingkungan. Oleh karena itu maka perlu ditelaah bagaimana konsep dan pemahaman serta penguasaan pengetahuannya dalam mengolah sumberdaya hayati tadi. Selanjutnya Ellen et al. (2000) menyatakan bahwa pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal sering dianggap statis dan tidak berubah, sedangkan kenyataannya mengalami perubahan. Dewasa ini banyak pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dan hewan oleh masyarakat lokal atau pribumi sudah hilang sebelum dicatat atau diketahui peneliti. Dilain pihak timbul gerakan untuk kembali ke alam (back to nature), diantaranya upaya memanfaatkan kembali sumberdaya nabati alami, misalnya penggunaan obat tradisional, kosmetik, pewarna dan lainnya. Hal ini menunjukkan pentingnya pengetahuan pemanfaatan tumbuhan dan hewan tersebut secara tradisional dimana hal tersebut merupakan informasi yang sangat berharga untuk pelestarian pemanfaatan keanekaragaman sumberdaya hutan.

Perumusan Masalah

(28)

tumbuhan baik dari hutan primer maupun hutan sekunder. Latar belakang sosial-ekonomi-budaya manusia dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam memperlakukan alam lingkungan sekitarnya. Hal di atas mendasari penelitian etnoekologi pada masyarakat Benuaq ini (Gambar 1). Apakah kearifan lokal dan pengelolaan sumber daya alam secara tradisional oleh masyarakat Benuaq penting dan dapat mendukung konservasi keanekaragaman biologi yang sekaligus merupakan bagian terintegral dari dinamika perubahan ekosistem di Kabupaten Kutai Barat? Informasi mengenai pengetahuan lokal Benuaq (local knowledge) belum tergali dan sangat sedikit publikasi yang berkaitan dengan pengetahuan masyarakat tersebut sehingga sangat perlu untuk mendokumentasikan pengetahuan masyarakat Benuaq yang mulai terdegradasi seiring dengan degradasi keanekaragaman hayati di Kabupaten Kutai Barat. Rendahnya kualitas sumber daya manusia, keterbatasan sarana dan prasarana, keterbelakangan dalam teknologi, dan konflik yang timbul karena ketidakadilan pemberian hak dalam pengelolaan sumberdaya hutan menyebabkan perubahan aspek sosial-budaya-ekonomi masyarakat Benuaq dalam mengelola sumber daya alam. Uraian di atas menunjukkan bahwa studi ini sangat penting dan diharapkan dapat memberikan suatu bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pengembangan Kabupaten Kutai Barat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini menguraikan mengenai berbagai bentuk dan praktek tradisional pengelolaan sumberdaya hutan, serta peranan pengetahuan, kearifan dan kelembagaan lokal yang telah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Dayak Benuaq. Secara umum bertujuan untuk mengetahui totalitas pengetahuan masyarakat Benuaq dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungannya dalam konteks konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dengan tujuan khusus berdasarkan topik penelitian ini adalah:

(29)

hubungan antara masing- masing satuan lingkungan dengan melibatkan aktifitas/ kegiatan masyarakat penghuninya.

2. Mengungkapkan pengetahuan lokal masyarakat Dayak Benuaq tentang lingkungan hidupnya berkaitan dengan sistem perladangan berpindah dari perspektif mereka sendiri dan perspektif ekologi.

3. Mengetahui dinamika vegetasi yang diakibatkan oleh aktivitas perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat Dayak Benuaq dengan melakukan analisis vegetasi pada setiap satuan lingkungan untuk memperoleh gambaran tentang dinamika ekosistem.

4. Mengungkapkan pengetahuan lokal tentang keanekaragaman tumbuha n dan pemanfaatannya me liputi inventarisasi dan pengenalan jenis-jenis tumbuhan oleh masyarakat Dayak Benuaq. Melakukan identifikasi untuk memperoleh nama ilmiah dari tetumbuhan tersebut dan analisis tingkat kepentingan suatu jenis tumbuhan (ICS) dalam kehidupan masyarakat Benuaq.

5. Mengungkapkan aktifitas berburu dan menangkap ikan yang mendukung keberlanjutan sistem perladangan berpindah masyarakat Dayak Benuaq.

Manfaat Pe nelitian

(30)

alam dan melestarikan lingkungan serta mengembangkan pertanian dan agroforestri unggulan pada masyarakat Benuaq yang berakar dari dalam sistem budaya mereka sendiri.

Gambar 1 Kerangka penelitian etnoekologi dan pengetahuan botani lokal d i Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat.

Latar belakang sosial-ekonomi-budaya manusia dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam

memperlakukan alam lingkungan sekitarnya

Pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan pertanian yang mengakar

dalam sistem budaya masyarakat Dayak Benuaq di Kutai Barat Aktifitas perladangan berpindah dalam budaya

masyarakat Benuaq

Pemanfaatan dan eksploitas i sumber daya alam dalam kehidupan kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Benuaq

Perubahan lingkungan biofisik dan

(31)

Daftar Pustaka

Chin, S.C. 1984. Kenyah tops and top playing, an integral part of the agricultural cycle. Sarawak Mus. J. 33: 33-53.

Crevello S. 2004. Dayak Land Use Systems and Indigenous Knowledge. J. Hum. Ecol. 16(2): 69-73.

Ellen, R., Parks, P. and Bicker, A. 2000. Indigenous Environmental Knowledge and its Transformation. Hardwood Academic Publishers, Australia, Japan, Germany, Malaysia.

Freeman, J.D. 1970. Report on the Iban. The Athlone Press.

Hong, E. 1987. Natives of Sarawak, Survival in Borneo’s Vanishing Forest. Institut Masyarakat, Malaysia.

Jessup, T.C. dan Vayda, A.P. 1988. Dayaks and Forests of Interior Borneo. The University Museum Magazine of Archeology/Anthropology University of Pennsylvania. Expedition 30(1): 5-17.

Massing, A.W. 1981. The Journey to Paradise: Funerary Rites of the Benuaq Dayak of East Kalimantan. Borneo Research Bulletin 13(2): 85-104.

Rousseau, J. 1977. Kayan agriculture. Sarawak Mus. J. 25:129-156.

Smith, C.E.Jr. 1986. Import of paleoethnobotanical facts. Econ. Bot. 40:267-278. Walujo, E.B. 1988. Les Ecosystemes Domestiques par l’Homme dans l’Ancien

Royaume Insana-Timor (Indonesie). These de Doctorat de l’Universite Paris VI (Pierre et Marie Curie). France.

(32)

LINGKUNGAN FISIK

Letak Geografis

Propinsi Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 208.657,74 km2 meliputi wilayah daratan seluas 198.441,17 km2 dan wilayah laut 10.216,57 km2. Wilayah ini terletak antara 113 °44' Bujur Timur dan 119°00' Bujur Timur serta diantara 4°24' Lintang Utara dan 2°25' Lintang Selatan. Topografi kawasan ini bervariasi dari hutan dataran rendah hingga kawasan pegunungan di bagian utara propinsi (Anonim, 2006). Kabupaten Kutai Barat dengan Ibukota Sendawar merupakan pemekaran dari wilayah Kabupaten Kutai yang telah ditetapkan berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1999. Dengan luas sekitar 31.628,70 km2 atau kurang lebih 15% dari luas Propinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kabupaten Kutai Barat terletak antara 113°45'05'' sampai 116°31'19'' Bujur Timur serta diantara 1°31'35'' Lintang Utara dan 1°10'16'' Lintang Selatan. Wilayah yang menjadi batas Kabupaten Kutai Barat adalah Kabupaten Malinau dan Negara Serawak (Malaysia Timur) di sebelah Utara, Kabupaten Kutai Kertanegara di sebelah Timur, Kabupaten Pasir di sebelah Selatan dan untuk sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Barat (Anonim, 2007).

Daerah Kabupaten Kutai Barat didominasi topografi bergelombang, dari kemiringan landai sampai curam dengan kemiringan antara 0-60 persen dengan ketinggian berkisar 0-1500 meter dari permukaan laut. Daerah dataran rendah pada umumnya dijumpai di kawasan danau dan kawasan sepanjang sungai (DAS). Sedangkan daerah perbukitan dan pegunungan memiliki ketinggian rata-rata lebih dari 1000 m dari permukaan laut dengan kemiringan 30 persen terdapat di bagian barat laut yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia (Anonim, 2007).

(33)

Gambar 2 Peta lokasi penelitian (lingkaran merah) di Kabupaten Kutai Barat

Selatan sedangkan batas garis bujurnya belum diketahui. Luas wilayah Kecamatan Muara Lawa 444,50 km2 yang terdiri dari delapan kampung yang telah berumur

(34)

ratusan tahun yaitu Kampung Banggeris, Kampung Cempedas, Kampung Dingin, Kampung Lambing, Kampung Lotaq, Kampung Muara Begai, Kampung Muara Lawa, dan Kampung Payang. Wilayah-wilayah yang menjadi batas Kecamatan Muara Lawa adalah Kecamatan Muara Pahu dan Kecamatan Siluq Ngurai di sebelah Timur, Kecamatan Damai di sebelah Barat, Kecamatan Sekolaq Darat di sebelah Utara dan Kecamatan Bentian Besar di sebelah Selatan (Anonim, 2007).

Kecamatan Muara Lawa dapat dicapai dengan jalur transportasi sungai, darat dan udara. Transportasi sungai dengan menggunakan kapal atau bis air jurusan Sungai Kedang Pahu yang berjarak sekitar 323 km. Transportasi darat dari terminal Sungai Kunjang Samarinda dengan menggunakan bus trayek Samarinda-Melak. Sedangkan jalur udara dapat ditempuh dari Samarinda (Bandara Temindung) atau Balikpapan (Bandara Sepinggan) dengan maskapai penerbangan Bintang Sendawar menuju kota Sendawar (Bandara Melalan). Selanjutnya dari Sendawar menuju kecamatan Muara Lawa waktu tempuh sekitar 45 menit perjalanan darat.

Geologi dan Tanah

Publikasi peta geologi Kalimantan yang sistematis tidak banyak dibandingkan dengan peta daerah-daerah lainnya di Indonesia (RePPProtT 1990). Sebagian besar Kalimantan terdiri dari batuan yang keras dan agak keras, termasuk batuan Kuarter di Semenanjung Sangkulirang dan jajaran Pegunungan Meratus, batuan vulkanik dan endapan Tersier. Kalimantan tidak memiliki gunung api yang aktif seperti yang terdapat di Sumatera dan Jawa, tetapi memiliki daerah batuan vulkanik tua yang kokoh di bagian barat daya dan bagian timur Kalimantan. Hal- hal tersebut merupakan peninggalan sejarah geologis Indonesia yang mencakup berbagai masa kegiatan vulkanik dari 300 juta tahun yang lalu sampai sekarang (MacKinnon et al. 2000).

(35)

Secara fisiografi, Cekungan Kutai terletak di bagian timur Kalimantan, dibatasi oleh Tinggian Kuching di bagian barat, Tinggian Mangkalihat di utara, Selat Makassar di timur, dan Pegunungan Meratus dan Paparan Pasternoster di selatan. Cekungan Kutai dibatasi dari Cekungan Tarakan di utaranya oleh Tinggian Mangkalihat, dan dibatasi dari Cekungan Barito di selatan oleh Pegunungan Meratus. Di bagian barat, Cekungan Melawi dan Ketungau berbatasan langsung dengan Cekungan Kutai melalui bagian dari Tinggian Kuching. Luas Cekungan Kutai secara keseluruhan ± 160.000 kilometer persegi. Van de Weerd dan Armin (1992) menyatakan bahwa Cekungan Kutai terbentuk pada kala Eosen Tengah sebagai cekungan regangan, yang terisi oleh endapan genang laut berumur Eosen sampai Oligosen, yang diikuti oleh pengisian endapan susut-laut Miosen.

Kondisi tanah merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi penyebaran vegetasi. Ada lima faktor utama dalam formasi tanah: lithologi, iklim, topografi, makhluk hidup dan waktu. Secara umum pengetahuan tentang penyebaran tanah di Kalimantan masih terbatas; 90% laporan survei tanah yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah terbatas untuk proyek-proyek khusus seperti transmigrasi, perkebunan atau jaringan irigasi (Sudjadi, 1988). Sebagian besar tanah di Kalimantan berkembang pada dataran bergelombang dan pegunungan yang tertoreh di atas batuan sedimen dan batuan beku tua. Tanah-tanah ini berkisar dari ultisol masam yang sangat lapuk dan inceptisol muda. Tanah di atas bagian utama Borneo tengah dan Borneo timur laut adalah ultisol (acrisol). Tanah yang mengalami pelapukan sangat berat ini membentuk jenis tanah podsolik merah-kuning di sebagian besar dataran Kalimantan yang bergelombang. Sebagian besar ultisol di Kalimantan adalah

(36)

mengumpulkan humus dan bahan organik lagi yang penting bagi cadangan hara dan untuk mengatur kelembaban dan suhu tanah (MacKinnon et al. 2000).

Iklim dan Curah Hujan

Deskripsi iklim di Kalimantan Timur umumnya berdasarkan data curah hujan yang dicatat pada beberapa stasiun meteorologi dan sangat sedikit publikasi informasi tentang karakteristik iklim Kalimantan Timur selain curah hujan (Toma et al, 2000). Karakteristik iklim Kutai Barat termasuk dalam katagori iklim tropika humida, dengan rata-rata curah hujan tertinggi terdapat pada bulan April dan terendah pada bulan Agustus serta tidak menunjukkan adanya bulan kering atau sepanjang bulan dalam satu tahun selalu terdapat sekurang-kurangnya tujuh hari hujan (Anonim, 2007).

Pada lokasi penelitian berdasarkan data rata-rata curah hujan dari tahun 1986-2006 stasiun Agroklimat Melak menunjukkan bahwa puncak curah hujan dengan pola ganda. Puncak tertinggi pada bulan Maret dan November dengan rata-rata curah hujan lebih dari 200 mm perbulan. Curah hujan minimum pada bulan Agustus dengan rata-rata 80 mm perbulan dan maksimum pada bulan November dengan rata-rata lebih dari 285 mm per bulan. Rata-rata suhu udara tahunan adalah 30,9oC untuk suhu harian maksimum dan 23,3oC untuk suhu harian minimum dan rata-rata suhu udara hanya berbeda sedikit dari bulan ke bulan. Kisaran temperatur diurnal sekitar 7,6oC dan perubahan temperatur bulanan lebih kecil dibandingkan kisaran suhu harian. Rata-rata kelembaban udara tahunan sekitar 90,39% (Gambar 3).

(37)

0,00 15,00 30,00 45,00 60,00 75,00 90,00 105,00 120,00 135,00 150,00 165,00 180,00 195,00 210,00 225,00 240,00 255,00 270,00 285,00 300,00

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nop Des

Bulan

curah hujan suhu kelembaban

Gambar 3 Rata-rata curah hujan, suhu dan kelembaban bulanan di Stasiun Melak Kutai Barat tahun 1989-2006.

(38)

antara 2000–2500 mm dan 2500–3000 mm (Gambar 4). Hal ini berarti bahwa wilayah tersebut sangat basah yakni mempunyai curah hujan yang tinggi yang dapat memungkinkan terjadinya banjir pada saat musim hujan. Walaupun termasuk tipe iklim yang basah, pada bulan-bulan tertentu terjadi musim kering yang agak lama yang menyebabkan air danau menjadi surut dan sangat dangkal. Wilayah ini juga terkena pengaruh fenomena El Niño. Terutama pada tahun 1982-1983 dan tahun 1997-1998, dan pernah mengalami kekeringan pada waktu kemarau yang panjang (Hardwinarto dkk, 2006).

(39)

LINGKUNGAN BIOLOGI

Distribusi tumbuhan dan hewan sangat dipengaruhi oleh sejarah geologi dan sejarah iklim (terutama fluktuasi iklim) di daerah tersebut. Flora Indonesia dipisahkan oleh garis Wallace menjadi genera Asian (Laurasia) dan Australasian (Gondwana). Garis ini merupakan batas antara flora dan fauna di bagian barat dan bagian timur Indonesia. Borneo terletak di bagian barat garis Wallace, lokasi biogeografi Borneo sangat menentukan karakteristik flora dan fauna di Kalimantan Timur (Fatawi & Mori, 2000).

Borneo memiliki flora yang terkaya di Kepulauan Sunda, baik jumlah kekayaan maupun keanekaragaman jenisnya. Pulau ini merupakan pusat keanekaragaman tumbuhan dengan 10.000 hingga 15.000 jenis tumbuhan berbunga, floranya sekaya flora di seluruh Afrika yang luasnya 40 kali lebih besar. Keragaman jenis itu mencakup unsur Asia dan Australasia (MacKinnon et al, 2000). Borneo memiliki lebih dari 3.000 jenis pohon, termasuk 267 jenis Dipterocarpaceae yang merupakan kelompok pohon kayu perdagangan terpenting di Asia Tenggara. Sekitar 58% jenis Dipterocarpaceae tersebut merupakan jenis endemik (Ashton, 1982). Tingkat endemisme flora cukup tinggi, yaitu sekitar 34% dari seluruh tumbuhan (MacKinnon et al, 2000)

Tipe-tipe hutan di Kalimantan Timur meliputi hutan mangrove, hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut, hutan kerangas, hutan dipterokarpa dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan pada batu kapur (MacKinnon & MacKinnon, 1986). Sebagian besar area di Kalimantan Timur ditutupi oleh hutan dipterokarpa dataran rendah. Vegetasi alam yang ada di Kecamatan Muara Lawa termasuk hutan campuran dipteroka rpa dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl. Sebagaimana di tempat-tempat lainnya berbagai jenis tumbuhan berkayu dijumpai di sini. Keßler dan Sidiyasa (1999) melaporkan 280 jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi di lahan pamah Kalimantan Timur.

Di hutan-hutan dipterokarpa dataran rendah di Muara Lawa dijumpai berbagai jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae seperti Tempudou (Dipterocarpus confertus,

(40)

laevis), Kahoi (S. balangeran), Kawang (S. seminis) , Mengkorau (S. leprosula), Mentewohok (S. johoriensis), Merembung (S. smithiana), Orai (S. pinanga), dan Resak (Vatica sp.). Selain jenis-jenis Dipterocarpaceae yang bernilai komersial dan pohon berkayu, hutan Borneo kaya dengan pohon buah-buahan yang sangat penting bagi kehidupan di hutan dan bagi penduduk setempat. Jenis-jenis buah ini antara lain adalah berbagai jenis mangga (Mangifera decandra, M. foetida, M. macrocarpa, M. pajang, M. torquenda), berbagai jenis durian (Durio dulcis, D. graveolens, D. griffithii, D. kutejensis, D. lanceolatus, D. oxleyanus, D. zibethinus), berbagai jenis menteng (Baccaurea lanceolata, B. macrocarpa, B. puberula, B. pyriformis), berbagai jenis nangka dan kerabatnya (Artocarpus champeden, A. integra, A. kemando, A. lanceifolius, A. odoratissimus), serta berbagai jenis rambutan dan kerabatnya (Nephelium lappaceum, N. ramboutan-ake, N. uncinatum). Selanjutnya hutan Muara Lawa kaya akan berbagai jenis Palem seperti aren Arenga pinnata, nipah Nypa fructicans, lontar Borrassodendron borneensis, sagu bukit Eugeissona utilis, dan berbagai jenis rotan. Rotan Calamus spp dan Daemonorops spp mempunyai nilai komersial dan beberapa jenis ditanam secara tradisional oleh masyarakat di Kalimantan Timur (MacKinnon et al, 2000). Rotan sudah sejak lama dibudidayakan oleh masyarakat asli Dayak dan melimpah di hutan tropis lembab ini biasanya ditanam pada akhir masa panen dalam sistem perladangan berpindah.

Mamalia di Kalimantan Timur sekitar 100 jenis (Yasuma, 1994). Jumlah ini sekitar 45% dari 222 jenis mamalia yang ditemukan di seluruh Borneo. Seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan eksploitasi hutan, di lokasi penelitian banyak terjadi kerusakan flora dan fauna. Banyak satwa-satwa liar seperti Macan Dahan (Neofelis nebulosa), Rusa (Cervus unicolor), Kancil (Tragulus spp), dan Babi Hutan (Sus barbatus) yang pada tahun 1980-an masih banyak dijumpai, tetapi sekarang sudah semakin jarang. Kecend erungan yang sama juga terjadi pada berbagai jenis burung, reptil dan hewan- hewan lainnya.

(41)

meskipun beberapa spesies juga ditemukan di pulau-pulau sebelah timur garis Wallace yang faunanya didominasi oleh spesies dari Australia (MacKinnon et al, 2000). Sebagai contoh 55 jenis mamalia sama -sama terdapat di Borneo dan Sumatera, yang berjarak sekitar 800 km di sebelah barat. Tetapi hanya 9 jenis mamalia yang sama antara Borneo dan Sulawesi yang berjarak 200 km di sebelah timur pulau Borneo. Distribusi fauna Borneo juga dipengaruhi oleh altitude, tipe-tipe habitat dan hambatan geografi seperti pegunungan dan sungai. Sebagai contoh, Orang utan secara alami hanya mendiami area sebelah utara Sungai Mahakam di Kalimantan Timur (Fatawi dan Mori, 2000).

LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA

Persebaran Dayak Benuaq

Menurut sejarah penyebaran suku Dayak di Kalimantan disebabkan karena diantara mereka sering saling berperang, sehingga mereka mencari tempat-tempat yang aman dari serangan suku lainnya. Dengan tersebarnya mereka dalam kondisi lingkungan yang berbeda dan juga sulitnya dalam berkomunikasi menimbulkan pola kehidupan yang berbeda pula diantara mereka walaupun dalam beberapa hal masih terdapat persamaan. Apabila dilihat dari bahasa yang digunakan, suku Dayak mempunyai banyak sekali bahasa sehingga antara tempat yang berdekatan pun terdapat perbedaan bahasa.

(42)

Suku Dayak Punan terdiri dari: Dayak Punan (24 kelompok), Dayak Basap (20 kelompok), Dayak Ot (3 kelompok), dan Dayak Bukat (3 kelompok); Suku Dayak Murut terdiri dari: Dayak Murut (28 kelompok), Dayak Idaan (Dusun) (6 kelompok), dan Dayak Tidung (10 kelompok); Suku Dayak Iban terdiri dari: Dayak Iban (11 kelompok).

Masyarakat Dayak Benuaq merupakan bagian dari kelompok masyarakat Dayak Lawangan. Masyarakat Dayak Lawangan merupakan sub suku Dayak Ngaju yang berdiam di propinsi Kalimantan Tengah. Kelompok masyarakat yang termasuk ke dalam suku Dayak Lawangan berjumlah 21 kelompok kecil, diantaranya adalah kelompok masyarakat suku Lawangan Karau, Singa Rasi, Paku, Ayus, Bawu, Tabuyan Mantararan, Malang, Tabuyan Teweh, Mangku Anam, Nyumit, Bantian, Purui, Tudung, Bukit, Leo Arak, Mangku, Bayam, Lemper, Tungku Lawangan, Pauk dan Benuaq (Riwut, 1979). Berdasarkan asal- usul di atas, maka di Kabupaten Kutai Barat terdapat dua kelompok suku Dayak. Pertama kelompok suku Kenyah, Kayan dan Bahau, sedangkan yang kedua kelompok suku Tunjung, Benuaq dan Bentian (Coomans, 1987).

Walaupun sebutan Lawangan sebagai suku jarang digunakan diantara masyarakat Benuaq namun dikalangan para orang tua yang mengetahui tentang adat-istiadat dan asal- usul masih mengakui tentang hal tersebut. Kebanyakan masyarakat Benuaq merasa dirinya sebagai Dayak (untuk membedakan mereka dari muslim), sedangkan sebutan Benuaq (untuk membedakan mereka dari kelompok Dayak lainnya) selanjutnya untuk identitas sehari- hari biasanya merujuk pada kampung tempat mereka tinggal seperti Benuaq Dingin (masyarakat Benuaq yang bertempat tinggal di Kampung Dingin) atau Benuaq Isuy (masyarakat Benuaq yang bertempat tinggal di Tanjung Isuy).

(43)

sungai Jelau, sungai Kedang Pahu, sungai Kelawit, sungai Lawa, sungai Nyuwatan, sungai Tuang, dan bagian hulu sungai Teweh di Kalimantan Tengah (Gambar 5).

Gambar 5 Peta persebaran Dayak Benuaq di Kalimantan Timur yang terletak pada Sub DAS Bongan (BN), Sub DAS Jempang (Jmp) dan Sub DAS

Kedang Pahu (KdP).

Massing (1981) berdasarkan geografis mengemukakan klasifikasi, daerah dan jumlah orang Benuaq pada tahun 1979-1980 di Kabupaten Kutai sebagai berikut:

Vie w1

DI REKTORA T JEND ERAL SUMBERD AYA AIR

(44)

1. Benuaq Bongan di Kecamatan Bongan: 1500 orang

2. Benuaq sungai Ohong dan danau Jempang di kecamatan Jempang: 3600 orang 3. Benuaq sungai Kelawit, sungai Tuang dan sungai Jelau di kecamatan Muara

Pahu: 4800 orang

4. Bentian di hulu sungai Tuang dan sungai Lawa kecamatan Bentian Besar: 2300 orang

5. Benuaq Lawa di bagian hilir sungai Lawa kecamatan Muara Lawa: 2600 orang

6. Benuaq di bagian hulu sungai Kedang Pahu dan sungai Nyuwatan di kecamatan Damai: 4600 orang.

7. Benuaq sungai Idan di kecamatan Barong Tongkok dan kecamatan Damai: 4000 orang

Jumlah populasi masyarakat Benuaq yang tersebar pada beberapa lokasi tersebut sekitar 23.400 jiwa pada tahun 1979-1980 (Massing, 1981). Namun jumlah populasi tersebut telah meningkat pesat pada saat ini. Jumlah penduduk di Kecamatan Muara Lawa saja pada bulan Maret 2007 adalah 6.440 jiwa dengan rincian 3.374 jiwa laki- laki dan 3.066 jiwa perempuan serta 1366 kepala keluarga. Jumlah ini jauh mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan populasi masyarakat Benuaq di Kecamatan Muara Lawa tahun 1980 sebanyak 2600 jiwa (Massing, 1981). Adapun suku-suku non-Dayak lain di Kecamatan Muara Lawa adalah Banjar, Batak, Bugis, Jawa, Kutai, Sunda, Madura dan Padang. Jumlah mereka umumnya relatif sedikit, kebanyakan dari mereka menetap di Kampung Lambing dan Muara Lawa yang merupakan kampung pusat pemerintahan Kecamatan Muara Lawa.

Agama, Kepercayaan dan Konsep Lahtalla

(45)

makhluk- makhluk lainnya. Pada saat ini masih ada sebagian kecil masyarakat Benuaq yang menganut kepercayaan asli yang didapat secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Hal ini tercermin dari berbagai jenis patung (belontakng) dan artefak lainnya di rumah-rumah penduduk berkaitan dengan ritual-ritual yang mereka lakukan.

Selain percaya adanya roh pada semua benda dan mahkluk hidup, masyarakat Benuaq pun percaya dengan adanya Sang Penguasa Tunggal yang disebut Lahtalla

atau Latalla. Lahtalla hanya satu dan menguasai kehidupan manusia, alam dan jagat raya. Menurut salah satu versi mitologi pada suku Dayak Benuaq, Lahtalla sebagai Penguasa Alam Tertinggi mengatur alam semesta hanya dengan sekali bertitah. Titah dari Lahtalla ini selanjutnya dijalankan oleh Ayus Junjung, penjunjung titah Lahtalla, sebagai dewa pencipta serta pengatur alam dan aspek kehidupan manusia. Dalam fungsinya sebagai dewa pencipta serta pengatur alam dan aspek kehidupan manusia, Ayus Junjung dikenal sebagai:

a. Silu’ Uraay, yang mengatur pembuatan langit da n bumi. b. Seniang Perjadiq, yang menjadikan atau menciptakan manusia.

c. Seniang Pengitah, yang memelihara alam dan kehidupan manusia dengan memberikan kekuatan, rahmat dan karunia yang diperlukan.

(46)

atau sering Lahatala/Alatala yang berasal dari ucapan Allah ta’ala dalam Islam yang berarti Allah Maha Tinggi. Walaupun hal ini tidak diakui oleh beberapa tokoh masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur (kom. pri.).

Masyarakat Dayak Benuaq juga mengenal dewa yang menjadi penolong bagi manusia mempunyai tingkatan-tingkatan sesuai dengan batas kekuasaan yang mereka miliki. Hal ini akan tercermin pada upacara penyembuhan suatu jenis penyakit atau

beliatn. Apabila orang yang sakit tidak sembuh dengan beliatn tingkat pertama maka acara beliatn akan diteruskan untuk minta kesembuhan pada dewa-dewa yang lebih tinggi dan berkuasa. Usaha yang terakhir dilakukan apabila penyakit yang diderita belum sembuh, yaitu dengan membuat upacara beliatn besar yang menyembah dewa langit bernama Seniang Perejadiq.

Menurut Ukur (1994) untuk memahami makna religi dari alam sekitar dalam kebudayaan Dayak, sumber yang paling dapat membantu terutama mitos tentang kejadian alam semesta dan manusia serta mitos lainnya yang menggambarkan keterikatan dan keterkaitan hakiki antar insan dengan alam sekitarnya. Kepercayaan lama berupa firasat, ramalan-ramalan, dan nyahuq atau pertanda alam masih mempengaruhi kehidupan sehari-hari dari masyarakat Benuaq. Nyahuq terwujud dalam suara beberapa jenis burung tertentu, binatang, dan cuaca yang dianggap ada hubungan dengan nasib manusia. Jadi nyahuq merupakan pertanda bahwa sesuatu akan terjadi dan manusia harus berhati-hati dalam pekerjaannya sehingga terhindar dari bencana dan malapetaka.

(47)

Perejadiq ke atas ubun- ubun Tamarikukng dan Ape Bungan Tanaa’ pada waktu penciptaan manusia pertama.

Nenek moyang suku Benuaq pada zaman dahulu meyakini bahwa orang yang telah meninggal dunia mempunyai dua roh dan tinggal di tempat yang berbeda, yaitu

liaau yang tinggal di Gunung Lumut (bumi) dan kelelungan yang naik ke langit pada suatu tempat yang disebut teluyatn tangkir langit. Kelelungan adalah roh tengkorak orang yang meninggal dunia. Kemurkaan roh kelelungan dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit, namun kelelungan juga dapat memberi pertolongan apabila diminta oleh manusia. Oleh karena itu dalam melaksanakan upacara tertentu,

kelelungan selalu diundang dan dijamu dengan upacara adat. Kelelungan memiliki dua pengertian yaitu: 1) tengkorak yang didapat sebagai hasil pergi berperang (mengayau) dan disimpan serta digunakan sebagai peralatan upacara, dan 2) tengkorak nenek moyang yang mempunyai pengaruh dan berwibawa pada masa hidupnya (bangsawan). Kelelungan ini tidak dikubur bersama tulang dari bagian tubuh lainnya, melainkan disimpan oleh anak cucunya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib dan membawa keberuntungan. Pada waktu-waktu tertentu, tengkorak ini harus dibersihkan dengan upacara beliatn (Madrah, 2001).

(48)

kepada penjaga para penjaga hutan), ritual pengobatan (belian), ritual penyucian (Ngugu Tautn), dan ritual kematian atau duka cita (Kwangkei).

Stratifikasi Sosial pada M asyarakat Dayak Benuaq

Kekerabatan pada suku Benuaq dikenal dengan istilah purus yang diperhitungkan berdasarkan perkawinan. Suku Dayak Benuaq seperti kebanyakan suku Dayak lainnya, menganut sistem garis keturunan bilateral, yaitu sistem garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu masuk da lam hubungan kekerabatan anaknya. Hubungan kekerabatan yang terjadi melalui perkawinan digolongkan ke dalam hubungan kekerabatan purus diniiq (hubungan kekerabatan yang dekat). Hubungan kekerabatan juga menjadi pedoman dan pertimbangan oleh seseorang dalam menentukan dan menerima jodohnya. Karena menganut garis keturunan bilateral maka pewarisan harta mengikuti ketentuan adat sukat warisan. Harta warisan (barang bana atau babatn retaaq) digolongkan menjadi dua kelompok yaitu 1) harta benda yang diperoleh suami atau istri sebelum menikah (atau warisan dari orang tua masing-masing) dikenal dengan retaaq mento, 2) harta benda yang diperoleh oleh suami- istri sebagai hasil usaha bersama setelah menikah dikenal dengan retaaq rempuuq. Ketentuan adat sukat bahwa anak laki-laki berhak atas retaaq mento

ayahnya, dan jika suatu keluarga tidak mempunyai anak laki- laki maka retaaq mento

tadi dikembalikan ke pihak keluarga ayahnya. Sedangkan anak perempuan berhak atas retaaq mento ibunya, dan jika suatu keluarga tidak mempunyai anak perempuan tadi dikembalikan ke pihak keluarga ibu. Selanjutnya harta retaaq rempuuq yang diperoleh dari hasil usaha bersama kedua orang tua dibagi atas dasar kasih sayang dan perhatian yang dikenal dengan istilah bukuh jantak atau suyuk sang anak terhadap orang tuanya.

(49)

kawin (residence patterns) ini tergolong pada uxorilokal atau matrilokal

(Koentjaraningrat, 1992). Hal ini sesuai dengan peribahasa Benuaq ‘anaak bawee kalaaq molupm ulutn tuhaaq’ yang berkaitan dengan tradisi anak perempuan lebih diutamakan untuk menghidupi dan mengurus orang tuanya pada saat keduanya sudah tua (Madrah, 2001).

Pada zaman dahulu masyarakat Benuaq mengenal stratifikasi sosial yang dibedakan sangat tajam dalam kehidupan bermasyarakat (Madrah, 2001). Hal ini sesuai dengan Massing (1981) yang menyatakan bahwa karakter keluarga-keluarga Benuaq tidak jauh berbeda dalam hal kekayaan dan standar hidup namun dipisahkan oleh perbedaan status sosial yang tidak terlihat. Secara umum susunan status sosial tersebut terbagi 3 golongan yaitu:

1. Purus Mantiq yaitu golongan bangsawan yang mempunyai hak turun-temurun.

2. Purus Merentika-merentawai yaitu golongan masyarakat biasa yang bebas merdeka.

3. Purus Ripatn-batakng ulutn yaitu golongan budak.

(50)

Kepemimpinan Lokal dan Lembaga Adat

Kepala Kampung dikalangan masyarakat Dayak Benuaq dikenal dengan sebutan Petinggi, sesuai dengan panggilan tradisional zaman Kewedanaan Kutai Tengah, waktu mulai diaktifkannya organisasi pemerintahan desa di luar perangkat

Tuhaatn Benua gaya feodal zaman dulu. Kepala Kampung ini dipilih oleh masyarakat dan disetujui secara resmi oleh pemerintah. Kepala Kampung bertanggung jawab terutama atas administrasi pada tingkat kampung dan aktifitas resmi lainnya. Disamping Kepala Kampung juga ada Kepala Adat (Mantiq) di setiap kampung. Kepala Adat memiliki peranan dan pengaruh besar dalam kehidupan sehari- hari masyarakat desa. Kepala Adat yang merancang acara-acara tradisional masyarakat kampung dan aktifitas-aktifitas resmi yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan tradisi dan budaya.

Lembaga Adat Kampung dipimpin oleh seorang Kepala Adat (Mantiq), seorang sekretaris, dan tiga dewan adat. Pada zaman dulu lembaga adat ini di pimpin oleh seorang Kepala Adat dibantu oleh seorang pembantu khusus yang disebut

Penggapit Mantiq (Asy’arie, 2004). Seorang Kepala Adat dituntut mempunyai kemampuan dan pengetahuan tentang adat dan hukum-hukum adat, begitu pula dengan sekretaris dan para anggota dewan adat. Beberapa Lembaga Adat Kampung bergabung dalam satu satuan wilayah tertentu dapat berupa aliran anak sungai dan kadang kala sama dengan wilayah administrasi membentuk sempekat atau kumpulan beberapa Lembaga Adat Kampung menjadi Lembaga Adat Besar yang dipimpin oleh

Mantiq Solai, seperti Lembaga Adat Besar Muara Lawa. Penggabungan dalam suatu kumpulan lembaga adat ini erat kaitannya dengan sejarah migrasi dan sejarah terbentuknya suatu kampung. Pada zaman dulu sistem pemilihan dan pengangkatan kepala adat besar dan kepala adat kampung adalah berdasarkan keputusan dari raja Kutai.

(51)

kecamatan pada saat sekarang ini sama luasnya dengan wilayah administrasi pemerintahan kecamatan. Lembaga adat kecamatan dipimpin oleh seorang Kepala Adat dari suatu kampung yang dipilih melalui musyawarah dan salah satu syarat untuk dapat menjadi Kepala Adat Kecamatan adalah yang mempunyai kemampuan pengetahuan adat secara menyeluruh dan mendalam serta dapat dijadikan panutan oleh masyarakat adatnya. Lembaga adat kecamatan membawahi seluruh kampung yang ada di wilayah kecamatan tersebut.

Struktur Lembaga Adat Kecamatan Muara Lawa terdiri dari seorang Kepala Adat Besar, seorang Sekretaris, seorang Bendahara dan delapan orang anggota Pengadilan Adat yang terdiri dari semua Kepala Adat Kampung di wilayah Kecamatan Muara Lawa. Selanjutnya struktur lembaga adat ini mempunyai tujuh bidang khusus yaitu bidang pelulukng (nikah adat), bidang umaq tautn lati tana

(silsilah sejarah (waris)), bidang dongoq nalitn kayuq adat (medis adat), bidang mate mancar jangan angka (adat kematian/kecelakaan), bidang ngehaq esaq (lingkungan hidup), bidang riek (seni budaya) dan bidang manokng pengiraq (polisi adat). Para pengurus lembaga adat harus menjaga kesakralan adat dimata masyarakat dan dari penguasa tertinggi Nayu Seniang yaitu para dewa pemelihara adat yang konon tinggal di atas khayangan (Langit Balai Solai). Menurut kepercayaan masyarakat Benuaq dari Langit Balai Solai tersebut aturan-aturan adat diturunkan kepada manusia sehingga dalam struktur lembaga adat bermuara pada tempat tersebut yang di simbolkan dengan tanda bintang (Lampiran 1).

Gambar

GAMBAR Halaman
GAMBAR Halaman
Gambar 1 Kerangka penelitian etnoekologi dan pengetahuan botani lokal di
Gambar 2 Peta lokasi penelitian  (lingkaran merah) di Kabupaten Kutai Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

– fasilitas ruang di dalam Pusat Kebudayaan Suku Dayak

Tujuan dari buku ini yaitu untuk memberitahukan salah satu benda peninggalan budaya suku Dayak Benuaq yaitu Papan Ketika pada generasi selanjutnya maupun masyarakat luas.

sahabat yang dipercaya akan menyembuhkan penyakit pasien. Ruyaq tersebut biasanya dipersiapkan oleh masyarakat suku Dayak Benuaq secara bergotong- royong berdasarkan

a) Memilih tari suku dayak dari 5 suku dayak besar di Kalimantan timur yang masing- masing Dayak mewakili 3 tarian yaitu Dayak kenyah tari perang, tari leleng,

Karya tulis berupa buku Eksistensi Tingkilan Kutai Suatu Tinjauan Etnomusikologis, Belajar Musik Sampek, artikel ilmiah berjudul Belian bawo pada Suku dayak Benuaq di Desa tanjung

penelitian menunjukkan bahwa pronomina persona bahasa Dayak Benuaq terdiri atas tiga yaitu pronomina persona yang mengacu pada diri sendiri (1) pronomina pertama tunggal dan

Tujuan dari buku ini yaitu untuk memberitahukan salah satu benda peninggalan budaya suku Dayak Benuaq yaitu Papan Ketika pada generasi selanjutnya maupun masyarakat luas.

Dalam konteks literatur yang penulis kaji, suku asli yang mendiami pulau Kalimantan adalah masyarakat adat Kalimantan yang biasa disebut dengan orang dayak atau suku dayak.. Penggunaan