• Tidak ada hasil yang ditemukan

EUTHANASIA DITINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS

A. Euthanasia Menurut Undang-undang HAM

Sebahagian lapisan masyarakat belum memahami tentang makna hakiki hak manusia. Pada umumnya mereka hanya mengetahui karena banyak mendengar disebut-sebut dalam peraturan sehari-hari, melalui media-media cetak ataupun elektronik. Sedangkan upaya-upaya penyuluhan tentang hak asasi manusia ini belum maksimal dilaksanakan oleh pemerintah maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Dari kenyataan tersebut maka menimbulkan banyak aksus yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia ditafsirkan secara keliru. Ada yang berpikiran ini bersifat universal absolute, universal relative, partikularistik absolute, dan partikularistik relative.

Banyak pengaduan ke Komnas Ham yang sesungguhnya permaslahn mereka terletak dalam ruang lingkup Hukum Perdata atau Hukum Pidana, tetapi karena kekurangan pemahaman maka mereka datang dan minta agar Komnas HAM menanganinnya dengan harapan mendapat penyelesaian.

Sesungguhnya pemahaman tentang hak asasi manusia seperti tertuang dalam deklarasi hak asasi manusia PBB, terdapat perbedaan-perbedaan antara Negara-negara barat dan timur. Negara barat, hak dan kebebasan individu harus dihormati

dengan sepenuhnya oleh pemerintah dan masyarakat, individu berhak sepenuhya mengeluarkan pikiran, perasaan dan menjalankan kegiatan-kegiatan lainnya sesuai dengan seleranya sendiri.

Sedangkan di Negara-negara timur (termasuk Indonesia) hak kebebasannya dibatasi dengan faktor-faktor agama, adat istiadat masyarakat setempat dan budaya masing-masing. Jadi hak kebebasan individu dibatasi dengan penghormatan pada moral, dan kehormatan sebagian besar masyarakat. Jadi deklarasi hak asasi manusia manusia secara keseluruhan hanya dijadikan pedoman bagi pelaksanaan hak asasi manusia didunia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam deklarasi tersebut dapat digunakan sebagai ukuran antara bangsa mengenai hak asasi manusia.

Deklarasi hak asasi PBB tahun 1948, menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak-hak dan kebebasnya tanpa ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Walupun deklarasi tersebut sangat penting artinya namun mengingat PBB tidak memiliki stuktur kekuasaan yang dapat memaksakan kepada anggotanya agar mengimplementasikanya ke dalam undang-undang nasional dan kebijaksanaan masing-masing anggotanya, maka tentunya deklarasi tersebut tidak mungkin menjadikan dasar dalam memberlakukan prinsip-prinsip yang tercantum di dalamnya.

Negara-negara sebagai anggota masyarakat dunia, mengakui bahwa hak-hak asasi manusia yang mendasar tidak diperoleh dari warga Negara tertentu saja, tetapi didasarkan pada sifat kepribadian manusia. Karena mereka membenarkan

perlunya perlindungan internasional dalam bentuk konvensi yang memperkuat atau melengkapi perlindungan yang diberikan oleh hukum nasionalnya, maka Negara kita adalah Negara hukum, artinya bukan Negara yang berdasarkan kekuasaan, tetapi segala sesuatunya harus dilandasi secara hukum dan menjadikan sebagai supremasi.

Pancasila yang menjadi landasan idiil Negara, mengandung nilai-nilai luhur, dimana sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan tuntunan bagi perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia yang juga dijiwai pula dalam Pembukaan UUD 1945.

Mengingat hak asasi manusia sebagai suatu yang terkait dengan berbagai aspek seperti harga diri, harkat dan martabat manusia maupun bangsa, oleh karenanya dalam penanganannya harus melibatkan semua unsur penegak hukum, lembaga-lembaga penyelenggaraan Negara, LSM dan lain sebagainya dan tidak mungkin dilakukan secara ragu-ragu. Apalagi hanya melalui sebuah Komnas HAM saja.

Dalam rangaka menjamin hak asasi manusia nampaknya pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk menerbitkan Undang-undang tentang hak asasi manusia. Walaupun tidak mungkin semua hak asasi manusia dimaksud diatur dalam Undang-undang, oleh karenanya UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi yang meliputi pada seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti dalam Pasal 105 ayat 1 sebagai klausal yang menyatakan “bahwa disamping hak asasi manusia yang diatur dalm berbagai Konvensi

Internasional yang telah diratifikasikan oleh Negara RI yang sudah menjadi hukum positif bagi rakyat Indonesia.”

Tentunya sangat menyambut baik terhadap keberadaan UU No. 39 Tahun 1999 tentangt hak asasi manusia tersebut, yang didalamnya pula sekaligus mengatur lembaga pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia yaitu dinamakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia ini, Komnas HAM diberi wewenang untuk melakukan “sub poema”, yaitu berwenang memanggil saksi-saksi dengan sanksi bilamana tidak memenuhi panggilan dimksud tanpa alasan yang sah. Bahkan juga dapat meminta dokumen tertulis sebagai barang bukti atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan lain yang di mungkinkan adalah dalam penyidikan terhadap pelanggaran hak asasi berat, diakui sebagai barang bukti awal yang cukup guna diproses oleh penyidik dan penuntut umum dan diteruskan ke Pengadilan.

Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999, hak kodrat yang paling utama diatur adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur didalam pasal 9 ayat 1 yaitu:

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.5

Pasal 33 ayat 2 yaitu :

Setiap orang berhak untuk bebas dari pengilangan paksa dan penghilangan nyawa.6.

Sedangkan didalam pengertian hak untuk hidup tercakup pula di dalamnya hak untuk mati.

Berbicara mengenai hak untuk hidup dan hak untuk mati akan terkait dengan masalah Hukum Pidana yang disebut dengan euthanasia. Namun masalah hak untuk mati itu tidaklah bersifat mutlak, jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatannya yang diberikan sudah tidak ada gunanya lagi. Dalam situasi yang demikian, si penderita boleh menggunakan hak untuk matinya denagn cara kepada dokter untuk menghentikan pengobatan.

Misalnya menjadi semakin rumit, bila seseorang pasien sudah sekarat dan tidak sadar selam berbulan-bulan, kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama lagi maut akan merenggut nyawanya. Baik penderita maupun keluarganya telah berkali-kali mendesak dokter yang merawatnya supaya mengakhiri penderitaan yang tiada terhingga itu dengan jalan melakukan tindakan euthanasia.

5

undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia, Http//www.yahoo.com

6

sebagai seorang manusia biasa, sang dokter tidak sampai hati menolak permintaan dari pasien dan keluarganya itu apalagi keadaan si pasien yang sudah sekarat berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang selama ini di berikanya itu sudah tidak berpotensi lagi. Dikatakan mati, ia masih bernafas sekalipun secara “artificial”. Disisi lain jika dokter memenuhi permintaan tersebut maka dokter telah melanggar sumpah dan hukum. Sebab melalui pertolongannya itu ia telah mengakhiri hidup seseorang, dan dapat dikatakn ia telah melakukan pembunuhan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26/1960, Lembaran Negara 1960 No. 69, janji dokter adalah sebagai berikut :

- Saya akan membaktikan hidup saya dengan car yang terhormat dan

bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya.

- Saya akan memelihara dengan sekauat tenaga martabat dan tradisi luhur

jabatan kedokteran.

- Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui, karena

pekerjaan saya dank arena keilmuan saya sebagai seorang dokter.

- Kesehatan penderita senatiasa saya utmakan.

- Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar

dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial.

- Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan

- Saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan.

- Sekalipun diancam, saya tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran

saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan perikemanusiaan.

- Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan kehormatan diri saya.7

Apabila diakitkan dengan bunyi sumpah/janji dokter seperti tersebut diatas maka euthanasia jika terpaksa dilakukan berarti sang dokter telah melanggar apa yang telah diucapkannya sebelum ia menjalankan profesinya.

Dari uaraian diatas, maka dapatlah di simpulkan bahwa hak asasi itu bukan hanya merupakan masalah yuridis saja tetapi berkaitan dengan nilai-nilai etis, moral yang ada didalam masyarakat, dan dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai perumusan masalah euthanasia ini masih merupakan permasalahan yang belum jelas penyelesaiannya sampai sekarang ini.

B. Pidana Mati, Euthanasia dan Hak-hak Asasi Manusia

Sudah sejak lama masalah pidana mati ini menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum pidana. Tetapi hingga sekarang, belum ada kata sepakat tentang perlu atau tidaknya pidana mati itu untuk dipertahankan. Jadi masalahnya masih merupakan pro dan kontra, dan rasanya memang sampai kapanpun kiranya

7

masalah ini akan terus begitu saja. Sebagian negara di dunia ini masih akan terus mempertahankan adanya pidana mati, ternasuk didalamnya Indonesia. Sebagian pula ada yang telah menghapuskannya dalam Undang-undang negaranya. Dengan alasan-alasan tertantu. Para sarjana pun ada yang kontra ada pula yang pro terhadap pidana mati. Bagi sarjana yang pro pidana mati, seperti misalnya “Bichon Van Y sselmonde, Lambrosso, Garofalo, dan lain-lain. Pada umumnya mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati itu dirasakan lebih praktis biaya ringan, lebih pasti daripada pidana penjara, yang selama ini paling banyak dijatuhkan oleh pengadilan manapun.

Disamping itu dikatakannya, bahwa pidana penjara sring diikuti kemungkinan melariakn diri bagi yang dikenal. Sehingga bagi seseorang yang dianggap terlalu jahat, kemudian dijatuhi pidana mati, maka hilanglah rasa ketakutan kita, kalau orang yang demikian itu, melarikan diri dari penjara dan membuat kejahatan lagi dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, penulis tertarik dengan apa yang pernah dikatakan oleh Moderman sebagai berikut :

  “tokoh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang, dimana Dikumpulkan binatang-binatang buas yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kurungan-kurungannya dan mengacu kemampuan masyarakat. Saya akan lebih takut andai kata tiba-tiba kepergok dengan binatang-binatang buas ini daripada kepergok dengan penjahat yang dimaksudkan diatas”.8

jadi disini rupa-ruapnya Moderman tidak menyetujui adanya pidana mati. Bagi sarjana-sarjana lain yang juga kontra terhadap pidana mati, seperti misalnya : Becaria, Voltarie, Roeslan Saleh, Sahetappy, dan lain-lain, mengemukakan antara

lain bahwa masalah hidup dan mati itu bukanlah oleh Pencipta-Nya itu Tuhan Yang Maha Esa. Argumentasi ini rupa-ruapanya didasarkan pada segi religius, yang memang bersendiakn bahwa hidup dengan perkembangan teknologi, mengatakan cara yang sesuai dengan memasukan ke dalam kamar gas, atau diletakkan di atas kursi listrik. Bahkan masih ada juga yang memakai cara penggal kepala, di negara-negara tertentu seperti Arab dan lain sebagainya.

Terlepas dari cara yang dilakukan, secara alamiah maka pidana mati adalah bertentangan denagn kodrat alam. Naluri manusia selalu ingin mempertahankan hidupnya dari segala seranagn yang menimpa atas dirinya. Pasti dia akan melakukan sesuatu dan mempertahankan diri, seandainya akan dibunuh oleh orang lain misalnya.

Begitu pula seseorang yang sedang sakit, pasti akan berusaha pula untuk berobat, agar cepat sembuh, disamping dia selalu berdoa kepada Tuhan bagi yang mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian, oleh sebab itu, pidana mati dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Seseorang pasti tidak akan luput dari suatu kesalahan, demikian pula halnya dengan seseorang hakim dalam memeriksa suatu perkara yang mungkin juga dapat berbuat keliru. Sekarang menjadi masalah, bagaimana jika seseorang telah dipidana mati, dan telah dieksekusi, kemudian ternyata terjadi kekeliruan pengadilan, dalam hal ini terpidana sudah tidak dapat di rehabilitir lagi nama baiknya, karena sudah mati. Apakah hal semacam ini tidak dirasakan sebagai

suatu yang sangat kejam? Atas dasar ini, lalu orang tidak menyetujui adanya pidana mati, atas pandangan pemaksaan untuk mati.

Pandangan yang menentang adanya Euthanasia yang mendasarkan dari segi relig ius, kiranya kurang seirama dengan pandangan dari segi-segi hak asasi manusia. Kita tahu bahwa di dalam Universal Declaration of Human Rights. Dari PBB telah mencantugmkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula dalam undang-undang dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat dalam PBB itu. Diantara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin hanya hak untuk mati saja tidak ada walaupun kedengarannya sangat ganjil tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya, karena “hak untuk mati” ini dipandang sebagai telah tercakup pengertiannya di dalam “hak untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.

Pandangan yang menetang prinsip euthanasia di atas akan berbenturan argumentasinya, jika dihubungkan dengan pidana mati, yang dijatuhkan oleh hakim. Sesuai dengan kodrat alamnya seseorang tertuduh yang divonis mati pada umumnya juga masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau dengan perkataan lain mempertahankan kelangsungan hidupnya disadari atau tidak, bahwa jeritan hati kecilnya pasti mengatakan keinginannya untuk tidak mati, dalam setiap doktrin hidup manusia.

Dalam hal ini, dapat diaktakan bahwa hakim memaksa kematian seseorang yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Sedangkan pidana mati bukanlah satu-satunya jalan yang dapat di tempuh untuk mencapai salah satu

tujuan terpidana diadakan penelitian. Dengan euthanasia seorang pasien yang menghendaki kematian atas dirinya sendiri, justru malah di larang dan dihalang-halangi oleh pasien itu adalah merupakan satu-satunya jalan untuk menghilangkan penderitaan yang tidak tertahankan lagi. Pendek kata, orang yang masih ingin hidup dipaksa untuk amtimoleh hakim, sedangkan orang yang karena keadaan yang tak dapat dielakkan lagi ingin mati dipaksa untuk hidup terus, walaupun penderitaan tidak berkelanjutan.

Selanjutnya pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip euthanasia yang mengatakan segala sesuatu yang dialami manusia itu, sudah menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan tujuan tertentu. Tetapi disamping itu, oleh Tuhan manusia juga diwajibkan berusaha untuk menghilangkan penderitaannya, dalam hal demikian ini pengobatan untuk penyembuhan dan menghilangkan penderitaan sudah tidak mungkin lagi. Jalan satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar penderitaan itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan penderitaan memang diminta oleh pasien, padaha jalan lain untuk menghilangkan penderitaan itu sudah tidak ada lagi, mengapa permohonan ini tidak dapat dikabulkan? Dapat dikatakan sebagai “hak asasi” yang dalam hal ini sebagai ahk untuk mati? Jika telah diakui bahwa manusia mempunyai sejumlah hak-hak asasi, apakah dipandang sebagai suatu kesalahan apabila kasus, khususnya kasus semacam ini?

Hakim yang juga manusia bias dapat menentukan kematian seseorang, lewat pidana matinya, dimana orang ini masih segar bugar, yang sebenarnya orang tersebut masih menginginkan untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai manusia biasa yang menderita sakit yang tak terhingga, tidak dapat menentukan kematian atas dirinya sendiri? Bukankah kematian yang memang diminta pasien itu merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan di lain pihak, hakim sebenarnya masih dapat menempuh jalan lain, tidak harus menjatuhkan pidana mati bagi seseorang terpidana.

Apabila jalan pikiran seperti tersebut di atas itu diterima untuk menyetujui prinsip euthanasia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga merupakan suatu asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak permintaan mati seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak dapat disembuhkan lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Pelanggaran semacam ini tidak bedanya dengan pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim terhadap si tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja bedanya, bahwa dipengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk hidup, sedangkan dalam euthanasia, seorang dokter telah merampas hak manusia untuk mati.

Dasar pemikiran seorang hakim adalah menjatuhkan pidana mati, biasanya didasarkan demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan begitu saja, akan dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan tetapi hendaknya jangan dilupakan, bahwa menyelamatkan kepentingan umum

dan menyelamatkan keamanan negara, bukanlah satu-satunya jalan dengan menjatuhkan pidana mati.

Dengan kata lain untuk menyelamatkan pidana mati terhadap si terdakwa, sebab masih banyak cara-cara lain yang dapat ditempuh, misalnya dengan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu, dan lain-lain dengan sendirinya harus diikuti pengawasan efektif dan pembinaan yang kontiyu, untuk kembali kearah jalan yang benar dan insyaf. Kami yakin bahwa orang itu tidak selamanya berbuat jahat, suatu saat dia pasti akan sadar terhadap perbuatan yang pernah ia lakukan. Namun apabila dijatuhkan pidana mati rasanya hokum ini tidak mempunyai sifat pembinaan sama sekali, dan bahkan tidak pemberian kesempatan kepada seseorang yang melanggarnya untuk memperbaiki perbuatannya, serta tidak mempunyai rasa perikemanusiaan, yang juga telah menjadi dasar Negara kita, dengan dicantumkannya pada sila kedua dalam pancasila.

Kiranya sejalan dengan ini, maka dalam dunia kedokteran bagi orang yang menyetujui prinsip euthanasia dilakukan atas dasar perikemanusiaan terhadap sesama manusia, yang tengah menderita sakit yang tidak menentu, dan tidak dapat disembuhkan lagi, seperti di Indonesia sekarang ini, barangkali dapat ditempuh jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip euthanasia. Jadi kesempatan untuk mempergunakan hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup” dan hak “hak untuk mati”. Apabila tertuduh yang divonis mati tersebut dianggap menerima kematian atas dirinya. Dengan demikian ia dianggap telah mempergunakan hak untuk matinya., dan pidana mati yang telah dijatuhkan dapat

dengan segera dieksekusi. Sebaliknya bila tertuduh menolak putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia telah mempergunakan “hak untuk hidupnya”. Dengan demikain harus dicarikan jalan keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa ini betul-betul dilindungi oleh hukum dan dihargai hak asasinya.

Jalan keluar ini misalnya dengan mengubah pidana mati yang telah dijatuhkan ini dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sejenis lainnya, yang dapat dijatuhkan dalam tngkat banding atau kasasi. Dengan cara tersebut diatas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”, kiranya telah sama-sama diahrgai oleh hukum, terutama hokum pidana, dengan diakauinya “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia ini diamksudkan untuk melindungi manusia terhadap penganiyaan atau penyiksaan dan kekejaman serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari sesama umat manusia.

C. “Euthanasia” Kematian “Hak Untuk Mati”

Lain di pengadilan, lain pula di dunia medis. Apabila di pengadilan seorang hakim dapat menentukan kematian seseorang melalui pidana mati yang dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senatiasa melindungi makhluk hidup insane, sebagaimana di tetapkan dalm kode Etik Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” didunia, terutama dinegara-negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien yang sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kematian diminta oleh keluarganya suapaya penderitaannya dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di

Negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada harapan lagi, mengajukan permintaan kepada pengadilan atau penjabat yang berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati.

Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat denan definisi daripada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya kenyataan bahwa profesi medis pada dewasa ini, sudah mampu untuk menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan seseorang yang mengalami kerusakan otak (brain death), tetapi jantungnya tetap hidup dan berdetak denagn bantuan sebuah “respirator”. Dinegara-negara maju sudah banyak yang memberiakn defenisi tentang kematian, tetapi definisi yang diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang belum ada yang memberiakn defenisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang bersifat umum. Definisi khusus ini biasanya akibat kemajaun yang telah dicapai dalm bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi oragn tubuh

(anatomical gifts).

Definisi kematian ini diterima sebagai akibat daripada perkembangan ilmu kedokteran, sehubungan dengan “organ transplants”, pencabutan alat-alat untuk menopang kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupakn kembali terhadap organ tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya American Medical Association, tahun 1977 menyatkan suatu definisi Perundang-undangan tentang kenatian dengan criteria tersebut diatas bsebelum itu, yakni tahun 1968 di Amerika Serikat telah ditetapakan di dalam The Uniform Anatomical Gift Act bahwa seseorang yang berumur 18 tahun atau lebih, dapat memberiakn seluruh atau sebagian dari badannya pada saat kematiannya untuk tujuan-tujuan riset, pengobatan dan transplatansi. Jadi jelas bahwa sebenarnya definisi kematian yanag bersifat umum itu sangat dip[erlukan dan tidak banyak terbatas untuk tujuan transplatansi organ

Dokumen terkait