• Tidak ada hasil yang ditemukan

Euthanasia Ditinjau Dari Undang-Undang N0. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Dan Dilihat Dari Segi Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Euthanasia Ditinjau Dari Undang-Undang N0. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Dan Dilihat Dari Segi Hukum Pidana"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

EUTHANASIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG N0. 39

TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DILIHAT DARI

SEGI HUKUM PIDANA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

DISUSUN

O

L

E

H

Nama

:

SUMITRO

P.MANURUNG

NPM

:

070200448

Program studi

: ILMU HUKUM

Ketua Departemen: Hukum Pidana

(Dr. Hamdan, SH, M.Hum)

Pembimbing I Pembimbing II

(Nurmalawaty, SH. M.Hum) (M. Nuh, SH, M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Jesus Kristus yang selalu

menyertai setiap jalan dan setiap langkah dalam pengerjaan skripsi ini maupun

dalam setiap kehidupan. Terima kasih untuk semua yang Ia beri di hidupku,

bahkan sampai detik ini akau patut bersukacita karena-Nya. Biarlah berkat yang

telah diberikan dapat kupergunakan sebaik-baiknya, biarlah juga studiku ini dapat

menjadi berkat bagi orang lain. Penulis juga berterima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Hamdan, SH selaku ketua jurusan Departemen Hukum Pidana,

atas nasihat dan masukan yang telah diberikan dari Ibu Sekretaris

Departemen Hukum Pidana.

4. Kepada Bapak Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, sebagai dosen

pembimbing I yang telah mengarahkan dan membimbing saya dalam

pembuatan skripsi ini.

5. Kepada M. Nuh, SH, M.Hum sebagai dosen pembimbing II telah

memberikan arahan dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Kepada Bapak Drs. Pendastaren Tarigan sebagi pengelola Hukum serta

(4)

7. Semua dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

mengajar saya dan kepada seluruh staff pegawai yang telah membantu

saya dalam mengurus administrasi yang ada pada Fakultas Hukum USU

Medan.

8. Yang terutama, yang akan selalu ku ingat kedua orang tua yang telah

membesarkan saya tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan demi

anak yang telah dibesarkan untuk menuju ke masa depan.

9. Juga tidak lupa buat anak istri yang selalu mendampingi saya untuk

menyelesaikan skripsi ini dan terus mendorong saya setiap saat tanpa

mengeluh dari kekurangan-kekurangan yang ada.

10. Juga tidak lupa ucapan terima kasih saya kepada teman-teman, sahabat

dan kolega yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, tidak lupa saya

panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, agar kita semua mendapat

Hidayah Dunia dan Akhirat.

Amin.

Medan,

Hormat Saya,

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR… ... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAK... ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang. ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

a. Pengertian Hak Asasi Manusia... 6

b. Pengertian Euthanasia ... 8

F. Metode Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : EUTHANASIA DI TINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS A. Euthanasia Menurut UU HAM ... 12

B. Pidana Mati Euthanasia dan Hak Asasi Manusia ... 13

C. Euthanasia, Kematian, dan Hak Untuk Mati ... 25

(6)

BAB III : EUTHANASIA DILIHAT DARI HKUM PIDANA

A. Jenis-Jenis Euthanasia ... 49 B. Euthanasia Dalam KUHP ... 54

C. Euthanasia Menurut Pendapat Ahli Hukum ... 63

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran………. 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

(7)

ABSTRAK

(8)

ABSTRAK

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu keinginan kematian bagi sebagaian besar umat manusia merupakan

suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

demikian manusia terus menerus untuk tetap berusaha menunda kematian dengan

berbagai cara dan berbagai kemajuan teknologi. Dengan adanya

penemuan-penemuan teknologi modern mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan

yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya. Salah satu kemajuan

teknologi itu adalah dibidang medis.

Tetapi walaupun demikian tak seorang pun dapat menunda yang namanya

kematian, karena semuanya itu sudah diatur oleh sang Pencipta , jadi siapapun

tidak dapat mengetahui secara pasti kapan kematian itu terjadi meskipun ilmun

pengetahuan dan teknologi dibidang medis telah mengalami kemajuan dengan

menggunakan alat-alat medis yang modern dan canggih saat ini. 

Berbicara mengenai kematian, menurut cara terjadinya, ilmu pengetahuan

membaginya dalam tiga jenis, yaitu:

1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.

2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi karena sesuatu yang wajar.

3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau

tidak dengan pertolongan dokter.1

(10)

Jenis kematian yang ketiga ini lah yaitu “euthanasia” yang menjadi

permasalahan yang sudah ada sejak para pelaku kesehatan menghadapi penyakit

yang tidak bisa disembuhkan dimana pasien berada dalam keadaan sekarat dan

merana yang begitu lama.

Dalam situasi yang demikian tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan

dari penderitaan seperti itu atau dalam kondisi lain dimana si pasien sudah tidak

sadar dan keluarga si pasien tidak tega melihat penderitaan yang dialami

menjelang ajalnya sehingga meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan

pengobatan atau bila perlu memberikan obat atau berupa suntikan yang

mempercepat kematiannya.

Perbuatan euthanasia ini merupakan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum karena merenggut nyawa manusia dengan menghentikan pengobatan

kepada pasien yang sedang menderita. Dalam hal ini dokterlah yang mempunyai

peranan sekaligus dengan sekalipun dengan maksud yang baik.

Apabila hal ini dokter melakukan euthanasia selain melanggar kode etik

kedokteran, maka dikenakan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP. Meskipun

tidak ada kode etik perilaku dokter harus sesuai dengan etik masyarakat dimana ia

berada, karena dokter sebagaimana anggota masyarakat lainnnya, selain makhluk

individual, juga makhluk sosial, budaya dan religius. Masalah euthanasia ini

begitu penting karena menyangkut hidup dan matinya pasien ditangan dokter yang

(11)

Dewasa ini masalah euthanasia belum jelas tentang pengaturannya,

mungkin dikarenakan masih belum ada kasus tentang euthanasia secara lengkap,

sehingga pengaturannya dalam Undang-undang dapat ditetapkan. Suatu hal yang

sebenarnya lebih mendasar ialah bahwa Undang-undang dan etik mempunyai

tujuan yang berbeda satu dengan yang lain. Undang-undang terutama bertujuan

menyelesaikan konflik begitu rupa sehingga keteraturan dasar masyarakat tetap

terjaga. Sedangkan etik mempunyai ruang lingkup yang jauh lebih luas. Misalnya

hubungan kita dengan orang lain dan bagaimana nilai-nilai dan ciri kepribadian

kita sebaiknya dinyatakan dalam perilkau sehari-hari, Undang-undang tidak dapat

diharapkan untuk memuat hal-hal terperinci seperti yang diharapkan semua orang.

Dari sinilah masalah euthanasia ini muncul dan menarik perhatian serta

mendapat sorotan dunia terlebih-lebih setelah dilangsungkannya Konferensi

Hukum Sedunia yang diselenggarakan oleh World Peace Through Law Center di

Manila tanggal 22 dan 23 Agustus 1977, dimana dalam konferensi tersebut

diadakan Sidang Semu mengenai hak manusia untuk mati (the right to die).

Hak yang paling utama dari manusia adalah “hak untuk hidup” atau “the

right to life”. Didalam pengertian untuk hidup ini tercakup pula adanya “hak

untuk mati” atau “the right to life” yang telah diakui oleh dunia dengan

dimasukkannya kedalam Universal Declaration of Human Rights oleh PBB

tanggal 10 Desember 1948. Sedangkan mengenai hak untuk mati karena tidak

dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan

(12)

Ada beberapa Negara yang berpendapat bahwa masalah hidup dan mati itu

merupakan hak dari pada Tuhan yang Maha Esa, bukan hak dari pada manusia.

Pada umunya pendapat ini didasarkan atas pertimbangan segi religius. Akan tetapi

sebagian Negara juga ada yang memperbolehkan dan mengaturnya secara jelas

didalam Perundangan-undangannya, sehingga dapat diaktakan bahwa hak untuk

mati itu tidaklah bersifat mutlak bagi setiap orang.

Di Indonesia hak asasi manusia ini diatur di dalam UU No.39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia dimana didalamnya mengatur hal-hal yang

menyangkut soal hak-hak assi manusia secara mendasar.

Selain UU No. 39 tahun 1999 tenatang hak asasi Manusia, sebenarnya

sudah banyak diatur did lam UUD 1945 dan Perundang-undangan Republik

Indonesia lainnya. Namun masalahnya bahwa saat ini merupakan moral rights dan

belum merupakn positive rights.

Tantangan bagi kita semua adalah menggalakkan peningkatan hak-hak

warga Negara Indonesia itu dari moral rights menjadi positive rights, sehingga

baik dalam Perundang-undang maupun riilnya, Indonesia adalah benar-benar

merupakan Negara hukum yang menghormati hak-hak asasi warga negaranya.

Sehubungan dengan pembahasan mengenai hak untuk hidup dan hak untuk

amti tersebut, maka akan terkait dengan masalah hukum pidana yaitu yang disebut

dengan euthanasia. Untuk itu satu-satunya landasan hukum yang dipakai adalah

Pasal 344 KUHP yang berbunyi : “barang siapa menghilangkan jiwa orang lain

(13)

sungguh-sungguh dihukum penjara selama 12 tahun”2. Sampai sekarang ini pasal

tersebut dianggap paling mendekati dalam menyelesaiakn masalah euthanasia.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis

mencoba untuk merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan masalah euthanasia dikaitkan dengan hak asasi

manusia?

2. Bagaimana masalah euthanasia ini memperoleh perlindungan hukum di

Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana Undang-undang Hak Asasi Manusia

mengatur tentang euthanasia.

2. Bagaimana pengaturan euthanasia di dalam KUHP dan bagaimana

tanggapan para ahli hukum mengenai hal ini.

3. Bagaimanan pengaturna kedepan mengenai masalah euthanasia khususnya

di Indonesia .

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis

sendiri tanpa adanya penjiplakkan yang dapat merugikan pihak-pihak tettentu,

jika terdapat kesamaan maka untuk itu Penulis dapat bertanggung jawab dan

memperbaiki keaslian penulisan skripsi ini. 

(14)

 

E. Tinjauan Kepustakaan

a. Pengertian Hak Asasi Manusia

Manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa mempunyai

kewajiban memelihara alam semesta dengan penuh tanggung jawab, untuk

kepentingan dan kesejahteraan umat manusia secara berkelanjutan.

Manusia oleh sang Pencipta dianugrahi hak asasi untuk menjamin

keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan di dalam

lingkungannya maupun penataan kehidupannya.

Dari dasar pandangan yang demikian itu, maka semua orang yang

dilahirkan didunia ini memiliki kemerdekaan dan mempunyai martabat serta hak

yang sama, juga dikaruniai akal dan budi yang sama pula.

Oleh karenanya setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan

keselamatan. Artinya tidak seorang pun boleh diperlakukan seenaknya,

diperbudak, dianiaya maupun diperlakukan secara kejam sesuai dengan Pasal 33

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Manusia disamping memiliki hak asasi manusia, juga berkewajiban untuk

menghormati hak asasi orang lain dan masyarakat secara keseluruhan dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada diri manusia

sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah Tuhan yang Maha

Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum,

pemerintah dan warga Negara Indonesia dan demi perlindungan harkat dan

(15)

Hak asasi dapat diliputi dalam beberapa bidang, yaitu :

1. Hak asasi manusia bidang sipil seperti hak untuk hidup, hak warga Negara,

hak mengembangkan diri, hak-hak wanita, dan hak-hak anak.

2. Hak asasi manusia dibidang politik seperti hak turut serta dalam

pemerintahan, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk berserikat, dan lain

sebagainya.

3. Hak asasi manusia bidang social seperti hak mmeperoleh keadilan, hak

atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, dan

lain-lain.

4. Hak asasi manusia bidang budaya seperti hak untuk memiliki,

menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan, hak untuk

mengembangkan budaya, dan lain-lain3.

Berdasarkan pengertian hak asasi manusia tersebut, maka jelaslah bahwa

sifat dari hak asasi manusia itu adalah universal, yang berarti bagi semua manusia

yang ada didunia ini sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa, tanpa

membeda-bedakan tempat, jenis kelamin, suku, ras, etnik ataupun agama.

Para pakar berpendapat bahwa arti universal harus dipahami sebagai hak

asasi yang pelaksanaannya masih bergantung pada pengaruh lingkungannya

dimana seseorang itu berada, agama, maupun adat istiadatnya. Paham inilah yang

membedakan dengan paham barat yang menganggap universal sebagai absolute.

3

(16)

Namun setelah melalui proses panjang sejak Deklarasi PBB 10 Desember

1948 samapai pada tahun 1993 yaitu dimana ditandai melalui Konvensi

International di Viena Austri, bahwa paham barat sudah mulai bergeser, bahakan

ditegaskan “Universal” harus dipahami segala sesautu yang berkmbang melalui

proses lingkungan dimana manusia itu berada, yang dipengaruhi oleh adat, agama

dan lain sebagainya.

b. Pengertian Euthanasia

Istilah euthanasia ini berasal dari bahasa Yunani yaitu “EUTHANATOS”.

Eu berarti baik tanpa derita dan Thanatos berarti mati, arti harfiahnya adalah mati

baik4. Jadi dapat disimpulkan bahwa euthanasia itu adalah mati dengan tenang,

atau dapat didefinisikan sebagai “a good m dead”.

Mati dengan baik diharpakan oleh semua orang, tetapi tidak semaua orang

setuju dengan mati baik ini (euthanasia). Dalam bioetika euthanasia menjadi suatu

istilah teknis. Dalam arti sempit, euthanasia diartikan sebagai mati tanpa derita.

Derita juga dikatakan bahwa euthanasia merupakan suatu perbuatan yang

dengan sengaja memperpendek umur atau dengan kata lain menghilangkan jiwa

orang dengan alasan untuk menghilangkan penderitaan yang dialami oleh

seseorang yang telah lama mengidap suatu penyakit yang tidak mungkin serta

tidak dapat disembuhkan lagi. Perbuatan tersebut didasari karena suatu

penderitaan yang telah berlarut-larut dan berkepanjangan yang mengakibatkan

penderitaan serta kerugian materi, serta didasarkan juga atas permintaan dari

keluarga si pasien ataupun langsung atas permintaan si pasien sendiri.

4

. Nadeak P.Gonzales, OFMCap.Lebih Baik Mati?Menyorot Euthanasia. Bina Media Perintis, Medan

(17)

1. Euthanasia aktif, yaitu suatu keadaan dimana pasien meminta, memberi

izin dan member persetujuan untuk menghentikan perawatan/pengobatan

yang memperpanjang hidupnya. Euthanasia ini sangat ditenytang keras di

dalam masyarakat karena dianggap sebagai suatu pembunuhan serata

perbuatan yang bersifat amoral.

2. Euthanasia pasif, yaitu suatu keadaan dimana tidak ada permintaan

langsung dari pasien, dengan cara tidak lagi memberikan bantuan medis

kepada pasien untuk memperpanjang hidupnya.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan

euthanasia dilakukan karena suatu penderitaan yang sudah cukup berkepanjangan,

sehingga dengan dasar pertimbangan itulaha makanya terjadi tindakan euthanasia.

F. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berusaha dengan kerja yang maksimal

dan dengan kemampuan serta pengetahuan yang penulis miliki untuk

mendapatkan data-data yang mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh

karena itu dalam penyusunan skripsi ini Penulis menyusun data dengan

menghmpun data primer dan data sekunder, yaitu :

1. Data primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan yang mmepunyai kekuatan hukum yang mengikat.

2. Data sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan

bahan hokum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami

(18)

Dengan menggunakan metode Library Research, yaitu mencari dan

mengumpulkan data dari perpustakaan berupa buku-buku, media cetak/Koran,

internet, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas di

dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, dimana tiap-tiap babnya

akan menguraikan :

BAB I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini secara berturut-turut memuat tentang Latar Belakang

Penulisan, Pokok-pokok permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan yang terdiri dari Pengertian Hak Asasi Manusia

dan Pengertian Euthanasia, Metode Penulisan, dan uraian singkat mengenai

Sistematika Penulisan.

BAB II EUTHANASIA DITINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999

TENTANG HAM DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS

Pada bab ini akan diuraikan tentang bagaimana Undang-undang Hak Asasi

Manusia menyikapi dan mengatur tentang masalah euthanasia di Indonesia, serta

hubungannya dengan pidana mati dan hak-hak asasi manusia terutama hak untuk

(19)

BAB III. EUTHANASIA DITINJAU DARI HUKUM PIDANA

Pada bab ini diuraikan mengenai jenis-jenis euthanasia, bagaimana

pengaturan permasalahn euthanasia ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana sebagai hokum positif yang berlaku di Indonesia, serta bagaimanan

pendapat para ahli hukum menanggapi tentang masalah euthanasia ini.

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan terhadap permasalahn yang terurai

di dalam bab-bab sebelumnya. Didalam Bab IV ini juga akan disampaikan pula

mengenai saran Penulis yang diajukan untuk perbaikan dari pengaturan masalah

(20)

BAB II

EUTHANASIA DITINJAU DARI UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG

HAK ASASI MANUSIA DAN DITINJAU DARI SEGI MEDIS

A. Euthanasia Menurut Undang-undang HAM

Sebahagian lapisan masyarakat belum memahami tentang makna hakiki hak

manusia. Pada umumnya mereka hanya mengetahui karena banyak mendengar

disebut-sebut dalam peraturan sehari-hari, melalui media-media cetak ataupun

elektronik. Sedangkan upaya-upaya penyuluhan tentang hak asasi manusia ini

belum maksimal dilaksanakan oleh pemerintah maupun Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia (Komnas HAM).

Dari kenyataan tersebut maka menimbulkan banyak aksus yang merupakan

pelanggaran hak asasi manusia ditafsirkan secara keliru. Ada yang berpikiran ini

bersifat universal absolute, universal relative, partikularistik absolute, dan

partikularistik relative.

Banyak pengaduan ke Komnas Ham yang sesungguhnya permaslahn mereka

terletak dalam ruang lingkup Hukum Perdata atau Hukum Pidana, tetapi karena

kekurangan pemahaman maka mereka datang dan minta agar Komnas HAM

menanganinnya dengan harapan mendapat penyelesaian.

Sesungguhnya pemahaman tentang hak asasi manusia seperti tertuang dalam

deklarasi hak asasi manusia PBB, terdapat perbedaan-perbedaan antara

Negara-negara barat dan timur. Negara barat, hak dan kebebasan individu harus dihormati

(21)

dengan sepenuhnya oleh pemerintah dan masyarakat, individu berhak sepenuhya

mengeluarkan pikiran, perasaan dan menjalankan kegiatan-kegiatan lainnya sesuai

dengan seleranya sendiri.

Sedangkan di Negara-negara timur (termasuk Indonesia) hak kebebasannya

dibatasi dengan faktor-faktor agama, adat istiadat masyarakat setempat dan

budaya masing-masing. Jadi hak kebebasan individu dibatasi dengan

penghormatan pada moral, dan kehormatan sebagian besar masyarakat. Jadi

deklarasi hak asasi manusia manusia secara keseluruhan hanya dijadikan pedoman

bagi pelaksanaan hak asasi manusia didunia. Prinsip-prinsip yang terkandung

dalam deklarasi tersebut dapat digunakan sebagai ukuran antara bangsa mengenai

hak asasi manusia.

Deklarasi hak asasi PBB tahun 1948, menegaskan bahwa setiap orang berhak

atas hak-hak dan kebebasnya tanpa ada perbedaan ras maupun jenis kelamin.

Walupun deklarasi tersebut sangat penting artinya namun mengingat PBB tidak

memiliki stuktur kekuasaan yang dapat memaksakan kepada anggotanya agar

mengimplementasikanya ke dalam undang-undang nasional dan kebijaksanaan

masing-masing anggotanya, maka tentunya deklarasi tersebut tidak mungkin

menjadikan dasar dalam memberlakukan prinsip-prinsip yang tercantum di

dalamnya.

Negara-negara sebagai anggota masyarakat dunia, mengakui bahwa hak-hak

asasi manusia yang mendasar tidak diperoleh dari warga Negara tertentu saja,

(22)

perlunya perlindungan internasional dalam bentuk konvensi yang memperkuat

atau melengkapi perlindungan yang diberikan oleh hukum nasionalnya, maka

Negara kita adalah Negara hukum, artinya bukan Negara yang berdasarkan

kekuasaan, tetapi segala sesuatunya harus dilandasi secara hukum dan menjadikan

sebagai supremasi.

Pancasila yang menjadi landasan idiil Negara, mengandung nilai-nilai luhur,

dimana sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”

merupakan tuntunan bagi perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia yang

juga dijiwai pula dalam Pembukaan UUD 1945.

Mengingat hak asasi manusia sebagai suatu yang terkait dengan berbagai

aspek seperti harga diri, harkat dan martabat manusia maupun bangsa, oleh

karenanya dalam penanganannya harus melibatkan semua unsur penegak hukum,

lembaga-lembaga penyelenggaraan Negara, LSM dan lain sebagainya dan tidak

mungkin dilakukan secara ragu-ragu. Apalagi hanya melalui sebuah Komnas

HAM saja.

Dalam rangaka menjamin hak asasi manusia nampaknya pemerintah

bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk menerbitkan

Undang-undang tentang hak asasi manusia. Walaupun tidak mungkin semua hak

asasi manusia dimaksud diatur dalam Undang-undang, oleh karenanya UU No. 39

tahun 1999 tentang hak asasi yang meliputi pada seluruh aspek kehidupan

manusia, terbukti dalam Pasal 105 ayat 1 sebagai klausal yang menyatakan

(23)

Internasional yang telah diratifikasikan oleh Negara RI yang sudah menjadi

hukum positif bagi rakyat Indonesia.”

Tentunya sangat menyambut baik terhadap keberadaan UU No. 39 Tahun

1999 tentangt hak asasi manusia tersebut, yang didalamnya pula sekaligus

mengatur lembaga pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia yaitu dinamakan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia ini,

Komnas HAM diberi wewenang untuk melakukan “sub poema”, yaitu berwenang

memanggil saksi-saksi dengan sanksi bilamana tidak memenuhi panggilan

dimksud tanpa alasan yang sah. Bahkan juga dapat meminta dokumen tertulis

sebagai barang bukti atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan lain yang di

mungkinkan adalah dalam penyidikan terhadap pelanggaran hak asasi berat,

diakui sebagai barang bukti awal yang cukup guna diproses oleh penyidik dan

penuntut umum dan diteruskan ke Pengadilan.

Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999, hak kodrat yang paling utama

(24)

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan

taraf kehidupannya.5

Pasal 33 ayat 2 yaitu :

Setiap orang berhak untuk bebas dari pengilangan paksa dan penghilangan

nyawa.6.

Sedangkan didalam pengertian hak untuk hidup tercakup pula di dalamnya hak

untuk mati.

Berbicara mengenai hak untuk hidup dan hak untuk mati akan terkait dengan

masalah Hukum Pidana yang disebut dengan euthanasia. Namun masalah hak

untuk mati itu tidaklah bersifat mutlak, jadi masih terbatas dalam suatu keadaan

tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat

diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatannya yang diberikan sudah tidak

ada gunanya lagi. Dalam situasi yang demikian, si penderita boleh menggunakan

hak untuk matinya denagn cara kepada dokter untuk menghentikan pengobatan.

Misalnya menjadi semakin rumit, bila seseorang pasien sudah sekarat dan

tidak sadar selam berbulan-bulan, kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama

lagi maut akan merenggut nyawanya. Baik penderita maupun keluarganya telah

berkali-kali mendesak dokter yang merawatnya supaya mengakhiri penderitaan

yang tiada terhingga itu dengan jalan melakukan tindakan euthanasia.

5

undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia, Http//www.yahoo.com

6

(25)

sebagai seorang manusia biasa, sang dokter tidak sampai hati menolak permintaan

dari pasien dan keluarganya itu apalagi keadaan si pasien yang sudah sekarat

berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang selama ini di berikanya

itu sudah tidak berpotensi lagi. Dikatakan mati, ia masih bernafas sekalipun secara

“artificial”. Disisi lain jika dokter memenuhi permintaan tersebut maka dokter

telah melanggar sumpah dan hukum. Sebab melalui pertolongannya itu ia telah

mengakhiri hidup seseorang, dan dapat dikatakn ia telah melakukan pembunuhan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26/1960, Lembaran Negara 1960 No. 69,

janji dokter adalah sebagai berikut :

- Saya akan membaktikan hidup saya dengan car yang terhormat dan

bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya.

- Saya akan memelihara dengan sekauat tenaga martabat dan tradisi luhur

jabatan kedokteran.

- Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui, karena

pekerjaan saya dank arena keilmuan saya sebagai seorang dokter.

- Kesehatan penderita senatiasa saya utmakan.

- Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar

dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan

keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan

sosial.

- Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan

(26)

- Saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan.

- Sekalipun diancam, saya tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran

saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan

perikemanusiaan.

- Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan kehormatan diri saya.7

Apabila diakitkan dengan bunyi sumpah/janji dokter seperti tersebut diatas

maka euthanasia jika terpaksa dilakukan berarti sang dokter telah melanggar apa

yang telah diucapkannya sebelum ia menjalankan profesinya.

Dari uaraian diatas, maka dapatlah di simpulkan bahwa hak asasi itu bukan

hanya merupakan masalah yuridis saja tetapi berkaitan dengan nilai-nilai etis,

moral yang ada didalam masyarakat, dan dapat memberikan gambaran secara jelas

mengenai perumusan masalah euthanasia ini masih merupakan permasalahan

yang belum jelas penyelesaiannya sampai sekarang ini.

B. Pidana Mati, Euthanasia dan Hak-hak Asasi Manusia

Sudah sejak lama masalah pidana mati ini menjadi bahan perdebatan di kalangan

ahli hukum pidana. Tetapi hingga sekarang, belum ada kata sepakat tentang perlu

atau tidaknya pidana mati itu untuk dipertahankan. Jadi masalahnya masih

merupakan pro dan kontra, dan rasanya memang sampai kapanpun kiranya

7

(27)

masalah ini akan terus begitu saja. Sebagian negara di dunia ini masih akan terus

mempertahankan adanya pidana mati, ternasuk didalamnya Indonesia. Sebagian

pula ada yang telah menghapuskannya dalam Undang-undang negaranya. Dengan

alasan-alasan tertantu. Para sarjana pun ada yang kontra ada pula yang pro

terhadap pidana mati. Bagi sarjana yang pro pidana mati, seperti misalnya

“Bichon Van Y sselmonde, Lambrosso, Garofalo, dan lain-lain. Pada umumnya

mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati itu dirasakan lebih praktis biaya

ringan, lebih pasti daripada pidana penjara, yang selama ini paling banyak

dijatuhkan oleh pengadilan manapun.

Disamping itu dikatakannya, bahwa pidana penjara sring diikuti

kemungkinan melariakn diri bagi yang dikenal. Sehingga bagi seseorang yang

dianggap terlalu jahat, kemudian dijatuhi pidana mati, maka hilanglah rasa

ketakutan kita, kalau orang yang demikian itu, melarikan diri dari penjara dan

membuat kejahatan lagi dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, penulis tertarik

dengan apa yang pernah dikatakan oleh Moderman sebagai berikut :

  “tokoh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang, dimana Dikumpulkan binatang-binatang buas yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kurungan-kurungannya dan mengacu kemampuan masyarakat. Saya akan lebih takut andai kata tiba-tiba kepergok dengan binatang-binatang buas ini daripada kepergok dengan penjahat yang dimaksudkan diatas”.8

jadi disini rupa-ruapnya Moderman tidak menyetujui adanya pidana mati.

Bagi sarjana-sarjana lain yang juga kontra terhadap pidana mati, seperti misalnya :

(28)

lain bahwa masalah hidup dan mati itu bukanlah oleh Pencipta-Nya itu Tuhan

Yang Maha Esa. Argumentasi ini rupa-ruapanya didasarkan pada segi religius,

yang memang bersendiakn bahwa hidup dengan perkembangan teknologi,

mengatakan cara yang sesuai dengan memasukan ke dalam kamar gas, atau

diletakkan di atas kursi listrik. Bahkan masih ada juga yang memakai cara penggal

kepala, di negara-negara tertentu seperti Arab dan lain sebagainya.

Terlepas dari cara yang dilakukan, secara alamiah maka pidana mati

adalah bertentangan denagn kodrat alam. Naluri manusia selalu ingin

mempertahankan hidupnya dari segala seranagn yang menimpa atas dirinya. Pasti

dia akan melakukan sesuatu dan mempertahankan diri, seandainya akan dibunuh

oleh orang lain misalnya.

Begitu pula seseorang yang sedang sakit, pasti akan berusaha pula untuk

berobat, agar cepat sembuh, disamping dia selalu berdoa kepada Tuhan bagi yang

mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian, oleh sebab itu, pidana mati dipandang

sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Seseorang pasti tidak akan luput dari suatu kesalahan, demikian pula

halnya dengan seseorang hakim dalam memeriksa suatu perkara yang mungkin

juga dapat berbuat keliru. Sekarang menjadi masalah, bagaimana jika seseorang

telah dipidana mati, dan telah dieksekusi, kemudian ternyata terjadi kekeliruan

pengadilan, dalam hal ini terpidana sudah tidak dapat di rehabilitir lagi nama

(29)

suatu yang sangat kejam? Atas dasar ini, lalu orang tidak menyetujui adanya

pidana mati, atas pandangan pemaksaan untuk mati.

Pandangan yang menentang adanya Euthanasia yang mendasarkan dari

segi relig ius, kiranya kurang seirama dengan pandangan dari segi-segi hak asasi

manusia. Kita tahu bahwa di dalam Universal Declaration of Human Rights. Dari

PBB telah mencantugmkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula dalam

undang-undang dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat

dalam PBB itu. Diantara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin hanya

hak untuk mati saja tidak ada walaupun kedengarannya sangat ganjil tetapi hal ini

cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya, karena “hak

untuk mati” ini dipandang sebagai telah tercakup pengertiannya di dalam “hak

untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.

Pandangan yang menetang prinsip euthanasia di atas akan berbenturan

argumentasinya, jika dihubungkan dengan pidana mati, yang dijatuhkan oleh

hakim. Sesuai dengan kodrat alamnya seseorang tertuduh yang divonis mati pada

umumnya juga masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau

dengan perkataan lain mempertahankan kelangsungan hidupnya disadari atau

tidak, bahwa jeritan hati kecilnya pasti mengatakan keinginannya untuk tidak

mati, dalam setiap doktrin hidup manusia.

Dalam hal ini, dapat diaktakan bahwa hakim memaksa kematian

seseorang yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Sedangkan pidana mati

(30)

tujuan terpidana diadakan penelitian. Dengan euthanasia seorang pasien yang

menghendaki kematian atas dirinya sendiri, justru malah di larang dan

dihalang-halangi oleh pasien itu adalah merupakan satu-satunya jalan untuk menghilangkan

penderitaan yang tidak tertahankan lagi. Pendek kata, orang yang masih ingin

hidup dipaksa untuk amtimoleh hakim, sedangkan orang yang karena keadaan

yang tak dapat dielakkan lagi ingin mati dipaksa untuk hidup terus, walaupun

penderitaan tidak berkelanjutan.

Selanjutnya pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip

euthanasia yang mengatakan segala sesuatu yang dialami manusia itu, sudah

menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan tujuan tertentu.

Tetapi disamping itu, oleh Tuhan manusia juga diwajibkan berusaha untuk

menghilangkan penderitaannya, dalam hal demikian ini pengobatan untuk

penyembuhan dan menghilangkan penderitaan sudah tidak mungkin lagi. Jalan

satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar

penderitaan itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan

penderitaan memang diminta oleh pasien, padaha jalan lain untuk menghilangkan

penderitaan itu sudah tidak ada lagi, mengapa permohonan ini tidak dapat

dikabulkan? Dapat dikatakan sebagai “hak asasi” yang dalam hal ini sebagai ahk

untuk mati? Jika telah diakui bahwa manusia mempunyai sejumlah hak-hak asasi,

apakah dipandang sebagai suatu kesalahan apabila kasus, khususnya kasus

(31)

Hakim yang juga manusia bias dapat menentukan kematian seseorang,

lewat pidana matinya, dimana orang ini masih segar bugar, yang sebenarnya orang

tersebut masih menginginkan untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai

manusia biasa yang menderita sakit yang tak terhingga, tidak dapat menentukan

kematian atas dirinya sendiri? Bukankah kematian yang memang diminta pasien

itu merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan di lain

pihak, hakim sebenarnya masih dapat menempuh jalan lain, tidak harus

menjatuhkan pidana mati bagi seseorang terpidana.

Apabila jalan pikiran seperti tersebut di atas itu diterima untuk

menyetujui prinsip euthanasia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga

merupakan suatu asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak

permintaan mati seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak

dapat disembuhkan lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi

manusia. Pelanggaran semacam ini tidak bedanya dengan pidana mati yang

dijatuhkan oleh hakim terhadap si tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja

bedanya, bahwa dipengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk

hidup, sedangkan dalam euthanasia, seorang dokter telah merampas hak manusia

untuk mati.

Dasar pemikiran seorang hakim adalah menjatuhkan pidana mati,

biasanya didasarkan demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan

begitu saja, akan dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan

(32)

dan menyelamatkan keamanan negara, bukanlah satu-satunya jalan dengan

menjatuhkan pidana mati.

Dengan kata lain untuk menyelamatkan pidana mati terhadap si

terdakwa, sebab masih banyak cara-cara lain yang dapat ditempuh, misalnya

dengan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama

waktu tertentu, dan lain-lain dengan sendirinya harus diikuti pengawasan efektif

dan pembinaan yang kontiyu, untuk kembali kearah jalan yang benar dan insyaf.

Kami yakin bahwa orang itu tidak selamanya berbuat jahat, suatu saat dia pasti

akan sadar terhadap perbuatan yang pernah ia lakukan. Namun apabila dijatuhkan

pidana mati rasanya hokum ini tidak mempunyai sifat pembinaan sama sekali, dan

bahkan tidak pemberian kesempatan kepada seseorang yang melanggarnya untuk

memperbaiki perbuatannya, serta tidak mempunyai rasa perikemanusiaan, yang

juga telah menjadi dasar Negara kita, dengan dicantumkannya pada sila kedua

dalam pancasila.

Kiranya sejalan dengan ini, maka dalam dunia kedokteran bagi orang

yang menyetujui prinsip euthanasia dilakukan atas dasar perikemanusiaan

terhadap sesama manusia, yang tengah menderita sakit yang tidak menentu, dan

tidak dapat disembuhkan lagi, seperti di Indonesia sekarang ini, barangkali dapat

ditempuh jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip euthanasia. Jadi

kesempatan untuk mempergunakan hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup” dan hak

“hak untuk mati”. Apabila tertuduh yang divonis mati tersebut dianggap

menerima kematian atas dirinya. Dengan demikian ia dianggap telah

(33)

dengan segera dieksekusi. Sebaliknya bila tertuduh menolak putusan hakim,

berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia telah mempergunakan “hak untuk

hidupnya”. Dengan demikain harus dicarikan jalan keluarnya, sehingga kehidupan

terdakwa ini betul-betul dilindungi oleh hukum dan dihargai hak asasinya.

Jalan keluar ini misalnya dengan mengubah pidana mati yang telah

dijatuhkan ini dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sejenis lainnya,

yang dapat dijatuhkan dalam tngkat banding atau kasasi. Dengan cara tersebut

diatas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”, kiranya telah sama-sama

diahrgai oleh hukum, terutama hokum pidana, dengan diakauinya “hak untuk

hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia ini diamksudkan untuk melindungi

manusia terhadap penganiyaan atau penyiksaan dan kekejaman serta untuk

melindungi terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari sesama umat

manusia.

C. “Euthanasia” Kematian “Hak Untuk Mati”

Lain di pengadilan, lain pula di dunia medis. Apabila di pengadilan

seorang hakim dapat menentukan kematian seseorang melalui pidana mati yang

dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senatiasa

melindungi makhluk hidup insane, sebagaimana di tetapkan dalm kode Etik

Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” didunia, terutama

dinegara-negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien yang

sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kematian diminta oleh

(34)

Negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada

harapan lagi, mengajukan permintaan kepada pengadilan atau penjabat yang

berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati.

Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat

denan definisi daripada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya

kenyataan bahwa profesi medis pada dewasa ini, sudah mampu untuk

menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat

menciptakan alat-alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat

memungkinkan seseorang yang mengalami kerusakan otak (brain death), tetapi

jantungnya tetap hidup dan berdetak denagn bantuan sebuah “respirator”.

Dinegara-negara maju sudah banyak yang memberiakn defenisi tentang kematian,

tetapi definisi yang diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang

belum ada yang memberiakn defenisi kematian secara umum, dan untuk segala

tujuan yang bersifat umum. Definisi khusus ini biasanya akibat kemajaun yang

telah dicapai dalm bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria

saja, dan terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi oragn tubuh

(anatomical gifts).

Definisi kematian ini diterima sebagai akibat daripada perkembangan

ilmu kedokteran, sehubungan dengan “organ transplants”, pencabutan alat-alat

untuk menopang kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk

(35)

Pada perkembangan selanjutnya American Medical Association, tahun

1977 menyatkan suatu definisi Perundang-undangan tentang kenatian dengan

criteria tersebut diatas bsebelum itu, yakni tahun 1968 di Amerika Serikat telah

ditetapakan di dalam The Uniform Anatomical Gift Act bahwa seseorang yang

berumur 18 tahun atau lebih, dapat memberiakn seluruh atau sebagian dari

badannya pada saat kematiannya untuk tujuan-tujuan riset, pengobatan dan

transplatansi. Jadi jelas bahwa sebenarnya definisi kematian yanag bersifat umum

itu sangat dip[erlukan dan tidak banyak terbatas untuk tujuan transplatansi organ

saja. Dengan demikain maka seseorang yang “incompetent” yang masih hidup

karena dibantu dengan life support systems. Bisa dicabut life support systems-nya,

sekalipun tindakan ini akan berakibat kematian sudah terdapat bukti-bukti yang

tak dapat dibanth lagi, bahwa kematian biologis tak dapat dibantah lagi, hal inilah

yang termasuk di dalam pengertian “hak untuk mati”. Hanya saja pengertian “hak

untuk mati” mencakup pula hak seseorang yang telah dewasa yang “competent”

untuk menolak medical treatment, sekalipun akan mengakibatkan kematiannya.

Jadi dalam hal ini merupakan hak daripada si pasien yang telah dewasa, yang

harus dihormati adanya. Apabila kita berpaling kepada ilmu kedokteran, maka

akan di jumpai apa yang disebut sebagai “mati suri” dan “mati yang sebenarnya”.

Disamping itu jika dilihat dari saat terjadinya kematian, akan dapat istilah-istilah

somatic death dan biological death. Untuk menjelaskan mengenai istilah-istialh

(36)

a. Setiap manusia setelah hidup, pasti lama kelamaan akan mengalami proses

kematian. Oleh karena itu, ia mempunyai apa yang disebut dengan “garis

hidup” dan “garis mati”.

b. Pada setiap orang yang masih hidup, ia mempunyai fungsi kehidupan yang

dinamakan “fungsi animal” dan fungsi vegetatif. “fungsi animal”

dimaksudkan bahwa setiap orang yang hidup itu mempunyai fungsi

sebagaimana yang dimilki oleh binatang, sehingga dapat berjalan,

bergerak ke sana kemari dan lain-lain yang pokoknya semau fungsi yang

dimiliki oleh binatang, dimiliki juga oleh manusia. Begitu pula “fungsi

vegetatif” dimaksudkan bahwa semau fungsi yang dimiliki oleh

tumbuh-tumbuhan, dimilki oleh manusia. Oleh karena itu, makhluk manusia itu

merupakan makhluk yang paling sempurna dan paling tinggi derajatnya,

bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain yaitu binatang dan

tumbuh-tumbuhan.

c. Garis hidup, makin lama makin menurun, sedangkan garis mati semakin

lama semakin baik. Apabila kita telusuri pada gasris hidup, maka pada saat

akan sampai kepada suatu titik, dimana “fungsi animal” dan “fungsi

vegetatif” sudah tidak menunjukkan aktifitasnya lagi. Kemudian

lama-lama garis hidup ini akan bertemu dengan garis mati atau menemui ajal.

d. Saat pertemuan antara garis hidup dan garis mati inilah yang disebut

dengan somatic death, yakni kematian secara badaniah saja. Pada saat ini

(37)

timbulnya gejala-gejala hidup ini sangat kecil sekali kemungkinannya.

Pada somatic death ini dijumpai tanda-tanda kematain sebagai berikut:

1.Livor mortis (lebam mayat),

2.Rigor mortis (kaku mayat) dan

3.Algor mortis (warna dingin mayat)9

e. Sejak saat terjadinya somatic death ini, hamper tanda-tanda kehidupan

sudah tidak tampak lagi, begitu sebaliknya, tanda-tanda kematian besar.

(38)

f. Perkembangan selanjutnya, setelah terjadinya somatic death, kita harus

menunggu sampai kkurang lebih dua jam, untuk menentukan secara pasti

tentang kematin seseorang. Pada saat inilah dapat dimungkinkan terjadinya

apa yang disebut sebagai mati suri. Jadi “mati suri” ini terjadi selama

waktu diantara somatic death dan biological death, yang memakan waktu

kurang lebih selam dua jam. Sehubungan dengan hal ini, maka jika terjadi

kematian dirumah-rumah sakit, setelah dinytakan mati oleh dokter

(sebagai somatic death), keluarga orang yang meninggal tersebut, tidak

diperkenankan langsung membawa kerumahnya, tetapi harus menunggu

sampai kurang lebih dua jam. Selama dua jam ini, apabila tidak ada

kejadain yang disebut sebagai “mati suri” maka terjadilah gejala-gejala cel

degeneration, dengan tanda-tanda berikut :

1. Discoloration (terjadinya perubahan warna)

2. Softening (jarinagn menjadi lunak) dan

3. Rotting (terjadinya pembusukkan)10

g. Setelah itu baru terjadi suatu kematian yang benar-benar mati, baik

jasmaniah maupun rohaniahnya, dan ini dikenal dengan istilah medis

sebagai biological death atau kenatian secara biologis.

Dari penjelasan diatas dapatlah diketahui, bahwa yang disebut sebagai

mati dalam ilmu kedokteran adalah biological death. Tetapi dalam perkembangan

selanjutnya, waktu yang dua jam itu dapat diperpanjang sampai 24 jam. Selama

waktu 24 jam iniorang yang telah meninggal tadi dites

10

(39)

Secara medis terus-menerus apakah seluruh sel-sel tubuh manusia ini sudah tidak

berfungsi lagi atau tidak. Jadi hal nini hanya merupakan percobaan medis saja.

Kebutuhan akan defenisi baru tentang kematian berkembang sebagai akibat

langsung daripada makin meningkatnya kemampuan profesi medis untuk

mempertahankan kehidupan seseorang yang jantungnya terus berdetak, tettapi

otaknya telah tidak berfungsi secara permanen, berhubung adanya kerusakan yang

parah. Sehubungan dengan persoalan ini, timbul bermacam-macam pendapat baik

yang bersifat juridis, moral maupun medis.

Sekarang masalahnya, bagaimana dengan istilah kematian dalam ilmu hukum?

Biasanya definisi mati yang diapaki di pengadilan-pengadilan terhadapa kasus

yang terjadi, baik di dalam maupun diluar negeri, menanggap bahwa apoabila

masih bernafas belum dikatakan mati. Jadi diaktakan mati, apabila orang tersebut

sudah tidak bernafas lagi. Memang banyak kasus yang terjadi, misalnya

pembunuhan yang menyebabkan kematian. Pada umumnya orang yang dibunuh

trsebut, setelah tidak bernafas lagi. Kemudian langsung dikubur begitu saja.

Dengan demikian proses pengadilan. Hakim mendefenisikan bahwa orang

tersebut mati terbunuh yang akhirnya terdakwanya dikenakan sanksi sesuai

dengan pasal yang mengatur tentang pembunuhan tersebut. Kalau dipakai definisi

demikian dan dihubungkan dengan masalah euthanasia, seorang yang sudah tidak

bernafas, sedang otaknya masih meransang, jadi belum dikatakan sebagai brain

death, apakah hal ini juga disebut mati oleh pengadilan? Oleh karena itulah , perlu

(40)

dengan hukum, terutama hukum pidana. Hal ini sangat penting artinya dalam

menangani berbagai kasusu yang berhubungan dengan euthanasia, yang selama

ini belum dapat ditolerir di Negara-negara sedang berkembang, terutama di

Indonesia.

Walaupun euthanasia ini merupakan perbuatan terlarang dan diancam

pidana seperti diatur Pasal 344 KUHP, namun pencantuman larangan ini

dirasakan kurang efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus yang sampai

ke pengadilan. Oleh sebab itu, untuk perkembangan selanjutnya, penulis ingin

menetengahkan dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia, dengan

mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHP, ataukah

menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagai suatu perbuatan yang tidak

dilarang dengan mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah yang

disebut sebagai “deskriminalisasi”. Apakah yang ditempuh adalah siap

mempertahankan euthanasuia dalam untuk memberikan kelonggaran kepada

penuntut umum agar lebih memudahkan didalam mengadakan pembuktian

terhadap kasus yang terjadi.

Selama ini mungkin saja euthanasia ini, terjadi di Indonesia.Apakah

dengan terjadinya euthanasia itu kemungkinan pnuntut umum dapat

membuktikannya? Sulit rasanya hal itu untuk dipecahkan. Sepanjang yang pernah

dinyatakan oleh penulis kepada para dokter memang euthanasia di Indonesia ini

belum pernah terjadi. Tetapi dengan kemajuan dan perkembangan keadaan yang

(41)

Karena jelas bahwa para dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan

Kedokteran Indonesia, menganut paham bahwa hidup dan mati tidak merupakan

hak daripada manusia, melainkan hak dari Tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu,

para dokter di Indonesia tidak menganut prinsip euthanasia, sebab disamping

masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan yang Maha Esa, juga melanggar

sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para dokter.

Kemungkinan kedua adalah untuk menyatakan bahwa euthanasia

merupakan perbuatan yang tidak terlarang, menurut Jame Rachles dalam situasi

sakit berat, terutama sakit terminal (tidak bias disembuhkan lagi), orang bias

memilih dua cara untuk sampai pada kematian. Pertama seseorang mati secara

aman, misalnya dengan suntikan, tanpa penderitaan, yang kedua seseorang mati

sesudah mengalami penderitaan hebat. Kalau cara yang kedua dipilih, anggota

keluarga hanya hadir disekitar sakit tanpa berbuat apa-apa selain membiarkan si

sakit mengerang dan menderita. Menurut Rachels adalah sangat aneh kalau ada

orang yang menginginkan cara mati yang kedua. Rachles dan orang sealiran

dengan dia memilih menawarkan cara pertama, lalu mempromosikan euthanasia

dengan memberikan beberapa argument pendukung yaitu :

1. Demi menghilangakan penderitaan

Secara umum digambarkan bahwa orang sakit pasti menderita. Penderitaan

orang sakit terasa secara fisik, mental, social dan spiritual. Penderitaan

muncul karena kemampuan organ-organ tubuh menurun, dan secara

(42)

Dengan mewarisi pendapat stoisisme, penganjur euthanasia menyakini

bahwa penderitaan adalah musuh yang harus dikalahkan oleh setiap orang.

Orang sakit sungguh menderita, maka dia harus dikasihani dengan

membebaskannya dari penderitaan. Justru abaeh kalau kita mengatakan

bahwa kita mencintai atau mengasihani orang tetapi kita membiarkan dia

mengerang dalam penderitaannya. Maka jelas dalam situasi demikian

membantu orang meninggal dengan baik bukan tindakan immoral.

Perintah jangan membunuh tetap dihormati. Dalam situasi menderita yang

luar biasa ini kita tidak membunuh. Justru kita salah kalau membiarkan

anggota keluarga menderita demi menghormati perintah tersebut. Jelas kita

dilarang membunuh namun tidak ada larangan untuk mematikan. Sebagai

bandingan, kalau mematikan pada waktu perang bias ditolerir, mengapa

menghilangkan penderitaan tidak bias diterima? Jadi, euthanasia bukanlah

pembunuhan, secara moral kita boleh mematikan orang dengan alasan

belas kasih yang membebaskan seseorang dari penderitaan yang maha

hebat.

2. Penetapan prinsip Utilitarisme

Ide utilitarisme terkonsep secara public oleh Jeremy Bentham

(1748-1832). Pemikirannya dipengaruhi oleh situasi revolusi Amerika, revolusi

Prancis. Dan revolusi industry di Inggris. Pada masa ini standar

pertimbangan moral berubah. Tata lama khususnya dalam bidang politik

yang hanya berorientasi pada hukum dikritik. Bentham muncul sebagai

(43)

Moral and Legilation (1789). Ide mendasar di dalamnya adalah

utilitarisme hedonistic yang diwrisinya dari Epicurus (341-270 SM).

Secara singkat, tesis utilitarisme hedonistic adalah : carilah nikmat

sebesar-besarnya dan hindarilah rasa sakit. Itulah yang secara kodrati di

lakukan manusia dan itulah yang baik baginya.

Prinsip utilitarisme ini masuk dalam dunia bioetika dengan pertimbangan

yang baik adalah sesuatu yang menghasilakn manfaat, yakni kesenangan

dan tidak baik adalah menghalangi kesenangan atau dengan kata lain

memunculkan penderitaan. Kriteria penentu sesuatu baik atau tidak baik

adalah manfaat. Jika prinsip ini dikenakan pada kehidupan sehari-hari

maka nilai kehidupan bukan ditentukan oleh martabat, tetapi manfaatnya.

Jadi orang yang sudah sakit keras, misalnya yang tidak ada lagi gunanya

melanjutkan kehidupannya lebih baik dimatikan secara sengaja.

Dipengaruhi oleh prinsip ini, anggota keluarga yang lama menderita sakit

tanpa tanda-tanda kesembuhan merasa tidak berguna, dan beberapa

keluarganya merasa kehadiran orang sakit seperti itu menjadi suatu beban.

Memang orang sakit awalnya keluarga dengan baik, dikunjungi oleh

sahabat dengan ikhlas, namun sampai suatu ketika ada titik kejenuhan.

Karena perasaan jenuh ini kadang-kadang keluarga mampu secara

financial meninggalkan orang sakit untuk dirumah sakit. Dengan cara ini

makin banyak orang sakit meninggal di rumah sakit dengan menyedihkan.

Rumah tidak lagi menjadi tempat anggota keluarga untuk menghadapi

(44)

mendampingi anggotanya pada saat menghembuskan nafas terakhir.

Situasi ini mengkondisikan orang sakit dan juga pihak keluarga untuk

memilih euthanasia.

3. Kemajuan teknis medis

Seorang dokter yang bernama Jack Kevorkian yang dijuluki “dokter

maut”, telah mematikan 130 orang dengan menggunakan variasi teknik

dan sarana. Menurut dia tindakan euthanasia bukanlah pembunuhan, hanya

pematian. Maka hal itu bukanlah kejahatan yang bertentangan dengan tata

hidup sosial. Kematian bukan tujuan utama melainkan akibat yang tidak

bias dielakakan. Kevorkian yakin bahwa ahli medis memiliki kompetensi

dibidangnya dan tahu bahwa euthanasia pantas. Dia juga mengembangkan

teknis media dengan menukangi alat pemati variatif. Dengan

menggunakan alat-alat tersebut dia melawan ahli medis yang

memperpanjang umur orang sakit demi kepentingan komersial (aggressive

therapy). Justru dengan alat tersebut pelayan kesehatan membantu orang

sakit untuk menghilangkan penderitaan dan penyakitnya. Usaha ini tentu

menyentuh nilai kehidupan. Namun kalau kita bisa melakukan hal itu demi

kebahagiaan orang yang sungguh memintanya agar dia tidak menderita

berat, mengapa kita tidak melakukannya.

4. Prinsip keadilan sosial dan keadilan terhadap binatang

Untuk mendukung ide euthanasia sering dipakai prinsip keadilan sosial

dan keadilan terhadap binatang. Tidak adil menghabiskan uang untuk

(45)

tidak jelas apakah dia masih persona atau tidak, karena tidak semua homo

sapiens adalah persona. Tidak adil juga menghabiskan uang untuk orang

sakit terminal, padahal banyak orang sedang mati ditempat lain karena

kekurangan makanan. Mereka masih memiliki masa depan yang perlu

dibela. Binatang punya rasa keberatan untuk diamtikan. Lihat saja ikan

yang sedang terperangkap jala, atau simpanse yang ditangkap oleh

pemburu. Mereka menggelepar dan meronta, sebagai tanda bahwa mereka

tidak ingin mati atau dimatikan. Mengapa kita bebas membunuh binatang

yang tidak menghendaki mati sementara kita menghabiskan uang untuk

orang yang menginginkan mati bahkan tidak punya pengharapan atau tidak

punya masa depan.

5. Menghormati otonomi

Prinsip otonomi sudah digunakan pada pertengahan abad IV SM. Kata

otonomi ini berasal dari Yunani,Autos yang berarti sendiri, dan nomos

yang berarti hukum atas dirinya sendiri, sehingga dia secara moral

independent dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa. Manusia punya ahk

untuk memilih jalannya sendiri, untuk hidup atau untuk mati. Manusia bisa

memilih mati dengan baik sebagaimana dia bisa memilih hidup dengan

baik. Yang penting manusia bertanggung jawab atas akibat dari

kecenderungan dan dari apa yang dilakukanya.

Menurut konsep otonomi ini, seorang pasien memiliki moral untuk

menentukan intervensi medis atas dirinya, naik untuk mengadakan

(46)

sakit terminal boleh meminta ahli medis untuk tidak meneruskan tindakn

memperpanjang hidupnya. Jika proses mati sungguh membuat menderita

dan kesulitan, sdangkan menghentikannya mudah, sudah seharusnya kita

memilih yang mudah. Apakah kita tega membiarkan orang berpenyakit

keras terus menderita? Orang tidak lagi meratap agar dia hidup kalau

penyakitnya begitu berat, sebaliknya dia meratap agar mati. Demikian

penderitaan bisa diterima, tetapi bisa juga ditolaknya dengan mematikan

diri.11

Maka dengan pertimbangan diatas tidak tertutup kemungkinan

dilakukannya euthanasia, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini

misalnya:

1. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapakan lagi akan

kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter

yang merawatnya.

2. Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi

lagi.

11

(47)

3. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetatif state.

Bagi pasien yang dalam keadaan ini, sebaiknya euthanasia dapat dilakukan

disamping syarat-syarat yang limiatif tersebut. Dapat ditambahkan lagi, misalnya

dengan disertai permohonan tertulis dari pasien atau keluarganya, dengan

membubuhkan tanda tangannya, dan pada surat permohonan tersebut di tanda

tangani oleh saksi-saksi. Dalam hal ini euthanasia dapat dijlankan, dengan

menyatakan pelakunya melalaui kekebalan terhadap civil liability maupun

criminal liability. Jadi eutahanasia dapat dilakukan terhadap pasien yang

memahami syarat-syarat tertentu tadi. Dan tetap dilarang bila dilakukan terhadap

orang yang sehat, dan tidak memenuhi syarat-syaratnya ini dimaksudkan dengan

dibolehkannya euthanasia. Agar tidak disalahgunakan penggunaannya. Apabila

merasa takut akan melanggar sumpah hipocrates yang pernah diucapkannya, mka

masih ada jalan yang dapat ditempuh yaitu denagn memberiakn tugas kepada

mantri atau perawat yang lain, yang tidak pernah mengucapkan sumpah dokter.

Kiranya hal ini dapat dilakukannya, mengingat hanya sekedar mencabut

“respirator” atau hal-hal lain, yang dipergunakan untuk memperpanjang hidup

pasien yang tengah menderita denagn tiada akhir tersebut, denagn demikian “hak

untuk mati” juga dihormati adanya “hak untuk hidup”. Dalam kondisi yang

demikian itu pula, seseorang dapat mempergunakan “hak untuk matinya”. Jadi

pengakuan terhadap “hak untuk mati” ini tidak bersifat mutlak, tetapi dalam

(48)

D. Euthanasia Dalam Ilmu Kedokteran (Segi Medis)

Sebelum kita jauh mengetahui pendapat dari para ahli medis tentang

euthanasia, ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya pengertian mati itu. Pada

umumnya ada dikenal beberapa konsep tentang mati, yaitu :

1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Konsep ini bertolak dari criteria

mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir

keseluruh tubuh.

2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak

yang beranggapan bahwa terlepas dari tubuh ketika tubuh ketika darah

berhenti mengalir. Tetapi dikaitkan dengan perkembangan teknologi,

dapatkah nyawa ditarik kembali melalui teknologi resusutasi? Jika kita

beranggapan bahwa sekali nyawa itu lepas, tidak mungkin manusia dapat

menariknya kembali, maka criteria berhentinya darah mengalir pada saat

nyawa meninggalkan tubuh dapat dikatakan sudah tidak tepat lagi.

3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanent. Dalm pengertian ini, fungsi

organ-organ tubuh yang semula bekerja secara terpadu kini berfungsi

sendiri-sendiri tanpa terkendali, karena fungsi pengendaliannya (otak)

sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan mereka. Pandangan ini

memang sudah sangat teknis namun belum dapat memastikan bahwa otak

telah mati. Hanya bahwa otak tidak lagi mampu mengendaliakan fungsi

organ-organ lain secara terpadu. Pandangan ini diwarnai oleh pengalaman

(49)

secara moral masih menjadi pernyataan, jika oragn-organ manusia masih

berfungsi, meskipun tidak terpadu lagi, benarkah orang itu sudah mati?

4. Hilangnya kemampuan manusia secara permanent untu kembali sadar dan

melakukan interaksi social. Konsep ini dikembangkan dari ketiga hal

diatas, tetapi dengan penekanan nilai moral yaitu dengan memperhatikan

fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia digambarkan oleh Henry

Beecher sebagai “….. individu yang mempunyai kepribadian, menyadari

kehidupannya, kekhususannya, kemampuannya, mengingat, menentukan

sikap dan mengambil keputusan, mengajukan alas an masuk akal, mampu

berbuat, menimati, mengalami kecemasan dan sebaginya”. Konsep ini

tidak lagi melihat apakah organ-oragn tubuh yang lain masih mampu atau

tidak menjalankan fungsi pengendalian, baik secara jasmani maupun

sosial, atau tidak menjadi pertimbangan utama lagi, tetapi juga

dilupakan.12

Tugas professional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada

sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat

kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh kedokteran. Dengan demikian,

maka setiap dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan

profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya

semau pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segla-segala

syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan, keahlian dibidang

ilmu dan teknik baru dapat member manfaat yang sebesar-besarnya, kalau

(50)

Dan moral tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia, dan hampir

tiap-tiap Negara telah mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada

umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah hiprocates, yang

dirumuskan kembali dalm pernyataan himpunan dokter se-dunia di London bulan

Oktober 1949 dan diperbaiki oleh siding ke-22 himpunan tersebut di Sidney bulan

Agustus 1968.

Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta

mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak

ada diri seseorang yang baik dan bijaksana, yaitu kemurniaan niat, kesungguhan

dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak

diragukan. Oleh sebab itulah para dokter diseluruh dunia bermaksud mendasarkan

tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik professional yang

sepanjang masa mengutamakan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah

kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah

sewajarnya dilandaskan atas asas-asas etik yang mengatur hubungan antara

manusia pada umunya. Disamping itu harus memiliki akar-akarnya dalam filsafat

masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam masyarakat itu.

Permasalahan euthanasia di Indonesia mencuat setelah Hasabn KEsuma

menympaikan permohonannya di hadapan pimpinan sementara DPRD Bogor

(Jumat, 17/9) untuk diizinkan melakukan euthanasia atas istrinya Agian Isna

Nauli, Istri Hasan, telah 56 hari tidak sadarkan diri setelah melahirkan anaka

melalui operasi Caesar yang dipimpin oleh dokter Gunawan Muhammad SpOg di

(51)

Setelah operasi Caesar Ny. Agian dirawat di Rumah Bersalin Yuliana dan

memeriksakan perkembangannya kepada dokter Gunawan. Pada 21 Juli sekitar

pukul 08.00 Ny. Agian mendadak gelisah dan tekanan darahnya naik, lalu dibawa

ke RSI Ny. Agian langsung ditangani dokter Gunawan, tetapi Ny. Agian

mendadak tak sadarkan diri. Karena keterbatasan peralatan, Ny. Agian dirujuk ke

RS PMI Bogor. Sekitar pukul 18.30 Ny. Agian dirawat di RS PMI.

Setelah lebih dua minggu dirawat di RS PMI, Ny. Agian yang tak

sadarkan diri itu atas anjuran dokter spesialis syaraf di RS PMI, dokter Yoeswar,

lalu dilakukan CT Scan di RS Pusat Pertamina Jakarta pada Rabu (11/8) untuk

mendapatkan hasil akhir kondisi kerusakan syaraf otak yang lebih akurat.

Sehari kemudian diperoleh hasil CT Scan yang menyatakan ada kerusakan

permanqen di pusat syaraf otak yang mengakibatkan Ny. Agian tidak dapat

kembali normal seperti semula karena organ-organ tubuhnya sudah mengalami

putus hubungan (disconnecting) syaraf otak.

Sejak saat itu Ny. Agian terbaring tidak sadarkan diri di RS PMI lalu LBH

Kesehatan turun tangan karena adanya dugaan malapraktik. Selanjutnya pada 27

Agustus, oleh Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus, Ny. Agian dipindahkan

ke RSCM Jakarta. Secara Universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum

dalam Declaration of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter

se-dunia di Genewa bulan September 1948 didalam deklarasi antara dinyatakan

(52)

Khusus untuk Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas telah dicantumkan

dalam kode etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29

Oktober 1968. Berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang :

pernyataan berlakunya kode etik kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober

1969. Kode etik kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan peraturan Menteri

Kesehatan RI tanggal 30 agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.

Dalam bab II pasal 9 dari kode etik kedokteran Indonesia tersebut,

dinytakan bahwa :

“seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insane”.13

Dengan denikian berarti dinegara manapun didunia ini seorang dokter mempunyai

kewajiban untuk “menghormati setiap insan mulai saat vterjadinya pembuahan”.

Dalam hal ini bearti pula bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien,

setiap dokter tetap harus melindungi dan mempertahankan pasien itu sebenarnya

sudah tidak dapat disembuhkan lagi atau sudah dalam keadaan sekarat

berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini, dokter tidak boleh melepaskan

diri dari kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia sebagaimana yang

diucapkan dalam sumpahnya. Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter

terhadap pasien dengan tujuan untuk memelihara kesehatan

13

(53)

Dan kebahagiaan. Dengan sendirinya ia harus memberikan kehidupan manusia.

Walaupun kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasional yang sangat

membahayakan, tetapi tindakan ini diambil setelah dipertimbangkan secara

mendalam, bahwa tidak ada jaln lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya si pasien

dapat terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi dimulai, perlu

adanya pernyataan persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya.

Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hiudpnya

dan ini juga termasuk slah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik

kedokteran, dokter tidak diperbolehkan :

1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

2. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman

tidak mungkin aakan sembuh lagi (euthanasia)14.

Ad.1. Abortus Provocatus

Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah abortus provocatus

ini pun dalam hokum pidana kita juga dilarang, sebagia contoh dapat kita lihat

dalam Pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut :

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain unutk itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama empat tahun.15

14

kode Etik Kedokteran Indonesia, Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1969, hal 45

15

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.7 Tindakan yang Diambil Konsumen Ketika Mengalami Situasi Vending 55 Machine Bermasalah Gambar 4.8 Alasan Konsumen Tidak Ingin Menghubungi Customer service

Prototip reaktor VK-300 jenis BWR daya 250 MW(e) merupakan unit kogenerasi yang dapat memasok uap panas bersuhu 285 o C ke turbin ekstraksi untuk menghasilkan tenaga listrik sebesar

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subyek penelitian adalah siswa kelas XII TPHP SMK Putra Wilis Kecamatan Sendang

Pelatihan pencatatan dan pelaporan keuangan merupakan salah satu yang ditawarkan dari tim Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Universitas Muhammadiyah Profesor

izin dari Pengadilan agama. 2) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat. tanpa izin ari pengadilan agama, tidak memiliki

Realizing the importance of reflective practice in professional development of pre-service teachers, all teacher education institutions in Malaysia have put an emphasis

masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene ialah diantaranya: (1) penentuan calon dilihat dari akhlaknya yang baik (agama); (2) penjajakan dengan maksud