commit to user
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI
MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI
INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana SI dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Mahendra Surya Perdana
E 0006167
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI
MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI
INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
Oleh
Mahendra Surya Perdana NIM. E0006167
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 17 Januari 2011
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI
MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI
INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
Oleh
Mahendra Surya Perdana
NIM. E0006167
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari :Senin
Tanggal :17 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1. Prof. Dr. Supanto S.H., M.Hum :……… Ketua
2. Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H :……… Sekretaris
3. Rehnalemken Ginting S.H., M.H :……… Anggota
Mengetahui Dekan,
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Mahendra Surya Perdana
NIM : E.0006167
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG
NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN
PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 2011
Yang membuat pernyataan
Mahendra Surya Perdana
commit to user
v ABSTRAK
Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemberian hak
euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) terhadap pasien menurut Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama mengkaji tentang hak hidup yang terdapat dalam Pasal 9 dihubungkan dengan hak-hak lainnya yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self
determination), Hak atas kesehatan (the right of health care) serta hak atas
informasi (the right of information) dan perbandingan penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia dan Amerika
Penelitian ini merupakan penelitian normatif besifat preskriptif, menemukan hukum mengenai penerapan pemberian hak euthanasia, tujuan pemberian hak tersebut serta perbandingannya penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik Pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Analisis data yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis data deduktif yaitu berpangkal pada prinsip-prinsip dasar pemberian hak euthanasia terhadap pasien, kemudian peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.
commit to user
vi
dilarang, namun kemudian Belanda memunculkan peraturan perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij
zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and
assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review
Procedures) Act) tentang legalitas euthanasia, sehingga secara otomatis rumusan
Pasal tersebut didekriminalisasikan. Di Belgia, Parlemen Belgia melegalkan praktek euthanasia melalui The Belgian Act on Euthanasia dimana peraturan perundang undangannya diadopsi dari diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the
human rights and dignity of the terminally ill and the dying, dimana dalam Pasal 2
disebutkan mengakui orang yang sakit parah untuk mati bukan merupakan suatu tuntutan hukum dengan demikian praktek euthanasia di Belgia adalah hal yang legal. Di Amerika meskipun secara agresif di semua negara bagian euthanasia
adalah tindakan yang melanggar hukum, akan tetapidi negara bagian Oregon praktek euthanasia merupakan hal tidak melanggar hukum yang diatur dalam
Oregon Death with Dignity Act.
commit to user
vii ABSTRACT
Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALYSIS OF USE THE RIGHTS OF EUTHANASIA (RIGHT TO TERMINATE LIFE) BY PATIENTS BY THE ACT NUMBER 39 OF 1999 ABOUT HUMAN RIGHTS AND APPLICATION OF LAW IN INDONESIA AND OTHER COUNTRIES (NETHERLANDS, BELGIUM, AMERICAN). Law Faculty of Sebelas Maret University.
This study aims to determine the application of euthanasia rights (the right to terminate life) of patients according The Act No. 39 of 1999 about Human Rights concerning the right to life especially the review contained in Article 9 is connected with other rights such as the right of self determination, the right of health care and the right of information and comparison of the application of euthanasia in Indonesia with other countries especially Netherlands, Belgium and America.
This research is a normative prescriptive characteristic, discovered the law regarding euthanasia grant application, the purpose of granting such rights and the application of euthanasia in Indonesia in comparison with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials. The data collection technique used is bibliography study. Data analysis was performed using deductive data analysis technique that originate on the basic principles of granting the right of euthanasia on patients, and researchers presenting the object to be studied. Deductive logic using terms based on general knowledge such as theories, theorems, or principles in the form of propositions to draw conclusions on the facts that are special.
Based on the results of research and discussion of the resulting conclusions, first, there are legal norms regarding euthanasia are not clearly regulated in The Act no 39 of 1999 about Human Rights. The Act no 39 of 1999 only governs the right to life as regulated in Article 9 paragraph (1). The right to life by most of society can be interpreted as the right to determine his own life, thus determining his own life can also mean the right of freedom against itself as well as the right to end his own life. But the right to determine his own life can not stand alone without the presence of a right to information and to health Secondly, the laws and regulations of Indonesia has not got nothing to regulate euthanasia. Article 344 of the Criminal Code that the formula approach euthanasia can not work optimally because the perpetrators have never ensnare euthanasia. Indonesian laws and regulations are far behind with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. In the Netherlands, although the penal code Article 293 mentioned the prohibition to kill with its own demand is explicitly prohibited, but later the Netherlands led to the laws and regulations concerning the legality of euthanasia Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij
commit to user
viii
assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review
Procedures) Act), so that the formulation of Article these automatically
decriminalization. In Belgium, the Belgian parliament legalized euthanasia practices by The Belgian Act on Euthanasia where laws and regulations adopted by the invitation of the adoption of the European Convention on Human Rights which is a recommendation in 1418, entitled "Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying, which is mentioned in Article 2 recognizes the terminally ill to die, not a lawsuit so that the practice of euthanasia in Belgium is a legal matter. In America though aggressively in all states euthanasia is an act that is unlawful, the state of Oregon will but practice of euthanasia is not against the law set forth in the Oregon Death with Dignity Act
commit to user
ix
MOTTO
Tiga sifat manusia yang merusak adalah, kikir yang dituruti, hawa nafsu yang
diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. (Nabi Muhammad
SAW)
Jika kau ingin naik lebih tinggi gunakan kainmu sendiri! jangan buat dirimu
dibawa keatas. Jangan pula dengan menginjak bahu atau kepala orang lain!
(Frederich Nietzsche).
Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki tetapi kita
selalu menyesali apa yang belum kita capai (Schopenhauer).
Anda memperoleh kekuatan, keberanian, dan keyakinan oleh setiap pengalaman
di mana Anda benar-benar berhenti untuk melihat di wajah, Anda harus
melakukan hal yang Anda pikir Anda tidak bisa melakukan. (Eleanor Roosevelt)
Satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri. (Franklin D.
Roosevelt)
Jangan buang hari ini dengan mengkuatirkan hari esok. Gunung pun terasa datar
commit to user
x
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
- Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tak terhingga sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
- Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa mendukung kuliah, memberikan doa dan
nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang
serta kerja keras yang tak ternilai harganya
demi mewujudkan cita-citaku menjadi
seorang Sarjana Hukum.
- Adik-adikku yang selalu ada untuk membantu proses belajarku selama
menempuh dunia pendidikan.
- Teman-temanku dari TK hingga kuliah yang telah memberi warna kehidupan selama
penulis menyelesaikan studi di institusi
pendidikan.
commit to user
xi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah yang Maha pengasihy dan
Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayahn-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunanpenulisan hukum (skripsi) yang berjudul
“ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG
NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN
PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)“.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum
(skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non
materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi
dukungan dan semangat untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui
penulisan hukum.
2. Bapak Ismunarno S.H, M.Hum selaku ketua bagian Hukum Pidana yang
telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi.
3. Ibu Aminah, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang
telah membantu dalam penunjukkan dosen pembimbing skripsi.
4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum, selaku ketua PPH yang telah
menyetujui usulan judul skripsi penulis, menunjuk dosen pembimbing.
5. Bapak Rehnalemken Ginting S.H, M.H, selaku pembimbing Skripsi yang
telah memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan pengetahuan dan
pengalamannya dalam menjadi saksi ahli sehingga memberikan semangat
tersendiri bagi penulis dan mempermudah penulis untuk menyelesaikan
commit to user
xii
6. Ibu Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H, selaku pembimbing skripsi yang
juga telah banyak memberi saran untuk pengembangan skripsi penulis,
berbagi berbagai pengalaman selama menjadi dosen maupun pengalaman
saat menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta dalam hal Hukum Kesehatan.
7. Bapak Mohammad Rustamaji, S.H, M.H. selaku Pembimbing Akademik
yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah
di Fakultas Hukum UNS.
8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi
dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada
penulis yang dapat dijadikan bekal dalam penyelesaian skripsi ini serta
menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas.
9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus
prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar
proposal sampai pendaftaran ujian skripsi.
10.My best friends Loggar, Bagus, Tofan yang selalu bersama dalam suka
dan duka.
11.Septian Fatur yang selalu menemani untuk sekedar sharing tentang musik.
12.My best partner Awe, Andri. yang selalu bersama-sama dalam mencari
sesuatu yang sangat berharga walaupun hasilnya tak seberapa
13.Mahendro Adi Utomo yang selalu mencari proyek bersama-sama.
14.Temen-temenku di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum angkatan
2006 Lukman, Amel, Ita‘, Farid. Terima kasih untuk semua, semoga kita
memetik hasil kerja keras kita selama ini, amin.
15.Para pendahulu BEM Universitas Sebelas Maret, Mas Bambang, terima
kasih atas motivasinya dan masukannya.
16.Adik-adik BEM FH Wisnu, Chandra, Johan (Pak Presiden), Titis, Uki,
Radit, Mifta, Koh Seto, Hage, Beta, Adel, Adi Hostki (bikin dunia
berbeda), Havid, Dwi dan lain-lainnya yang tidak dapat disebutkan
commit to user
xiii
17.Temen-temanku seperjuangan Haris (makasih sudah jadi moderator
Seminar proposalku), Setyawan, Makrus, Budi, G-Mon, Terry, Adi Cahya
Nugraha, Erick, Didot, Juni, Agus Salim, Resa, Wasiat Eko, yang telah
melengkapi perjalanan pendidikanku, mewarnai hari-hariku selama kuliah
di FH.
18.Teman-temanku KMM di Bank Indonesia cabang Surakarta Yurista, Ade,
Erlinda, Ahimsa yang sudah mau berkerja sama selama KMM.
19.Untuk semua temen-temenku di FH UNS yang tidak bisa disebutkan satu
per satu, you’re my inspiration, tanpa kalian kuliahku selama di FH tidak
akan berwarna.
20.Untuk semua guru-guruku TK Bakti XI, SDN Cengklik I, SMP N 7
Surakarta, SMA N 5 Surakarta yang telah mengajar dan membagi
ilmunya dan mengantar penulis hingga memperoleh gelar sarjana, tanpa
mereka mungkin penulis tidak bisa meraih cita-cita.
Karya kecil ini tidak hanya penulis dedikasikan kepada setiap orang yang telah
memberi inspirasi bagi penulis tetapi juga untuk seseorang yang akan mengisi
commit to user
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii
HALAMAN PERNYATAAN... iv
ABSTRAK... v
HALAMAN MOTTO... ix
HALAMAN PERSEMBAHAN... x
KATA PENGANTAR... xi
DAFTAR ISI... xiv
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian... 7
E. Metode Penelitian... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 13
A. Kerangka Teori... 13
1. Tinjauan Tentang euthanasia...... 13
a) Pengertian euthanasia... 13
b) Kategori euthanasia...... 13
c) Macam euthanasia...... 14
2. Tinjauan tentang pasien a) Pengertian pasien... 18
b) Kewajiban pasien... 18
commit to user
xv
3. Tinjauan Tentang Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia... 20
a. Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Undang Undang Indonesia... 20
b. Pengertian Hak Asasi Manusia... 22
c. Instrumen HAM nasional... 23
d. Penerapan HAM di Indonesia... 24
4. Tinjauan Tentang pelaksanaan pidana... 25
a) Pengertian pidana... 25
b) Jenis-Jenis Sanksi Pidana... 29
B. Kerangka Pemikiran... 32
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 33
A. Norma pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia terhadap euthanasia... 34
B. Penerapan hukum euthanasia di Indonesia dengan negara Lain ( Belanda, Belgia, Amerika)... 48
BAB IV PENUTUP... 75
A. Simpulan... 75
B. Saran... 77
Daftar Pustaka... 79
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang Undang Dasar Indonesia merupakan
negara yang berdasarkan hukum. Penegasan ini sangatlah penting untuk
dipahami bahwa Indonesia mengakui kedaulatan hukum. Dengan penegasan ini
pengakuan terhadap esensial pembangunan negara Indonesia yakni kecuali
pembatasan kekuasaan dan penegakan hukum yang tidak kalah pentingnya
adalah jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM sebagai
bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya
pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan
elemen esensial konstruk pembangunan Indonesia modern.
Sebagai salah satu hasil pembangunan, yang dilaksanakan kesadaran
masyarakat tentang hak-haknya telah semakin membaik dan cara berpikirpun
menjadi semakin kritis terhadap berbagai segi kehidupan. Banyak hal yang
tadinya tidak diketahui masyarakat, kini muncul dan menjadi bahan sorotan
masyarakat. Perkembangan yang terjadi seyogyanya disambut baik oleh semua
pihak, sejauh perkembangan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan
proporsional terhadap etika , moral dan religius (Crisdiono M. Achadiat,
2006:19).
Salah satu perkembangan yang sekarang ini menjadi bahan perdebatan
adalah masalah Euthanasia. Berbagai ulasan dan tanggapan muncul, baik yang
sifatnya pro maupun yang kontra, dimana semuanya lengkap dengan
argumentasinya masing-masing. Mereka yang setuju dengan euthanasia
menekankan pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi
individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau
berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan
kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan
yang diperlukan. Mereka mengklaim adanya perbaikan teknologi kedokteran
merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup.
commit to user
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer,
berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide
tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek
kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan
instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada
kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran,
komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien
dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa
kualitas atau status moral. Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak
ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika
konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu
dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa
sakit. Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara
religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik
dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan.
Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia
dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk
menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya
perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih
mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan
menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa
mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara
umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk
hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.
Perdebatan mengenai Euthanasia memang telah diperkirakan oleh beberapa
ahli. Perdebatan atau kontroversi mengenai Euthanasia lebih terfokus pada soal
moralitas, etika, maupun hukumnya. Perkembangan mengenai teknologi
ternyata tidak diikuti dengan kemajuan hukum dan etika (Crisdiono M.
Achadiat, 2006:180).
Masalah Euthanasia merupakan masalah yang dapat menyangkut semua
commit to user
menjadikan dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Disatu
pihak teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sedangkan disisi lain,
pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga
berkembang tidak kalah pesatnya. Dengan demikian dalam dunia kedokteran
masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum
disatu pihak dengan kemampuan ilmu pengetahuam dan teknologi kedokteran
yang demikian maju dipihak lain sehingga memungkinkan untuk
mempertahankan hidup.
Sebenarnya praktek Euthanasia telah ada disekitar kita sejak lama.
Tindakan tersebut berupa penguarngan kualitas kesehatan dari rumah sakit ke
rumah tangga. Ini dikarenakan pasien tidak mampu untuk membayar biaya
rumah sakit yang tergolong mahal dan adanya anggapan bahwa pasien tidak
dapat disembuhkan kembali, sehingga keberadaannya di rumah sakit hanya
akan menambah biaya.
Jika dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang
penting untuk dikaji lebih mendalam untuk masalah euthanasia terhadap
pasien yaitu mengenai Hak kesehatan, hak hidup dan hak untuk menentukan
hidupnya sendiri.
Jika dilihat dari Hak kesehatan, mahalnya ongkos kesehatan semakin
menambah jauhnya aspek perlindungan dan pemenuhan HAM atas kesehatan.
HAM mensyaratkan individu untuk diakui memperoleh akses kesehatan
dengan cepat dan biaya terjangkau. Pemerintah berkewajiban untuk
menyediakan hal itu dengan maksimal (Majda El Muhtaj, 2008:161).
Hak hidup merupakan hak yang mendasar. Dalam UU 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 Ayat (1) disebutkan:
“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Pada HAM melekat Hak setiap manusia untuk menentukan hidupnya
sendiri tanpa adanya pengaruh dari pihak manapun (The right of self
determination). Demikian pula dalam tindakan medik , pasien mempunyai hak
commit to user
diberikan hak untuk memberikan persetujuannya terhadap tindakan medis yang
dilakukan terhadap dirinya (informed consent). Dalam hal pasien menolak
tindakan medik yang ditawarkan dokter, dokter tidak boleh memaksakan
kehendaknya, walaupun penolakan tersebut akan memberikan dampak negatif
pada kelangsungan hidup pasien.
Masalah Euthanasia di Indonesia memang belum ada satupun peraturan
perundang undangan yang mengatur secara tegas tentang euthanasia. Akan
tetapi ada Pasal dalam KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia yaitu
Pasal 344 KUHP. Akan tetapi pasal ini belum pernah menjaring satupun pelaku
euthanasia di negara ini. (Rehnalemken Ginting, 2009:2)
Dalam Pasal 344 KUHP disebutkan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang jelas dan dinyatakan dalam kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.
Ada tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana mengenai euthanasia
jika dilihat menurut Pasal 344 KUHP yaitu tentang perbuatan yang dilarang
(menghilangkan nyawa orang lain), orang yang melakukan perbuatan dilarang
(Barang siapa sehingga dapat berarti juga dokter) serta pidananya yaitu pidana
paling lama 12 tahun penjara. Akan tetapi meskipun telah memenuhi tiga
pokok permasalahan tersebut, namun kenyataanya di Indonesia sulit diterapkan
untuk menyaring Euthanasia sebagai suatu tindak pidana, karena euthanasia
yang terjadi selama ini adalah Euthanasia pasif yang dianggap sebagai suatu
resiko medik terhadap pasien (Rehnalemken Ginting, 2009:3-4).
Perkembagan euthanasia sangatlah cepat, akan tetapi permasalahannya di
Indonesia sangatlah belum ada peraturan yang secara tegas mengaturnya. Ini
menandakkan Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain seperti
Belanda, Belgia, dan Amerika yang mengatur secara tegas dalam peraturan
perundang undangannya tentang euthanasia.
Kasus tragis terjadi di negara kita, yang menimpa Sri Endah Budi Santoso,
berumur 28 tahun, ibu dari empat orang anak dari kampung gayam Surakarta.
Nyonya Endah tidak pernah sadar lagi setelah menjalani operasi steril 10
commit to user
sakit Panti Waluyo Surakarta. Empat jam setelah melahirkan, ia sepakat
menjalani operasi steril. Keganjilan muncul setelah operasi selesai ia belum
sadarkan diri. Ternyata selama pembiusan, nyonya Endah menderita
Ensofalopatia Anakosik atau gangguan otak karena kekurangan oksigen.
Keadaan demikian terjadi karena terhentinya detak jantung secara mendadak,
dan sejak itu kesadarannya menghilang. Setelah kejadian tersebut perawatan
secara medik dihentikan dan yang dilakukan terhadap Nyonya Endah hanya
perawatan biasa saja. Setelah perawatan medik tersebut di hentikan akhirnya
nyonya Endah meninggal dunia (Rehnalemken Ginting, 2009:19).
Atas pertimbangan yang telah penulis kemukakan dalam latar belakang
diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai permasalahan terhadap
pemberian Euthanasia terhadap pasien, maka dari itu penulis mengangkatnya
dalam penelitian hukum yang berjudul :
“ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DAN PERBANDINGANNYA PENERAPANNYA DI INDONESIA
DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pengumpulan data yang
tidak diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin
dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan
masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis
dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk
mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana norma hukum ketentuan euthanasia berdasarkan Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)?
2. Bagaimana penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di berbagai
commit to user
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian merupakan pernyataan operasional yang merincikan apa
yang akan diselesaikan dan dicapai dalam penelitian ini. Tujuan itu dirumuskan
sebagai upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Tujuan yang
ingin dicapai oleh penulis adalah tujuan subyektif dan obyektif yaitu :
1. Tujuan Subyektif
A. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan penulis mengenai
penggunaan hak euthanasia oleh pasien menurut UU No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan perbandingan penerapan
euthanasia di Indonesia dan di berbagai negara (Belanda, Belgia,
Amerika).
B. Untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.Tujuan Obyektif
A. Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai norma
pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
B. Untuk mengetahui penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di
berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari penelitian ini penulis berharap, agar dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari
penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil peneielitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di
bidang ilmu hukum.
b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam
pembangunan hukum nasional dibidang Pidana dan Hak Asasi
commit to user
c. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan serta pengetahuan bagi pihak yang berkompeten
dan terkait langsung dengan penelitian ini.
b. Memberikan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi peneliti
akan permasalahan yang diteliti, dan dapat dipergunakan sebagai bahan
masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat pada hal
yang sama.
c. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem berhubungan dengan
konsep dan isi ilmu, sedangkan metode berkaitan dengan aspek formal.
Tepatnya, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi
dari ilmu, sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara
totalitas ilmu tersebut dicapai atau dibangun. Suatu bidang pengetahuan
dikatakan metodis apabila cara mempelajarinya sesuai dengan rencana,
bidang-bidangnya dikerjakan secara tertentu, menyusun berbagai temuan yang logis
dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan ( Johny Ibrahim. 2005 : 27).
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penilitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka. Penelitin hukum normatif tersebut mencakup :
a. Penelitian terhadap azas-azas hukum
b. Penelitian terhadap sistematik hukum
c. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horisontal
commit to user
e. Sejarah hukum (Soerjono soekanto dan Sri mamudji, 1990 : 15)
Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Analisa
penggunaan hak euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) oleh pasien
menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
penerapan hukumnya di Indonesia dengan negara lain (Belanda, Belgia,
Amerika).
2. Sifat penelitian
Penelitian bagi ilmu pengetahuan dilakukan untuk memperoleh
suatu kebenaran ilmiah. Seorang yang melakukan penelitian dibidang
ilmu pengetahuan harus berpangkal pada prinsip-pinsip dasar
keilmuannya, kemudian ia menjumpai suatu gejala tertentu yang berupa
fakta.
Didalam penelitian ini bersifat preskriptif. Sifat analisis ini
dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang
telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan
preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah menurut hukum
terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian
normatifakan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil
temuan dari ilmu hukum atau ilmu lainnya untuk kepentingan dan
analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum
sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat
digunakan pendekatan sebagai berikut :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
b. Pendekatan konsep (conceptual approach)
c. Pendekatan komparatif
d. Pendekatan historis (historical approach)
e. Pendekatan kasus (case approach)
Cara pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
commit to user
pendekatan. Namun satu hal yang pasti dalam penelitian normatif,
digunakannya pendekatan penggunaan pendekatan perundang-undangan.
Ini dikarenakan penelitian hukum normatif didasarkan pada hukum yang
ada (Johny Ibrahim, 2005 : 301).
Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
Pendekatan perundang-undangan (Statute approach), dan pendekatan
konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan
digunakan karena dalam penelitian normatif harus menggunakan
pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus dari penlitian. Pendekatan
konsep (conceptual approach) digunakan untuk memunculkan,
objek-objek yang menarik perhatian dari sudut praktis dan sudut pengetahuan
dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu yang bersifat universal (Johny
ibrahim, 2005 : 309).
4. Sumber Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah data hukum
sekunder. Data sekunder tersebut mencakup :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
dan terdiri dari :
1. Norma (dasar) atau kaidah dasar yaitu pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
2. Peraturan dasar yang terdiri dari :
I. Batang tubuh UUD Republik Indonesia 1945
II. Ketetapan-ketetapan majelis Permusyawaratan
Rakyat
3. Peraturan perundang-undangan yang terdiri dari :
I. Undang-undang dan peraturan yang setaraf,
II. Peraturan pemerintah dan peraturan yang
setaraf,
III. Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf,
commit to user
V. Peraturan-peraturan Daerah.
4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti
misalnya hukum adat
5. Yurisprudensi
6. Traktat
7. Bahan hukum dari Zaman penjajahan yang hingga kini
masih berlaku, seperti misalnya Kitab Undang Undang
Hukum Pidana yang merupakan terjemahan secara
yuridis dari Wetboek van Strafrecht.
Lebih khususnya penelitian ini, penulis menggunakan sumber hukum
primer antara lain :
1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti halnya
rancangan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum (Soerjono soekanto dan Sri
Mamudj, 1990 : 15)
Bahan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
adalah buku-buku yang terkait materi mengenai penggunaan
hak euthanasia oleh pasien menurut UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak asasi Manusia dan penerapan hukum
euthanasia di Indonesia dengan berbagai negara (Belanda,
Belgia, Amerika)
c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petujuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun
commit to user 5. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen
atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan
data dilakukan dengan cara mengunjungi perpustakaan, mengkaji dan
mempelajari literatur-literatur yang berkaitan erat dengan pokok
permasalahan dalam penelitian ini.
6. Teknik analisis data
Analisis data merupakan kegiatan dalm penelitian yang berupa
melakukan kajian-kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang
dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara
sederhana analisis data ini disebut kegiatan memberikan telaah, yang
dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau
memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap
hasil penelitian dengan pikiran sendiri atau bantuan teori (Mukti Fajar
dan Yulianto achmad, 2010 : 183).
Dalam hal demikian ini peneliti menggunakan metode deduktif yaitu
berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti menghadirkan
objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan
berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau
prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik
kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus (Mukti Fajar dan
Yulianto Achmad, 2010 : 109).
F. Sistmatika penulisan hukum
Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan
memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai
dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam
bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana
commit to user
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun
penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metode Penelitian Hukum dan Sistematika Penelitian Hukum
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan
judul dan masalah yang diteliti yang akan memberikan
landasan/kerangka teori serta diuraikan mengenai kerangka
pemikiran. Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan euthanasia,
Tinjauan Umum tentang pasien, Tinjauan Umum tentang
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Tinjauan Umum tentang Pidana. Selain itu untuk
memudahkan pemahaman alur berpikir, maka di dalam bab ini
juga disertai denganKerangka Pemikiran
BAB III : HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas
tentang norma hukum euthanasia dalam Undang Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia mengenai
euthanasia serta penerapan hukumnya di Indonesia dengan
berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan
dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
Daftar Pustaka
commit to user
13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Euthanasia
a. Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu yang berarti baik, dan
Thantos yang berarti mati atau meninggal. Suetonius dalam bukunya
Vitaceaserum merumuskan bahwa Euthanasia adalah mati cepat tanpa
derita. Dalam perkembangannya Euthanasia diartikan sebagai pengakhiran
kehidupan karena belas kasihan (Mercy killing) dan membiarkan seseorang
untuk mati (Mercy Death) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:181).
Dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI), dikenal 3 pengertian yang
berkaitan dengan Euthanasia yaitu :
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,
untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sakit dengan memberikan
obat penenang.
3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter
Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja
untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang
pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk
kepentingan pasien itu sendiri (Rehnalemken Ginting, 2009:9).
b. Kategori Euthanasia
1) Menurut Lamerton dan Thiroux
Ada empat kategori yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu :
a) Membiarkan seseorang mati
commit to user c) Pembunuhan belas kasihan
d) Kematian otak atau batang otak
2) Menurut Profesor Separovic dalam Kongres Kedokteran Sedunia :
a) No Assistence in proces death without intention to shorten life (tidak
ada bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat
hidup)
b) Assistence in the process of death without intention to shorten life
(bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat
hidup)
c) No Assistence in the process of death with intention to shorten life.
(Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk
mempersingkat hidup).
d) Assistence in the process of death with intention to shorten life
(bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk mempersingkat
hidup) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).
c. Macam Euthanasia
1) Menurut J.E Sahetapy membedakan Euthanasia dalam tiga jenis yaitu :
a) Action to permit death to occur (aksi untuk mengijinkan kematian
terjadi)
Biasa disebut dengan Euthanasia dalam arti yang pasif
(permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien dengan
sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan mati. Kematian
dalam arti ini seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dan
dokter yang merawatnya. Karena pasien sadar dan tahu bahwa
penyakit yang dideritanya sudah tidak mungkin dapat disembuhkan
walaupun dengan pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga.
Oleh sebab itu, untuk mengurangi atau menghilangkan
commit to user
i. Tidak memberikan pengobatan untuk penyembuhan terhadap
penyakitnya,
ii. Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi dirawat
dirumahnya sendiri.
b) Failure to take action toprevent death (Kegagalan untuk mengambil
tindakan untuk mencegah kematian)
Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan
dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya
kematian. Ini terjadi apabila dokter akan mengambil suatu tindakan
guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa-apa, karena
ia tahu bahwa tindakan yang diberikan kepada pasien akan sia-sia
saja. Pengobatan atau tindakan dokter dipandang sebagai perbuatan
yang tidak berarti sehingga tidak ada cara penyembuhan normal.
c) Positive action to cause death(tindakan positif untuk menyebabkan
kematian)
Biasanya disebut dengan Euthanasia dalam arti aktif
(Causation). Atas permintaan atau desakan dari pasien atau
keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara positif guna
mempercepat kematian pasien tersebut. Dokter dalam hal ini bertindak
secara aktif untuk mempercepat kematian pasiennya dengan tenang,
misalnya memberikan obat-obatan penghilang kesadaran, morfin
dalam dosis tinggi ataupun cara lainnya.
2) Secara umum ada 3 Jenis Euthanasia yaitu :
a) Euthanasia aktif yaitu secara sengaja melakukan
tindakan/langkah/perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup
penderita.
b) Euthanasia pasif yaitu secara sengaja tidak (lagi) memberikan
perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup
commit to user
c) Auto euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien untuk
memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, dan ia
tahu pasti bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).
3) Pseudo-Euthanasia
a) Menurut Van Wijmen
Dalam kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa
keadaan yang mirip Euthanasia tetapi sebenarnya sama sekali bukan
Euthanasia. Sehingga jika dihubungkan dalam KUHP terutama pasal
344 KUHP tidak termasuk rumusan didalamnya. Van Wijmen
menyebutkan :
a) Absistence, of which the essence is that treatment in medical
respects is useless (pengobatan dalam hal-hal medis tidak
berguna)
b) Refusing treatment by patient, in which case the duty to treat
ceases to exist.(pasien menolak untuk pengobatan dilanjutkan)
c) Brain death in which case the duty to treat ceases to exist (adanya
kematian otak). (Crisdiono M. Achadiat, 2006:191)
b) Menurut H.J.J.Leeman
H.J.J.Leeman mensinyalir didalam dunia medis, kadang-kadang
kita menemukan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan
Euthanasia, akan tetapi mirip dengannya. Bentuk-bentuk yang
dimaksud antara lain :
1) Pengakhiran perawatan pasien karena gejala mati otak (Brain
Death),
2) Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat,
3) Memberhentikan suatu perawatan medis yang tidak berguna lagi
(Zinloos),
commit to user c) Menurut Fred Ameln
Fred Ameln membagi Pseudo-Euthanasia menjadi empat
katagori yaitu :
1) Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati
klinis dan kematian yang sebenarnya kini telah dibedakan. Teknologi
kedokteran telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan
paru-paru walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan
intelektual dan psikis (berpikir, merasakan, berkomunikasi)
sebenarnya telah berakhir pada saat otak berhenti berfungsi meskipun
jantung dan paru-paru masih bekerja. Karenanya menghentikan
perawatan atau bantuan medik pada pasien yang otaknya tidak
berfungsi, kini digolongkan sebagai Euthanasia.
2) Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena
kuasa tidak teralawan (Force Majure). Dalam dunia kedokteran dapat
terjadi keadaan sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP.
3) Menghentikan perawatan medik yang diketahui tidak berguna. Ilmu
kedokteran tetap mempunyai batas dan hal-hal diluar batas itu tidak
bisa diurus oleh seorang dokter atau dengan kata lain dokter tidak
berkompeten melakukan sesuatu diluar batas ilmu kedokteran.
Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa izin pasien, maka ia
dapat dituntut berdasarkan penganiayaan. Jadi seorang dokter
seharusnya tidak meneruskan suatu pengobatan, bila secara medik
telah diketahui tidak dapat diharapkan sesuatu hasil apapun. Langkah
tersebut bukan dimaksudkan untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien, melinkan mencegah terjadinya penganiayaan pasien
oleh dokter.
4) Pasien menolak perawatan medik. Secara hukum dikatakan bahwa
commit to user
hal itu tidak diizinkan oleh pasien. Sesuatu yang dilakukan tanpa izin
pasien, akan dapat dikenai sanksi pasal 351 KUHP.
2. Tinjauan Tentang Pasien
a. Pengertian Pasien
Didalam Pasal 1 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
dijelaskan tentang pengertian pasien adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter
atau dokter gigi.
b. Kewajiban Pasien
1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Di dalam Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Paraktik
Kedokteran, telah dirumuskan kewajiban-kewajiban pasien antara lain:
i. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur mengenai
masalah kesehatannya
ii. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter/dokter gigi
iii. Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
iv. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.
2) Menurut Prof. Picard
Seorang pasien mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap
dokternya dan juga terhadap dirinya sendiri. Didalam melakukan
kewajibannya pasien diminta untuk memenuhi standard pasien yang
wajar.
Apabila ia tidak melakukan kewajibannya dan hal ini sampai
merupakan penyebab (proximate cause) dari cideranya, maka ia dianggap
turut bersalah sehingga ganti kerugian yang timbul dibagi secara
commit to user
disebabkan oleh pasien itu sendiri, maka ia tidak dapat meminta ganti
kerugian yang dimintanya. Hal-hal yang dikatagorikan sebagai
contributory negligence antara lain :
i. Pasien tidak mentaati instruksi dokternya (termasuk) didalamnya
tidak membeli obat yang sesuai dengan resep dokter)
ii. Pasien menolak cara pengobatan yang diusulkan, misal pasien
menolak operasi yang dianjurkan dokter, kemudian meninggal,
sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan.
iii. Pasien tidak sejujurnya memberikan informasi atau tidak
memberikan informasi yang akurat atau menyesatkan (Guwandi,
1993 :19).
c. Hak-Hak Pasien
1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,
mempunyai hak:
i. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)
ii. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
iii. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
iv. Menolak tindakan medis
v. Mendapatkan isi rekam medis.
2) Hak-hak penting diluar UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik
kedokteran
i. Hak untuk hidup, hak untuk mati secara wajar, dan hak atas
tubuhnya sendiri.
ii. Hak untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi
sesuai dengan standard profesi kedokteran
iii. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari
commit to user
iv. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang
direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik
v. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang
telah diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya
dalam riset kedokteran tersebut
vi. Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan
dikembalikan kepada dokter yang merujukya setelah konsultasi atau
pengobtan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut
vii. Hak atas kerahasian atau rekam medik yang bersifat pribadi
viii. Hak untuk memperoleh penjelasan mengenai peraturan rumah sakit
ix. Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau
rohaniawan yang diperlukan selama perawatan dirumah sakit
x. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincin biaya rawat inap,
obat, pemeriksaan laboratorium, pemriksaan rontgen, biaya kamar
bedah, bersalin, serta imbalan jasa dokter (Anny Isfandyarie, 2006
:102)
3. Tinjauan tentang UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
a. Sejarah pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang
Indonesia
Pada awal Negara ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara para
pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu atau tidaknya HAM
dimasukkan ke dalam UUD Negara Indonesia. Dalam pandangan
Soepomo HAM sangat identik dengan ideologi liberal individu dengan
demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Akan
tetapi M. Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada
dasar apapun yang dapat dijadikan alasan menolak memasukkan HAM
dalam Undang Undang Dasar.
Penolakan Soepomo memasukan norma-norma HAM ke dalam UUD
1945 bukan berarti ia anti terhadap HAM. Perubahan sikap Soepomo
commit to user
Negara dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dimana Soepomo terlibat
secara langsung dalam perancangannya. Dalam UUDS 1950, ada 36 pasal
prinsip-prinsip HAM dimuat dibawah paying hak-hak kebebasan dasar
manusia. Sejak Indonesia kembali kepada UUD 1945, dibawah rezim
Soekarno dan dilanjutkan rezim Soeharto dengan orde barunya,
pengaturan HAM kembali bersandar kepada beberapa pasal dalam UUD
1945.
Seiring dengan perkembangan sejarah di dunia Internasional
Instrumen-instrumen HAM semakin berkembang dalam berbagai
konvensi. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu norma
standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya negara barat.
Dengan kekuatan ekonomi yang besar dan ketergantungan Negara-negara
dunia ketiga yang non komunis kepada bantuan ekonomi barat,
menimbulkan dominasi negara barat dan standar barat dalam penilaian
terhadap pelaksanaan HAM dunia terutama Negara dunia ketiga.
Isu HAM kemudian dijadikan isu Internasional atau isu global. Hal ini
tak jarang menimbulkan konflik antara Negara Barat dengan
Negara-negara dunia ketiga. Dengan mengetengahkan konsep-konsep konsep
keaneragaman budaya, negara-negara non barat mencoba membendung
dominasi standar barat dalam menilai terhadap perlindungan HAM dunia.
Dominasi standar barat dalam penilaian terhadap HAM semakin kuat
dengan runtuhnya negara-negara sosialis khususnya Uni Soviet.
Keruntuhan ini membawa implikasi yang besar terhadap Indonesia pasca
rezim Soeharto. Selama berkuasa, rezim Soeharto dianggap refresif dalam
mempertahankan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan berbagai
pelanggaran HAM sepanjang orde baru dan selalu mendapat penilaian
buruk dari lembaga-lembaga HAM dunia.
Pada tahun 1993 pemerintahan Soeharto mulai menunjukan perubahan
sikapnya terhadap HAM, yaitu dengan membentuk Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Perubahan ini dipengaruhi perubahan
commit to user
komunisme dan munculnya dominasi barat. Faktor lainnya adalah isu
pelanggaran HAM di Irian Jaya dan Timor Timur yang pada waktu itu
menjadi isu Internasional.
Pada waktu pemerintahan Habibie yang masih muda harus
mendapatkan tekanan politik baik dari dalam maupun internasional. Hal
inilah yang mendorong pemerintahan Habibie meratifikasi berbagai
instrument HAM Internasional dan menerbitkan UU mengenai HAM yaitu
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu MPR
melakukan amandemen untuk memasukan instrument-instrumen HAM
kedalam batang tubuh UUD 1945 (Muladi, 2004:10)
b. Pengertian Hak asasi Manusia
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang
dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep
hak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa
hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak-hak manusia karena ia
seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari
kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin
martabat setiap manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat
sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik
secara nasional maupun internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah
persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga yang
tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang
commit to user
b.Instrumen HAM Nasional
Pada masa pemerintahan orde baru, demokrasi belum berjalan dengan
baik. Hanya kepentingan politik saja yang pada waktu itu sangat menonjol,
sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik dan
militerisme. Demi nama baik bangsa dan masyarakat di Indonesia sebagai
anggota PBB, maka untuk menghormati piagam PBB dan deklarasi
Universal HAM, serta perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan
pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa
Indonesia, Pancasila dan negara berdasarkan hukum telah menetapkan :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvesi
Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
b. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan
Hak-Hak Anak,
c. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional
HAM.
Semenjak pergantian pemerintahan orde baru, dan Kabinet Era
Reformasi sampai dengan Kabinet Gotong Royong, telah banyak
menetapkan peraturan perundang-undangan yang berperspektif HAM dan
ratifikasi instrumen HAM Internasional, yaitu :
a. Keppres Nomor 129 tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
b. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998
tentang menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi
dalam semua perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan
Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan
Pemerintahan,
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September1998
tentang pengesahan Konvesi Menentang Penyikasaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
commit to user
d. Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
e. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Dimuka Umum,
f. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999
tentang Hak Asasi Manusia,
g. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000
tentang Peradilan Hak Asasi Manusia,
h. Konvesi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No.
83 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Untuk Berorganisasi
i. Konvesi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang
Undang Nomor 19 Tanun 1999 Tentang Penghapusan Kerja Paksa,
j. Konvesi ILO 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang Undang
Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan,
k. Konvesi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang
Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk
diperbolehkan bekerja,
l. Konvesi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang
Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak,
m. Konvesi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No.
36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
(Muladi, 2004:5).
c. Penerapan HAM di Indonesia
Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologies, filsafati,
ideologis, atau moralistik dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam
konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena
commit to user
hukum Internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Bentuknya dapat
berupa deklarasi, konvesi, resolusi maupun general Comments.
Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara
anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban
secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi
secara formal.
Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan
kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan
falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual
maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan,
dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas
komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang
proporsional. Manusia dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial
dan dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep HAM Indonesia bukan
saja hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai
warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak
tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum
Internasionalterhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk
menghormati, melindungi, menegakkan, memajukan HAM yang telah diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum Internasional HAM
yang diterima oleh Indonesia (Muladi, 2004:6).
4. Tinjauan tentang Pelaksanaan Pidana
a. Pengertian Pidana
1) Menurut Sudarto
Soedarto memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana
sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Dengan
demikian pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu:
commit to user
Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu
dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang
memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu
dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat
perbuatan jahat . Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada
orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan
tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan
orang yang melanggar larangan itu.
ii. Pidana.
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Didalam hukum pidana modern,
pidana ini juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Dalam
KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat
diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP.
2) Menurut Van Hammel
een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat
gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van di overtreding,
van wege den staat als handhaver der openbar rechtsorde, door met de
rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken. (suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang
untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab
dari ketertiban hukum umumbagi seorang pelanggar, yakni semata-mata
karena orang tersebuttelah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
ditegakkan olehnegara.). (Lamintang. 1984:34)
3) Menurut Simmons
Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm
verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.
commit to user
dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan
hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah).
4) Menurut Roslan Saleh
Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
5) Menurut Ted Hondrich
Punishment is an authority’s infliction of penalty (something
involving deprivation or distress) on an offender for an offence.(pidana
adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman
(sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan
kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).
6) Menurut Hulsman
Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde
reopen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni:
untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan
penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat
terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan
baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.
7) Menurut Prof. Dr. Moeljatno, SH
Prof. Dr. Moel