• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Tentang Praperadilan Atas Status Tersangka Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Tentang Praperadilan Atas Status Tersangka Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

   

A. Latar Belakang

Penegakan hukum di Indonesia masih dihambat berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuan utamanya untuk memelihara keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat.1 Permasalahan dalam praktik penegakan hukum timbul saat terjadi kesenjangan antara prakteknya (das sein) dengan seharusnya (das sollen).2 Dewasa ini banyak sekali kasus bermunculan, baik kasus biasa (konvensional) ataupun kasus besar (extra ordinary crime).

Pembagian hukum berdasarkan isinya yaitu hukum publik (public law) dan hukum privat (private law). Hukum publik merupakan segala

ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen) dan bersifat memaksa, sedangkan hukum privat pada

prinsipnya mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen) dan bersifat tidak memaksa. Selanjutnya pembagian hukum menurut fungsinya, hukum publik dibagi menjadi Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana.

Hukum pidana dalam hukum publik dapat dibagi menjadi hukum pidana materil (materieele strafrecht) dan hukum pidana formil (formeel strafrecht atau strafprocesrecht). Hukum acara pidana berfungsi untuk

menjalankan hukum acara pidana substantif (materil), sehingga disebut

      

1 Eman Suparman, Membumikan Tekad Menuju Peradilan Bersih, Komisi

Yudisial, Jakarta Pusat, 2011, hlm 3.

2 Das sein adalah keadaan empirik, atau realita, sedangkan Das Sollen adalah

(2)

hukum pidana formil atau hukum acara pidana.3 Hukum acara pidana sebagai hukum pidana formil menentukan suatu tatanan proses beracara dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Adapun tujuan hukum acara pidana dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Repubik Indonesia Nomor : M.01.Pw.07.03 Th.1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material. Kebeneran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipesalahkan.

Peradilan di Indonesia diawali dengan adanya penyelidikan, Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan pengertian penyelidikan sebagai tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Penyelidikan dapat dikatakan sebagai tindakan untuk mendahului penyidikan.4 Penyidikan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu serangkaian tindakan mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang

      

3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,

hlm 4.

(3)

terjadi dan guna menemukan tersangka atau seseorang yang karena perbuatan atau keadaanya diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan dan penyitaan dan sebagainya. Upaya paksa tersebut pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat :

1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka;

2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi manusia.

Upaya paksa yang dilakukan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Konsekuensi berkenaan dengan masih diduganya

seorang berstatus tersangka yaitu bahwa seorang tersangka pada hakikatnya juga memiliki hak asasi manusia dan melekatnya asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence).5 Hak tersebut tercantum dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,

      

(4)

pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib tidak dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kcraht van gewisdje).

Perlindungan hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan pidana salah-satunya dengan adanya praperadilan. Tujuan utama dari praperadilan adalah sebagai perlindungan bagi setiap tersangka untuk mengetahui sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti kerugian dan rehabilitasi.

(5)

tersanga diangggap cacat secara yuridis. 6 Status tersangka yang dijadikan sebagai objek dalam praperadilan menjadi masalah baru untuk masyarakat Indonesia, mengingat bahwa objek praperadilan dalam Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya mengenai penangkapan atau penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan ganti kerugian atau rehabilitas. Kasus diatas semakin menguatkan paradigma masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, penliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : TINJAUAN HUKUM TENTANG PRAPERADILAN ATAS STATUS TERSANGKA DALAM

PERKARA PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

ACARA PIDANA.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dianalisis oleh penulis adalah :

1. Bagaimana pengaturan tentang praperadilan atas status tersangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ?

2. Bagaimana akibat hukum putusan praperadilan atas status tersangka menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia ?

      

6 Fathiyah Wardah, Sidang Praperadilan Komjen Budi Gunawan Digelar,

(6)

C. Maksud Dan Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan penelitian berdasarkan permasalah yang telah dipaparkan diatas yaitu :

1. Mengetahui pengaturan tentang praperadilan atas status tersangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

2. Mengetahui akibat hukum putusan praperadilan atas status tersangka menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan menambah keilmuan khususnya pengembangan ilmu hukum terkait praperadilan.

2. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi dalam membuat penelitian lebih lanjut, dan penegak hukum dalam instansi terkait dengan penyusunan peraturan perundang-udangan dan penegakkan hukum pidana khususnya tentang praperadilan.

E. Kerangka Pemikiran

(7)

oleh manusia, melainkan oleh fikiran yang adil. Dalam sejarah ketatanegaraan dikenal dua macam negara hukum yaitu:7

1. Negara hukum dalam arti sempit adalah negara polisi, yaitu negara hanya berusaha menegakkan hukum;

2. Negara hukum modern (welfare state), yaitu negara hukum yang selain berusaha menegakkan hukum, juga memperhatikan dan berusaha mensejahterakan rakyat.

Dalam simposium tahun 1966 di Jakarta, Indonesia menetapkan bahwa negara hukum adalah negara yang alat perlengkapannya bertindak hanya terikat pada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu atau sesuai dengan hukum yang berlaku (rule of law). Ciri-ciri negara hukum adalah :8

1. Ada pengakuan baik secara de jure maupun secara de facto dan perlindungan hak asasi manusia;

2. Ada peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau kekuatan apapun;

3. Legalitas terwujud dalam segala bentuk.

Indonesia termasuk negara yang menganut sistem hukum gabungan, yang terdiri dari sistem hukum eropa kontinental (civil law), dan anglo saxon (common law), juga mengakui adanya hukum islam, dan hukum adat. Sistem hukum eropa kontinental yang berkembang di negara-negara Eropa semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus pada Abad VI sebelum masehi sampai masuk ke Indonesia pada masa

      

(8)

penjajahan belanda dan berdasarkan asas konkordansi maka berlaku sebagai perundang-undangan dalam tata kehidupan di Indonesia.9 Asas konkordasi atau asas keselarasan (concordantie begeinsel) adalah asas yang menyamakan hukum yang ada di Belanda dengan hukum yang ada di Indonesia.

Hal yang menjadi dasar dari sistem Sistem hukum eropa kontinental adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi. Tujuan kodifikasi adalah memberikan kepastian hukum dengan berlandaskan hukum tertulis sehingga hakim hanya memiliki fungsi untuk menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya, kemudian putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (doktrins res ajudicata).10

Sistem hukum eropa kontinental menganut aliran legisme, aliran ini menjelaskan bahwa di luar undang-undang tiada hukum, hanya undang-undang yang menjadi sumber hukum satu-satunya. Aliran legisme lahir ketika hukum kebiasaan yang merupakan hukum tidak tertulis tidak dapat memberikan kepastian hukum. Inti pandangan legisme adalah bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas.

Masuknya sistem hukum eropa kontinental kedalam sistem hukum Indonesia merupakan hasil dari penjajahan bangsa Eropa. Terlepas dari hal tersebut, Indonesia pada dasarnya memiliki peraturan-peraturan tidak

      

(9)

tertulis yang hidup di dalam masyarakat, sehingga dalam kodifikasi peraturan dalam sistem hukum eropa kontinental disesuaikan dengan keadaan dan kondisi masyarakat Indonesia, tak terkecuali dalam hal kekuasaan kehakiman.

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Kodifikasi peraturan di Indonesia tercermin salah satunya pada Kitab Undang Hukum Pidana. Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selalu menjadi hal paling utama dalam pelaksanaan menjalankan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ayat (1) berbunyi tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang terdahulu dari perbuatan itu.

Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat azas (beginsel) legalitas yang tercakup dalam rumus (formule) yaitu tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu (nullum

delictum, nulla poena sine praevia lege poenali).11

      

(10)

Berdasarkan unsurnya, hukum pidana dibagi menjadi Hukum Pidana Subyetif (Ius Puniendi) dan Huku Pidana Obyektif (Ius Puinale).12 Hukum Pidana Subyektif melingkupi aturan yang mengatur hak negara atau perlengkapan negara untuk menghukum dan menyelesaikan tindak pidana (delict) berdasarkan Hukum Pidana Obyektif. Hukum Pidana Obyektif merupakan aturan yang memuat keharusan, larangan dan pelanggaran yang mengakibatkan dikenakannya hukuman atau sanksi. Hukum Pidana Obyektif kemudian dibagi menjadi Hukum Pidana Materil (material strafrecht) seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Formil (formeel strafhtrecht/strafprocesrecht) yang tercipta dalam bentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diberlakukan mulai tanggal 1981 menggantikan Het Herziene Inlands Reglement (Staatblad Tahun 1941 Nomor 44) dan Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) dengan tujuan penegakkan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Salah satu perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tercermin dengan adanya Praperadilan yang memiliki tujuan sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melakui sarana pengawasan horizontal.

      

(11)

Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang dalam menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia, tertuang secara eksplisit dalam Konsideran Menimbang huruf (a) dan huruf (c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi :

a) Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;

c) bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Tugas Praperadilan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana meliputi tiga pokok sebagai berikut :13

1. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga dan kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya;

2. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau penuntutan, dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan meynebutkan alasannya;

      

(12)

3. Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Pada hakikatnya Praperadilan merupakan kewenangan pengadilan untuk memberikan kesempatan kepada tersangka yang sedang menjalani proses peradilan tetapi belum mendapat keputusan hukum tetap sebagai perlindungan atas adanya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan sesuai dengan undang-undang. Upaya paksa tersebut hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat :

1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka

2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi manusia.

(13)

Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada dasarnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur tentang praperadilan atas status tersangka, sebagai konsekuensi hal tersebut maka ada dua keadaan yaitu sah atau tidaknya permintaan praperadilan yang diajukan oleh tersangka.

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian dengan memberikan gambaran secara sistematis dan menyeluruh mengenai keterkaitan antara peraturan perundangan yang berlaku dengan teori – teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang berhubungan dengan praperadilan.

Deskriptif memiliki arti bahwa dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu gambaran yang bersifat menyeluruh dan sistematis. Bersifat analitis, karena penelitian ini tidak hanya mempelajari materi kepustakaan yang berupa literatur, buku-buku, tulisan dan makalah, akan tetapi dilakukan juga pengambilan data langsung dilapangan.

2. Metode Pendekatan

(14)

hukum dari sudut pandang ilmu hukum secara mendalam terhadap norma hukum yang dibentuk.14

3. Tahap Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berhubungan dengan praperadilan. 1) Data sekunder bahan hukum primer berupa peraturan

perundang-undangan, antara lain: a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

2) Data sekunder bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis dan memahami bahan hukum primer, meliputi referensi hukum dan non hukum berupa rancangan perundang-undangan, hasil penelitian karya ilmiah, doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi maupun penjelasan terhadap bahan

      

(15)

hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti artikel, berita dalam media cetak dan elektronik.

b. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer guna menunjang dan melengkapi studi kepustakaan dengan melakukan wawancara dengan pihak yang terkait dengan praperadilan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dimaksud adalah dengan mengadakan penelitian lapangan secara langsung. Data diperoleh dari hasil wawancara dengan penegak hukum yang berkenaan dengan masalah dalam penelitian ini. b. Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder merupakan metode kepustakaan, artinya mencari konsepsi, teori, pendapat, ataupum penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan berupa peraturan perundang-undangan, buku, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain. 5. Analisis Data

(16)

positif. Hal ini digunakan untuk mencapai kepastian hukum, dengan memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga ketentuan-ketentuan yang satu tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya.

6. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian diambil untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Perpustakaan

1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia Jl. Dipati Ukur No.112 Bandung

2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jl. Dipati Ukur No.35 Bandung

3) Perpustakaan Kabupaten Bandung 4) Perpustakaan Provinsi Jl. Soekarno Hatta b. Instansi

1) Pengadilan Negeri Bandung Jl.Ll.Re Martadinata No. 74-80.

c. Situs

1) www. pn-bandung.go.id

(17)

17 

   

DALAM PERKARA PIDANA

A. Dasar Hukum Praperadilan Dalam Perkara Pidana

1. Tersangka Dan Terdakwa

Tersangka atau terdakwa merupakan sebutan atau status bagi pelaku tindak pidana sesuai tingkat atau tahap pemeriksaan. Pengertian tersangka menurut Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya pengertian terdakwa tercantum dalam Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa terdakwa adalah seorang tersangka dituntut, diperiksa,dan diadili di sidang pengadilan.

Pengertian tersangka dan terdakwa diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tersangka merupakan sebutan seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam tahap penyidikan, sedangkan terdakwa berada dalam tahap penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan. Ditelaah lebih jauh, pengertian tersangka dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyaratkan adanya bukti permulaan sebagai hal utama dalam menentukan status tersangka. 15

      

15 Muhammad Tanziel Aziezi, Progresivitas Hukum Yang Dibutuhkan,

(18)

Definisi bukti permulaan yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka tidak dijelaskan secara rinci di dalam Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana walaupun disinggung dalam Penjelasan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi:

“yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betu-betul melakukan tindak pidana.”

Undang-undang lain yang memberikan pengertian bukti permulaan yaitu Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang berbunyi:

“Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.”

(19)

penetapan tersangka dan bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas:16

a) Keterangan (dalam proses penyelidikan); b) Keterangan saksi (dalam proses penyidikan); c) Keterangan ahli (dalam proses penyidikan); dan

d) Barang bukti, bukan alat bukti (dalam proses penyelidikan dan penyidikan).

Di Inggris, yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup (probable cause) adalah:17

“...a reasonable ground for a belief in the existence of supporting facts; the existence of circumstances that would lead a reasonably prudent person to believe that the accused person committed the crime charged...”

[... dasar yang cukup untuk meyakini terdapatnya fakta-fakta yang mendukung; mengenai terdapatnya keadaan yang dapat membawa keyakinan seseorang untuk percaya bahwa seseorang yang diduga melakukan perbuatan pidana memang benar telah melakukan perbuatan yang disangkakan tersebut...] Mengacu pada pengertian Chandra Hamzah tersebut, lalu definisi yang ada di Inggris, memberikan penjelasan mengenai bukti permulaan yang cukup sehingga dapat digunakan sebagai acuan terdapatnya bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagai tersangka.

Hak-hak tersangka ataupun terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana antara lain :

      

16 Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup,

http://pshk.or.id/site/sites/default/files/Dokumen%20penelitian/Penjelasan%20Hukum%20 Tentang%20Bukti%20Permulaan%20Yang%20Cukup.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2015 pukul 11.01 WIB.

17 Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup,

(20)

a. Hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke penuntut umum, segera dimajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

b. Hak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan seta yang didakwakan (Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

c. Hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan (Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

d. Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penterjemah bagi terdakwa atau saksi yang bisu atau tuli (Pasal 177 dan Pasal 178 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

e. Hak dapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

f. Hak memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

(21)

h. Hak menghubungi penasihat hukumnya dan bagi yang berkebangsaan asing berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya (Pasal 57);

i. Hak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatannya (Pasal 58 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

j. Hak diberitahu tentang penahanannya kepada keluarga atau orang lain yang serumah atau orang lain yang bantuannya dibutuhkan (Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

k. Hak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargan atau lainnya (Pasal 60 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

l. Hak menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluargannya yang tidak ada hubungannya perkara tersangka atau teerdakwa untuk untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan (Pasal 61 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

m. Hak mengirim surat atau berkirim surat dari/ke penasihat hukumnya atau sanak keluarganya dengan tidak diperiksa kecuali terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat tersebut disalahgunakan (Pasal 62 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

(22)

o. Hak diadili disidang peradilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

p. Hak untuk mengusakan dan mengajukan saksi dan atau dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkandirinya (Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

r. Hak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana); s. Hak menuntut ganti kerugian dan rehailitasi (Pasal 68 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

t. Hak tersangka wajib diberitahukan hakim ketua, segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan (Pasal 196 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

2. Praperadilan

(23)

Badan Pembinaan Hukum Nasional, menjelaskan mengenai sejarah dan landasan filosofis dari adanya proses pra peradilan.18 Sejarah hukum acara pidana di Indonesia, pada masa prakemerdekaan, terdapat dua hukum acara yang berlaku di Indonesia, yaitu Strafverordering (Sv) yang berlaku bagi masyarakat eropa yang berada di Indonesia dan Inland Reglement (IR), yang diganti dengan Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941, untuk golongan pribumi.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, hukum acara pidana yang digunakan di Indonesia adalah Herziene Indische Reglement. Strafverordering tidak digunakan sebagai hukum acara, padahal

Strafverordering memiliki ketentuan yang lebih menghormati hak

asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa dalam setiap tahapan proses peradilan dari pada ketentuan dalam Herziene Indische Reglement. Penghormatan terhadap hak asasi manusia tersebut

terlihat dari adanya lembaga Van de regter-commissaris atau hakim komisaris dalam Strafverordering, yang tidak terdapat dalam Herziene Indische Reglement.

Fungsi hakim komisaris di Negara Belanda dan Juge d’Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sak tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara. Menurut Oemar Seno Adji, Lembaga”rechter commisariss” (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai

      

(24)

perwujudan keaktifan hakim, di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen),penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.19

Keberadaan hakim komisaris dimaksudkan untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana. Jaminan perlindungan terhadap hak tersangka atau terdakwa pada tahapan pemeriksaan pendahuluan adalah sebagai perwujudan dari fungsi hukum acara pidana yaitu menyelenggarakan peradilan yang adil (fair trial) dalam rangka untuk menemukan kebenaran materiil atau

kebenaran yang hakiki.

Terselenggaranya peradilan yang adil menjadi kewajiban penyelenggara negara dan menjadi hak dasar bagi tersangka atau terdakwa yang harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan hak dasar bagi tersangka atau terdakwa tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan asas dasar dalam penyelenggaraan hukum pidana, baik dalam hukum pidana materil maupun hukum pidana formil.

Segala bentuk tindakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa yang berakibat terampasnya hak tersangka atau terdakwa harus berdasarkan undang-undang dan undang-undang harus memberikan syarat yang harus dipenuhi dan menjadi dasar hukum dalam melakukan tindakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa

      

19 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta

(25)

tersebut agar wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada aparat penegak hukum tidak dipergunakan sewenang-wenang.

Tidak adanya konsep hakim komisaris dalam Herziene Indische Reglement seperti pada Strafverordering mencetuskan untuk

membentuk lembaga pengawas pada pemeriksaan pendahuluan dalam penegakan hukum pidana. Kemudian diajukanlah gagasan tentang lembaga praperadilan yang terinspirasi dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon (yang dianut

oleh negara seperti Amerika Serikat dan Inggris), yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan.

Pada dasarnya, hakim komisaris dan lembaga pra peradilan memiliki perbedaan, tetapi memiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu melakukan kontrol terhadap penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh penyidik dan penuntut umum. Hal ini mengingat tersangka atau terdakwa sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (asas presumption of innocent) dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

(26)

kontrol terhadap penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, supaya penggunaan wewenang tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Praperadilan telah diatur dalam Bab X, bagian kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pengertian praperadilan dalam Pasal 1 butir ke 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai berikut :

“Praperadilan adalah wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

a. Sah atau tidaknya penagkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”.

Pasal 77, disebut adanya wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang khusus diajukan dengan 6 (enam) alasan, yakni:20

1. Sah atau tidaknya penangkapan; 2. Sah atau tidaknya penahanan ;

3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan; 4. Sah atau tidaknya penghentian penuntutan; 5. Perminaan ganti kerugian;

6. Permintaan rehabilitasi.

      

20 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum , Ghalia

(27)

B. Tinjauan Teori Tentang Proses Beracara Dalam Perkara Pidana

Menurut sistem yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka tahapan-tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam peradilan pidana berdasarkan lembaga penegak hukum adalah:

1. Tahap Penyidikan oleh kepolisian 2. Tahap Penuntutan oleh kejaksaan

3. Tahap pemeriksaan di pengadilan oleh Hakim

4. Tahap pelaksanaan Putusan (eksekusi) oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan

Tahap awal untuk mengetahui adanya tindak pidana, kepolisian melakukan penyelidikan yang dapat bersumber dari:

1. Laporan, yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang tentang sedang atau telah atau diduga terjadi tindak pidana (Pasal 1 angka 24 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

2. Pengaduan, yaitu pemberitahuan disertai permintaan dari pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang (dalam hal ini polisi) untuk menindak secara hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana);

(28)

orang yang melakukannya, atau sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu. Benda tersebut menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya, turut melakukan, atau membantu melakukan tindak pidana itu. (Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Setelah menerima laporan, pengaduan atau tertangkap tangannya pelaku tindak pidana maka pejabat kepolisian menyelidiki tentang ada atau tidak terjadinya tindak pidana dalam hal ini disebut tindakan penyelidikan. Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa:

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Seorang penyelidik berkaitan dengan penyelidikan memeiliki kewenangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa:

“Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 : a. karena kewajibannya mempunyai wewenang :

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

2. mencari keterangan dan barang bukti;

3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penahanan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat;

(29)

4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.”

Apabila penyelidik berkeyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana maka dilanjutkan dengan penyidikan. Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut carayang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan buktiyang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi danguna menemukan tersangkanya.”

Penyidik dalam hal ini adalah pejabat kepolisian atau pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang melakukan penyidikan melaksanakan tugasnya untuk mencari dan mengumpulkan bukti maka penyidik mempunyai wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara bahwa:

“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka ;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”

(30)

seperti berdasarkan Pasal 8 juncto Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa :

“Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang : a. pemeriksaan tersangka;

b. penangkapan; c. penahanan; d. penggeledahan; e. pemasukan rumah; f. penyitaan benda; g. pemeriksaan surat; h. pemeriksaan saksi;

i. pemeriksaan di tempat kejadian;

j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;

k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini.”

Penyidik dapat memberikan status kepada seseorang sebagai tersangka, kalau terdapat bukti permulaan yang cukup dan memberikan petunjuk bahwa orang tersebut patut disangkakan sebagai orang yang melakukan tindak pidana. Bukti Permulaan yang dimaksud adalah benda-benda, keterangan saksi, petunjuk surat dan lainnya yang dapat memberikan petunjuk pelaku tindak pidana. Dalam upaya mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan yang cukup oleh penyidik maka dia berwenang untuk melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap seseorang. Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelasan bahwa:

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

(31)

“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Perintah penahanan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21). Tujuan penahanan berdasarkan pasal 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu:

1. Untuk kepentingan penyidikan; 2. Untuk kepentingan penuntutan;

3. Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. Tersangka atau terdakwa tidak dapat ditahan jika tidak memenuhi syarat obyektif seperti yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu :

“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

(32)

(7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).”

Apabila oleh penyidik dianggap tindakan penyidikan telah selesai maka penyidik menyerahkan berkas perkara beserta barang bukti dan tersangka kepada penuntut umum untuk dilaksanakan penuntutan. Dalam Undang-undang ditentukan bahwa hak penututan hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa:

“Penuntutan adalah tindakan penututan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan suapay diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya tidak diberlakukan lagi dan diganti oleh Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kekuatan untuk melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh kejaksaan. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tetap Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada Kejaksaan, yaitu:

1. Melakukan Penuntutan;

(33)

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersayarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dan penyidik.

Penuntut umum memiliki kebijakan untuk menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili sesuai pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Menurut pertimbangan penututan umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2) butir b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(34)

Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Nebis in Idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua

kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwa harus ada akhir dari pemeriksaan atau penuntutan dan akhir dari baliknya ketentuan pidana terhadap suatu delik tertentu. Asas menjadi pegangan agar tidak melakukan pemeriksaan atau penuntutan terhadap pelaku yang sama dari satu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.

Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan kepengadilan. Tindak Pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim dan Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (Tiga) Orang.

Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif (negatif wettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa:

(35)

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadinya dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk; dan Keterangan terdakwa.

Disamping itu kitab Undang-undang hukum Acara Pidana juga menganut minimun pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Minimun pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh keyakinan hakim.

Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:

“Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :

(36)

2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

3. putusan kasasi.”

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:

1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena

putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding.

2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

c. Putusan kasasi

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap, bahwa:21

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi)

      

(37)

telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”

(38)

69    A. Simpulan

Berdasarkan penelitian dan analisis yang telah penulis lakukan, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1. Praperadilan adalah suatu pengertian hukum tersendiri yang berkenaan dengan penggunaan upaya paksa dalam proses penyidikan atau penuntutan serta akibat hukum yang timbul darinya. Pasal 77 juncto Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dikenal sebagai ketentuan yang mengatur tentang praperadilan Berdasarkan pasal tersebut, sah atau tidaknya penetapan tersangka bukanlah objek yang dapat diajukan dalam sebuah praperadilan. Penetapan tersangka, walaupun merupakan bagian dari tahap penyidikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bukan merupakan objek dari praperadilan.

(39)

bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka. Putusan tersebut tentunya menjadi jurisprudensi yang dapat di pakai oleh hakim lain sebagai acuan dalam membuat putusan dalam lembaga Praperadilan.

B. Saran

Untuk mencapai kepastian hukum dalam penegakkan hukum yang semestinya dalam hal praperadilan, penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang praperadilan dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana perlu direvisi sebagai wujud Teori Pembinaan Hukum dari Prof. Mochtar Kusumaamadja.

2. Banyaknya permohonan praperadilan terhadap penetapan tersangka akibat adanya putusan praperadilan atas sah atau tidaknya penetapan status tersangka, sejauh hal tersebut merupakan upaya hukum, maka semua pihak harus dapat menerima dan menghargai sebagai bagian dari perjuangan perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia sebagai wujud dari Indonesia sebagai Negara Hukum.

(40)
(41)

TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

LEGAL REVIEW ABOUT PRETRIALOF SUSPECTED STATUS IN CRIMINAL CASE LINKED REGULATION NUMBER 8 YEAR 1981

ABOUT CRIMINAL LAW PROCEDURAL CODE

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

Oleh

Nama : Cepi Fathurahman

NIM : 31611011

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dibawah Bimbingan : Hetty Hassanah, S.H.,M.H.

NIP. 4127 33 00 005

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(42)

iv LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... iv ABSTRAK ... vi ABSTRACT ... vii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 5 C. Maksud Dan Tujuan Penelitian ... 6 D. Kegunaan Penelitian ... 6 E. Kerangka Pemikiran ... 6 F. Metode Penelitian ... 13

1. Spesifikasi Penelitian ... 13 2. Metode Pendekatan ... 13 3. Tahap Penelitian ... 14 4. Teknik Pengumpulan Data ... 15 5. Analisis Data ... 15 6. Lokasi Penelitian ... 16 BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PRAPERADILAN DAN PROSES

BERACARA DALAM PERKARA PIDANA

(43)

2. Praperadilan... 22 B. Tinjauan Teori Tentang Proses Beracara Dalam Perkara Pidana ... 27 BAB III PROSES PRAPERADILAN DALAM PERKARA PIDANADI INDONESIA

A. Proses Praperadilan Di Indonesia ... 38 B. Kasus Terkait Praperadilan Di Indonesia ... 45 BAB IV TINJAUAN HUKUM TENTANG PRAPERADILAN ATAS STATUS

TERSANGKA DALAM PERKARA PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN

UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

A. Pengaturan tentang praperadilan atas status tersangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ... 51 B. Akibat hukum putusan praperadilan atas status tersangka menurut ketentuan

hukum acara pidana di Indonesia ... 61 BAB V PENUTUP

(44)

Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers, 2009.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996. ___________, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.

Eman Suparman, Membumikan Tekad Menuju Peradilan Bersih, Komisi Yudisial, Jakarta Pusat, 2011.

Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia kontemporer, Genta Publishing, 2012

Kusmiati, Tata Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1997

Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu hukum, Alumni, Bandung, 2009.

Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010.

Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009.

Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1986.

Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2013.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1990.

S Tanubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.

(45)

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, dan Diubah kembali menjadi Undang-Undang Nmor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Menkeh RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982

Websites

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di Indonesia, http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2011-2.pdf

Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup, http://pshk.or.id/site/sites/default/files/Dokumen%20penelitian/Penjelasan% 20Hukum%20Tentang%20Bukti%20Permulaan%20Yang%20Cukup.pdf Denny Kurnia, Urgensi Mk Dalam Menguji Putusan Praperadilan Budi Gunawan,

http://sbsinews.com/opini/urgensi-mk-dalam-menguji-putusan-praperadilan- budi-gunawan-terkait-penetapan-sah-tidaknya-status-tersangka-sebagai-objek-pemeriksaan-pada-lembaga-praperadilan

Fathiyah Wardah, Sidang Praperadilan Komjen Budi Gunawan Digelar, http://www.voaindonesia.com/content/sidang-pra-peradilan-komjen-budi-gunawan-digelar/2634685.html

http://hukum.unmuhjember.ac.id http://putusan.mahkamahagung.go.id

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_ kpk

(46)

www.hukumonline.com

(47)

Nama Lengkap : Cepi Fathurahman

Tempat/Tanggal Lahir : Bandung, 12 Oktober 1992 Kebangsaan : Indonesia

Jenis Kelamin : Pria

Alamat : Kp. Bojong RT 03/ RW 02 No. 146 Ds. Sukamukti Kec. Katapang, Kabupaten Bandung

Bandung 40971 Jawa Barat, Indonesia

Telepon : +62-857-7775-0802

Email : fathurahman_cepi@yahoo.com Pendidikan Formal :

1999 - 2005 Sekolah Dasar Negeri Sekepeuris I. Bandung 2005 - 2008 SMP Negeri I Margahayu. Bandung

(48)

1

TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

LEGAL REVIEW ABOUT PRETRIALOF SUSPECTED STATUS IN CRIMINAL CASE LINKED REGULATION NUMBER 8

YEAR 1981 ABOUT CRIMINAL LAW PROCEDURAL CODE

Oleh:

Nama : CEPI FATHURAHMAN

NIM : 31611011

Program Kekhususan : Hukum Pidana

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tentang praperadilan atas status tersangka dalam perkara

pidana dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan

upaya paksa berupa penangkapan, penahanan dan penyitaan dan sebagainya. Upaya

paksa yang dilakukan penyidik terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak

pidana dapat dikontrol melalui praperadilan. Tujuan utama dari praperadilan adalah

sebagai perlindungan bagi setiap tersangka untuk mengetahui sah atau tidaknya

penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti

kerugian dan rehabilitasi. Salah satu kasus berkenaan dengan praperadilan di Indonesia

yaitu kasus Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan ( selanjutnya disebut Budi Gunawan)

yang mengajukan praperadilan atas status tersangka atas dugaan korupsi yang di

dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pokok permasalahan dalam penelitian

ini adalah mengenai pengaturan tentang praperadilan atas status tersangka berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan akibat hukum

dari putusan praperadilan atas status tersangka menurut ketentuan hukum acara pidana

di Indonesia.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,

(49)

mendalam terhadap norma hukum yang dibentuk. Spesifikasi penelitian dalam penelitian

ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian dengan memberikan gambaran secara

sistematis dan menyeluruh mengenai keterkaitan antara peraturan perundangan yang

berlaku dengan teori – teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang

berhubungan dengan masalah praperadilan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa status tersangka sendiri tidak ada dalam

permohonan praperadilan sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana. Praperadilan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana meliputi tiga pokok sebagai berikut Permintaan

pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, Permintaan

untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau penuntutan, dan

Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau

penahanan atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan.Akibat

hukum dari putusan praperadilan atas status tersangka yang dikabulkan seperti dalam

putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel yaitu status Budi Gunawan sebagai

tersangka menjadi bebas. Putusan tersebut juga menjadi jurisprudensi yang dapat di

pakai oleh hakim lain sebagai acuan dalam membuat putusan dalam lembaga

Praperadilan.

ABSTRACT

This study reviews the status of suspects in pretrial criminal cases

connected with Law No. 8 of 1981 About the Code of Criminal Procedure. The

Code of Criminal Procedure authorizes the investigator and prosecutor to take

action forceful measures in the form of arrest, detention and seizure and so on.

Forcible attempts by investigators to a person suspected of committing criminal

offenses can be controlled through a pretrial. The main purpose of the pre-trial is

a protection for each of the accused to determine the validity of the arrest,

detention, investigation termination, termination of prosecution, compensation

and rehabilitation. One case with regard to pretrial in Indonesia which case Police

(50)

who filed a pretrial on the status of the suspect on suspicion of corruption which

issued the Corruption Eradication Commission (KPK). The main problem in this

research is the regulation of pretrial on the status of a suspect based on Law No.

8 of 1981 on the the Code of Criminal Procedure and the legal consequences of

a pretrial ruling on the status of suspects under the provisions of the criminal

procedure law in Indonesia.

The method used in this study is normative, ie research that examines

the legal issues from the point of view of legal science in depth to the established

legal norms. Specifications of this research is descriptive analysis, the research

by providing a systematic and comprehensive overview of the relationship

between laws and regulations that apply to the theory - the theory of law and

positive law enforcement practice relating to pretrial issues.

Results of this study explained that the status of the suspect himself is

not in pretrial petition as in the Code of Criminal Procedure. Pretrial as the

provisions of Article 79, Article 80, Article 81 of the Code of Criminal Procedure

includes the following three rules: Request examination of the validity of an arrest

or detention, inquiry to check the validity of a termination of investigation, or

prosecution of, and Demand compensation and / or rehabilitation due to it

unlawful arrest or detention or due to it unlawful termination of an investigation or

legal penuntutan.Akibat pretrial ruling on a suspect who was granted such status

in the decision No. 04 / Pid.Prap / 2015 / PN.Jkt.Sel ie status Budi Gunawan as a

suspect be free. The verdict also become jurisprudence that can be used as a

reference by other judges in making a decision in pretrial institutions.

Latar Belakang

(51)

masyarakat.1 Permasalahan dalam praktik penegakan hukum timbul saat terjadi kesenjangan antara prakteknya (das sein) dengan seharusnya (das sollen).2 Dewasa ini banyak sekali kasus bermunculan, baik kasus biasa (konvensional) ataupun kasus besar (extra ordinary crime).

Pembagian hukum berdasarkan isinya yaitu hukum publik (public law) dan hukum privat (private law). Hukum publik merupakan segala ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene

belangen) dan bersifat memaksa, sedangkan hukum privat pada

prinsipnya mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen) dan bersifat tidak memaksa. Selanjutnya pembagian hukum menurut fungsinya, hukum publik dibagi menjadi Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana.

Hukum pidana dalam hukum publik dapat dibagi menjadi hukum pidana materil (materieele strafrecht) dan hukum pidana formil (formeel strafrecht atau strafprocesrecht). Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum acara pidana substantif (materil), sehingga disebut hukum pidana formil atau hukum acara pidana.3 Hukum acara pidana sebagai hukum pidana formil menentukan suatu tatanan proses beracara dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Adapun tujuan hukum acara pidana dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Repubik Indonesia Nomor : M.01.Pw.07.03 Th.1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

1 Eman Suparman, Membumikan Tekad Menuju Peradilan Bersih, Komisi

Yudisial, Jakarta Pusat, 2011, hlm 3.

2 Das sein adalah keadaan empirik, atau realita, sedangkan Das Sollen adalah

keadaan ideal atau dengan apa yang diharapkan. Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm 77.

3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,

(52)

Pidana bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material. Kebeneran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipesalahkan.

Peradilan di Indonesia diawali dengan adanya penyelidikan, Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan pengertian penyelidikan sebagai tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Penyelidikan dapat dikatakan sebagai tindakan untuk mendahului penyidikan.4 Penyidikan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu serangkaian tindakan mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka atau seseorang yang karena perbuatan atau keadaanya diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan dan penyitaan dan sebagainya. Upaya paksa tersebut pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat :

(53)

1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka;

2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi manusia.

Upaya paksa yang dilakukan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due

process of law). Konsekuensi berkenaan dengan masih diduganya

seorang berstatus tersangka yaitu bahwa seorang tersangka pada hakikatnya juga memiliki hak asasi manusia dan melekatnya asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence).5 Hak tersebut tercantum dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau

(54)

dihadapkan di depan pengadilan wajib tidak dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kcraht van gewisdje).

Perlindungan hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan pidana salah-satunya dengan adanya praperadilan. Tujuan utama dari praperadilan adalah sebagai perlindungan bagi setiap tersangka untuk mengetahui sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti kerugian dan rehabilitasi.

Salah satu kasus berkenaan dengan praperadilan di Indonesia yaitu kasus Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan ( selanjutnya disebut Budi Gunawan) yang mengajukan praperadilan terhadap penetapan status tersangka atas dugaan korupsi yang di dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Maqdir Ismail sebagai kuasa hukum Budi Gunawan memberikan pernyataan bahwa bahwa penetapan tersangka diatas dianggap tidak sesuai dengan prosedur sehingga penetapan tersanga diangggap cacat secara yuridis. 6 Status tersangka yang dijadikan sebagai objek dalam praperadilan menjadi masalah baru untuk masyarakat Indonesia, mengingat bahwa objek praperadilan dalam Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya mengenai penangkapan atau penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan ganti kerugian atau rehabilitas. Kasus diatas semakin menguatkan paradigma masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

6 Fathiyah Wardah, Sidang Praperadilan Komjen Budi Gunawan Digelar,

(55)

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dianalisis oleh penulis adalah :

1. Bagaimana pengaturan tentang praperadilan atas status tersangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ?

2. Bagaimana akibat hukum putusan praperadilan atas status tersangka menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia ?

Maksud Dan Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan penelitian berdasarkan permasalah yang telah dipaparkan diatas yaitu :

1. Mengetahui pengaturan tentang praperadilan atas status tersangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

2. Mengetahui akibat hukum putusan praperadilan atas status tersangka menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut :

(56)

2. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi dalam membuat penelitian lebih lanjut, dan penegak hukum dalam instansi terkait dengan penyusunan peraturan perundang-udangan dan penegakkan hukum pidana khususnya tentang praperadilan.

Kerangka Pemikiran

Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke tiga mengharuskan segala sesuatu baik tindakan ataupun aktifitas negara berdasarkan pada hukum tak terkecuali dalam proses peradilan sebagai upaya penegakan hukum. Menurut Aristoteles negara diperintah bukan oleh manusia, melainkan oleh fikiran yang adil. Dalam sejarah ketatanegaraan dikenal dua macam negara hukum yaitu:7

1. Negara hukum dalam arti sempit adalah negara polisi, yaitu negara hanya berusaha menegakkan hukum;

2. Negara hukum modern (welfare state), yaitu negara hukum yang selain berusaha menegakkan hukum, juga memperhatikan dan berusaha mensejahterakan rakyat.

Dalam simposium tahun 1966 di Jakarta, Indonesia menetapkan bahwa negara hukum adalah negara yang alat perlengkapannya bertindak hanya terikat pada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu atau sesuai dengan hukum yang berlaku (rule of law). Ciri-ciri negara hukum adalah :8

Referensi

Dokumen terkait

khususnya pelajaran matematika. Demikian juga halnya dengan penelitian yang ada, belum banyak penelitian yang membahas mengenai penerapan strategi pembelajaran

Dalam kitab-kitab fiqh klasik, harta gono-gini atau harta bersama diarikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau

Membantu Kepala Sekolah dalam mengembangkan rencana dan kegiatan lanjutan yang berhubungan dengan pelaksanaaan kepada masyarakat sebagai akibat dari komunikasi

[r]

Dari hasil analisis dan pengujian yang dilakukan menggunakan metode Webqual 4.0 diperoleh hasil bahwa dari 100 responden rata-rata pengguna merasa puas dengan

Berdasarkan proses pembangunan sistem yang telah dilakukan dalam artikel ini maka dapat disimpulkan bahwa: Hasil pengujian Gabor Filter dalam mendeskripsikan fitur wajah

Rancangan aplikasi web ini diharapkan akan lebih memperluas informasi dan mengenalkan website permohonan cuti pegawai melalui media komputer secara interaktif, sehingga

Studies at the University of Reading (UK) compared silage quality, feed intake and digestibility of maize silage with maize±sun¯ower (MS), maize±kale (MK) and maize±runner bean