• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM HAK ASASI MANUSIA PELANGGARAN HAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM HAK ASASI MANUSIA PELANGGARAN HAK"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM HAK ASASI MANUSIA

PELANGGARAN HAK PEREMPUAN dalam KASUS

PERDAGANGAN PEREMPUAN

Disusun Oleh:

Yola Maulin Peryogawati

(110110140192)

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.1 Berdasarkan definisi tersebut,

terdapat frasa “yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa” yang berarti HAM melekat tidak hanya pada setiap pria akan tetapi melekat juga pada wanita.

Dewasa ini, isu-isu mengenai diskriminasi terhadap perempuan dibidang politik dan pemerintahan, pendidikan, dan ketenagakerjaan masih marak terjadi, tidak hanya di Indonesia akan tetapi terjadi juga di negara-negara lain di dunia. Meskipun pada tahun 1984 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, diskriminasi terhadap wanita masih sering terjadi. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sudah sepatutnya perempuan mendapat perlakuan yang sama dengan pria. Emansipasi wanita yang dipelopori oleh R.A. Kartini seakan-akan tidak ada maknanya. Selain diskriminasi terhadap perempuan, perempuan-perempuan di seluruh dunia sering sekali mengalami kekerasan. Isu ini menjadi perhatian bagi masyarakat internasional sehingga pada tahun 1994 dibuatlah Declaration on The Elemination of All Forms Violence Against Women.

Selain isu mengenai diskriminasi dan kekerasan terhadap wanita, terdapat isu mengenai perdagangan manusia yang dianggap sangatlah memprihatinkan. Dengan adanya ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children. Telah membuktikan bahwa perdagangan manusia, terutama

1 Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

(3)

wanita dan anak-anak, masih marak terjadi di wilayah Asia Tenggara. Dan dengan adanya Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, telah menunjukkan komitmen negara melalui pemerintahnya untuk memberantas hal tersebut. Meskipun begitu, perdagangan manusia masih marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia, terutama terhadap wanita. Sehingga timbul pertanyaan, Apakah negara melalui pemerintahnya benar-benar serius dalam menangani hal ini? Bagaimana usaha pemerintah dalam menangani hal tersebut?

B. Rumusan Masalah

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Macam-Macam Hak Perempuan

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.2 Sehingga HAM melekat

tidak hanya pada setiap pria akan tetapi melekat juga pada wanita. Dan oleh karena itu hak-hak asasi manusia yang diatur oleh undang-undang HAM dan UUD 1945 sudah pasti berlaku bagi wanita.

Adapun macam-macam Hak Perempuan adalah sebagai berikut: 1. Hak-hak wanita dalam di bidang politik dan pemerintahan;

Diatur dalam Pasal 46 UUHAM dan Pasal 7 Undang-Undang No. 2 tahun 2008.

2. Hak-Hak Wanita di Bidang Kewarganegaraan; Diatur dalam Pasal 47 UUHAM

3. Hak-Hak Wanita di Bidang Pendidikan dan Pengajaran;

Diatur dalam Pasal 48 UUHAM dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. 4. Hak Wanita di Bidang Ketenagakerjaan;

Diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

5. Hak Wanita di Bidang Kesehatan;

Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) UUHAM dan Pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.

6. Hak Wanita untuk Melakukan Perbuatan Hukum; Diatur dalam Pasal 50 UUHAM.

7. Hak Wanita Dalam Ikatan / Putusnya Perkawinan;

(5)

Diatur dalam Pasal 51 UUHAM.

Selain daripada itu, dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga diatur mengenai hak asasi manusia dan bahkan terdapat bagian khusus mengenai hak perempuan dalam BAB III bagian 9 (kesembilan), adapun hak-hak manusia dan hak perempuan adalah sebagai berikut:3

1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. (2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. (3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. (Pasal 3)

2. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. (Pasal 4)

3. Hak untuk Hidup (Pasal 9)

4. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan (Pasal 10) 5. Hak Mengembangkan Diri (Pasal 11 – 16 )

6. Hak untuk Memperoleh Keadilan (Pasal 17 – 19 ) 7. Hak Atas Kebebasan Pribadi (Pasal 20 – 27) 8. Hak Atas Rasa Nyaman (Pasal 28 – 35 ) 9. Hak Atas Kesejahteraan (Pasal 36 – 42)

10. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (Pasal 43 dan 44) 11. Hak Wanita (Pasal 45 – 51)

(6)

a. Pasal 45: Hak Wanita dalam Undang-Undang ini adalah Hak Asasi Manusia.

b. Pasal 46: Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

c. Pasal 47: Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.

d. Pasal 48: Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

e. Pasal 49: (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.

f. Pasal 50: Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.

(7)

seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. (3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, Prof. DR. Komariah Emong Supardjaja,SH dalam laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak perempuan mengatakan ada 3 materi pokok dalam Kompilasi HAM Perempuan, yaitu4 :

Pertama, Convention on The Political Rights of Women (UN 1952) yang telah diratifikasi oleh RI dengan UU No.68 Tahun 1958 tentang : Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita (Memori Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 1653), dan disetujui DPR dalam rapat pleno terbuka ke-82 tanggal 30 Juni 1958, hari Senin P 336/1958. Di dalam pasal 2 UU No.68/1958 tersebut berbunyi : “Kalimat terakhir Pasal VII dan Pasal X seluruhnya konsepsi hak-hak politik kaum wanita dianggap sebagai tidak berlaku bagi Indonesia dan direservasi oleh Indonesia”.5

Kedua, Convention on The Elimination of Discrimination of All Forms of Discrimination Against Women (UN 1979) ... Disahkannya Konvensi CEDAW, pada tanggal 24 Juli 1984 dengan UU No.7 Tahun 1984.Dalam UU No.7 Tahun 1984, Indonesia mereservasi pasal 29 ayat 1 tentang : Penyelesaian Perselisihan mengenai Penafsiran atau Penerapan Konvensi. Dalam salah satu pertimbangan pada pembentukan Konvensi CEDAW bahwa : memperhatikan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), HAM menegaskan asas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan

4 Komariah Emong Supardjaja [et.all], “Laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak

Perempuan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 2006.

(8)

sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.

Konvensi CEDAW adalah salah satu perangkat hukum internasional yang bertujuan untuk melindungi hak asasi kaum perempuan, yang kenyataannya sifat kemanusiaan mereka belum menjamin akan pelaksanaan hak-haknya atau karena ia seorang perempuan. Mukadimah Konvensi CEDAW menyatakan bahwa: walaupun ada perangkat-perangkat lain, perempuan tetap tidak memiliki hak yang sama seperti laki-laki. Diskriminasi tetap berlangsung dalam masyarakat. Jadi Konvensi CEDAW merupakan perangkat internasional yang dirancang untuk memerangi kelangsungan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang tetap berlangsung sepanjang kehidupan perempuan (bidang hukum).6 ...

Issue Gender dalam pembangungan dimasukkan dalam agenda sebagai upaya untuk meningkatkan kedudukan dan peran perempuan sebagai mitra sejajar lakilaki atau untuk pencapaian kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan pada tingkat dunia. KTT yang perlu disoroti berkaitan dengan HAM adalah Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina Tahun 1993, yang dalam paragraf operatifnya menyebutkan bahwa: ”HAM dari perempuan dan anak perempuan adalah bagian dari HAM yang tidak dapat dicabut, integral dan tidak dapat dipisahkan”. Keprihatinan PBB akan peran dan kedudukan perempuan di dunia dalam proses globalisasi berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada seperti yang dijelaskan di atas, mendorong PBB berinisiatif untuk mengadakan Sidang Khusus Majelis Umum PBB tentang: ”Women 2000 : Gender Equality, Development and Peace for the Twenty First Century” di New York (4-9 Juni 2000). Tujuan dari penyelenggaraan seminar tersebut adalah untuk menyamakan persepsi di

(9)

antara negara-negara di dunia tentang pengertian dan pemahaman yang meliputi:7

a. Saling keterkaitan antara issu-issu yang dibahas maupun rekomendasi yang dihasilkan oleh berbagai KTT.

b. Dampaknya dalam proses demokrasi, transformasi dan Good Govermance di tingkat nasional.

c. Terbentuknya mekanisme koordinasi pada tingkat nasional yang menghasilkan kinerja untuk suatu pelaksanaan akuntabilitas publik.

Rumusan materi yang melandasi semua butir-butir yang terkandung dalam pasal-pasal Konvensi dapat dilihat dalam pasal 1 yang memberikan pengertian tentang diskriminasi. Dengan diskriminasi terhadap wanita dimaksudkan setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan. Untuk mengurangi, menghapuskan pengkuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita terlepas dari status perkawiman mereka atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Beberapa pasal dari Konvensi CEDAW yang merupakan substansi pokok adalah pasal 2 sampai dengan pasal 16 yang mewajibkan negara peserta, untuk:8

1. Mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya (Pasal 2).

2. Menjalankan semua upaya yang tepat, termasuk pembuatan UU berkenaan dengan semua bidang kehidupan, terutama bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya (Pasal 3).

3. Mengakselerasi persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan dan apabila persamaan telah tercapai, maka tindakan tersebut dihapuskan/affirmative action (Pasal 4).

4. Mengupayakan untuk merubah pola-pola tingkah laku pria dan wanita dengan tujuan supaya terhapus semua prasangka dan kebiasaan serta

(10)

praktek-praktek lainnya yang didasarkan pada ide tentang inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau pada anggapan-anggapan streotip pokok tentang peranan pria dan wanita (Pasal 5a).

5. Menjamin bahwa dalam pendidikan keluarga haruslah tercakup pemahaman yang tepat dari kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan mengenai asuhan dan perkembangan anak sebagai tanggung jawab bersama pria dan wanita dengan pengertian bahwa dalam semuanya kepentingan anaklah yang merupakan pertimbangan utama (Pasal 5b).

6. Mengupayakan untuk pembuatan undang-undang yang memberantas semua perdagangan wanita (Pasal 6).

7. Menjalankan semua upaya untuk meniadakan diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan publik (Pasal 7).

8. Menjalankan upaya semua wanita berkesempatan mewakili pemerintah dan bekerja dalam organisasi internasional tanpa diskriminasi (Pasal 8). 9. Khusus memuat ketentuan-ketentuan mengenai kewarganegaraan dalam

kaitan dengan perkawinan (Pasal 9).

10. Menjamin bahwa pria dan wanita diberikan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan (Pasal 10).

11. Meniadakan diskriminasi di bidang pekerjaan (Pasal 11). 12. Memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 12).

13. Mengadakan upaya supaya menghapuskan diskriminasi dalam bidang ekonomi (Pasal 13).

14. Memberikan perhatian pada masalah-masalah wanita pedesaan (Pasal 14)

15. Memperoleh persamaan dengan pria di depan hukum (Pasal 15).

16. Menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan-hubungan dalam keluarga (Pasal 16).

(11)

menentukan tentang perselisihan antara dua atau lebih negara peserta mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi. Larangan diskriminasi yang spesifik menjadi substansi CEDAW adalah hak politik, perkawinan dan keluarga serta pekerjaan.

UU No.7 Tahun 1984 yang merupakan aturan yang mengesahkan berlakunya Konvensi CEDAW tidak dapat secara langsung diimplementasikan, pengaturan secara langsung tersebar dalam peraturan perundang-undangan nasional, baik merevisi UU yang telah ada seperti UU Perkawinan, KUHP, KUHAP, UU Ketenagakerjaan, UU Pemilihan Umum, UU Partai Politik, UU Pendidikan, UU Kewarganegaraan, UU Kesehatan, UU Usaha Kecil dan Menengah dan membentuk UU yang belum ada pengaturannya seperti UU Perlindungan Anak UU No.23 Tahun 2002 dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No.23 Tahun 2004) serta serangkaian UU lainnya yang meliputi pengaturan tentang semua kehidupan manusia. Namun yang perlu dicermati dan ditindaklanjuti terhadap UU yang telah berlaku adalah, apakah semua UU tersebut memihak kepada kepentingan salah satu jenis kelamin saja (bias gender). Yang urgen untuk melindungi korban perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak seperti yang diamanatkan Konvensi CEDAW (pasal 6)

(12)

kesempatan kerja dan hak untuk tidak mengalami penganiayaan, kekejaman, hak untuk mendapatkan kesamaan dalam keluarga. Seks dan kesehatan reproduksi perempuan merupakan bagian dari diskriminasi berbasis gender, dimana salah satu strategi utama untuk meningkatkan kesehatan seks dan reproduksi perempuan adalah memberikan kepada mereka akses pelayanan yang komprehensif termasuk metode kontrasepsi, aborsi aman, masa perawatan kehamilan dan kelahiran.9

Diskriminasi berbasis gender yang melanggar HAM perempuan, dalam berbagai bentuk KTP, seperti yang disebut dalam pasal 3 Deklarasi, diperlukan suatu upaya untuk memberdayakan perempuan. Pemberdayaan perempuan diperlukan melalui satu kerangka kerja dalam Issue Gender dan Pembangunan. Kompilasi HAM khusus untuk perempuan yang diadopsi dalam hukum nasional masing-masing Negara peserta adalah semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan yang mempunyai kedudukan yang rentan untuk mendapat perlakuan diskriminatif, jadi bukanlah hal yang diskriminatif. Hal tersebut sesuai dengan pasal 4 (1), Konvensi CEDAW (affirmative action) yang berbunyi :

‘Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-negara peserta yang ditujukan untuk mempercepat persamaan defakto antara pria dan wanita, tidak dianggap diskriminasi seperti ditegaskan dalam Konvensi yang sekarang ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturan ini dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai”.

Sehubungan dengan perangkat hukum internasional tentang HAM yang telah diratifikasi Indonesia, seperti yang telah disebutkan diatas, Indonesia wajib melaksanakannya. Jauh sebelum adanya DUHAM, Konvensi, Kovenan serta perangkat hukum internasional lannya, Indonesia telah berikrar dalam pembentukan UUD yaitu dalam Preambule (Pembukaan) : “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala

(13)

bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

(14)

kita seyogyanya tidak mendiskriminasikan perempuan. Hak-hak politik, perkawinan, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan dan hak dibidang hukum, diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 (UU HAM), yaitu :10

Pasal 46 : Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

Pasal 47 : Seorang wanita yang menikah dengan seseorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.

Pasal 48 : Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Pasal 49 : (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Pasal 50 : Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya. .

Pasal 51 : (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. (2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. (3)

(15)

Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kesehatan Hak Reproduksi Dan Kesehatan Reproduksi Sebagai Hak Asasi Perempuan

1. UUD 1945

2. UU No.39/1999 tentang “Hak Asasi Manusia” 3. UU No.23/1992 tentang ”Kesehatan”

Dari ketiga undang-undang yang disebutkan di atas hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi telah diakui sebagai hak asasi manusia, khususnya hak asasi kaum perempuan. Pemikiran mengenai hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi sebenarnya bukan hal yang baru. Hak-hak tersebut dilahirkan dari integrasi berbagai hak dasar manusia yang diakui secara internasional, dan secara khusus dari berbagai jaminan lain dari hak-hak sosial, seperti hak akan kesehatan.

(16)
(17)

BAB III PEMBAHASAN

A. Kasus Pelanggaran Hak Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Barat selama ini selalu menjadi persoalan yang sangat krusial. Hal ini dikarenakan, Jawa Barat merupakan salah satu provinsi terbanyak terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.11 Direktur RESIC (Research of Environment and Self

Independent Capacity), Neng Hannah Hakim menyatakan bahwa penyebab utama dari masalah tersebut adalah tingkat perekonomian korban trafficking

yang cenderung rendah. Lebih lanjut ia mengatakan, terjadinya trafficking yang kian marak terjadi diantaranya diakibatkan oleh adanya kemiskinan, pendidikan rendah, pernikahan dini yang diakhiri dengan perceraian, dan budaya yang telah mengakar pada masyarakat kita yang menganggap bahwa anak perempuan merupakan aset keluarga.12

Berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat, selama tahun 2010 hingga tahun 2014 kasus

trafficking yang ditanganinya sejumlah 242 kasus.13 Salah satu kasus tersebut

adalah trafficking yang terjadi di Palembang, Sumatera Selatan pada tahun 2010 dimana sebagian besar para korbannya adalah warga yang berasal dari Jawa Barat. Terungkapnya kasus perdagangan perempuan ini berawal dari adanya laporan dari ketiga korban yang diterima Polisi Palembang, menyatakan bahwa mereka dijual dan disekap di sebuah kafe selama kurang lebih 2 (dua) bulan oleh germo yang juga merupakan pengelola kafe tersebut, bernama Andi. Ketiga korban tersebut menceritakan bahwa, mereka berangkat dari Bandung pada

11 Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat. “Case

Conference Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jawa Barat”.

<http://p2tp2ajabar.org/case-conference-pemberdayaan-perempuan-dan-perlindungan-anak-di-jawa-barat/>. [24/11/2016].

12 Iqbal Tawakal. “Korban Perdagangan Wanita Terbanyak dari Jawa Barat”. <https://m.tempo.co/

read/news/2014/12/27/058631158/korban-perdagangan-wanita-terbanyak-dari-jawa-barat>. [24/11/2016].

(18)

tanggal 09 April 2010 dan sampai di Palembang pada tanggal 10 April 2010. Kemudian, pada tanggal 12 April mereka mulai disuruh oleh sang germo untuk bekerja melayani tamu-tamu pria berhidung belang padahal sebelumnya mereka dijanjikan akan bekerja untuk melayani tamu yang hanya minum bir. Selama penyekapan berlangsung, ketika pergi kemana pun para korban selalu diberikan kawalan yang cukup ketat oleh sang germo. Sudah beberapa kali para korban mencoba untuk kabur, akan tetapi tidak berhasil dikarenakan ketahuan oleh para pengawal tersebut.14

Menindaklanjuti laporan yang diberikan oleh ketiga korban tersebut, Tim Judisila Polda Sumatera Selatan, Pimpinan Kompol Suwandi P SIk dibantu oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Pimpinan AKP Rusdiani Sik langsung melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Hasil dari penyelidikan yang telah dilakukan, didapat bahwa sejumlah 12 Pekerja Seks Komersial (PSK), Andi (germo), dan seorang kasir kafe diamankan ke Mapolda Sumatera Selatan untuk dilakukan pengusutan kasus lebih lanjut. Dirreskrim Polda Sumatera Selatan Kombes Pol Drs. Raja Haryono, S.H., M.Hum, melalui Kasatpidum AKBP Erwin Rachmat SIK, menyatakan bahwa ia akan meminta keterangan para korban yang saat ini dijadikan saksi dalam kasus ini. Lebih lanjut ia menyatakan, siapa pun yang terlibat dalam kasus perdagangan perempuan ini akan di proses sesuai dengan hukum yang berlaku dan pihak kepolisian akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait, termasuk diantaranya Dinas Sosial Sumatera Selatan.15

B. Pelanggaran Hak yang Terkandung dalam Kasus Perdagangan Perempuan

Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu isu yang harus dihadapi dan ditangani dengan serius oleh Pemerintah Indonesia, terkait dengan adanya laporan investigasi Internasional yang menempatkan negara Republik

14 Info Sketsa. “Sindikat Kasus Perdagangan Perempuan di Palembang”.

<http://www.infosketsa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3091%3Apolisi-

membongkar-sindikat-perdagangan-perempuan-di-palembang&catid=41%3Aberita-headline&Itemid=1>. [24/11/2016].

(19)

Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai tingkat kepedulian dan upaya penanggulangan yang rendah terhadap kasus perdagangan perempuan dan anak. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara sebagai sumber terjadinya perdagangan perempuan dan anak yang cukup tinggi baik untuk kepentingan dalam negeri maupun luar negeri. Meningkatnya jumlah keluarga miskin dan angka putus sekolah di berbagai tingkat pendidikan, menurunnya kesempatan kerja dan maraknya konflik sosial di berbagai daerah yang muncul sebagai dampak krisis sangat berpotensi dalam mendorong timbulnya pergangan perempuan dan anak. Hal ini dapat diperparah oleh adanya kenyataan melemahnya peranan lembaga keluarga dan solidaritas antar warga masyarakat untuk melaksanakan fungsi pemenuhan kebutuhan di bidang ekonomi, sosial, dan psikologis sekaligus sebagai kontrol terhadap para anggotanya.16

Meskipun Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, akan tetapi kiranya penerapan penegakan hukum belum cukup efektif dalam rangka memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran. Dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia, tentu saja isu perdagangan perempuan dan anak merupakan sebuah pelanggaran dan kejahatan terhadap manusia. Perdagangan perempuan dapat menghambat pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) mengingat dampak sosial dan psikologis yang dialami para korban dapat menghalangi mereka untuk berfungsi secara sosial, memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan melanjutkan proses regenerasi yang berkualitas. Selain itu, perdagangan perempuan juga berpotensi untuk melemahkan nilai-nilai sosial positif dalam masyarakat yang pada akhirnya akan dapat menimbulkan berbagai macam kerawanan sosial.17

Adapun pelanggaran hak yang terkandung dalam kasus perdagangan perempuan diantaranya adalah sebagai berikut:

16 Komariah Emong Sapardjaja, “Trafficking Perempuan dan Anak di Jawa Barat: Studi Kasus di

Kabupaten Bandung, Indramayu, dan Karawang”, Sosiohumaniora, Nomor 2 Volume 5, hlm. 132 (2003).

(20)

1. Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu.”;18

2. Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.”;19

3. Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”;20

4. Pasal 23 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.”;21

5. Pasal 23 ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.”;22

6. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”;23

7. Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”;24

18 Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 19 Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 20 Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

21 Pasal 23 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 22 Pasal 23 ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

(21)

8. Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”;25

9. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”;26

10. Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”;27

11. Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”;28

12. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”;29

13. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak,

25 Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 26 Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 27 Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 28 Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

29 Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

(22)

perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.”;30

14. Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.”;31

15. Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.”;32

16. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib.”;34

18. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa,

30 Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia.

31 Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia.

32 Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia.

33 Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

34 Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

(23)

“setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana”;35

C. Upaya Pemerintah dalam Kasus Perdagangan Perempuan

Pemerintah memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu dalam melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi.

Sebenarnya, komitmen Pemerintah untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang telah sangat kuat dan larangan praktik perdagangan orang sudah diatur dalam produk hukum nasional. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke-4, Pancasila, sila kedua yaitu: “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,” menunjukkan bahwa perbudakan tidak dimungkinkan, apalagi berdasarkan pasal 28 (1) negara menjamin “hak untuk tidak diperbudak” (amandemen Ke-2, tanggal 18 Agustus 2000). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 297: “perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Meskipun pada kenyataannya korban

35 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang

(24)

perdagangan orang tidak hanya perempuan dan laki-laki yang belum dewasa, melainkan orang-orang yang berada dalam posisi rentan, baik perempuan, laki laki, dewasa, dan anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 ini juga memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang.

Sikap Pemerintah RI untuk memerangi perdagangan orang dipertegas dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), serta diundangkannya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada tahun 2007.

Selain beberapa produk Undang-Undang di atas, masih ada lagi beberapa produk Undang-Undang yang memperlihatkan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencegah dan menanggulangi perdagangan perempuan. Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala Kepolisian Negara RI (Oktober 2002) mengenai Pelayanan Terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjalin kerjasama lintas sektoral yang sinergis, terpadu, dan terkoordinasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, termasuk menyediakan anggaran yang memadai. Terkait dengan hal ini, Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

(25)

Sementara itu, penindakan hukum kepada pelaku perdagangan perempuan, sesuai dengan kewenangannya diselenggarakan oleh yang berwajib (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan), akan tetapi mengingat perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-diam, kepada masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan dan LSM, disosialisasikan agar ikut berpartisipasi aktif dalam mengungkap kejahatan ini dengan cara memberikan informasi kepada yang berwenang jika melihat, menyaksikan atau mengindikasi adanya kegiatan perdagangan orang atau hal-hal yang dapat diduga menjurus kepada terjadinya kejahatan itu. Pihak Kepolisian di seluruh wilayah telah membuka hotline yang dapat diakses oleh masyarakat yang ingin melaporkan adanya tindak kejahatan, dan pihak Kepolisian akan segera menanggapi dan menindaklanjuti informasi yang diberikan.

Dalam menilai usaha-usaha pemerintah dalam memberantasnya, selain kita harus menyoroti beberapa tindakan, yakni prosecution, protection dan

prevention (penuntutan, perlindungan dan pencegahan), juga harus mengiringinya dengan suatu pendekatan yang terpusat pada korban perdagangan perempuan yakni rescue, removal dan reintegration (penyelamatan, pemindahan, dan reintegrasi). Strategi anti perdagangan manusia yang efektif, dengan demikian, harus mencakup tiga aspek perdagangan: segi persediaan, para pelaku perdagangan, dan segi permintaan.

Dari aspek persediaan, memerangi kondisi-kondisi yang memicu perdagangan harus diarahkan pada program-program yang mendidik masyarakat untuk waspada akan bahaya perdagangan, memperbaiki kesempatan pendidikan dan sistem sekolah, menciptakan kesempatan ekonomis, mempromosikan persamaan hak, mendidik masyarakat yang menjadi sasaran mengenai hak-hak hukum mereka dan menciptakan kesempatan hidup yang lebih baik dan lebih luas.

(26)

mereka yang membantu dan bersekongkol dengannya; dan memerangi korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memfasilitasi dan mengambil keuntungan dari perdagangan manusia, yang mengikis peranan hukum.

Dari aspek permintaan, program-program pelaksanaan hukum harus difokuskan pada upaya-upaya mengenali dan kemudian menuntut secara hukum orang-orang yang melakukan perdagangan perempuan serta juga mengeksploitasinya. Nama para majikan kerja paksa dan para pelaku eksploitasi terhadap korban yang diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual harus disebutkan dan dibuat malu. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat harus dilakukan di negara-negara tujuan untuk membuat perdagangan semakin sulit disembunyikan atau diacuhkan. Masyarakat harus ditarik dari situasi perbudakan dan dikembalikan ke keluarga dan masyarakatnya.

Harus ada koordinasi antara program-program lokal, nasional dan regional untuk melawan perdagangan manusia. Dengan mengambil perhatian publik mengenai masalah tersebut, pemerintah dapat meningkatkan alokasi dana untuk memerangi perdagangan manusia, memperbaki pemahaman terhadap masalah, dan meningkatkan kemampuan mereka membangun strategi-strategi yang efektif. Koordinasi dan kerjasama baik secara nasional, bilateral atau regional akan memperkuat usaha-usaha negara dalam merekrut sukarelawan untuk memerangi perdagangan manusia. Standar-standar internasional harus diserasikan dan bangsa-bangsa harus bekerjasama secara lebih dekat untuk menolak perlindungan hukum bagi para pelaku perdagangan.

(27)

Strategi anti perdagangan harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa strateginya masih tetap inovatif dan efektif. Akhirnya, para pejabat pemerintah harus dilatih mengenai teknik-teknik anti perdagangan manusia, dan jalur-jalur perdagangan harus secara statistik dicermati untuk menjelaskan sifat dan seriusnya serta besarnya masalah sehingga dapat dipahami secara lebih baik.

Semua upaya-upaya di atas menuntut adanya langkah-langkah yang terencana dan konsisten antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah bahkan melibatkan jaringan luas baik dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional. Oleh karena itu dalam Peraturan Daerah dikembangkan pula kerjasama antara provinsi ataupun kabupaten/kota di Indonesia, kemitraan dengan dunia usaha dan berbagai elemen masyarakat sebagai upaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang dan membangun berbagai jejaring dengan berbagai elemen masyarakat.

Peraturan daerah tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan orang lebih menekankan pada upaya untuk melakukan pencegahan perdagangan orang daripada upaya represif terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang karena pengaturan mengenai tindakan represif telah diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan orang dan dengan dimaksimalkannya upaya pencegahan terhadap perdagangan orang diharapkan dapat menekan seminimal mungkin korban perdagangan orang.

(28)

membangun jejaring dengan berbagai pihak terkait (LSM, penegak hukum) dan membuka akses pengaduan terhadap adanya tindak pidana perdagangan orang.

Berdasarkan berbagai data tentang profil korban perdagangan perempuan terungkap bahwa perempuan dan anak korban perdagangan orang serta mereka yang beresiko, pada umumnya berasal dari keluarga miskin, kurang pendidikan, kurang informasi dan berada pada kondisi sosial budaya yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Oleh sebab itu kebijakan pencegahan perdagangan orang haruslah ditekankan pada upaya untuk meningkatkan pendidikan dan perekonomian di daerah, selain dilakukan pula upaya pemberdayaan dan penyadaran kepada masyarakat mengenai nilai-nilai keagamaan, moral, kemanusiaan dan kehidupan.

Bagi para korban perdagangan orang akan dilakukan tindakan penanganan dan rehabilitasi. Penanganan perdagangan orang akan lebih ditekankan pada upaya untuk menyelamatkan korban perdagangan korban dari tindakan eksploitasi maupun penganiayaan dan mengusahakan upaya penanganan hukum sedangkan rehabilitasi merupakan upaya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis dari korban perdagangan orang dan pemberdayaan pendidikan dan perekonomian korban agar tidak terkena korban perdagangan orang kembali.

Mengingat luasnya aspek pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang maka pelaksanaannya perlu dilakukan secara lintas sektor antara organisasi perangkat daerah yang berwenang di bidang sosial, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, dan perekonomian dengan organisasi perangkat daerah di bidang sosial sebagai leading sector dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang.

Dukungan pendanaan yang memadaipun diharapkan dapat meningkatkan kesuksesan pelaksanaan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang, oleh karena itu pendanaan terhadap upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang perlu dialokasikan dalam masing-masing anggaran organisasi perangkat daerah terkait di atas.

(29)

yakni prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap hak dan martabat manusia adalah prinsip yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia; prinsip kepastian hukum yang mementingkan penegakan tertib hukum oleh penegak hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan; prinsip proporsionalitas yang mengutamakan hak dan kewajiban baik bagi saksi, korban, pelaku maupun pemerintah; prinsip non-diskriminasi yang tidak membeda-bedakan korban akibat perdagangan orang terutama perempuan dan anak, baik mengenai substansi, proses hukum, maupun kebijakan hukum; prinsip perlindungan untuk memberikan rasa aman baik fisik, mental, maupun sosial; prinsip keadilan adalah prinsip yang memberikan perlindungan secara tidak memihak dan memberikan perlakuan yang sama, termasuk didalamnya kesetaraan gender.

Sementara itu, peningkatan jumlah dan mutu pendidikan yang didasarkan pada pembangunan pendidikan harus dilakukan secara integral oleh institusi pendidikan, pengguna, dan Pemerintah Daerah untuk mencapai kualitas sumber daya manusia yang beriman dan bertakwa, berahklak mulia, cerdas, kreatif, produktif, inovatif, mandiri, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, unggul dalam persaingan, serta mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan tuntutan kebutuhan pasar.

Pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat didasarkan pada arah pembangunan ketenagakerjaan yang bersifat multidimensi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai factor dengan pola hubungan yang kompleks. Pembangunan nilai-nilai moral dan agama didasarkan pada karakteristik masyarakat yang religius dan berbudaya melalui pendidikan agama dan dakwah serta peningkatan pengamalan ajaran agama secara menyeluruh yang meliputi akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak mulia sehingga terwujud kesalehan individual dan kesalehan social.36

36 DTP Kusumawardhani, “Pencegahan dan Penanggulangan Perdagangan Perempuan yang

(30)

D. Hasil Wawancara

Berdasarkan hasil wawancara yang telah kami laksanakan pada hari Rabu tanggal 23 November 2016 di sekitar kampus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jl. Dipatiukur No. 35 Bandung, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Empat dari delapan narasumber mengatakan bahwa perdagangan perempuan merupakan tindakan yang kejam, dua narasumber mengatakan tidak untuk perdagangan perempuan, dan narasumber lain menyatakan bahwa perdagangan perempuan merupakan hal yang mengerikan dan melanggar hukum.

Sebagian besar narasumber menyatakan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah baik dari segi fisik maupun mental sehingga perlu dilindungi dan diberikan hak secara khusus. Adapun menurut Prof. Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H., pada dasarnya hak semua orang harus dilindungi baik laki-laki maupun perempuan. Namun, perempuan seringkali dianggap lemah dan tidak berdaya. Beliau tidak setuju jika perempuan diberikan hak secara khusus karena orang-orang yang lemah secara hukum tidak selalu perempuan.

Peran pemerintah dalam rangka menanggulangi perdagangan perempuan yaitu dengan cara penguatan peraturan perundang-undangan dan meningkatkan pengawasan dalam upaya tersebut. Tidak hanya pemerintah, namun baik pemerintah maupun non pemerintah harus bekerjasama dalam penanggulangan perdagangan perempuan. Menurut Prof. Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H., pemerintah seharusnya berperan aktif dalam memerangi perdagangan perempuan. Tidak hanya dalam membuat peraturan, tetapi implementasi atau aplikasi peraturan tersebut.

(31)
(32)

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Buku

Jurnal

Komariah Emong Sapardjaja. “Trafficking Perempuan dan Anak di Jawa Barat: Studi Kasus di Kabupaten Bandung, Indramayu, dan Karawang”. Sosiohumaniora. Volume 5Nomor 2(2003).

DTP Kusumawardhani. “Pencegahan dan Penanggulangan Perdagangan Perempuan yang Berorientasi Perlindungan Korban”. Jurnal Masyarakat & Budaya. Volume 12 No. 2 (2010).

Internet

(33)

option=com_content&view=article&id=3091%3Apolisi-membongkar- sindikat-perdagangan-perempuan-di-palembang&catid=41%3Aberita-headline&Itemid=1>. [24/11/2016].

Iqbal Tawakal. “Korban Perdagangan Wanita Terbanyak dari Jawa Barat”.

<https://m.tempo.co/read/news/2014/12/27/058631158/korban-perdagangan-wanita-terbanyak-dari-jawa-barat>. [24/11/2016].

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat. “Case Conference Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jawa Barat”. <http://p2tp2ajabar.org/case-conference-pemberdayaan-perempuan-dan-perlindungan-anak-di-jawa-barat/>. [24/11/2016].

Lainnya

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelit ian dapat dilihat bahwa t erjadi kenaikan prot ein kasar yang cukup signifikan (P&lt; 0,05) pada tepung jagung fermentasi dibandingkan tepung jagung

Permasalahan yang terjadi saat ini adalah (1) dari sisi alumni, alumni tidak dapat mengetahui informasi lowongan kerja dengan segera dan informasi lowongan kerja

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subyek penelitian adalah siswa kelas XII TPHP SMK Putra Wilis Kecamatan Sendang

Setelah Nilai Akhir Lapangan diterima dari Pimpinan/Pejabat berwenang (Pembimbing Lapangan) lokasi PKL kemudian diserahkan oleh Mahasiswa kepada Dosen Pembimbing PKL untuk

Lebih dari setengah pelaku rawat informal meng- gunakan koping adaptif selama melakukan perawatan kepada klien dengan diabetes dan sebagian pelaku rawat informal

[r]

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan maka disimpulkan bahwa penerapan model problem based learning memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap

Yang artinya Sang Penakluk, yang terilhami dari sebuah nama seorang pejuang pada masa Dinasti Umayyah, Abdurrahman Addakhil.. Namun, kata Addakhil tidak cukup dikenal sehingga