BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu yang berarti baik, dan
Thantos yang berarti mati atau meninggal. Suetonius dalam bukunya
Vitaceaserum merumuskan bahwa Euthanasia adalah mati cepat tanpa
derita. Dalam perkembangannya Euthanasia diartikan sebagai pengakhiran kehidupan karena belas kasihan (Mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati (Mercy Death) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:181).
Dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI), dikenal 3 pengertian yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu :
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sakit dengan memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter
Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri (Rehnalemken Ginting, 2009:9).
b. Kategori Euthanasia
1) Menurut Lamerton dan Thiroux
Ada empat kategori yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu : a) Membiarkan seseorang mati
commit to user c) Pembunuhan belas kasihan
d) Kematian otak atau batang otak
2) Menurut Profesor Separovic dalam Kongres Kedokteran Sedunia :
a) No Assistence in proces death without intention to shorten life (tidak
ada bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat hidup)
b) Assistence in the process of death without intention to shorten life
(bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat hidup)
c) No Assistence in the process of death with intention to shorten life.
(Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk mempersingkat hidup).
d) Assistence in the process of death with intention to shorten life
(bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk mempersingkat hidup) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).
c. Macam Euthanasia
1) Menurut J.E Sahetapy membedakan Euthanasia dalam tiga jenis yaitu :
a) Action to permit death to occur (aksi untuk mengijinkan kematian
terjadi)
Biasa disebut dengan Euthanasia dalam arti yang pasif
(permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien dengan
sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan mati. Kematian dalam arti ini seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dan dokter yang merawatnya. Karena pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya sudah tidak mungkin dapat disembuhkan walaupun dengan pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga. Oleh sebab itu, untuk mengurangi atau menghilangkan penderitaannya, pasien kemudian meminta dokter untuk :
commit to user
i. Tidak memberikan pengobatan untuk penyembuhan terhadap penyakitnya,
ii. Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi dirawat dirumahnya sendiri.
b) Failure to take action toprevent death (Kegagalan untuk mengambil
tindakan untuk mencegah kematian)
Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Ini terjadi apabila dokter akan mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa-apa, karena ia tahu bahwa tindakan yang diberikan kepada pasien akan sia-sia saja. Pengobatan atau tindakan dokter dipandang sebagai perbuatan yang tidak berarti sehingga tidak ada cara penyembuhan normal.
c) Positive action to cause death(tindakan positif untuk menyebabkan
kematian)
Biasanya disebut dengan Euthanasia dalam arti aktif
(Causation). Atas permintaan atau desakan dari pasien atau
keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara positif guna mempercepat kematian pasien tersebut. Dokter dalam hal ini bertindak secara aktif untuk mempercepat kematian pasiennya dengan tenang, misalnya memberikan obat-obatan penghilang kesadaran, morfin dalam dosis tinggi ataupun cara lainnya.
2) Secara umum ada 3 Jenis Euthanasia yaitu :
a) Euthanasia aktif yaitu secara sengaja melakukan
tindakan/langkah/perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup penderita.
b) Euthanasia pasif yaitu secara sengaja tidak (lagi) memberikan
perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup penderita.
commit to user
c) Auto euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien untuk
memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, dan ia tahu pasti bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).
3) Pseudo-Euthanasia
a) Menurut Van Wijmen
Dalam kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa keadaan yang mirip Euthanasia tetapi sebenarnya sama sekali bukan
Euthanasia. Sehingga jika dihubungkan dalam KUHP terutama pasal
344 KUHP tidak termasuk rumusan didalamnya. Van Wijmen menyebutkan :
a) Absistence, of which the essence is that treatment in medical
respects is useless (pengobatan dalam hal-hal medis tidak
berguna)
b) Refusing treatment by patient, in which case the duty to treat
ceases to exist.(pasien menolak untuk pengobatan dilanjutkan)
c) Brain death in which case the duty to treat ceases to exist (adanya
kematian otak). (Crisdiono M. Achadiat, 2006:191) b) Menurut H.J.J.Leeman
H.J.J.Leeman mensinyalir didalam dunia medis, kadang-kadang kita menemukan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan
Euthanasia, akan tetapi mirip dengannya. Bentuk-bentuk yang
dimaksud antara lain :
1) Pengakhiran perawatan pasien karena gejala mati otak (Brain Death),
2) Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat,
3) Memberhentikan suatu perawatan medis yang tidak berguna lagi
(Zinloos),
commit to user c) Menurut Fred Ameln
Fred Ameln membagi Pseudo-Euthanasia menjadi empat katagori yaitu :
1) Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati klinis dan kematian yang sebenarnya kini telah dibedakan. Teknologi kedokteran telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan paru-paru walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan intelektual dan psikis (berpikir, merasakan, berkomunikasi) sebenarnya telah berakhir pada saat otak berhenti berfungsi meskipun jantung dan paru-paru masih bekerja. Karenanya menghentikan perawatan atau bantuan medik pada pasien yang otaknya tidak berfungsi, kini digolongkan sebagai Euthanasia.
2) Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena kuasa tidak teralawan (Force Majure). Dalam dunia kedokteran dapat terjadi keadaan sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP.
3) Menghentikan perawatan medik yang diketahui tidak berguna. Ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan hal-hal diluar batas itu tidak bisa diurus oleh seorang dokter atau dengan kata lain dokter tidak berkompeten melakukan sesuatu diluar batas ilmu kedokteran. Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa izin pasien, maka ia dapat dituntut berdasarkan penganiayaan. Jadi seorang dokter seharusnya tidak meneruskan suatu pengobatan, bila secara medik telah diketahui tidak dapat diharapkan sesuatu hasil apapun. Langkah tersebut bukan dimaksudkan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien, melinkan mencegah terjadinya penganiayaan pasien oleh dokter.
4) Pasien menolak perawatan medik. Secara hukum dikatakan bahwa seorang dokter tidak berhak melakukan tindakan medik apapun, jika
commit to user
hal itu tidak diizinkan oleh pasien. Sesuatu yang dilakukan tanpa izin pasien, akan dapat dikenai sanksi pasal 351 KUHP.
2. Tinjauan Tentang Pasien