• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sikap Dan Perilaku “Hatarakisugi” Pada Tokoh Utama Dalam Komik Working Man Karya Moyoco Anno (Moyoco Anno No Sakuhin No Working Man No Manga Ni Okeru Shujinkou No Hatarakisugi No Koui To Taido No Bunseki)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Sikap Dan Perilaku “Hatarakisugi” Pada Tokoh Utama Dalam Komik Working Man Karya Moyoco Anno (Moyoco Anno No Sakuhin No Working Man No Manga Ni Okeru Shujinkou No Hatarakisugi No Koui To Taido No Bunseki)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SIKAP DAN PERILAKU “HATARAKISUGI” PADA TOKOH UTAMA DALAM KOMIK WORKING MAN KARYA MOYOCO ANNO (MOYOCO ANNO NO SAKUHIN NO WORKING MAN NO MANGA NI OKERU SHUJINKOU NO HATARAKISUGI NO KOUI TO TAIDO NO

BUNSEKI)

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana dalam Bidang

Ilmu Sastra Jepang

Oleh: ZULVIANITA NIM : 060708009

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ANALISIS SIKAP DAN PERILAKU “HATARAKISUGI” PADA TOKOH UTAMA DALAM KOMIK WORKING MAN KARYA MOYOCO ANNO (MOYOCO ANNO NO SAKUHIN NO WORKING MAN NO MANGA NI OKERU SHUJINKOU NO HATARAKISUGI NO KOUI TO TAIDO NO

BUNSEKI)

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana dalam Bidang

Ilmu Sastra Jepang

Oleh: ZULVIANITA NIM : 060708009

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Amin Sihombing Drs. Nandi.S_______

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2010

(3)

Disetujui Oleh: Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D NIP 19580704 1984 12 1 001

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat ALLAH SWT karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga penulis hadiahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan moril maupun bantuan spirituil. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya, penghargaan serta penghormatan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. Amin Sihombing selaku Dosen Pembimbing I yang telah

menyediakan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

(5)

5. Seluruh Dosen Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh kesabaran telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan yang pasti berguna bagi penulis di masa depan.

6. Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Alm. H. Sunario Salio dan Ibunda Hj. Masriaty Pulungan yang telah memberikan kasih sayang, doa, keikhlasan, dukungan dan pengorbanan yang luar biasa yang tidak dapat digantikan oleh apapun dan siapapun. Kalian berdua akan selalu ada di dalam hati penulis. Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan kalian dan memberikan keselamatan dunia dan akhirat. Amin.

7. Kakakku tercinta Silvianty, S.E dan suami Muhammad Arianto, S.T serta abangku tersayang Arif Ramadhan, A.Md yang telah memberikan dukungan dan doanya bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Keponakank, M. Faiz Al-Hafidz yang membuat penulis selalu teriak-teriak karena kenakalannya. Tetapi, terkadang menjadi hiburan bagi penulis. 9. Teman-teman terbaikku Okky, Fadiah, Andar Beny Prayogi, Irwan, Rizal,

Teddy, Hary, Vana, dan Suci yang membuat hari-hari penulis menjadi lebih ceria dan mengasyikkan selama masa perkuliahan. Saat-saat bersama kalian takkan pernah terlupakan. Semoga kita bisa berteman selamanya. 10.Seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2006 yang nama-namanya

(6)

11.Seluruh keluarga besarku yang telah mendoakan penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Khusus buat sepupuku Media Aprina yang telah mendengarkan cerita-cerita penulis tentang segala hal dan juga dengan kerelaan hati meminjamkan printer-nya, serta Atikah Sukma dan Arvina Pulungan yang telah menemani penulis dalam pencarian data-data yang berhubungan dengan skripsi penulis. Sesuai harapan kalian, aku sudah menepati janji kan!

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu dan memberikan dukungan pada penulis. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh ALLAH SWT.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, begitu juga dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis sendiri serta para pembaca.

Medan, November 2010

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI……….. iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang……… 1

1.2Perumusan Masalah……… 6

1.3Ruang Lingkup Pembahasan……….. 7

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……… 8

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian…... 13

1.6Metode Penelitian……… 14

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KOMIK DAN HATARAKISUGI 2.1 Komik Jepang 2.1.1 Sejarah Munculnya Komik di Jepang……… 16

2.1.2 Perkembangan Komik di Jepang………... 19

2.1.3 Komik Working Man……… 22

2.1.4 Riwayat Pengarang……… 23

2.1.5 Setting komik……… 25

2.2 Etos Kerja Masyarakat Jepang / Hatarakisugi………… 26

(8)

3.2 Analisis Sikap dan Perilaku Hatarakisugi Hiroko

Matsukata dalam Bentuk Cuplikan……… 37 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan……… 59 4.2 Saran……….. 61 DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang adalah salah satu negara di benua Asia yang terkenal karena kemajuannya di banyak bidang. Dalam bidang ekonomi, Jepang dikenal sebagai negara super power yang mampu menyaingi bangsa barat. Begitu juga di bidang teknologi. Produk-produk teknologi Jepang dapat ditemukan di hampir seluruh negara di dunia.

Banyak bangsa yang tidak menyangka, Jepang dapat bangkit dari keterpurukannya, setelah kalah dalam Perang Dunia II. Setelah Amerika menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki (1945) yang pada saat itu merupakan penyangga ekonomi Jepang, banyak pakar ekonomi yang meramalkan bahwa Jepang tidak akan mampu bangkit lagi. Namun, dalam kurun waktu yang relatif singkat, Jepang berhasil membuktikan bahwa dengan semangat, kerja keras dan disiplin yang tinggi, telah berhasil membangun negaranya kembali, bahkan mampu menyaingi negara yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan tahunan Jepang bersaing ketat di belakang Amerika Serikat. Dengan segala keterbatasan negaranya (kondisi alam dan letak geografik negaranya yang rawan bencana, kekurangan sumber tenaga kerja, dan lain-lain), Jepang mampu memperkuat “sense of survival” nya sebagai bangsa.

(10)

Akutagawa Ryonosuke, Yasunari Kawabata, Matsuo Basho, dan lain-lain. Karya-karya mereka telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan tersebar di banyak negara. Selain itu, di Jepang juga banyak terdapat penghargaan-penghargaan yang dilaksanakan setiap tahunnya untuk menghargai para sastrawannya.

Menurut Teeuw dalam Nyoman Kutha Ratna (2005:4-5), sastra berasal dari akar kata sas (sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi, petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Sastra kemudian dibedakan atas dua bidang, yaitu sastra sebagai kreatifitas dan sastra sebagai ilmu. Sastra sebagai kretifitas terdiri atas tiga genre utama yaitu: puisi, prosa dan drama. Sastra sebagai ilmu terdiri atas teori sastra, kritik sastra dan sejarah sastra.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, prosa merupakan salah satu genre utama sastra. Sesuai dengan objek yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka penulis mengambil salah satu bentuk dari prosa yaitu komik.

(11)

diproduksi secara massal. Manga genre awal ini biasanya berupa komik satu panel (cartoon manga).

Hafiz Ahmad (2005:63-67) mengatakan terdapat dua genre komik, yaitu: 1. Genre komik shonen (shonen manga)

Shonen manga adalah manga yang dikhususkan pada pembaca laki-laki saja. Dalam buku Creating Comics Shojo Manga Style (Calista, 2004:107), shonen manga dapat dibagi lagi berdasarkan usia pembacanya.

a. Shonen manga yang ditujukan untuk anak kecil. Biasanya memiliki cerita menarik untuk anak-anak, mengambil setting seputar sekolah atau lingkungan bermain anak-anak.

b. Shonen manga yang ditujukan untuk anak laki-laki berusia 11-17 tahun. Walaupun kisahnya masih seputar sekolah, olahraga ataupun lainnya, tetapi sudah diwarnai dengan unsur romantisme.

c. Shonen manga yang ditujukan untuk laki-laki berusia 18 tahun ke atas. Kisahnya lebih variatif, agak dewasa dan sedikit menampilkan hal-hal yang berbau erotisme, kadang seks bahkan kekerasan.

2. Genre komik shojo (shojo manga)

(12)

a. Shojo manga untuk anak kecil perempuan. Ceritanya berkisah seputar gadis kecil.

b. Shojo manga untuk anak perempuan berusia 11-17 tahun. Ceritanya lebih feminin dan mengarah pada unsur drama romantisme.

c. Shojo manga untuk remaja putri berusia 18 tahun ke atas. Kisahnya hampir sama dengan shonen manga, namun lebih bersifat feminin dan tidak banyak kekerasan.

Dari kedua genre komik ini semuanya tersaji dalam bermacam-macam tema cerita. Mulai dari petualangan dan aksi, sejarah, ekonomi, kehidupan masyarakatnya (bagaimana sistem sekolah, kebiasaan merayakan festival, dan lain-lain), hingga pengalaman traumatik Jepang sebagai satu-satunya negara yang pernah dibom atom saat perang dunia (cerita Gen si Kaki Ayam atau Hadashi no Gen). Dapat dikatakan, hampir semua hal dalam kehidupan sehari-hari di Jepang, dibuat dalam bentuk komik.

(13)

Dalam komiknya yang berjudul Working Man, mengisahkan seorang Hiroko Matsukata, 28 tahun, yang bekerja sebagai editor di sebuah majalah mingguan Jidai. Dia dijuluki sebagai “working man” oleh rekan-rekan sekantornya karena gilanya pada pekerjaan. Dia selalu menomorsatukan pekerjaannya dibandingkan hal lain. Sampai pada saat liburan pun, dia tetap tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Kalau sudah berkaitan dengan pekerjaan, ide tentang tidur, makan, bercinta, pakaian, kebersihan akan hilang semua. Bahkan, dia mengatakan “aku ingin mati dengan rasa puas karena telah bekerja”.

Situasi yang terjadi seperti sinopsis diatas disebut dengan istilah hatarakisugi, atau kalau dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan istilah gila kerja, dan kalau dalam bahasa Inggris disebut dengan workaholic.

Bangsa Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang gila kerja. Suatu pekerjaan mereka lakukan dengan tanpa mengenal waktu. Bahkan, masyarakat Jepang pada umumnya lebih mengutamakan balas budi terhadap atasan (perusahaan), daripada balas budi terhadap orang tua. Sehingga, di Jepang dikenal istilah karōshi (mati karena kebanyakan bekerja).

Bahkan, di sebuah artikel pada surat kabar BBC (Selasa, 4 April 2000) yang berjudul ‘Japan’s Workaholic Culture’ menyebutkan “Large firms demand absolute flexibility from their staff and although most Japanese workers have a

holiday entitlement of up to 30 days, many of them only take five or six.

Terjemahan: Perusahaan-perusahaan besar memberikan kelonggaran terhadap

(14)

libur 30 hari, tetapi banyak dari mereka yang hanya mengambil libur selama lima atau enam hari saja”.

Kegilaan orang Jepang pada pekerjaan ini, dipengaruhi oleh salah satu ciri-ciri etos dan budaya kerja mereka yaitu “bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja” (Fadhli, 2007:105-106). Orang Jepang bersedia menerima pekerjaan dari perusahaannya tanpa mengharap bayaran. Bahkan, mereka lebih senang jika diberikan pekerjaan yang berat dan menantang. Dalam pikiran mereka, hanya ada keinginan mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Hal ini berhubungan dengan sikap kesungguhan, disiplin ketat, usaha dan semangat kerja keras (spirit bushido) rakyat Jepang yang diwarisi secara turun-temurun.

Berdasarkan fakta-fakta dan informasi-informasi itulah yang akhirnya membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang sikap dan perilaku hatarakisugi masyarakat Jepang. Tulisan ini mengambil bahan rujukan melalui komik yang berjudul Working Man. Dan akan ditulis dalam bentuk skripsi dengan judul “SIKAP DAN PERILAKU “HATARAKISUGI” PADA TOKOH UTAMA DALAM KOMIK WORKING MAN KARYA MOYOCO ANNO.”

1.2 Perumusan Masalah

(15)

besar pada Zaman Tokugawa, kini telah mengalami suatu lompatan jauh sebagai bangsa yang berjaya di dunia.

Sejak dibom atomnya kota Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, bangsa Jepang seolah-olah bangkit dari tidur. Bangsa yang dulunya menganggap sebagai keturunan dewa, berusaha bangkit dari keterpurukan. Sejak saat itu, masyarakat Jepang menjadi manusia super sibuk dalam memulihkan dan menumbuhkan perekonomian Jepang. Tidak dapat dipungkiri bahwa hatarakisugi-lah yang menjadi alasan kuat sehingga Jepang dapat menjadi negara yang mempunyai perekonomian kuat.

Untuk itu, dalam hal ini penulis tertarik untuk membahas sikap dan perilaku hatarakisugi pada masyarakat Jepang yang digambarkan melalui komik Working Man, yang permasalahannya akan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana sikap dan perilaku hatarakisugi yang digambarkan dalam komik Working Man?

2. Bagaimana etos kerja pada masyarakat Jepang?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

(16)

perkembangan komik di Jepang, serta riwayat pengarang dari komik yang akan dibahas pada tulisan ini.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Abdul Irsan (2007:56) beberapa karakter umum bangsa Jepang yang dapat mempengaruhi kebijakan politik dan interaksinya dengan bangsa lain, antara lain:

1. Sebagai bangsa yang pernah memiliki latar belakang sebagai petani dan nelayan selama berabad-abad, pergaulan di dalam masyarakat Jepang menghasilkan suatu “rule of unanimous”. Mereka menganggap pentingnya kebersamaan dan kecenderungan untuk tidak menentang keinginan kelompok, karena tidak ingin terkucil dari lingkungan kelompoknya. Akibatnya tercipta “sense of harmony” yang mementingkan toleransi dan kebiasaan menyampaikan ungkapan yang bernada “ambiguity” atau sikap yang tidak terus terang (aimai), demi untuk menjaga suasana harmoni di masyarakat.

2. Bangsa Jepang sangat percaya pada keyakinannya yang disebut amakudari (rahmat yang turun dari surga), yang merupakan kepercayaan kuat bahwa sebagai suatu bangsa mereka selamanya akan survive, berdasarkan kekuatan dan kemampuan ekonominya, semangat kerja samanya dan sistem pemerintahan yang dimilikinya.

(17)

membangun kembali negaranya dari kehancuran, untuk kemudian menjadi negara ekonomi yang kuat di dunia. Bangsa Jepang dikenal memiliki karakter sebagai bangsa yang tekun dan pekerja keras (workaholic) yang diekspresikan dalam bahasa Jepang sebagai gambari. Istilah ini sebenarnya digunakan untuk menunjukkan sikap perorangan yang memiliki semangat tinggi untuk kerja keras mencapai apa yang dicita-citakannya atau yang diinginkan oleh kelompoknya. Pada umumnya, bangsa Jepang merasa malu apabila tidak menyibukkan diri atau bersikap santai dalam melakukan pekerjaan apapun, dan bangsa Jepang dikenal sangat serius dan inovatif. Kemauan yang kemudian menjadi kebiasaan untuk bekerja keras sudah menjadi naluri dalam kehidupan sehari-hari bangsa Jepang sampai sekarang, yang mungkin semula sangat dipengaruhi oleh kondisi alam Jepang yang sering mengalami bencana dan akibat sikap rutinitas sebagai bangsa petani dan nelayan yang selalu menghadapi tantangan alam yang keras. Tanpa kerja keras dan disiplin tinggi mereka akan menghadapi kesulitan bahkan kematian, sebagai akibat dari alam disekitarnya yang ganas dan mengancam jiwa setiap saat.

4. Dalam pergaulan, orang Jepang tidak mudah dengan cepat saling akrab apabila baru berkenalan, baik dalam penggunaan kata-kata ataupun sikap tindak tanduk dan perilaku pergaulan.

(18)

6. Bangsa Jepang tidak terbiasa dengan negoisasi cara barat, yang selalu mengajak pihak yang sedang berunding untuk langsung berdiskusi dan melakukan perdebatan sebelum tercapai kesepakatan bersama. Orang Jepang cenderung untuk mencari solusi dengan cara pendekatan yang lebih bersahabat melalui kompromi yang didasari suatu groundwork yang jelas (nemawashi) sebelum tercapai kesepakatan akhir.

7. Pada masa lalu di masyarakat Jepang dikenal adanya “semangat Bushido” sebagai ciri watak kesetiaan samurai membela dan berkorban diri demi kepentingan pemimpin. Semangat bushido sangat dipengaruhi oleh falsafah yang dikembangkan oleh Buddhism aliran Zen dan Confucianism yang berasal dari China, yang menganggap kesetiaan dan pengorbanan sebagai bagian dari kehidupan manusia untuk mencapai derajat lebih tinggi mencapai kehidupan kekal.

8. Prinsip senioritas (senpai-kohai) dalam pergaulan masyarakat Jepang sudah berkembang sejak lama. Berdasarkan sejarah bangsa Jepang, prinsip senioritas sangat dipengaruhi oleh ajaran Confucianism yang berasal dari China, yang dalam kehidupan sehari-hari berlaku baik di lingkungan pergaulan di masyarakat, di sekolah, maupun perusahaan swasta dan organisasi pemerintahan, bahkan ikut memegang peranan penting dalam hubungan antar manusia dan bagi kelancaran roda organisasi, khususnya dalam hubungan hirarki vertikal.

(19)

atau pekerjaan, sedangkan sugi berarti perbuatan yang berlebihan atau melampaui batas. Jadi, hatarakisugi berarti kerja yang berlebihan atau disebut juga workaholic.

Sayidiman Suryohadiprojo (1982:89) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan Jepang dalam bidang industri, yang salah satu faktornya adalah kerajinan kerja orang Jepang yang melampaui jam kerja buruh negara-negara industri lainnya. Pada tahun 1978 jumlah jam kerja buruh Jepang adalah rata-rata 2146 jam, sedangkan di negara-negara Barat hanya 1700-1900 jam. Selain itu tingkat absensi di Jepang lebih rendah, yaitu pada tahun 1977 adalah 0,9 persen, sedangkan di Inggris 6,7 persen.

Sepertinya workaholic/hatarakisugi sudah menjadi budaya pada masyarakat Jepang. Edward B. Taylor dalam Sadono (2004: 102) mengatakan bahwa konvensi, adat-istiadat, kebiasaan, tradisi dapat dikategorikan sebagai bagian dari suatu praktek-praktek kebudayaan.

Selanjutnya, Aryandini dalam Sadono (2004:102) mengatakan bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karya manusia, yaitu upaya manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan yang dimaksud budaya, adalah hasil dari kebudayaan, yaitu ‘budidaya’ manusia dalam cipta, rasa dan karya.

(20)

terhadap seseorang, ide, atau objek yang berisi komponen-komponen cognitive, affective, dan behaviour. Kemudian Ahmadi (2007: 151) mengambil kesimpulan dari beberapa pengertian sikap, yaitu konsep yang membantu kita untuk memahami tingkah laku. Sejumlah perbedaan tingkah laku dapat merupakan pencerminan atau manifestasi dari sikap yang sama.

1.4.2 Kerangka Teori

Penelitian ini dilakukan melalui komik yang merupakan salah satu hasil karya sastra. Menurut Wellek dalam Melani Budianto (1997:109) bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Menurut Jan Van Luxemburg (1989:23) sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu.

Dalam wikipedia disebutkan bahwa kata workaholic sendiri berasal dari dua kata yaitu, work dan alcoholic. Work berarti kerja dan alcoholic berarti pecandu minuman beralkohol. Istilah ini diciptakan oleh psikolo terlalu banyak bekerja) hampir dapat disamakan dengan pecandu alkohol dan dapat digambarkan sebagai workaholic.

(21)

begitu berlebihan sehingga mengganggu kesehatan fisik, kebahagiaan pribadi, hubungan interpersonal atau kemampuan untuk berfungsi secara sosial.”

Dalam hal ini, penulis berpijak pada konsep etos kerja. Menurut

1. Keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok orang atau sebuah institusi.

2. Etos kerja merupakan perilaku khas suatu komunitas atau organisasi, mencakup motivasi yang menggerakkan, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, standar-standar.

3. Sehimpunan perilaku positif yang lahir sebagai buah keyakinan fundamental dan komitmen total pada sehimpunan paradigma kerja yang integral.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

a. Mengetahui bagaimana sikap dan perilaku hatarakisugi (workaholic) yang terjadi pada masyarakat Jepang.

b. Mengetahui bagaimana etos kerja masyarakat Jepang.

(22)

a. Menambah pengetahuan tentang kebudayaan pada masyarakat Jepang, khususnya hatarakisugi.

b. Menambah wawasan tentang etos kerja dan semangat kerja keras bangsa Jepang.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, disamping juga berpengaruh positif terhadap pembinaan dan pengembangan sastra itu sendiri (Tuloli dalam Suwardi Endraswara, 2008:10).

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang termasuk dalam cakupan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterperetasi data. Menurut Koentjaraningrat dalam Exe Citra (2006:12), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberi gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.

(23)

dalam komik. Pendekatan ini bergerak dan melihat faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada suatu masa tertentu. Jadi, pendekatan ini melihat faktor sosial sebagai mayornya dan sastra sebagai minornya. Dengan demikian peneliti bergerak dari faktor-faktor sosial untuk memahami faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya sastra (Sangidu, 2007:27).

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI KOMIK DAN HATARAKISUGI

2.1 Komik Jepang

2.1.1 Sejarah Munculnya Komik di Jepang

Kata manga adalah kata yang biasa digunakan untuk penyebutan komik di Jepang. Sebelum munculnya istilah manga, yang diciptakan oleh Katsuhika Hokusai, terlebih dahulu harus melihat urutan peristiwa ke belakang yang menjadi akar munculnya manga.

Sejarah komik di Jepang diawali dengan masuknya agama Buddha di Jepang pada sekitar abad VI-VII. Para biarawan Buddha membuat lukisan-lukisan gulung yang menggambarkan berbagai kisah. Lukisan gulung ini menggunakan berbagai simbol untuk menandai perubahan waktu, misalnya, sakura berbunga, daun mapel, atau simbol-simbol lain yang biasanya dimengerti oleh orang Jepang. Simbol-simbol ini menunjukkan urutan gambar sehingga dapat membentuk suatu rangkaian cerita. Salah satu cerita yang paling terkenal pada masa ini adalah

Chōjūgiga (Animal Scroll) yang menggambarkan binatang-binatang yang

bertingkah laku seperti manusia dan bahkan meniru tingkah laku pendeta Buddha.

(25)

lama. Gulungan tidak terdiri dari halaman-halaman atau penggambaran dibatasi dalam panel-panel seperti komik pada saat ini, melainkan mereka dibentuk dengan satu rangkaian kesatuan. Pada awalnya mereka disertai dengan teks, tetapi karena panjangnya gulungan dapat mencapai 80 kaki dan terdapat penyesuaian gaya, sering membuat ini tidak berguna. Tema yang biasa digunakan adalah tema yang bersifat keagaaman, tetapi ada juga yang bertemakan humor.

Pada pertengahan abad ke-17, terjadi perkembangan bentuk kartun keagamaan yang awalnya mengandung humor berubah menjadi bentuk yang serius. Ini disebut dengan Zenga atau “gambar Zen”. Tetapi kemudian, seiring dengan perkembangannya terdapat juga gambar-gambar Zen yang bersifat humor.

Tetapi gambar-gambar Zen dan lukisan-lukisan gulung jarang dilihat oleh orang-orang biasa. Hampir semua kesenian pada zaman dahulu merupakan milik golongan pendeta, golongan ningrat, dan keluarga-keluarga prajurit yang kuat. Sehingga orang-orang biasa haus akan kesenian yang menghibur, dan pada pertengahan abad ke-17, kartun-kartun yang simpel dijual dengan sangat laku di dekat kota Ōtsu, dekat Kyoto. Ōtsu-e, atau “gambar-gambar Ōtsu,” pada awalnya

merupakan jimat penganut Buddha bagi para wisatawan tetapi kemudian menjadi tidak dibatasi. Akhirnya, ōtsue diproduksi dalam jumlah ribuan oleh pekerja-pekerja tangan yang ahli dengan menggunakan pola-pola kertas dalam bentuk cetakan kasar.

(26)

warna. Tetapi kemudian ukiyo-e menggambarkan kesenangan dan hari di masa lalu–pakaian, tempat terkenal untuk dikunjungi, idola teater kabuki yang terakhir, dan kisah-kisah bersejarah–yang dicetak dalam warna-warna yang beragam. Seperti komik saat ini, ukiyo-e adalah kebudayaan yang populer di masa itu. Ukiyo-e berenergi, menarik, murah, menghibur, dan lucu.

Hokusai Katsuhika (1760-1849), adalah seorang seniman ukiyo-e yang telah menerbitkan 15 volume gambar-gambarnya dan merupakan orang pertama di Jepang yang menciptakan kata manga. Kata manga diciptakan pada tahun 1814, dengan menggunakan dua karakter kanji yaitu 漫 (Man, yang berarti tanpa

sengaja) dan 画 (Ga, yang berarti gambar). Hokusai secara jelas ingin

menggambarkan sesuatu seperti “sketsa yang tidak beraturan/aneh.” Tetapi penggunaan kata manga tidak langsung populer seperti saat ini, masih banyak penggunaan istilah lain setelah terciptanya kata manga.

Beberapa seniman ukiyo-e juga mencoba membuat shunga atau “gambar-gambar musim semi,” yang meng“gambar-gambarkan layaknya komik erotis saat ini.

Teknologi cetak pada zaman Edo juga digunakan untuk membuat apa yang disebut dunia dengan “buku-buku komik.” Seperti lukisan-lukisan gulung sebelumnya, buku ini tidak terdapat panel dan kata-kata di dalam bulatan (seperti komik saat ini). Melainkan, gambar terdiri dari 20 halaman atau lebih, dengan atau tanpa teks, dan diikat dengan tali atau dibuka seperti alat musik akordion.

Pada tahun 1702, Shumboku Ōoka menulis sebuah buku kartun yang

(27)

Kyoto, Osaka, dan Edo. Di daerah Osaka dikenal sebagai Toba-e–“gambar-gambar Toba.” Toba-e dicetak dalam satu warna dan dikumpulkan ke dalam buku kecil, dan kadang-kadang gambar-gambar disertai dengan fabel berteks. Seperti

ōtsue, toba-e terjual ribuan.

Kemudian ada Kibyōshi, atau “yellow-cover books”, buku-buku kecil yang terdiri dari cetakan satu warna dan sering diterbitkan secara berseri. Kibyōshi terkenal di akhir abad 18. Tidak seperti toba-e, kibyōshi mempunyai jalan cerita yang kuat.

Pada pertengahan abad 19, Jepang telah mempunyai banyak tradisi yang menghibur, kadang-kadang kurang sopan, dan sering berupa kesenian naratif. Bentuk kesenian dahulu akan menghilang dalam beberapa tahun yang akan datang, tetapi semangat karya-karya tersebut akan berlanjut untuk memberikan inspirasi kepada seniman-seniman dan akan mempengaruhi majalah-majalah komik dan buku-buku pada abad 20 di Jepang.

2.1.2 Perkembangan Komik di Jepang

(28)

yang ringan, lucu dan tidak spesifik memudahkannya diterima di kalangan masyarakat yang lebih luas. Inovasi-inovasi dari dalam negeri Jepang sendiri terhadap bentuk awal komik ini terus dilakukan, melahirkan sesuatu yang berbeda dari komik-komik luar yang menjadi inspirasi awalnya, seperti pendekatan teatrikal (mengambil sudut pandang tokoh-tokohnya secara satu badan penuh, tidak secara close-up) yang dilakukan Suiho Tagawa. Perkembangan ini sempat tersendat saat terjadi perang dunia kedua, tetapi telah memberikan inspirasi dan dasar bagi seniman-seniman komik Jepang generasi berikutnya, terutama seorang muda bernama Ozamu Tezuka (1928-1989). Beliau mendapat gelar “The God of Manga” karena pengaruhnya yang luar biasa terhadap komik Jepang modern. Karya-karya beliau setelah akhir perang dunia kedua membuka era baru bagi dunia perkomikan Jepang.

Kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua membuat masyarakatnya membutuhkan hiburan-hiburan murah untuk bisa lari sejenak dari pahitnya kehidupan mereka saat itu. Salah satunya adalah melalui komik. Meskipun dibutuhkan, pada awalnya komik tetap merupakan hal yang sulit untuk diterbitkan, mengingat akibat yang ditimbulkan perang. Akhir dekade 1940-an, beberapa penerbit besar di Tokyo yang telah mampu memulai usahanya, ternyata lebih memilih menerbitkan buku cerita anak dibandingkan komik.

(29)

dewasa. Para penulis gekiga ini nantinya akan bergabung dengan genre komik mainstream yang membuka satu jalan berkembangnya komik di masyarakat Jepang.

Gekiga ini disebarluaskan melalui berbagai cara. Ada yang memanfaatkan cara kami-shibai (teater kertas), yaitu sebuah kotak dengan dengan gambar yang bisa diganti-ganti dan diceritakan secara bergantian. Selain itu, melalui akabon (buku merah), yang dicetak secara murah dengan format kecil dan dijual di toko-toko permen, warung di festival-festival dan di pinggir jalan (kaki lima). Akabon juga memuat cerita-cerita untuk anak-anak. Beberapa penerbit juga memperbolehkan komikusnya untuk membuat cerita yang lengkap agar pembaca lebih puas.

Inflasi yang terjadi ternyata membawa masalah karena membuat harga akabon menjadi naik, sehingga anak-anak tidak mempunyai kemampuan untuk membelinya. Tetapi kemudian anak-anak tidak kehilangan akal, mereka memilih untuk menyewa akabon dari taman bacaan (kashiboya) sehingga produksi komik tetap berlanjut tanpa kesulitan yang berarti.

Masa keemasan taman bacaan ini berakhir sekitar tahun 1960-an, saat masyarakat Jepang mulai memfokuskan perhatian mereka pada bidang ekonomi. Pembaca kini mampu untuk membeli komik dan bacaan yang mereka inginkan dibandingkan menyewa dari taman bacaan. Peralihan ini juga mendorong para komikus yang tadinya membuat komik untuk kashiboya, sekarang terjun ke dunia industri komik yang lebih besar.

(30)

hal yang sama. Penerbit Kodansha dan Shogakukan kemudian mengeluarkan komik mingguan untuk anak-anak, terutama anak laki-laki (shonen). Akibatnya, pembaca menjadi terbiasa memilih komik mingguan dan mulai meninggalkan komik bulanan.

Untuk mendapatkan loyalitas pembaca, maka komik diterbitkan dalam bentuk kumpulan dan terbit mingguan. Majalah kumpulan komik ini biasanya terdiri beberapa judul komik yang masing-masing mengisi sekitar 30-40 halaman majalah itu. Apabila cerita-cerita dalam majalah tersebut populer, cerita-cerita dari majalah itu akan dibuat dalam bentuk tankobon (buku kumpulan dari beberapa episode dari satu judul komik) dan bunkabon (sama seperti tankobon, hanya dengan format yang lebih kecil dan tebal) atau dikenal dengan istilah volume. Bentuk komik seperti ini biasanya dicetak dengan kertas berkualitas tinggi dan berguna bagi orang yang tidak ingin membeli majalah komik mingguan yang memiliki beberapa judul. Untuk beberapa judul yang sukses, biasanya akan dibuat dalam versi anime ataupun versi manusia (live action).

2.1.3 Komik Working Man

(31)

bertentangan dengan sesuatu di sekitarnya, tetapi selalu bekerja semaksimal mungkin.

Komik ini tergolong dalam komik yang sukses. Terbukti dengan terjualnya 1.8 juta kopi komik, dilanjutkan dengan rilisnya versi anime pada tahun 2006, dan bahkan komik ini telah dibuat versi manusia-nya (live action) yang ditayangkan secara serial di televisi pada Oktober 2007.

Moyoco Anno, penulis Hataraki Man mengatakan “ aku ingin menulis sebuah cerita yang akan memberikan penghiburan pada orang-orang yang mendedikasikan diri mereka secara total pada pekerjaan mereka tetapi kadang kala mereka punya waktu yang sulit karena kolega-kolega mereka tidak mengerti mereka.”

Itulah tujuan sang penulis Hataraki Man menerbitkan komik ini. Namun sayang, ditengah banyaknya pembaca-pembaca setia yang merespon komik ini, penerbitannya harus dihentikan. Sebuah situs menyebutkan “Komikus Moyoco Anno mengumumkan pada blog hariannya bahwa dia akan menghentikan pekerjaannya membuat komik demi kesehatannya. Anno meminta maaf kepada pembaca-pembaca setianya dan mengatakan istirahatnya yang sekarang ini akan memakan waktu yang lama. Dia juga mengatakan bahwa dia masih ingin menggambar komik pada akhirnya dan mengharapkan pembaca-pembacanya akan mengikuti karyanya ketika dia kembali.”

2.1.4 Riwayat Pengarang

Moyoco Anno (安野モヨコ) adalah seorang mangaka (komikus) dan

(32)

Komik-komik dan buku-bukunya sangat terkenal di kalangan wanita-wanita muda di Jepang. Pada dasarnya, ia menulis komik dengan genre shojo (komik yang diperuntukkan untuk perempuan). Anno termasuk dalam delapan komikus yang terkenal pada kategori wanita, dan termasuk dalam tiga belas komikus terkenal pada kategori umum. Anno menikah dengan sutradara anime terkenal yaitu Hideaki Anno.

Komik telah mempunyai tempat yang spesial dalam kehidupan Anno. Pamannya adalah seorang komikus yang terkenal dan dia memutuskan untuk mengikuti jejak pamannya sejak dini.

(33)

penggila kerja, yang bekerja sebagai editor majalah. Kemudian komik ini juga ditayangkan secara serial di televisi pada Oktober 2007.

Karya-karya Moyoco Anno adalah:

1. 花とみつばち hana to mitsubachi)

2.

3.

4.

5. ジェリービーンズjerī bīnzu)

6. ラブマスターX rabu masutā x)

7. エンジェリック・ハウス enjerikku・hausu)

8. 脂肪という名の服shibō toiu na no fuku)

9. ベイビーG beibī G)

10.ツンドラブルーアイスTsundora Burū Aisu)

11.超感電少女モナ)

12.監督不行届 Kantoku Fuyuki Todoki)

13.月光ヒメジオン Moonlight Himejion)

(34)

Latar atau Setting adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan waktu (Pradopo dalam Sangidu, 2007:139). Latar dalam karya sastra tidak harus berbentuk realitas yang bersifat objektif, tetapi dapat juga berbentuk realitas yang bersifat imajinatif.

Latar di dalam komik “Working Man” karya Moyoco Anno meliputi setting tempat dan setting waktu. Latar tempat yang dimaksud adalah Tokyo yang merupakan ibukota Jepang, sedangkan latar waktunya adalah tahun 2004-2005. Kota Tokyo dimanfaatkan di dalam komik tersebut untuk menggambarkan kondisi kota yang sibuk, yang mayoritas penduduknya bekerja, baik pria maupun wanita. Selain itu, terdapat latar tempat yang lainnya, yaitu sebuah perusahaan penerbitan yang bernama Gotansha, yang di dalamnya terdapat salah satu majalah terbitan minggua n yang bernama Jidai. Di sanalah tokoh utama bekerja selama lebih kurang tujuh tahun.

2.2 Etos Kerja Masyarakat Jepang / Hatarakisugi

(35)

setelah Swiss yang memiliki angka PNB tertinggi di dunia yang berjumlah US$ 113,7 miliar.

Keberhasilan Jepang membangun negaranya menjadikan salah satu negara yang memiliki perekonomian kuat, berkaitan erat dengan etos dan budaya kerja bangsa Jepang.

Pada dasarnya etos dan budaya kerja orang Jepang tidak jauh berbeda dengan etos kerja bangsa Asia lainnya. Jika bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia lainnya juga pekerja keras. Namun, perbedaan bangsa Jepang dengan bangsa Asia lainnya adalah bahwa bangsa Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharapkan bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, maka secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keiginan melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Menurut Fadhli (2007:105-107), ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah:

(36)

Kedua, mendewakan langganan. Etos kerja orang Jepang mendewakan langganan sebagai Tuhan. Okyaku sama wa kamisama desu yang artinya langganan adalah Tuhan. Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah menjadi motto bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin dan berusaha mengembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.

Ketiga, bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan perusahaan lain. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur.

Orang Jepang mengerjakan pekerjaan mereka tidak berdasarkan pada motif banyaknya keuntungan di atas nilai kerja. Komentator sosial yang terkemuka Yamamoto Sichihei sebagai contoh, ia mencatat etos kerja orang Jepang sebagai tradisi penganut Budha Jepang yang kuat. Seperti yang dijelaskan Yamamoto, kegiatan bekerja diterima sebagai disiplin spiritual dengan hati dan ajaran Budha, bukan keuntungan ekonomi, hadiah akan diperoleh melalui kesetiaan yang tidak mementingkan diri sendiri untuk suatu pekerjaan. Sekarang pun, orientasi ini hidup di perusahaan-perusahaan Jepang, dan ini adalah alasan utama mengapa orang Jepang bekerja sangat keras.

(37)

Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Pada tahun 2005, Jepang menduduki peringkat lebih tinggi dari Amerika Serikat, Inggris dan Jerman pada rata-rata jam kerja per tahun dalam sebuah laporan oleh Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi.

Gila kerja (hatarakisugi) dapat digambarkan sebagai ketidakmampuan untuk berhenti bekerja, baik ketika berada di kantor, di rumah, dan lain-lain. Dalam wikipedia disebutkan bahwa kata workaholic sendiri berasal dari dua kata yaitu, work dan alcoholic. Work berarti kerja dan alcoholic berarti pecandu minuman beralkohol. Istilah ini diciptakan oleh psikolo sebuah wawancara, ia mengatakan “…orang tersebut (orang yang terlalu banyak bekerja) hampir dapat disamakan dengan pecandu alkohol dan dapat digambarkan sebagai workaholic.

(38)

kesehatan fisik, kebahagiaan pribadi, hubungan interpersonal atau kemampuan untuk berfungsi secara sosial."

Thorne dan Johnson (http://www.ipaki.com/content/html/37/1214.html) mengidentifikasi dua jenis workaholic: aktif dan pasif. Workaholic aktif bekerja untuk kenikmatan. Mereka memiliki energi untuk bekerja dengan waktu yang lebih lama dan mereka percaya bahwa pengabdian seperti itu membawa penghargaan khusus.

Workaholic pasif didorong untuk bekerja dengan ketidakamanan, ketakutan atau paranoia sampai terlalu banyak pekerjaan menjadi mendarah daging dan kebiasaan, nyaris merusak keseimbangan hidup mereka, tanpa mereka menyadarinya.

Kegilaan bekerja orang Jepang menyebabkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat mereka bekerja. Mereka lebih suka berada di tempat kerja daripada duduk bersantai di rumah. Waktu orang Jepang bersama-sama keluarga sangat terbatas. Namun, bagi yang berumah tangga dan berkeluarga, situasi ini tidak menimbulkan banyak masalah. Istri mereka sudah terbiasa dan dapat menerima situasi itu. Oleh karena itu, jarang sekali terjadi perceraian yang disebabkan oleh kegilaan bekerja suami mereka. Istri-istri orang Jepang merasa bangga bila suami mereka gila kerja dan bekerja keras. Ia menjadi kebanggan seluruh keluarga karena ia menjadi pertanda status sosial yang tinggi. Sebaliknya, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas, dan tidak produktif.

(39)

dilakukan dengan fokus. Bangsa Jepang juga tidak menyia-nyiakan waktu saat bekerja. Tidak heran jika hasil kerja mereka melebihi bangsa-bangsa lain.

Kegilaan orang Jepang pada pekerjaan ini, menjadi masalah yang semakin serius, karena menyebabkan kematian. Fenomena kematian karena kerja yang berlebihan ini dikenal dengan istilah

Karōshi telah menjadi simbol dari sebuah masyarakat gila kerja di Jepang. Di antara berbagai pekerjaan ada tiga bidang utama yang memiliki resiko tertinggi

karōshi di Jepang. Mereka adalah: wartawan, supir dan pekerja mesin. Namun, kasus karōshi Jepang juga terjadi antara guru, manajer dan pekerja yang

berpindah-pindah

Tetsunojo Uehata, ahli medis yang menciptakan kata karōshi, mendefinisikan karōshi sebagai " sebuah kondisi di mana proses kerja yang tidak sehat secara psikologis diijinkan untuk melanjutkan dengan cara yang mengganggu pekerjaan pekerja yang normal dan ritme kehidupan, yang mengarah ke penumpukan kelelahan dalam tubuh dan kondisi kronis yang disertai oleh memburuknya tekanan darah dan pengerasan arteri dan akhirnya mengakibatkan kerusakan fatal."

Penelitian menunjukkan bahwa Jepang memiliki jumlah workaholic terbesar di seluruh dunia dan bertanggung jawab atas 10.000 kematian setiap tahun (http://www.ipaki.com/content/html/37/1214.html).

(40)

issues.com/2006/8/24/research /japan -cracks -down -on- workaholic - corporate culture.asp, terdapat sebuah artikel yang berjudul ‘Japan Cracks Down on Workaholic Corporate Culture’ menyebutkan:

“Pemerintah Jepang mengambil langkah radikal untuk membersihkan diri dari citra sebagai bangsa pecandu kerja yang jarang mengambil liburan dan kadang-kadang bekerja sendiri sehingga menyebabkan kematian dini.

Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan negara mengusulkan undang-undang yang akan memaksa perusahaan mendorong orang-orang untuk mengambil liburan mereka.

Seorang pejabat kementerian mengatakan kepada kantor berita Reuters: "Kami merasa bahwa orang tidak mengambil cuti yang cukup. Kita perlu mencegah orang-orang dari bekerja terlalu banyak sehingga mereka dapat menyeimbangkan pekerjaan dengan keluarga."

Menurut Kementerian Perburuhan negara, dari total cuti tahunan diberikan kepada staf, persentase cuti diambil di Jepang jatuh ke rekor rendah 46,6 persen hingga Maret 2005.”

(41)

BAB III

ANALISIS SIKAP DAN PERILAKU HATARAKISUGI PADA KOMIK WORKING MAN

3.1 Sinopsis Cerita

Hiroko Matsukata adalah seorang wanita berusia 28 tahun, yang bekerja sebagai editor di sebuah majalah mingguan bernama Jidai. Dia sudah bekerja di perusahaan tersebut selama tujuh tahun. Karena eksistensinya pada pekerjaan yang luar biasa, rekan-rekan kerjanya memberinya julukan sebagai “Working Man”. Awalnya, Matsukata marah dengan alasan dia seorang wanita, mengapa diberi gelar dengan kata “man”. Tetapi, alasan rekan-rekan kerjanya memberi gelar tersebut, karena kalau sudah bekerja, Matsukata terlihat seperti pria. Bahkan, kalau waktu sudah mendesak, ia dapat bekerja tiga kali lebih cepat dari biasanya dan selama itu dia tidak peduli dengan kebersihan, kesehatan, dan yang lainnya. Yang terpenting buatnya adalah pekerjaan.

(42)

Matsukata tidak lelah dengan pekerjaannya, hanya saja dia terlalu cinta dengan pekerjaannya. Sesampainya di rumah, karena sudah terlalu lelah, dia malah ketiduran dengan kepala di atas meja di ruang tengahnya. Sehingga, keesokan paginya lehernya sakit, karena kesalahan posisi pada saat tidur. Dalam keadaan seperti itupun, ia tetap pergi ke kantor meskipun sedikit terlambat karena pergi ke dokter terlebih dahulu.

Keselamatan Matsukata juga pernah terancam, karena dia menulis sebuah artikel tentang penyelewengan uang rahasia yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri. Dia diteror melalui telepon dan diancam akan dibunuh kalau menuliskan hal yang tidak benar. Selain itu, dia juga merasa ada orang yang mengikutinya pada saat dia pulang ke rumah. Matsukata sangat sadar akan bahaya yang akan dihadapinya, kalau saja dia tetap bersikeras untuk meneruskan penulisan artikel tersebut. Tetapi, bukannya merasa takut, Matsukata tetap memikirkan segala cara untuk meneruskan artikel tersebut, dengan tetap melindungi informannya.

(43)

untuk mengerjakan artikel tersebut. Dan akhirnya, dia menginap dua hari di kantor dan tidak mandi untuk menyelesaikan artikel tersebut.

Demi pekerjaan, Matsukata juga rela mengabaikan kesehatannya. Seperti, pada saat Matsukata ditugasi untuk mengerjakan artikel untuk edisi spesial. Sebenarnya, dia merasa stres psikisnya meningkat, fisik dan mentalnya juga sudah lelah, karena harus mengerjakan edisi spesial tanpa mengabaikan tugasnya yang biasa. Tetapi, karena terlalu senang dan menyukai pekerjaannya, dia tidak memedulikan hal-hal lainnya. Jadwalnya pun sudah tercatat sampai bulan mendatang. Teman dekatnya, Masami Araki juga sering mengingatkannya untuk tidak terlalu memaksakan diri pada pekerjaannya, karena akan merusak tubuhnya sendiri. Tetapi, Matsukata tetap saja tidak menghiraukannya, karena dia yakin dia akan baik-baik saja.

(44)

karena terkena pneumonia dan komplikasi nephritis. Matsukata bingung harus berbuat apa, sementara tidak ada tersisa satu orang wartawan pun yang mau mengerjakannya. Akhirnya, dia memohon kepada empat orang wartawan lainnya, untuk membantu sisa tugas yang belum dikerjakan Kawamura.

Keesokan paginya, Matsukata menemui Masami, temannya yang seorang dokter, untuk disuntik. Masami menyarankannya untuk beristirahat, tetapi dia tidak bisa karena waktu deadline sudah dekat. Dengan menggunakan masker dan baju hangat, dia tetap pergi mewawancarai orang yang sudah dijanjikan. Tetapi sesampainya di kantor, dia malah menerima pesan dari Nojima, yang juga salah satu wartawan yang mengerjakan edisi spesial, bahwa dia pergi jalan-jalan. Matsukata bingung harus melakukan apa, sementara tugas Pak Kawamura dan tugasnya sendiri belum dikerjakannya. Akhirnya, dia tetap melanjutkan pekerjaannya, dengan tetap meminum obatnya. Malam harinya, pada saat dia berhasil menyelesaikan separuh tugasnya, Nojima datang ke kantor dan meminta maaf. Matsukata pun emosi dan memarahinya. Tetapi, akhirnya edisi spesial dapat terselesaikan.

(45)

Karena kesibukan pekerjaan juga, kencan Matsukata sering batal. Walaupun sebenarnya pacar Matsukata, Shinji Yamashiro, juga orang yang sangat mementingkan pekerjaannya. Tetapi, terkadang melihat Matsukata yang sangat berusaha terhadap pekerjaannya, membuat Shinji merasa tidak mengerjakan pekerjaannya secara maksimal, sehingga pekerjaannya menjadi tidak lancar. Akhirnya, karena pekerjaan juga, Matsukata kehilangan orang yang disayanginya. Dia menangis semalaman. Tetapi, dia malah tetap mengerjakan pekerjaannya, bahkan lebih cepat dari biasanya. Walaupun akhirnya dia tetap menyesali, mengapa dia putus dengan Shinji.

Setelah lama tidak liburan, akhirnya Matsukata bisa mengambil cuti selama seminggu. Cutinya yang terakhir, sama sekali tidak terpakai karena pekerjaan. Untungnya pekerjaan kali ini bisa beres, hanya tinggal satu naskah dari novelis Natsume yang sudah dititipkan pada Kitagawa untuk diterima. Tapi, begitu menginjakkan kaki di Hawaii, Matsukata malah disambut faks dari Jepang. Apalagi kalau bukan soal kerjaan. Sampai akhirnya, dia pulang lebih cepat, karena tidak sabar menyelesaikan pekerjaannya.

3.2 Analisis Sikap dan Perilaku Hatarakisugi Hiroko Matsukata dalam Bentuk Cuplikan

Cuplikan

Tatsuhiko Umemiya : Lho?

Matsukata mana?

(46)

Tatsuhiko Umemiya : Kencan?

……… Matsukata itu benar-benar working man, ya. Sebelum proofnya disetujui, dia sudah menyerahkan tiga draft untuk edisi mendatang.

Mayu Nagisa : Dia tidurnya kapan, sih? (Vol 1 Hal: 8)

Analisis:

Berdasarkan cuplikan di atas, jelas terlihat bahwa di mata teman-temannya, Hiroko Matsukata adalah seorang pekerja yang sangat luar biasa. Ia diberi gelar “working man “ oleh teman-temannya, karena kalau sudah bekerja ia akan punya tenaga seperti pria. Kalau sudah bekerja, ia rela melewatkan waktu tidurnya. Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah waktu tidur Matsukata yang tidak cukup, sehingga teman-temannya mempertanyakan hal tersebut. Selain itu, dia sudah menyelesaikan pekerjaannya sebelum tiba waktunya.

Cuplikan

Kimio Narita : Artikel pembuka untuk edisi 4/26 adalah ‘Berkurangnya Gyudon!! Masa sulit Pangan Terbaru’. Lalu artikel tengahnya…

Lho?

Matsukata mana?

(47)

yaitu, ‘Kehidupan Sehari-hari Ala Selebritis Menteri Luar Negeri’…

Rekan Kerja : Tadi dia telepon, katanya lehernya sakit gara-gara salah tidur.

Beberapa saat kemudian…

Hiroko Matsukata : Maaf, terlambat. Kimio Narita : Lho?

Kamu sudah tidak apa-apa? Hiroko Matsukata : Sudah lumayan. (Vol 1 Hal: 14 ) Analisis:

Karena sudah kelelahan, Matsukata tidur dengan kepala di atas meja, sehingga menyebabkan lehernya sakit. Tetapi, dengan keadaan seperti itu pun, ia tetap pergi ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya walaupun sedikit terlambat. Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah sikap Matsukata yang berlebihan pada pekerjaan membuatnya tidak menghiraukan kesehatannya. Pada kasus Matsukata ini, ia termasuk workaholic pasif. Thorne dan Johnson mengatakan, workaholic pasif didorong untuk bekerja dengan ketidakamanan, ketakutan atau paranoia sampai terlalu banyak pekerjaan menjadi mendarah daging dan kebiasaan, nyaris merusak keseimbangan hidup mereka, tanpa mereka menyadarinya.

Cuplikan

(48)

Bisa bicara dengan orang yang mewawancarai menteri luar negeri?

……… Ada yang ingin ku bicarakan soal menteri luar negeri. Aku akan bicara setelah kita bertemu. Bisakah kamu datang sekarang ke tempat yang akan kusebutkan ini?

Hiroko Matsukata : Shinji! Maaf, ya. Tapi aku nggak bisa pergi. Iya…maaf banget, ya! Lain kali saja, ya.

Kunio Tanaka : Kerja tanpa ragu, ya?

Hiroko Matsukata : Cerewet!! (Vol 1 Hal: 22-23) Analisis:

(49)

Cuplikan

Hiroko Matsukata : Pak Narita! Kimio Narita : Apa?

Lho, kamu tidur di kantor lagi.

Hiroko Matsukata : Maaf, tadinya saya ingin menghubungi Pak Narita. Barusan saya mendapat berita soal penyelewengan uang rahasia yang dilakukan menteri luar negeri, Hikaru Hoshikawa. Saya dapat bukti kesaksian dan data-datanya. (Vol 1 Hal: 25)

Analisis:

Matsukata telah mendapatkan data-data dan kesaksian dari orang dalam untuk artikel yang sedang dikerjakannya. Hal ini membuatnya tidak sabar untuk melaporkan hasil penyelidikannya tersebut pada atasannya, sehingga dia memutuskan untuk tidur di kantor. Padahal, kalaupun dia pulang ke rumah, dia juga dapat bertemu dengan atasannya keesokan paginya. Tetapi, karena tidak sabar untuk melaporkan hasil penyelidikannya pada atasannya, dia memutuskan untuk tidur di kantor. Dan pada saat draft artikelnya disetujui, ia dapat bekerja ekstra cepat. Bahkan, ia mengatakan “aku ingin mati dengan rasa puas karena telah bekerja.” Keadaan ini sudah mengarah ke tindakan karōshi, yaitu mati karena kabanyakan bekerja. Kalau Matsukata tetap melanjutkan cara kerjanya yang berlebihan, tidak menutup kemungkinan ia akan menjadi salah satu korban

(50)

Cuplikan

Hiroko Matsukata : Uukh…memuakkan

Kimio Narita : Lagi-lagi, pagi-pagi sudah lari, ya? Hiroko Matsukata : Kok, tahu?

Kimio Narita : Kamu kan tipe orang yang suka mengejar kereta meskipun tidak terburu-buru. Kalau dengar bel di stasiun, kamu langsung refleks berlari.

Hiroko Matsukata : Huh… (Vol 2 Hal: 34) Analisis:

Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah Matsukata selalu bersikap disiplin dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Ia tidak mau membuang waktunya sedikitpun untuk hal-hal yang tidak berguna. Karena baginya, semakin cepat ia tiba di kantor, semakin cepat ia dapat menyelesaikan pekerjaannya. Hal ini terbukti dalam percakapan pada cuplikan di atas. Matsukata selalu berlari-lari untuk sampai ke kantornya, meskipun ia tidak terlambat. Ia adalah tipe orang yang mengejar kereta, meskipun tidak terburu-buru. Karena baginya, ia tidak boleh membuang-buang waktu dengan percuma.

Cuplikan

Hiroko Matsukata : Pak Narita, saya tidak bisa menulisnya. Artikel itu tidak bisa diselesaikan tanpa Nona Sekiguchi. Kimio Narita : Bicara apa kamu?

(51)

Hiroko Matsukata : Haah! (sambil membaca sms Shinji)

“Aku sudah beli zundamochi. Hari ini aku ke rumahmu. Shinji”

(tiba di rumah) Maaf, ya…

Aku pulang bawa kerjaan…(Vol 2 Hal: 49 ) Analisis:

Karena hasil pekerjaan Matsukata yang selalu memuaskan, atasannya selalu percaya padanya. Bahkan, pada saat ia ingin menyerah, atasannya tidak mengizinkannya. Dan hasilnya, ia akan tetap mati-matian mengerjakan pekerjaanya, sampai ia harus membawa pekerjaannya ke rumah. Padahal sebelumnya, pacar Matsukata sudah mengirimkannya SMS yang memberitahukannya kalau pacarnya, Shinji ada di rumah. Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah Matsukata rela membawa pekerjaannya di kantor ke rumah, meskipun di rumahnya sedang ada pacarnya.

Cuplikan

Kamerawan : Soalnya di lantai satu isinya toko-toko pakaian dalam dan aksesoris.

……… Hiroko Matsukata : Baiklah, aku akan ikut mengawasi.

Kamerawan : Syukurlah! Fumiya Sugawara : Eh…

(52)

Analisis:

Matsukata dimintai bantuan untuk menjadi regu pengintai, karena mereka membutukan wanita untuk pekerjaan kali ini. Pada awalnya, Matsukata selalu menolak jika dimintai bantuan untuk mengawasi seseorang. Tetapi tidak untuk kali ini. Matsukata menerima pekerjaan tersebut, karena dia penasaran kenapa Sugawara menganggapnya sebagai musuh. Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah Matsukata rela menerima pekerjaan yang tidak dusukainya, karena penasaran akan sesuatu. Dan lagi-lagi, ia membatalkan kencannya untuk kesekian kalinya hanya karena pekerjaan.

Draft yang diajukan Matsukata lolos. Tetapi, atasannya merasa tidak yakin, Matsukata dapat mengerjakan artikel tersebut. Karena Matsukata masih punya berita reguler ‘Bertemu dengan Para Pekerja’ dan dua draft lain yang sedang Cuplikan

Kimio Narita : Matsukata! Sini sebentar! Hiroko Matsukata : Baik.

Kimio Narita : Draftmu yang itu lolos. Tapi, minggu ini kamu mengurus soal pensiun, kan?

……… Kira-kira ada orang lain yang bisa tidak, ya?

Hiroko Matsukata : Pak Narita! (berteriak dan berlari untuk menyusul Pak Narita yang beranjak pergi). ( Vol 4 Hal: 98-100 )

(53)

berjalan. Ditambah lagi, dalam sehari tiga sampai empat ramen untuk artikel spesial ramen. Oleh karena itu, atasannya memutuskan untuk memberikan salah satu pekerjaanya kepada editor lain. Pada umumnya, orang akan senang, kalau ada yang membantu pekerjaannya. Tetapi tidak bagi Matsukata, ia tidak rela kalau pekerjaanya harus dibagi pada orang lain. Padahal pekerjaannya sudah sangat banyak. Karena ia yakin, ia dapat menyelesaikan pekerjaannya sebaik-baiknya tanpa bantuan orang lain.

Matsukata tidak pernah menolak pekerjaan sekalipun waktunya sudah tidak memungkinkan lagi. Ia akan tetap berusaha untuk menyelesaikannya. Ini terbukti dalam percakapan pada cuplikan di atas. Matsukata ditugaskan untuk menambah bahan untuk salah satu artikel di majalahnya. Karena artikel yang seharusnya terbit, dipersempit menjadi ½ halaman. Pada awalnya Matsukata marah, pada saat atasannya menanyakan idenya untuk tambahan artikel tersebut. Karena menurut Matsukata, hal itu tidak mungkin dilakukan karena waktu penerbitan majalah tinggal setengah hari lagi. Tetapi, pada saat temannya sudah Cuplikan

Hiroko Matsukata : Terus…

Anda ingin saya melakukan apa? Kimio Narita : Kamu punya ide bagus tidak?

Hiroko Matsukata : Tinggal setengah hari lagi!! Tidak mungkin! Tambahkan saja berita yang sedang berjalan! Lagi

pula siapa yang akan mengerjakannya? ( Vol 4 Hal: 112 )

(54)

mengusulkan ide, akhirnya Matsukata dengan tenaga turbo-nya ikut mengerjakan artikel tersebut. Dan pekerjaannya pun terselesaikan. Itulah sebabnya, atasannya selalu percaya pada Matsukata. Karena ia selalu mengerjakan pekerjaan yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya, meskipun waktunya sudah tidak memungkinkan.

Matsukata adalah orang yang menomorsatukan pekerjaannya, sehingga hubungan asmaranya tidak selancar pekerjaannya. Keadaan ini diperparah dengan pacarnya Matsukata yang tidak kalah sibuk dibandingkan dengannya. Sehingga kencan mereka selalu batal. Dan selalu dengan alasan yang sama yaitu, pekerjaan. Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah Matsukata selalu menomorsatukan pekerjaannya, sampai mengganggu hubungan asmaranya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Paul Thorne dan Michael Johnson, bahwa workaholic didefenisikan sebagai seseorang yang perlu bekerja telah menjadi begitu berlebihan sehingga mengganggu kesehatan fisik., kebahagiaan pribadi, Cuplikan

Hiroko Matsukata : Gara-gara itu, kencan kami selalu saja gagal. Aku jadi malas, soalnya bagi dia kerjaan nomor satu. Masami Araki : Lho? Bukannya kamu juga sama?

Hiroko Matsukata : Iya, sih…

Karena kami sama-sama begitu, jadwal kami nggak pernah ketemu-ketemu! ( Vol 5 Hal: 127)

(55)

hubungan interpersonal atau kemampuan untuk berfungsi secara sosial. Di sini kebahagiaan pribadi menjadi terganggu, dikarenakan pekerjaan.

Karena Matsukata diberikan pekerjaan untuk memegang karya Natsume Sensei yang akan dimuat di majalah Jidai, membuatnya kelebihan pekerjaan. Atasannya memerintahkan untuk memberikan satu pekerjaannya kepada editor lain. Tetapi, ia tetap bersikeras untuk mengerjakan semua pekerjaannya tanpa bantuan orang lain. Karena ia senang melakukan pekerjaannya. Akhirnya, ia menjejerkan kartu nama, yang dibelakangnya tertulis pekerjaannya, dan menyuruh salah satu temannya untuk memilih kartu nama tersebut, supaya dia tahu pekerjaan mana yang harus dilimpahkannya kepada orang lain. Sikap dan perilaku Cuplikan

Kimio Narita : Eh, tapi…

Kalau begitu, kamu kelebihan pekerjaan, ya. Berikan satu tugas yang sedang kamu kerjakan pada yang lebih muda.

Hiroko Matsukata : Nggak ada yang ingin kulimpahkan!! Aku senang mengerjakan semuanya!! (berkata pada diri sendiri) ( Vol 6 Hal: 155 )

(56)

hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah Matsukata tidak rela membagi pekerjaannya pada orang lain sebanyak apapun pekerjaannya, karena ia senang melakukan semuanya. Hal ini sesuai dengan salah satu ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang yaitu, bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja (Fadhli, 2007:105).

Cuplikan

Hiroko Matsukata : Aah…

Pulang pergi ke Osaka capek juga…

Mayu Nagisa : Jadi, kak Matsukata langsung datang ke kantor?

Hiroko Matsukata : Habis, aku harus menulis artikel dan mempersiapkan peliputan berikutnya. Hari ini aku bisa pulang nggak, ya? ( Vol 7 Hal: 185 )

Analisis:

Karena urusan pekerjaan, Matsukata pergi ke Osaka. Tetapi, tanpa pulang ke rumah, tanpa mandi, dan tanpa ganti baju, ia datang ke kantor. Kalau soal pekerjaan, Matsukata tidak akan menghiraukan tentang kebersihan dirinya. Baginya pekerjaan adalah nomor satu. Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah Matsukata tidak mau libur satu haripun demi pekerjaannya, walaupun kondisi tubuhnya sudah lelah.

Cuplikan

(57)

Hiroko Matsukata : Iya! Substansinya diurus pak kepala redaksi!

Masami Araki : Biarpun kamu bilang begitu, semuanya kamu yang mengerjakan. Iya, kan?

Terus di waktu yang bersamaan, kamu juga mengerjakan tugasmu yang biasa?

Hiroko Matsukata : Stres psikis meningkat, belum lagi fisik dan mentalku yang lelah.

Masami Araki : Mati, dong?

Hiroko Matsukata : Kamu kan dokter! Masa’ ngomong begitu? ( Vol 11 Hal: 95 )

Analisis:

Matsukata diberi kepercayaan untuk menangani edisi spesial 50 samurai, tanpa meninggalkan tugasnya yang biasa. Sebenarnya fisik dan mentalnya lelah, tetapi karena ia mencintai pekerjaannya, ia senang melakukannya. Meskipun temannya, Masami Araki, yang berprofesi sebagai dokter sudah memperingatkannya untuk tidak memaksakan diri pada pekerjaannya, karena akan berdampak buruk bagi kesehatannya, tetapi tetap saja Matsukata tidak menghiraukannya. Hal ini sesuai dengan etos kerja masyarakat Jepang yang gila kerja. Pada umumnya, mereka lebih senang jika diberikan pekerjaan yang berat dan lebih menantang. Kalau hal seperti ini terus terjadi, maka dapat terjadi karōshi (mati karena kebanyakan bekerja).

(58)

Hiroko Matsukata : Aah…sebenarnya aku ingin mewawancarai semuanya…

……… Rekan Kerja : Matsukata! Ada pesan, katanya artikel gempa

buminya jangan sampai terlambat! Hiroko Matsukata : Eh…oh iya…ada artikel itu…

Kalau begitu lima orang saja, deh… (Vol 11 Hal: 97)

Analisis:

Majalah mingguan Jidai akan mengeluarkan edisi spesial 50 samurai pada bulan depan. Dan Matsukata mendapatkan tugas untuk mengerjakan artikel tersebut. Sebenarnya Matsukata ingin mewawancarai semua orang yang mengisi edisi spesial 50 samurai. Tetapi, karena yang ditugaskan lima orang wartawan dan ia masih punya banyak artikel yang akan dikerjakan, dengan sangat terpaksa ia memutuskan untuk mewawancarai lima orang saja. Dan selebihnya akan dikerjakan oleh wartawan yang lain. Kalau saja, dia masih punya banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaannya, sudah pasti dia akan mewawancarai semua orang yang terlibat dalam edisi spesial 50 samurai. Terlihat disini, Matsukata sangat menikmati dan menyukai pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan salah satu ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang yaitu, bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja (Fadhli, 2007:105).

(59)

Rekan Kerja : Wah..kamu kena flu, ya, Matsukata? Jangan menularkan lho!

Hiroko Matsukata : Maaf…aku nggak akan dekat-dekat, kok. Tapi, kalian semua hati-hati juga, ya!

Akihisa Kobayashi : Sudahlah, kau istirahat saja! Nggak usah memaksakan diri begitu. Kamu kayak pemburu saja! Hiroko Matsukata : Kalau nggak memaksakan diri, majalahnya nggak

akan keluar. ( Vol 11 Hal: 102 )

Analisis:

(60)

Hiroko Matsukata : Eh? Apa?! ( Vol 16 Hal: 4-5 )

Analisis: Cuplikan

Hiroko Matsukata : Sial…padahal kupikir, kali ini aku bakal jadi copy editor.

Kazuyoshi Nishida : Ukh, itu tidak akan terjadi!

Kamu nggak berubah, ya! Tetap saja ambisius! Hai! Mulai sekarang, saya akan bergabung dengan jidai.

Matsukata adalah seorang yang ambisius. Ambisinya adalah menjadi kepala editor. Tetapi, sebelum hal itu terwujud, ia harus menjadi copy editor terlebih dahulu. Oleh sebab itu, ia merasa terganggu ketika Nishida masuk ke kantornya. Artinya, impiannya untuk menjadi copy editor akan tertunda. Pada kasus Matsukata ini, ia termasuk workaholic aktif. Thorne dan Johnson mengatakan workaholic aktif bekerja untuk kenikmatan. Mereka memiliki energi untuk bekerja dengan waktu yang lebih lama dan mereka percaya bahwa pengabdian seperti itu membawa penghargaan khusus. Dia percaya, usahanya yang ekstra akan membuatnya menjadi kepala editor.

Cuplikan

(61)

Hiroko Matsukata : Aku nggak mau beralasan!! Kalau aku pergi di tengah-tengah pekerjaan, nanti bikin repot yang lainnya. Dan aku nggak bisa cepat-cepat pulang. Shinji Yamashiro : Kamu nggak perlu bersikap sekeras itu pada dirimu

sendiri, kan? Aku yang mendengarnya saja rasanya capek. Kamu terlalu mandiri. (Vol 17 Hal: 39 ) Analisis:

Matsukata adalah orang yang menomorsatukan pekerjaannya. Dia tidak pernah beralasan untuk meninggalkan pekerjaannya. Sekalipun pada saat rumahnya tergenang air, karena terdapat pipa yang bocor. Matsukata tetap tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dengan alasan ia merasa tidak enak pada teman-temannya, kalau pergi di tengah-tengah pekerjaannya. Kecintaannya yang berlebihan pada pekerjaannya, membuat Shinji, pacarnya, merasa terganggu. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Paul Thorne dan Michael Johnson, bahwa workaholic didefenisikan sebagai seseorang yang perlu bekerja telah menjadi begitu berlebihan sehingga mengganggu kesehatan fisik, kebahagiaan pribadi, hubungan interpersonal atau kemampuan untuk berfungsi secara sosial. Di sini, pekerjaan membuat hubungan interpersonal atau kemampuan untuk berfungsi secara sosial Matsukata menjadi terganggu.

(62)

menelepon ke kantor, terus baterai ponselku habis. Lalu, aku naik taksi dan ternyata jalanan macet. Shinji Yamashiro : Terus, kamu dimarahi? Kamu sudah jelaskan

alasannya ke atasanmu?

Hiroko Matsukata : Kesalahan tetap saja kesalahan. ( Vol 19 Hal: 70-71 ) Analisis:

Setelah memeriksa kondisi rumahnya yang kebanjiran, Matsukata kembali ke kantor. Tetapi, di dalam perjalanan terjadi kemacetan dan baterai ponselnya habis, sehingga ia telat sampai ke kantor. Karena hal itu, Matsukata dimarahi oleh atasannya. Tetapi, dia tetap saja tidak memberikan alasan, kenapa bisa terjadi keadaan yang seperti itu. Bagi Matsukata, pekerjaan bukan alasan. Kesalahan tetap saja kesalahan. Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah walaupun Matsukata mempunyai alasan yang kuat kenapa dia bisa telat ke kantor, dia tetap tidak mengatakannya. Karena dia tidak akan mencampuradukkan masalah pribadi dengan pekerjaannya.

Aku nggak bisa cuti sebanyak itu. Kalau begitu, tidak usah saja. Kalau bisa, atap dan palangnya Cuplikan

Tukang : Semua langit-langit dan palangnya harus diganti. Lalu bagaimana dengan lantainya? Apa anda punya keinginan tertentu?

(63)

dikerjakan dalam satu hari. Kalau satu hari tidak bisa, paling tidak dua hari. Tapi, kalau begitu atapnya saja, deh! Sekarang saya harus segera pergi. (Vol 19 Hal: 75 )

Analisis:

Matsukata tidak mau membuang waktu sedikitpun untuk hal lain, buatnya pekerjaan tetap yang utama. Sekalipun, pada saat lagit-langit dan lantai rumahnya harus diganti karena kebocoran yang terjadi sebelumnya, ia tetap tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Malah dia memilih untuk memperbaiki hanya atap rumahnya saja, karena kalau memperbaiki semuanya akan memakan banyak waktu. Dia tetap tidak bisa memilih hal lain, selain pekerjaan, sekalipun hal itu darurat. Sikap dan perilaku hatarakisugi jelas terlihat pada cuplikan di atas. Matsukata rela memilih hanya memperbaiki atap rumahnya. Padahal saat itu, kondisi rumahnya sudah sangat parah. Yang paling dikhawatirkannya adalah berapa lama waktu yang harus diperlukan untuk memperbaiki rumahnya, karena dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dalam waktu yang lama.

Cuplikan

Tetsuhiko Umemiya : Matsukata, katanya kamu lowong, ya? Bikin tiga halaman soal kenaikan pajak, ya!!serahkan besok. Hiroko Matsukata : Hah?! Pak kepala editor ngomong apa sih?

(64)

Hiroko Matsukata : (Harusnya dari awal aku bilang terus terang soal rumahku. Penyesalan tinggal penyesalan.) Tapi, saya tidak lowong... Baiklah, akan saya kerjakan. ( Vol 19 Hal: 78-79 )

Analisis:

Karena tidak mengatakan soal permasalahan rumahnya, Matsukata dibebani pekerjaan lebih oleh atasannya. Tetapi, seperti biasa, sekalipun dia menolak, pada akhirnya, dia tetap menerima pekerjaan itu. Masalah ini sesuai dengan teori yang dikatakan Jeffrey P Kahn MD. Ia melihat gila kerja sebagai “strategi mengatasi” untuk menutupi masalah-masalah emosional yang mendasarinya seperti kegelisahan, rasa rendah diri, depresi dan sifat-sifat obsesif-kompulsif. Sebenarnya di dalam hati Matsukata ada kegelisahan, tetapi ia tidak dapat mengatakannya. Sikap dan perilaku hatarakisugi pada cuplikan di atas adalah walaupun di dalam hati Matsukata sedang berkecamuk soal rumahnya, tetapi ia tetap melaksanakan pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya.

Cuplikan

Hiroko Matsukata : (Kami Cuma bertemu sebentar, jadi kuputuskan untuk tidak mengeluh. Rasanya sulit untuk menjelaskan kondisi belakangan ini. Dan akhirnya kami sama-sama nggak mengatakan apa-apa lagi.) Ukh…

(65)

(Rasanya aku akan hancur. Tapi, kenapa aku bekerja?) Apa ini boleh diserahkan?

Rekan Kerja : Waah! Cepat sekali…(Vol 19 Hal: 90-91 ) Analisis:

Karena pekerjaan, akhirnya Matsukata putus dengan pacarnya. Tetapi, lagi-lagi, hanya pekerjaan yang bisa menyelamatkannya. Walaupun dia merasa menyesal dan hancur setelah putus dengan pacarnya, tetapi dia tetap memilih pekerjaan untuk melupakan permasalahannya, sekalipun dengan berurai air mata. Situasi ini sesuai dengan teori yang dikatakan Jeffrey P Kahn MD. Ia melihat gila kerja sebagai “strategi mengatasi” untuk menutupi masalah-masalah emosional yang mendasarinya seperti kegelisahan, rasa rendah diri, depresi dan sifat-sifat obsesif-kompulsif. Dalam hal ini, Matsukata menutupi permasalan percintaannya dengan pekerjaan.

Cuplikan

Resepsionis : Nona Matsukata!! Baru saja ada pesan penting dari Tokyo..

Hiroko Matsukata : Oh, terima kasih.

“Naskah Natsume Sensei melewati deadline, terpaksa diganti dengan artikel lain sebanyak empat halaman.”

(Buru-buru menelepon Toshio Kitagawa) (Vol 24 Hal 31-32)

(66)
(67)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Dalam cuplikan “Tolong sekali lagi… hantam aku dengan lutut yang menawan itu… Tendang aku dengan kaki ini… Tampar aku… Injak-injak aku… Hantam aku dengan meja, kumohon”

Orang yang berada dalam posisi yang kuat menyerang orang yang berada dalam posisi yang lemah baik secara fisik maupun mental, dan mempunyai ciri bahwa yang melakukan itu merasa

Dalam hal ini, penulis menganalisis kondisi psikologis tokoh utama dari Novel Skandal yang kemudian dihubungkan dengan pemdekatan semiotik yang digunakan untuk menjabarkan

Depresi yang di derita oleh Arisa disebabkan trauma akan kejadian dimasa lampaunya, karena perlakuan yang kurang menyenangkan yang orang lain berikan padanya membuat Arisa menjadi

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana.. dalam bidang Ilmu

Karena yang akan diteliti dalam Skripsi ini adalah kondisi psikologis tokoh utama Arisa Morishige yang dihubungkan dengan kondisi kejiwaan, maka metode atau pendekatan utama

Pengantar Ilmu Sastra (Teori Sastra), Surabaya: Usaha Nasional.. Dasar Dasar Psikologi, Yogyakarta:

Hal ini pula yang di ungkapkan di dalam komik “Misteri bunga suzuran” karya Chie Watari dimana di dalam komik mengisahkan realita zaman sekarang mengenai besarnya pengaruh