• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Alam Bawah Sadar Musik dan Lant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Alam Bawah Sadar Musik dan Lant"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Faith Liberta Aieda Muhammad

Pengaruh Alam Bawah Sadar Musik dan Lantunan Dzikir dalam

Kehidupan Sufisme atau Mistisme Islam

Mendengarkan musik berarti membuka diri terhadap suatu pengaruh, kepada suatu vibrasi dari asal usul super human “yang menghasilkan suara” untuk membangkitkan gaung suara dalam diri, dari satu wilayah primordial dan untuk membangkitkan sebuah kerinduan dalam diri untuk bersatu dengan esensinya sendiri. Seperti itulah salah satu pandangan dari beberapa orang yang menggeluti dunia mistis dalam beragama. Dunia mistis islam atau dalam hal lain sering disebut dengan sufisme merupakan sebutan bagi orang-orang yang menggeluti

dunia tasawuf. Mistik sendiri berasal dari bahasa Yunani myein, “menutup mata”. Mistik telah disebut “arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.” Dalam artinya yang luas,

mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal-yang mungkin disebut kearifan,cahaya, cinta dan nihil.1

Mistik dalam ajaran Kristen disebut Illusionis, Budha disebut Dharma dan diajarkan lewat Upanishad, Hindu diajarkan melalui Bhagavad Gita sedangkan Islam disebut Tasawuf atau Sufisme. Sedangkan pengertian tasawuf sendiri, menurut Said Agil Siradj dalam ceramahnya yaitu shuf yang berarti bulu domba, sebab pada zaman dahulu orang-orang yang ahli beribadah, orang yang zuhud, mengasingkan diri di gua atau padang pasir dan orang yang banyak riyadlah, pakaian mereka menggunakan bulu domba, seperti sahabat atau muridnya Nabi Isa yang memakai baju putih disebut ha wariyyin, maka orang sufi disebut sufiyun, seperti fiil madi yang

1

Evelyn Underhill, Mysticsm; A study in the Nature and Development of Man’s Spiritual Conciusness (1911: edisi

(2)

ditambahi dua huruf menjadi khumasi, bunyinya tasha wwafa, artinya memakai bulu domba, taqammasha artinya memakai gamis, tasar wala, artinya memakai celana2

Olehnya dapat dilihat, bahwasanya tasawuf atau sufisme sebagai cara dan kegiatan beragama yang bagaimana dapat menuju serta memperoleh kesadaran tunggal. Ajaran tasawuf yang paling urgen adalah proses penyucian jiwa atau batin. Dan salah satu cara bentuk penyucian jiwa yang digunakan oleh para sufi adalah dengan musik spiritual atau dalam istilah tasawuf dikenal dengan a s-samā‘, yaitu mendengarkan musik yang indah sebagai alat purifikasi.3Hal ini juga diungkapkan oleh salah satu sufi terkemuka yaitu Dzunnun Al-misri sebagaimana dikutip oleh seorang peneliti Nicholson

“Musik adalah pengaruh surga yang mendorong hati untuk mencari Tuhan. Karenanya barang siapa yang mendengarkan (dengan baik) secara rohaniah ia tengah mendekati Tuhan.

Tetapi barang siapa mendengarkan hanya untuk sensasi, maka la termasuk orang yang tidak

beriman.”4

Dalam hal ini jelas, bahwa banyak dari sufi-sufi yang memilih jalan musik atau dalam bahasa sufi sendiri disebut As-sama untuk memperoleh kesadaran ilahiah. Sasaran ahli mistik dengan musik ini digunakan untuk terus bertahan dalam peleburannya dengan ilahi. Pengalaman ini selalu dianggap sebagai situasi bebas karunia ilahi, yang merasuki manusia, dan pengalaman ini sering disebut dengan ekstase. Dalam keadaan ekstase ini seorang sufi dapat kehilangan ingatan dan daya hilang kesadarannya.5 Sama boleh jadi bermula dengan adanya suara merdu atau bahkan suatu kata tak diengaja yang mempesona para sufi karena suara itu cocok dengan keadaan jiwanya dan dengan demikian memberikan suatu peningkatan kejiwaan. Patut diketahui bahwasanya pada abad pertengahan islam, gangguan saraf dan penyakit mental sering diobati dengan sarana music, seperti disarankan oleh Ibn Sina.6 Kemudian dari hal inilah yang

2

KH. Said Aqil Siraj, pada kuliah Tasawuf Program S2 SKI STAINU Ciganjur, Sabtu, 19 Oktober 2013 3

Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad Al-Gazāli, Hlm. 2. 4

Reynold A. Nicholson, Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridlaan Allah, terj. A. Nashir

Budiman, hlm. 63

5

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk, hlm. 226 6

(3)

menyebabkan para peneliti masa kini, memasukkan musik dan lantunan zikir sebagai cara untuk pengobatan.

Dzikir dengan Akustik merupakan sejumlah getaran suara dimana nada suara dzikir senada dengan nada musik yang bisa dijadikan terapi Audio. Pada saat lantunan murotal dzikir diputar dengan volume antara level 4 sampai dengan 5, irama teratur dan bit rate/ ketukan 60 – 80 mm fitech 220 – 800 Hz dan intensitas 60 dB selama 30 menit suara atau getaran udara diterima daun telinga. Stimulus dzikir melalui musik ini dikirim melalui akson serabut saraf ascenden menuju Neuron diReticular Activating System (RAS) atau melalui neuro transmitter yang berperan pada ARAS. Pada RAS stimulating akan disaring bermanfaat atau tidak lalu intervensi ini dikirim keatas bagian talamus, kortek cerebri. Korpus kolosum, sedangkan dikirim ke bawah menuju saraf otonom dan sistem Neuro Endokrin. Setelah musik lantunan dzikir diproses temporalis pada cortek selebri, kemudian dikirim ke kortek Asosiasi yang merupakan tempat paling tinngi dari proses berfikir daya ingat bahasa bicara bermusik dan daya pikir simbolik. Dari kortek serebri informasi yang berupa musik dzikir dikirim ke sistem limbik yang bertanggung jawab terhadap dalam pengendalian emosi, proses belajar daya ingat.

(4)

Yang kedua stimulus music lantunan dzikir akan memberikan Berkurangnya sekresi neuropeptida menyebabkan sistem saraf parasimpatis pengaruhnya di atas sistem saraf simpatis sehingga menghasilkan kondisi rileks. Keadaan ini menyebabkan penurunan pelepasan katekolamin oleh medula adrenal, sehingga terjadi penurunan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, hambatan pembuluh darah dan konsumsi oksigen oleh tubuh. Mekanisme ketiga yang berkaitan dengan penurunan neuropeptida akan me n y e b a b k a n p e n u r u n a n k a d a r kortikosteroid dan adrenal yaitu CRH dan ACTH sehingga glukosa darah menurun. 7

Penelitian ini senada dengan yang kemudian diteliti oleh Sukarni, Mardiyono dan Made desak wanten bahwa Hasil pene litian ini telah membutikan bahwa i n tervensi keperawatan mandiri melalui terapi mendengarkan dzikir pada pasien SKA mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kecemasan. Walaupun demikian intervensi mendengarkan dzikir tidak dapat disimpulkan sebagai penyebab tunggal penurunan kecemasan. Pasien SKA yang dirawat mempunyai masalah yang sangat komplek sehingga membutuhkan perawatan yang holistic dan perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan keperawatan yang mandiri disamping tindakan kolaboratif.8

Begitu pula yang terjadi dalam kalangan sufi, dimana bahwa kekhusyuan dalam zikir dan bermeditasi sehingga ia tidak merasakan sakit sama sekali ketika salah sebuah anggota badannya diamputasi, atau ia berada dalam di luar kesadarannya sama sekali sehingga tidak merasakan gigitan kala jengking atau ular berbisa.9 Menzikirkan asma Allah dalam hubungan ini amat

penting dalam Qur’an dikatakan bahwa Tuhan memiliki asma yang paling indah. Ini menjadi

dasar bagi suatu teologi nama ilahi tersendiri.10Tetapi perlu diketahui kemudian bahwasanya lantunan zikir dengan penyebutan asma Tuhan secara keliru dianggap member gawat bagi si pemakai atau orang sekelilingnya. Di segi inilah dalam zikir asma, kebijaksanaan pembimbing mistik khususnya diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid, yang bila tidak dibimbing

7

2011 Ellen Covey yang dikutip Kaheel, 2012,). Lantunan Qur'an untuk Penyembuhan.

8 Sukarni, Mardiyono, Ni made Desak Wanten “Dzikir 4T terhadap Penurunan Kecemasan pada Pasien Sindrom

Koroner Akut” Poltekes

9

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk Hlm. 265 10

(5)

dapat terkena bahaya rohani dan mental yang gawat.11 Mungkin hal ini berkaitan dengan aspek mistik yang terdapat pada suatu asma Allah, dan juga berkaitan dengan bagaimana kejiwaan sesorang, yang menjadikan dalam hal ini dibutuhkan seorang guru. Hal ini juga kemudian menjadikan sebuah tradisi dalam islam, tentang pentingnya Sanad.

Zikir dari hati mengakibatkan keakraban pelakunya yang menjadikan seakan seluruh tubuhnya terdiri atas hati. Setiap anggota tubuhnya adalah sebuah hati yang mengingat tuhan. Keadaan ini digambarkan oleh Imam Qusyairi dalam kitabnya kitab as-suluk yang memuat gambaran mengesankan tentang pengalaman dzikir yang menakjubkan. Dalam berdzikir ini sang sufi sudah melampui tidur dan istirahat. Dia hidup khusus dalam dzikir, yang tak mau ditinggalkan barang sesaat. Dalam dzikir semacam ini anggota badan ikut serta. Mula-mula anggota badan itu ikut bergerak, lalu gerakannya bertambah kuat, sehingga menjadi bunyi dan suara. Suara-suara itu melafadzkan dzikir dan dapat didengar pada seluruh tubuh sang sufi kecuali lidahnya.12

Menurut Ihwān as-Şāfa, saat mendengarkan musik yang indah atau melantunkan zikir,

maka jiwa manusia akan terangkat tinggi menjulang ke alam rūhani.13

Hal ini bukan sebuah yang terjadi di saat itu juga, tetapi dapat terjadi karena seni musik merupakan kesenian yang keindahannya dapat dinikmati melalui indera pendengaran dan telah ada sejak zaman sebelum datangnya Islam. Di Jazirah Arab, ada banyak ragam cara untuk menikmati seni musik yang indah sesuai dengan kondisi hati para penikmatnya. Bahkan tak sedikit orang banyak menikmati musik sebagai media untuk bersenang-senang dengan cara berpesta pora. Di tempat-tempat pertunjukan musik, mereka menari-nari dalam keadaan mabuk menikmati lagu-lagu yang dilantunkan oleh para pemusik yang kesemuanya adalah wanita hamba sahaya (budak). Tidak ada pemusik laki-laki atau orang merdeka, karena bagi mereka menjadi pemusik dianggap sebagai aib bagi orang merdeka dan kaum laki-laki terhormat.14

11 Ahmad Ibn Ata’illah Asy-sakandariyah, Miftah al-Falah wa Misbah al Arwah

, Beirut 12

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj Sapardi Djoko dkk, Hlm. 219 13

Alwi Shihab, Islam Inklusif, 234. 14

(6)

Inilah tradisi yang memang telah berlangsung di timur tengah secara berabad-abad. Dan perlu dibaca, bahwa tradisi sufistik telah ada pada zaman nabi, dan bahkan tradisi pembacaan syair-syair telah muncul sebelum islam masuk. Hal ini dapat diketahui dengan adanya ajang pembacaan syair di pasar ukaz, dimana hal ini kemudian termasuk kedalam ajang maskunilitas.

Kemudian dari hal ini muncul pertanyaan, apakah pendengar yang sepenuhnya terisi oleh tuhan, boleh membiarkan dirinya dirasuki oleh music atau oleh suara apapun? Bangkitnya jiwa oleh suara musik dan lantunan zikir sering kemudian diikuti oleh tubuh untuk menari-nari, menyobek baju, kadang-kadang timbul kekuatan luar biasa dari dalam dirinya yang seolah-olah ia seperti kerasukan. Inilah keadaan yang harus diperoleh sang sufi atau justru penguasaan dirinya sepenuhnyakah yang begitu mengesankan?.

Dalam sejarah sufi islam sendiri, peristiwa ini agaknya terjadi kira-kira pada tahun 900. Awal paruh abad ke-9, di Baghdad didirikan sama’ khana, yaitu rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan music dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase. Kaum ortodoks menganggap apa yang terjadi di rumah-rumah itu sangat memalukan. Mereka merasa sangat keberatan bahwa antara lain pakaian sering dirobek-robek pada sama’. Hal inilah yang kemudian ahli-ahli teori sufi khususnya membicarakan masalah itu ketika kemudian pemuda-pemuda tampan ikut serta dalam sama, dan menambah besarnya kebahagiaan rohani. 15

Pengarang-pengarang maupun penulis dari abad ke-10 dan ke-11 menulis panjang lebar

mengenai bahaya yang terdapat dalam sama’.

Tari tidak mempunyai da sar sya riat dan tasawuf……..tetapi karena gerakan yang

ditimbulkan karena ekstase dan pra ktek untuk menimbulkan eksta se menyerupai ta rian, ada

peniru-oeniru yang tidak bertanggung ja wab yang melakukan tanpa batas dan itu mereka jadikan sebagai ajaran agama…..lebih baik pemula untuk tidak diizinkan mengikuti pagelaran music agar untuk mereka tidak menjadi bejat. (H 416,430)

Kalimat terakhir ini tentunya disetujui oleh hampir semua Pembina rohani yang memimpin tarekat-tarekat moderat, karena ada kemungkinan bahwa seorang pemula hanya

15

(7)

mengalami kenikmatan indrawi dan bukan kenikmatan rohani pada waktu ia mendengarkan music atau berputar-putar sendiri.16

Tentang musik dan tarian memang tidak hanya berkisar di daerah Timur tengah, tetapi di India, Sama’ dianjurkan oleh tarekat Chisthi. Tarekat yang salah satu mursyid utamanya yaitu

Sahruwardi. Sama’ kemudian juga dikomentari oleh Sahruwardi yang selain dikenal sebagai

seorang pengikut Tasawuf juga seorang ahli filsafat, bahwa

Musik tidak membangkitkan sesuatu yang tadinya tidak ada di dalam hati. Jadi siapa

yang inti hatinya terpaut pada sesuatu yang lain di luar tuhan, oleh muik ia digerakkan kea rah

indera wi. Tetapi siapa yang hatinya terikat pada Tuhan, oleh music didoong untuk melakukan

kehendak-Nya. Yang palsu disapu oleh cadar kedirian, dan yang bena r ditutup oleh cadar

kebatinan. Cadar kedirian adalah cada r dunia wi yang kelam dan cadar kebatinan adalah cadar

kebatinan adalah cadar surga wi yang penuh keca hayaan.

Khalayak umum mendengarkan msik sesuai dengan wataknya dan pa ra pemula

mendengarkan dengan gairah dan takjub, sedangkan para wali memperoleh bayangan tentang

karunia dan anugrah ilahi karena mendengarkan musik. Mereka adalah para arif, dan bagi mereka mendengarkan berarti renungn. Tetapi akhirnya ada pula ‘mendengarkan’ bagi mereka yang telah mencapai kesada ran kesempurnaan rohani: melalui musik Tuhan menampakka n

dirinya tanpa cadar.17

Dari penjelasan diatas jelas tergambarkan bagaimana pengaruh music dalam periode sufi sendiri. Dimana Perkembangan musik dalam budaya Islam sendiri juga beragam, Ada musik yang disebut musik sufi, ada musik yang biasa ditampilkan untuk hadirin di sebuah majelis ilmu ta‘līm, ada juga musik yang menembus dunia hiburan. Dan dari gambaran di atas, ternyata dalam sejarahnya dapat disimpulkan bahwa musik dapat dipergunakan oleh manusia untuk berbagai macam tujuan. Dari tujuan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mejadikan sebagai hiburan, bermotif ekonomi, bahkan ada juga yang menggunakan musik sebagai menu untuk pemenuhan hawa nafsu belaka.18

16

Op. cit Hlm 230. 17

Margareth Smith, Readings from the mystics of Islam, London, Hlm. 100 18

(8)

Dalam menjawab permasalahan di atas, ternyata cukup beraneka ragam pendapat. Sebagian kalangan ada yang membuka telinganya lebar-lebar terhadap setiap lagu dan warna musik, dengan alasan bahwa mendengar musik itu sesuatu yang indah dan baik bagi hamba Allah dan Allah membolehkannya. Sebagian yang lain dengan nada mengharamkan. Menurut mereka musik atau lagu adalah berasal dari setan. Karena itu, ia akan menghalangi manusia untuk berżikir kepada Allah dan mengerjakan shalat. Apalagi yang didengar itu adalah suara perempuan, karena suara perempuan dengan tidak menyanyi saja adalah aurat. Ada juga kelompok muslim yang ragu untuk menentukan hukum musik. Mereka hanya mengikuti salah satu pendapat sesuai kebutuhan mereka, sehingga mereka selalu berubah-ubah pandangan terhadap hukum musik dan lagu.19

Pertentangan boleh tidaknya musik dalam dunia sufi, ternyata tidak menghalangi para sufi untuk tetap memperdengarkan musik. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa karangan sufi yang membahas tentang music. Bahkan para ulama’ yang berciri sufi, yang menghalalkan musik semakin banyak, di antaranya adalah para filosof Islam dan para tokoh spiritual Islam. Al-Kindi (filosof Islam abad 9), merupakan seorang pemikir yang pertama kali memiliki perhatian khusus mengenai musik. Ia menggunakan musik tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagi obat untuk penyakit jiwa dan raga. Al-Farābi (filosof Islam abad ke 10), pernah membuat buku tentang teori musiknya yang berjudul Kitāb al- Musīqa al-Kabīr. Ibn Sina (filosof Islam abad ke 11), dalam dua buah bukunya, yaitu asy-Syifā’ dan an-Najdāt, menulis satu bab khusus yang membicarakan tentang musik. Kemudian Ibn Bajjah (filosof Islam abad ke 12), seorang filosof Islam dari Andalusia, pernah mengarang sebuah buku tentang musik yang juga diberi judul Kitab al-Musīqa, yang menurut sejarah buku ini sangat terkenal di Barat sebagaimana Kitab al-Musīqa karangan al-Farabi yang terkenal di Timur. Sedangkan para ulama’ sufi yang membahas musik

dan menggunakannya antara lain: Abū Naşr as-Sarāj, Abd al-Kārim Ibn Hawāzīn, al-Qusyairi, al-Hujwīri, Abū Hāmid al-Gazāli, Ahmād al-Gazāli, Jalāl ad-Dīn Rūmi dan masih banyak lagi.20

Hingga kemudian hal ini diperkuat oleh seorang sufi, yang dalam kalangan sufisme terkenal dengan sebutan Grand Sufi. Dalam hal ekstase dalam sufi, Junaid mengungkapkan dalam sebuah syair yang dikutip oleh Nasr :

19

Op. cit 40-41 20

(9)

"Ekstaseku adalah ketika a ku memindah diriku da ri eksistensi melalui anugerah dari Dia yang menunjukkan padaku kehadiranan.

Dari uraian di atas, jelas bahwa antara musik dan tarian spiritual adalah sebagai bagian dan ritual ketaatan para sufi yaitu sebagai cara berdzikir kepada Allah SWT.21 Sama' ini mempunyai kekuatan yang berasal dari manifestasi Allah SWT. Karena pada awalnya, jiwa manusia bersatu dengan jiwa Universal, yaitu Allah SWT. Kemudian musik berfungsi di dalam hati untuk dirasakan, sebagai pembangkit atas jiwa yang terperangkap dalam ikatan kehidupan duniawi22.

Seorang ahli fikih pernah mengkritik Rumi karena tarian mistiknya yang dianggap menyimpang dari aturan syariat (bid’ah). Dengan cerdik, Rumi yang juga ahli fikih balik bertanya kepada pengkritiknya tadi:

“Seumpama aku tidak menemukan sesuatu yang halal untuk dimakan, sementara tubuh jasmaniku sudah sangat kritis dan akan mati kecuali dengan makan yang haram, bolehkah aku makan sesuatu yang haram tersebut? Dengan tegas sang ahli fiqh tersebut menjawab, “Boleh, dengan mengemukakan kaedah Ushul al-fiqh, al-darurah tubi’ih al-mahzurah”. Rumi kemudian

menimpali bahwa tubuh ruhaninya sangat dahaga dan akan mati jika tanpa tarian. Kalau tubuh

jasmani saja diperbolehkan untuk memakan sesuatu yang haram, bagaimana dengan tubuh

ruhani? Itupun seandainya tarian itu diha ramkan. Demikian menurut Rumi, yang baginya sama’ adalah sesuatu santapan ruhani seperti halnya zikir”.

Ibn Ajibah, seorang sufi dari tarekat Syażiliyah, merangkum ajaran-ajaran spiritual dari beberapa guru sufi dengan menggambarkan empat tingkatan yang berurutan dari sebuah pendekatan untuk mencapai ekstase dalam menggunakan as-samā‘.

1. Tawajjud (mencari ekstase). Yaitu orang yang telah bersumpah menolak dunia secara total, kemudian ia menari, bergerak ritmis dan sebagainya secara metodis, meniru tampilan

21

Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Islam Manifestasi, hlm. 609

(10)

emosi ekstase (wajd) mensimulasikan ekstase dan mengulang gerakan-gerakannya untuk merespon panggilan batin.

2. Wajd (ekstase emosi), yaitu dalam diri seseorang mendengar apa yang menimpa hati dan menguasainya secara tiba-tiba tanpa orang harus mengupayakannya, bisa berupa hasrat yang menggairahkan dan menggelisahkan, atau satu kecemasan yang menakutkan.

3. Wijdan (ekstase pertemuan). Tingkatan ini dicapai ketika seseorang telah merasakan indahnya kehadiran yang semakin lama dan sering disertai dengan mabuk dan pingsan

4. Wujūd puncak dari ritual ini, dan Ibn Ajibah mengatakan: “Ketika pertemuan ini selesai sampai rasa pingsan dan segala halangan lenyap, dan segala pengetahuan dan meditasi tersucikan, terjadilah ekstasi (wujūd).23

Dari sinilah kemudian dikatakan bahwa keadaan ekstase atau mabuk menyebabkan orang mistik tidak mengetahui apa-apa kecuali tuhan dan ketika ia melihat segala sesuatu seperti satu. Kemudian dari saat ini muncul omongan-omongan berupa syair maupun tarian-tarian sebagai perwujudan dari ekstase para sufi. Dan bagaimanapun musik memiliki banyak manfaat bagi kehidupan spiritualitas. Al Ghazali dalam kitabnya Ba wariq al-‘Ilma’ Fi al-Radd ‘Ala Man Yuharrim as-sama‘ Bi al-Ijma‘ berpendapat bahwa musik dapat menghilangkan tabir hati, serta mampu menggelorakan rasa cinta yang mendalam kepada Ilahi, sehingga mampu mengantarkan seorang sufi kederajat kesempurnaan dan menjadikannya sampai ketingkat yang tertinggi (musyahadah). Sehingga dalam hal bermusik dan berzikir di kalangan sufi, sangat bermanfaat karena sebagai penghantar kesadaran ilahi, yang mana sebagai tujuan dalam kehidupan keberagamaanya.24

23

Op. Cit ,Hlm. 607-608 24

(11)

Daftar Pustaka

Al Qardawy, Y. terj Bisri, A. F. d., 2003. Nasyid versus Musik Jahiliyah. Bandung: Mujahid Press.

Al-Qardawy, Y. :. terj. Zuhairi. Misrawy., 2000. Islam Dan Seni tari. Bandung: Pustaka Hidayah.

Ata'Illah, A. I., n.d. Miftah al-falah wa Misbah Al-Arwah. Damaskus: Beirut. Aziz, A., 2014. Tasawuf dan Seni Musik. Jurnal Tajdid, pp. 57-86.

Coyey, E. dalam Kaheel, D., 2012. Lantunan Qur'an untuk Penyembuhan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Ghazali, A. H. A.-., n.d. Al-Maqsad al asna sebagai karya Aqidah Al-ghazali. [Online] Available at:

https://www.academia.edu/27115867/AL-MAQSAD_AL-ASNA_SEBAGAI_SEBUAH_KARYA_AKIDAH_AL-GHAZALI [Accessed 2017 Juni 13].

Glasse, C. terj Masudi, G. A., 1996. Ensiklopedia islam ringkas. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muhaya, A., 2003. Bersufi melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad

Al-Ghazali. Yogyakarta: Gama Media.

Nasr, S. H. & dkk, T. S. A., 2003. Ensiklopedia tematis Spiritual Islam Manifestasi. Bandung: Mizan.

Nicholson, R. A. terj. Budiman, N., 1995. Aspek Rohaniah Peribadatan Silam di dalam Mencari Keridlaan Allah. Jakarta : 1995.

Schimmel, A., terj Djoko, Sapardi. & dkk, 2000. Dimensi Mistik Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. Shihab, A., 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan.

Smith, M., 1950. Readings From the Mystics of Islam. London: s.n. STAINU, K.H Said Aqiel., 2013. Tasa wuf. Ciganjur: s.n.

Sukarni, Mardiyono & Wanten, N. m. D., n.d. Dzikir 4T terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kepera wata n Poltekkes Kemenkes Bandung, pp. 572-580. Underhill, E., 1956. Mysticsm; A study in the Nature and Development of MAn's Spiritual

Referensi

Dokumen terkait

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari

Laboaratorium Geometri Berbasis Teori Bruner nantinya akan berisi berbagai macam media, alat peraga, dan permainan yang sesuai dengan materi geometri datar yang

Menurut Badan Pusat Statistik sesuai dengan konsep dan definisi, pengertian pendapatan keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh

Pada penelitian ini telah dilakukan analisis data dengan menggunakan tiga buah model yaitu regresi logistik, k-Nearest Neighbor dan Decision Tree (C4.5).. Kinerja

Kebiasaan Cuci Tangan Petugas Rumah Sakit dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial.. Pusat penelitian ekologi kesehatan, badan penelitian dan pengembangan kesehatan,

Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang majemuk, dalam kemajemukan tersebut yang penting diusahakan adalah bagaimana perbedaan itu dapat tetap mernpersatukan bangsa kita

Karena nilai CR lebih besar dari 1,96 menunjukkan adanya pengaruh yang positif antara kerjasama dengan efektivitas hubungan pemasaran. Dengan demikian menunjukkan

Beban pendinginan yang meliputi beban produk, beban transmisi, beban elektrikal, dan beban orang karena dianggap ada orang yang sering keluar masuka. Untuk beban – beban memakai