• Tidak ada hasil yang ditemukan

Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran

Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).

• Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.

• John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).

• Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”

Hak asasi mausia (HAM) mungkin merupakan kata yang telah ditulis dalam ratusan ribu halaman kertas, buku, artikel atau surat kabar dan siaran televisi maupun radio, juga menarik perhatian sejumlah besar ahli, politikus, jurnalis, lawyer dan sebagainya. Ia seolah-olah menjadi "trademark" peradaban modern saat ini. Sebagai basis dari pemikiran manusia, mengarahkan perbuatan manusia dan mengatur masyarakat.

Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara lain "human rights, the Right of man" hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai "hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari "hak-hakekatnya dan karena itu bersifat suci". Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman yang demikian maka sebenarnya perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut mungkin seumur umat manusia itu sendiri.

Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari penindasan Fir'aun. Nabi Muhammad dengan mu'jizatnya; al-Qur'an, banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana, menerapkan kasih sayang, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan sebagai suatu nilai kemanusiaan yang pokok dan satu dari kebajikan yang fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.

Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik, perlakuan yang sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum.

Dalam hak-hak asasi manusia, terdapat bermacam dokumen, diantaranya Declarations des Droits de'l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis dan The Four

(2)

Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen tersebut terdapat semboyan, yaitu:

1. Liberte (kemerdekaan), 2. Egalite (kesamarataan),

3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),

4. Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat), 5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),

6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan 7. Freedom from Want (kebeasan dari kekurangan).

Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia mencakup:

a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri, b. Hak kemerdekaan beragama, c. Hak kemerdekaan berkumpul,

d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut, e. Hak kemerdekaan pikiran.

Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak kemerdekaan atas diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa "hak untuk hidup" atau the right to life, adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak untuk hidup ini juga tercakup pula adanya "hak untuk mati" atau the right to die. "The right to die" ini berkaitan dengan munculnya "revolusi biomedis" dan tentunya berkaitan pula dengan masalah euthanasia.

Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 desember 1948. Sedangkan mengenai "hak untuk mati", karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai bidang dunia, seperti diperagakan dalam "peradilan semu" dalam rangka Konperensi Hukum Se-Dunia di Manila.

Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah "hak untuk mati" sudah diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara jelas dalam berbagai undang-undang. Kendatipun telah diakui dalam berbagai undang-undang, namun masih harus diakui pula bahwa "hak untuk mati" itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi. Penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut diakui dan diperbolehkan menggunakan "hak untuk mati"-nya, dengan jalan meminta pada dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya, ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang tinggi. Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya tersebut akan segera mati dengan tenang. Dan lagi Negara yang telah mengakui adanya "hak untk mati", maka perbuatan dokter yang telah memebantu untuk melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti diuraikan di atas memounyai kekebalan terhadap "criminal liability" maupun terhadap "civil liability".

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).

Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju

(3)

menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.

Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, etika, agama, sosial dan yuridis masih mengundang berbagai ketidakpuasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif.

`Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.

Berkembangnya etika pelayanan kesehatan sebagai suatu bidang khusus dan pencarian pelbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan banyak hak dalam konteks pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah penghormatan atas hak pasien. Dalam hal ini penghormatan atas hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberi informasi yang cukup, sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas

"hak pasien", dua buah kata bagi sebagian negara adalah kata-kata yang mewah, sebab masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak pasien itu. Berbicara tentang "hak pasien" yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.

Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan, pasien mempunyai hak-hak lainnya, sebagai misal antara lain hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya, hak untuk mendapatkan pendapat kedua.

Agar lebih jelas dapat diuraikan hak-hak pasien yaitu sebagai berikut: a. Hak atas informasi

Agaknya hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Jika seseorang tidak tahu, ia tidak bisa memilih, tidak bisa membuat rencana, tidak dapat menguasai situasi. Kemungkinan untuk memperoleh informasi merupakan syarat untuk menjalankan otonomi, dan jika pasien tidak mempunyai kemungkinan itu, ia tetap tinggal korban paternalisme.

b. Hak atas persetujuan

Hak untuk enentukan diri sendiri (the right of self determination) juga terproses sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak untuk menentukan diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi

(4)

c. Hak untuk menolak pengobatan

Jika seseorang mempunyai hak untuk memberi persetujuan dengan suatu pengobatan_atas dasar informasi yang diberikan sebelumnya, maka tidak bisa dihindarkan konsekuensi bahwa ia mempunyai hak juga untuk menolak pengobatan. Penolakan seperti ini sebagai perwujudan otonomi pasien dalam hak menentukan dirinya.

d. Hak atas privacy

Konfidensialitas dan perlindungan informasi yang diperoleh tenaga medis dalam hubungan dengan pasiennya adalah sangat penting. Jika konfidensialitas tidak dapat dijamin, maka orang akan enggan mencari bantuan medis, hal ini sebagai dasr bagi relasi antara dokter dan pasien.

e. Hak atas pendapat kedua

Yang dimaksud dengan pendapat kedua ialah adanya kerjasama antara dokter pertama dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien.

f. Catatan medis di rumah sakit

Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakandan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.Kebutuhan pasien atas catatan medis sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan hak otonominya.

Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etika kedokteran , sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik.

Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian dibidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia. Dan pastinya di setiap Negara mempunyai kode etik kedokteran sendiri-sendiri.

Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hippocrates. Di antara sumpah Hippocrates adalah sebagai berikut:

 Ilmu kedokteran adalah upaya untuk menaggulangi penderitaan si sakit, menyingkirkan penyakit, dan tidak mengobati kasus-kasus yang tidak memerlukan pengobatan.

 Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.

Dari pandanag Hippocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter tidak lagi mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau tidak membohongi pasien yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Misalnya dengan memberikan resep tetentu atau dengan memberikan medikasi lainnya. Dan berarti hippocrates tidak akan memberikan obat yang memetikan sekalipun pasien telah memeintanya. Dalam situasi apapun keadaan pasien, Hippocrates tetap menolak tindakan euthanasia aktif.

Disamping itu dokter tidak harus terus berupaya mengobati penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan kembali. Apabila pengobatan atau perawatan sudah tidak ada gunanya, maka dokterpun sudah tidak berkompeten lagi untuk melakukan medikasi terhadap pasiennya.

(5)

Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan masalah euthanasia, adalah pasal 9 yang berbunyi:

"Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani."

Dalam penjelasan pasal 9 di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit selain pembedahan, yang selalu mengandung resiko.

Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir dan mengumpulkan pengalamannya. Dengan demikian, membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti doktert dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh.

Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers).]

Sebetulnya kode etik kedokteran Indonesia sudah lama berorientasi pada pandangan-pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif. Begitu juga dengan kode etik kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif.

Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya, dan juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan kehidupannya, karena kematiannya sudah tidak dapat dihindarkan lagi.

Akan tetapi, perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan. Asalkan jangan mengada-ada melakukan tindakan medik (yang sebetulnya tindakan medik itu sudah tidak diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.

LILIK FAUZIYAH 2008.04.0.0105

Referensi

Dokumen terkait

Output penelitian berupa sebuah aplikasi Pemilihan Lokasi Pembangunan Perumahan yang dapat digunakan dengan mudah dan dapat diimplementasikan untuk mendukung

MENINGKATKAN KEMAMPUAN ASERTIF SISWA MELALUI METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN IPS.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

izin dari Pengadilan agama. 2) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat. tanpa izin ari pengadilan agama, tidak memiliki

Realizing the importance of reflective practice in professional development of pre-service teachers, all teacher education institutions in Malaysia have put an emphasis

Gambar 4.7 Tindakan yang Diambil Konsumen Ketika Mengalami Situasi Vending 55 Machine Bermasalah Gambar 4.8 Alasan Konsumen Tidak Ingin Menghubungi Customer service

Kematian ibu terutama karena perdarahan dan infeksi pada kehamilan aterm, kematian yang terjadi karena trias klasik yaitu; perdarahan, infeksi dan gestosis (preeklamsia)

- Tanya jawab dosen dan mahasiswa - Dosen menyimpulkan materi yang dibahas.. - Deskripsi, silabus dan SAP mata kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Perancis