• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KOMIK DAN

2.2 Etos Kerja Masyarakat Jepang / Hatarakisugi

Bangsa Jepang dikenal dunia sebagai bangsa yang giat bekerja dan pantang menyerah. Terbukti dengan keberhasilan mereka membangun negaranya setelah terjadinya pemboman di kota Hiroshima dan Nagasaki (1945) oleh Amerika. Dengan semangat dan kerja keras, bangsa Jepang mampu bangkit dari kehancurannya dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun. Bahkan, pada pertengahan tahun 1990-an, angka Produk Nasional Bruto (PNB) Jepang mencapai US$ 37,5 miliar yang sekaligus mengantarkan Jepang pada posisi kedua

setelah Swiss yang memiliki angka PNB tertinggi di dunia yang berjumlah US$ 113,7 miliar.

Keberhasilan Jepang membangun negaranya menjadikan salah satu negara yang memiliki perekonomian kuat, berkaitan erat dengan etos dan budaya kerja bangsa Jepang.

Pada dasarnya etos dan budaya kerja orang Jepang tidak jauh berbeda dengan etos kerja bangsa Asia lainnya. Jika bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia lainnya juga pekerja keras. Namun, perbedaan bangsa Jepang dengan bangsa Asia lainnya adalah bahwa bangsa Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharapkan bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, maka secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keiginan melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Menurut Fadhli (2007:105-107), ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah:

Pertama, bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi, kalau gajinya lumayan orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan dengan teman yang akrab. Biasanya, di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Karena permainan terlalu menarik, terkadang sampai lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut workaholic oleh orang asing.

Kedua, mendewakan langganan. Etos kerja orang Jepang mendewakan langganan sebagai Tuhan. Okyaku sama wa kamisama desu yang artinya langganan adalah Tuhan. Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah menjadi motto bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin dan berusaha mengembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.

Ketiga, bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan perusahaan lain. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur.

Orang Jepang mengerjakan pekerjaan mereka tidak berdasarkan pada motif banyaknya keuntungan di atas nilai kerja. Komentator sosial yang terkemuka Yamamoto Sichihei sebagai contoh, ia mencatat etos kerja orang Jepang sebagai tradisi penganut Budha Jepang yang kuat. Seperti yang dijelaskan Yamamoto, kegiatan bekerja diterima sebagai disiplin spiritual dengan hati dan ajaran Budha, bukan keuntungan ekonomi, hadiah akan diperoleh melalui kesetiaan yang tidak mementingkan diri sendiri untuk suatu pekerjaan. Sekarang pun, orientasi ini hidup di perusahaan-perusahaan Jepang, dan ini adalah alasan utama mengapa orang Jepang bekerja sangat keras.

Jepang memang dikenal dunia sebagai bangsa yang gila kerja (hatarakisugi). Hatarakisugi disebut juga dengan workaholic oleh orang asing. Ini dapat dibuktikan dengan jumlah jam kerja Jepang yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada 1992, jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun.

Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Pada tahun 2005, Jepang menduduki peringkat lebih tinggi dari Amerika Serikat, Inggris dan Jerman pada rata-rata jam kerja per tahun dalam sebuah laporan oleh Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi.

Gila kerja (hatarakisugi) dapat digambarkan sebagai ketidakmampuan untuk berhenti bekerja, baik ketika berada di kantor, di rumah, dan lain-lain. Dalam wikipedia disebutkan bahwa kata workaholic sendiri berasal dari dua kata yaitu, work dan alcoholic. Work berarti kerja dan alcoholic berarti pecandu minuman beralkohol. Istilah ini diciptakan oleh psikolo sebuah wawancara, ia mengatakan “…orang tersebut (orang yang terlalu banyak bekerja) hampir dapat disamakan dengan pecandu alkohol dan dapat digambarkan sebagai workaholic.

Sampai saat ini banyak orang gila kerja digambarkan sebagai kecanduan terhormat, dan setengah berpikir bahwa itu adalah sebuah atribut mengagumkan. Namun, kondisi tersebut sekarang diakui sebagai masalah serius dan banyak teori telah diajukan untuk mencoba dan lebih memahami apa yang memotivasi pecandu kerja. Beberapa teori melihat gila kerja sebagai "strategi mengatasi" untuk menutupi masalah-masalah emosional yang mendasarinya seperti kegelisahan, rasa rendah diri, depresi dan sifat-sifat obsesif-kompulsif (Jeffrey P Kahn MD dalam http://www.ipaki.com/content/html/37/1214.html). Paul Thorne dan Michael Johnson, penulis "Workaholism", mendefinisikan pekerja keras sebagai "orang yang perlu bekerja telah menjadi begitu berlebihan sehingga mengganggu

kesehatan fisik, kebahagiaan pribadi, hubungan interpersonal atau kemampuan untuk berfungsi secara sosial."

Thorne dan Johnson (http://www.ipaki.com/content/html/37/1214.html) mengidentifikasi dua jenis workaholic: aktif dan pasif. Workaholic aktif bekerja untuk kenikmatan. Mereka memiliki energi untuk bekerja dengan waktu yang lebih lama dan mereka percaya bahwa pengabdian seperti itu membawa penghargaan khusus.

Workaholic pasif didorong untuk bekerja dengan ketidakamanan, ketakutan atau paranoia sampai terlalu banyak pekerjaan menjadi mendarah daging dan kebiasaan, nyaris merusak keseimbangan hidup mereka, tanpa mereka menyadarinya.

Kegilaan bekerja orang Jepang menyebabkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat mereka bekerja. Mereka lebih suka berada di tempat kerja daripada duduk bersantai di rumah. Waktu orang Jepang bersama-sama keluarga sangat terbatas. Namun, bagi yang berumah tangga dan berkeluarga, situasi ini tidak menimbulkan banyak masalah. Istri mereka sudah terbiasa dan dapat menerima situasi itu. Oleh karena itu, jarang sekali terjadi perceraian yang disebabkan oleh kegilaan bekerja suami mereka. Istri-istri orang Jepang merasa bangga bila suami mereka gila kerja dan bekerja keras. Ia menjadi kebanggan seluruh keluarga karena ia menjadi pertanda status sosial yang tinggi. Sebaliknya, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas, dan tidak produktif.

Orang Jepang memiliki disiplin yang tinggi saat bekerja. Mereka tidak mencampur-adukkan masalah pribadi pada pekerjaannya. Setiap pekerjaan

dilakukan dengan fokus. Bangsa Jepang juga tidak menyia-nyiakan waktu saat bekerja. Tidak heran jika hasil kerja mereka melebihi bangsa-bangsa lain.

Kegilaan orang Jepang pada pekerjaan ini, menjadi masalah yang semakin serius, karena menyebabkan kematian. Fenomena kematian karena kerja yang berlebihan ini dikenal dengan istilah

Karōshi telah menjadi simbol dari sebuah masyarakat gila kerja di Jepang. Di antara berbagai pekerjaan ada tiga bidang utama yang memiliki resiko tertinggi

karōshi di Jepang. Mereka adalah: wartawan, supir dan pekerja mesin. Namun, kasus karōshi Jepang juga terjadi antara guru, manajer dan pekerja yang

berpindah-pindah

Tetsunojo Uehata, ahli medis yang menciptakan kata karōshi,

mendefinisikan karōshi sebagai " sebuah kondisi di mana proses kerja yang tidak sehat secara psikologis diijinkan untuk melanjutkan dengan cara yang mengganggu pekerjaan pekerja yang normal dan ritme kehidupan, yang mengarah ke penumpukan kelelahan dalam tubuh dan kondisi kronis yang disertai oleh memburuknya tekanan darah dan pengerasan arteri dan akhirnya mengakibatkan kerusakan fatal."

Penelitian menunjukkan bahwa Jepang memiliki jumlah workaholic terbesar di seluruh dunia dan bertanggung jawab atas 10.000 kematian setiap tahun (http://www.ipaki.com/content/html/37/1214.html).

Pemerintah Jepang telah melakukan berbagai upaya agar masyarakatnya tidak bekerja dengan waktu yang sangat lama dan menyarankan agar mereka mengambil cuti. Di sebuah situs

issues.com/2006/8/24/research /japan -cracks -down -on- workaholic - corporate culture.asp, terdapat sebuah artikel yang berjudul ‘Japan Cracks Down on Workaholic Corporate Culture’ menyebutkan:

“Pemerintah Jepang mengambil langkah radikal untuk membersihkan diri dari citra sebagai bangsa pecandu kerja yang jarang mengambil liburan dan kadang-kadang bekerja sendiri sehingga menyebabkan kematian dini.

Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan negara mengusulkan undang-undang yang akan memaksa perusahaan mendorong orang-orang untuk mengambil liburan mereka.

Seorang pejabat kementerian mengatakan kepada kantor berita Reuters: "Kami merasa bahwa orang tidak mengambil cuti yang cukup. Kita perlu mencegah orang-orang dari bekerja terlalu banyak sehingga mereka dapat menyeimbangkan pekerjaan dengan keluarga."

Menurut Kementerian Perburuhan negara, dari total cuti tahunan diberikan kepada staf, persentase cuti diambil di Jepang jatuh ke rekor rendah 46,6 persen hingga Maret 2005.”

Usaha pemerintah ini dilakukan demi kelangsungan kehidupan bangsa Jepang di masa depan. Karena angka kelahiran yang menurun, sedangkan jumlah kematian terus meningkat. Pemerintah mengkhawatirkan dari tahun ke tahun penduduk Jepang akan terus berkurang.

Dokumen terkait