Pandangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Tentang Asas Negara (Pancasila) dan Negara Islam
A. Biografi Abdurrahman Wahid
Nama Abdurrahman pada awalnya sering di imbuhi dengan nama
Addakhil. Yang artinya Sang Penakluk, yang terilhami dari sebuah nama seorang pejuang pada masa Dinasti Umayyah, Abdurrahman Addakhil. Namun, kata Addakhil tidak cukup dikenal sehingga diganti dengan nama "Wahid".
Abdurrahman Wahid, kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".1
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang pada tahun 1940. Dia adalah putra pasangan Abdul Wahid Hasyim dengan Salikha. Dari garis ayah, dia adalah cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, sedangkan dari garis ibu, dia adalah cucu Kiai Bisri Syamsuri. Dengan demikian, nasabnya dari keturunan para ulama besar dan sekaligus pendiri NU.2
Sejak tinggal di Jakarta sejak tahun 1944, KH. Wahid Hasyim dan Gus Dur memulai hidup baru dengan tradisi yang berbeda dari pesantren. Aktivitas sehari-hari banyak di sibukkan dengan menerima tamutamu, yang terdiri dari para tokoh
dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya. Tradisi ini memberikan pengalaman
tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Gagasan-gagasannya yang segar dan pikiran-pikirannya yang jauh kadang membuat masyarakat sulit mengikuti dan memahaminya. Demikian pula
prilakunya yang melampaui kelaziman membuat berbagai kalangan menghawatirkan dirinya.3
Melihat apa yang terjadi, Gus Dur tidak sekedar menjadi sosok individu seorang manusia, lebih dari itu Gus Dur telah menjadi teks dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia. Apa yang dilakukan, dibicarakan, dan dipikirkannya menjadi bahan perbincangan masyarakat diberbagai kalangan.4