BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
Pada penelitian ini, identifikasi Drug Related Problems dilakukan dengan
mengevaluasi pengobatan yang diterima pasien melalui metode SOAP. Drug
Related Problems yang teridentifikasi kemudian dikelompokkan dalam 6 kategori
antara lain obat tidak diperlukan, membutuhkan obat tambahan, obat kurang
efektif, dosis obat terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi, dan efek samping obat.
Dalam penelitian ini ditemukan 16 kasus DRPs dari 13 pasien yang
termasuk dalam kriteria inklusi penelitian. Kasus DRPs yang teridentifikasi antara
lain obat tidak dibutuhkan sebanyak 68,7%, membutuhkan obat tambahan
sebanyak 50%, dosis obat terlalu tinggi sebanyak 81,2%, efek samping obat
sebanyak 81,2%, dosis obat terlalu rendah sebanyak 43,7%, dan obat kurang
efektif sebanyak 6,2%. Pada umumnya, 1 kasus memiliki lebih dari 1 DRPs.
Gambaran DRPs yang ditemui pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis
Tabel XX. Gambaran DRPs pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014 No Jenis DRPs Nomor kasus
(seperti lampiran)
Jumlah Kasus (n=16)
Persentase (%) 1 Obat tidak diperlukan 1, 2, 4, 5a, 5b, 6, 7, 8,
9, 10, 13a 11 68,7 2 Membutuhkan obat tambahan 3a, 3b, 4, 5a, 6, 8, 12, 13a 8 50
3 Dosis obat terlalu tinggi
1, 3a, 4, 5a, 5b, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13b
13 81,2
4 Efek samping obat 1, 2, 3a, 5a, 5b, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13a, 13b
13 81,2
5 Dosis obat terlalu rendah
2, 3a, 4, 5a, 5b, 6, 9 7 43,7
6 Obat kurang efektif 3a 1 6,2
Catatan: Penilaian DRPs dilakukan berdasarkan data dalam lembaran rekam medis yang tidak dikonfirmasi dengan dokter penulis resep maupun perawat yang merawat pasien. Pembahasan lebih lanjut tiap kasus dapat dilihat pada Lampiran
1. Obat tidak diperlukan
Kategori DRPs obat tidak diperlukan yang ditemukan pada
penelitian ini sebanyak 68,7%, terjadi pada 11 kasus dari 16 kasus. Pada
kasus nomor 1, 6, 8, dan 10 pasien memperoleh obat yang bekerja pada
sistem gastrointestinal tanpa memiliki indikasi untuk obat tersebut sedangkan
pada kasus nomor 2, 5a, 6, 7 dan 9 pasien memperoleh obat-obat dengan
indikasi sama. Pada pasien HIV, gejala-gejala seperti nyeri ulu hati, mual dan
muntah pada umumnya dirasakan sebagai efek samping dari obat-obat
antiretroviral, adanya kemungkinan infeksi kandidiasis esofageal, dan adanya
kemungkinan riwayat penyakit berupa Gastrointestinal Disease atau GERD
(US. Department of Health and Human Service, 2014). Berdasarkan hasil
wawancara dengan salah satu perawat, gejala-gejala tersebut mungkin saja
adalah pasien memperoleh obat yang bekerja pada sistem gastrointestinal dan
hepatobilier tanpa adanya indikasi yang membutuhkan obat tersebut.
Pada kasus nomor 13a pasien mendapatkan obat yang bekerja pada
sistem saraf tanpa memiliki indikasi sedangkan pada kasus nomor 2, 4, 5b
dan 6 pasien mendapatkan obat-obat dengan indikasi sama. Obat yang
diterima adalah obat golongan ansiolitik, antipsikotik, analgesik (non opiat)
dan antipiretik, serta obat antiinflamasi non steroid. Obat-obat tersebut
dimaksudkan untuk mengatasi gejala-gejala seperti kecemasan, kegelisahan,
sulit tidur, nyeri, dan demam. Pada pasien HIV, gejala-gejala seperti nyeri
atau sakit kepala dan demam disebabkan karena adanya kemungkinan infeksi
atau kondisi lain yang dapat menyebabkan munculnya gejala tersebut (US.
Department of Health and Human Service, 2014). Berdasarkan hasil
wawancara dengan salah satu perawat, pemberian obat yang bekerja pada
sistem syaraf tanpa adanya indikasi untuk obat tersebut mungkin saja
disebabkan karena tidak tercatatnya gejala-gejala kecemasan, kegelisahan,
sulit tidur dan nyeri pada catatan keperawatan atau suhu badan pasien pada
Tabel XXI. Kejadian DRPs obat tidak diperlukan pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014
No. Kasus Assessment Jenis DRPs Recommendation 1, 10 Pemberian pantoprazole
tanpa indikasi
Potensial 1. Pertimbangkan untuk menghentikan pemberian obat
2. Perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut terkait kemungkinan kondisi yang menyebabkan gejala pada sistem
gastrointestinal 1 Pemberian ondansetron
tanpa indikasi
Potensial 5a, 7, 9 Pemberian ondansetron
bersamaan dengan obat berindikasi sama
Aktual
2 Pemberian Plantacid F® dan Plantacid ® bersamaan dengan obat berindikasi sama Aktual 6, 8 Pemberian Plantacid® tanpa indikasi Potensial 6, 10 Pemberian metoklopramida tanpa indikasi Potensial 13a Pemberian paracetamol
tanpa indikasi
Potensial 1. Pertimbangkan untuk menghentikan pemberian obat
2. Perlu dilakukan monitoring terhadap suhu badan dan derajat nyeri yang dirasakan pasien 2 Pemberian paracetamol
dengan obat berindikasi sama
Aktual
6 Pemberian metamizole dengan obat berindikasi sama
Aktual
4 Pemberian klorpromazine dengan obat berindikasi sama
Aktual
5b Pemberian alprazolam dengan obat berindikasi sama
Aktual
2. Membutuhkan obat tambahan
Kategori DRPs membutuhkan obat tambahan yang ditemukan pada
penelitian ini sebanyak 50%, terjadi pada 8 kasus dari 16 kasus. Pada kasus
nomor 3bdan 4 pasien terdiagnos infeksi HIV, dan pada kasus nomor 5a, 12
dan 13a pasien mendapatkan diagnosa kandidiasis tetapi tidak mendapatkan
terapi untuk kondisi tersebut. Kondisi-kondisi tersebut sebaiknya diatasi
yaitu kombinasi 2 antiretroviral NRTI dan 1 obat antiretroviral NNRTI yang
berada dalam regimen lini pertama (Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, 2011) dan antijamur yaitu flukonazol(Gotzsche
dan Johansen, 2011).
Pada kasus nomor 3a, 6 dan 12 pasien tidak mendapatkan terapi
untuk mengatasi demam sedangkan kasus nomor 4 dan 8 tidak mendapatkan
terapi untuk mengatasi nyeri. Kondisi ini sebaiknya diatasi dengan pemberian
antipiretik paracetamol dan analgesik sesuai dengan derajat nyeri yang
dialami oleh pasien. Kategori DRPs membutuhkan obat tambahan yang
ditemukan pada penelitian ini seluruhnya merupakan jenis DRPs aktual.
Tabel XXII. Kejadian DRPs membutuhkan obat tambahan pada pasien HIV dengan kandidiasis di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014
No. Kasus Assessment Jenis DRPs Recommendation 3b, 4 Tidak memperoleh
terapi untuk infeksi HIV
Aktual 1. Pertimbangkan pemberian terapi profilaksis infeksi HIV atau kombinasi antiretroviral pada regimen lini pertama 2. Perlu dilakukan pemantauan
jumlah sel CD4 pasien dan perkembangan infeksi oportunistik
5a, 12, 13a Tidak memperoleh terapi untuk kandidiasis
Aktual
3a, 6, 12 Tidak memperoleh terapi untuk demam
Aktual 1. Pertimbangkan pemberian paracetamol
2. Diperlukan pemantauan pada suhu badan pasien
4, 8 Tidak memperoleh terapi untuk nyeri
Aktual
3. Dosis obat terlalu tinggi
Kategori DRPs dosis obat terlalu tinggi yang ditemukan pada
DRPs dosis obat terlalu tinggi yang terjadi pada pasien sebagian besar
dikarenakan adanya interaksi antara antiretroviral dengan antijamur yang
diterima pasien selama menjalani rawat inap. Selain karena adanya interaksi
yang meningkatkan dosis obat, kasus DRPs ini juga terjadi karena dosis
pemberian obat yang melebihi dosis maksimal.
Pada kasus nomor 1,3a, 5a, 5b, 8, 10 dan 11, pasien menerima
terapi profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 960 mg, 2 kali sehari. Dosis
kotrimoksasol yang dianjurkan sebagai terapi profilaksis infeksi HIV adalah
960 mg, 1 kali sehari sehingga pada kasus di atas pasien mendapatkan
kotrimoksasol dalam frekuensi pemberian yang terlalu banyak. Pemberian
kotrimoksasol dalam dosis yang melebihi dosis maksimal dapat
meningkatkan efek samping kotrimoksasol seperti reaksi hipersensitivitas,
anemia, trombositopenia, lekopenia, dan pansitopenia (Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
Pada kasus nomor 4, pasien menerima metoklopramide dalam 2
merk yang berbeda dimana masing-masing merk metoklopramide diberikan
dengan dosis 10 mg, 3 kali sehari. Dosis metoklopramide yang dianjurkan
adalah 10 mg, 3 kali sehari tetapi pada kasus ini pasien mendapatkan dosis
20 mg, 3 kali sehari. Pada kasus nomor 13b, pasien memperoleh nevirapine
dengan dosis 200 mg, 3 kali sehari. Dosis nevirapine yang dianjurkan untuk
dosis pemeliharaan adalah 200 mg, 2 kali sehari (Direktur Jenderal
Kategori DRPs dosis obat berlebih yang muncul karena adanya
interaksi obat terjadi pada kasus nomor 1, 5b, 6, 7, 9, 10, 11, 12 dan 13b.
Pada kasus-kasus tersebut, terjadi interaksi antara flukonazol dengan
zidovudine yang menyebabkan meningkatnya nilai AUC zidovudine
(Baxter, 2010). Adanya interaksi ini berpotensi dalam menjadikan kadar
zidovudine dalam tubuh pasien lebih tinggi sehingga perlu dilakukan
monitoring terhadap munculnya efek toksisitas zidovudine.
Tabel XXIII. Kejadian DRPs dosis obat terlalu tinggi pada pasien HIV dengan kandidiasis di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014
No. Kasus Assessment Jenis DRPs Recommendation 1, 3a, 5a, 5b,
8, 10 dan 11
Pemberian kotrimoksasol dengan dosis berlebih
Aktual Pertimbangkan penurunan frekuensi pemberian kotrimoksasol 4 Pemberian metoklopramide
dengan dosis berlebih
Aktual Pertimbangkan pemberian metoklopramide dengan 1 merk saja
13b Pemberian nevirapine dengan dosis berlebih
Aktual Pertimbangkan penurunan frekuensi pemberian nevirapine
1, 5b, 6, 7, 9, 10, 11, 12 dan 13b
Interaksi antara flukonazole dengan zidovudine
menyebabkan meningkatnya AUC zidovudine
Potensial Perlu dilakukan
pemantauan terhadap efek toksisitas dan kadar zidovudine dalam tubuh pasien
4. Efek samping obat
Kategori DRPs efek samping obat yang ditemukan pada penelitian
ini sebanyak 81,2%, terjadi pada 13 kasus dari 16 kasus. Pada kasus nomor
2, 3a, 5a, 5b, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13a dan 13b pasien memperoleh obat
antiretroviral NNRTI yaitu nevirapine dan evafirenz, dan obat antiretroviral
NRTI yaitu lamivudine, zidovudine dan stavudine. Efek samping umum
kulit sedangkan efek samping umum obat antiretroviral NRTI adalah
hepatotoksisitas dan laktat asidosis (Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan
Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan dan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Efek samping obat antiretroviral
NNRTI dan NRTI ini merupakan DPRs potensial, oleh karena itu diperlukan
pemantauan fungsi hati pasien, monitoring pH darah dan gejala laktat
asidosis.
Efek samping obat yang bersifat aktual terjadi pada kasus nomor 1,
5a, 9, 10 dan 11. Pada kasus-kasus tersebut terjadi penggunaan obat yang
tidak aman dimana pada kasus nomor 1 pasien memiliki alergi terhadap
nevirapine tetapi pada saat pasien menjalani rawat inap pasien memperoleh
nevirapine sebagai obat antiretroviral, pada kasus nomor 5a pasien dengan
kadar SGOT dan SGPT yang tinggi memperoleh nevirapine yang memiliki
efek samping berupa hepatotoksisitas. Pada kasus nomor 9, 10 dan 11 pasien
memiliki kadar hemoglobin yang rendah tetapi pasien mendapatkan
zidovudine sebagai obat antiretroviral yang memiliki efek sampinng salah
satunya berupa anemia sehingga pemberian zidovudine dapat beresiko
Tabel XXIV. Kejadian DRPs efek samping obat pada pasien HIV dengan kandidiasis di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014
No. Kasus Assessment Jenis DRPs Recommendation 2, 3a, 5a, 5b,
6, 7, 9, 10, 11, 12, 13a, dan 13 b
Pemberian obat antiretroviral NNRTI dan NRTI dapat menyebabkan hepatotoksik, laktat asidosis dan ruam kulit
Potensial 1. Pemantauan fungsi hati pasien, gejala laktat asidosis dan ruam kulit
2. Pemantauan kadar obat dalam darah 2 Interaksi paracetamol dan
OAINS dapat menyebabkan pendarahan gastrointestinal
Potensial 1. Pertimbangkan pemilihan salah satu analgesik untuk mengatasi nyeri pasien 2. Diperlukan monitoring gejala pendarahan gastrointestinal 1 Pemberian nevirapine pada
pasien uyang memiliki alergi nevirapine
Aktual Pertimbangkan
penggantian nevirapien dengan obat antiretroviral NNRTI yang lain
5a Pemberian nevirapine pada pasien dengan kadar SGOT dan SGPT melebihi normal
Aktual 1. Pertimbangkan untuk mengganti nevirapine dengan efavirenz, jika kadar SGOT dan SGPT terus meningkat pertimbangkan penggunaan regimen alternatif 2. Diperlukan
pemantaun fungsi hati pasien
9, 10, 11 Pemberian zidovudine pada pasien dengan kadar hemoglobin rendah
Aktual 1. Pertimbangkan penggantian zidovudine dengan obat antiretroviral NRTI yang lain 2. Diperlukan
pemantauan jumlah hemoglobin pasien
5. Dosis obat terlalu rendah
Kategori DRPs dosis obat terlalu rendah yang ditemukan pada
penelitian ini sebanyak 50%, terjadi pada 8 kasus dari 16 kasus. Kasus DRPs
dosis obat terlalu rendah yang terjadi pada pasien sebagian besar
dikarenakan adanya interaksi antara antiretroviral dengan obat lain dan
antifungal dengan obat lain yang diterima pasien selama menjalani rawat
inap.
Pada kasus nomor 2 dan 4 terjadi kategori DRPs dosis obat terlalu
rendah yang disebabkan oleh dosis pemberian di bawah dosis yang
dianjurkan. Pada kasus nomor 2, pasien mendapatkan nevirapine dengan
dosis 200 mg, 1 kali sehari. Dosis nevirapine yang dianjurkan untuk dosis
pemeliharaan adalah 200 mg, 2 kali sehari (Direktur Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011). Pada kasus nomor 4, pasien
memperoleh suspensi oral nystatin 1 cc, 2 kali sehari. Dosis suspensi oral
nystatin yang dianjurkan adalah 3-5 cc, 3 kali sehari (Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
Pada kasus nomor 3a, 5a, 5b, 6 dan 9, terjadi kategori DRPs dosis
obat terlalu rendah yang disebabkan oleh interaksi obat. Pada kasus nomor
3a, 5b dan 6, terjadi interaksi antara rifampisin dengan flukonazol yang
menyebabkan meningkatnya klirens flukonazol sehingga berpotensi untuk
mengurangi jumlah obat yang aktif di dalam tubuh pasien dengan lebih
cepat (Baxter, 2010). Pada kasus nomor 3a dan 5a, terjadi interaksi antara
sehingga berpotensi menurunkan dosis yang diperlukan pasien untuk
mendapatkan efek (Baxter, 2010).
Tabel XXV. Kejadian DRPs dosis obat terlalu rendah pada pasien HIV dengan kandidiasis di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014
No. Kasus Assessment Jenis DRPs Recommendation 2 Pemberian nevirapine
dengan dosis kurang
Aktual Pertimbangkan untuk meningkatkan frekuensi pemberian nevirapine menjadi 2 kali sehari
4 Pemberian nystatin dengan dosis kurang
Aktual Pertimbangkan untuk meningkatkan dosis nystatin menjadi 3-5 cc, 3 kali sehari 3a, 5b, 6 Interaksi antara rifampisin
dan flukonazole yang menyebabkan peningkatan klirens flukonazole
Potensial 1. Pertimbangkan jeda waktu antara pemberian rifampisin dan flukonazol agar tidak terjadi interaksi
2. Diperlukan pemantauan efek dan kadar flukonazol dalam tuuh pasien jika jeda waktu tidak memungkinkan 3a, 5a Interaksi antara rifampisin
dan efavirenz menyebabkan menurunnya AUC
efavirenz
Potensial 1. Pertimbangkan jeda waktu antara pemberian rifampisin dan efavirenz agar tidak terjadi interaksi
2. Diperlukan pemantauan efek dan kadar efavirenz dalam tuuh pasien jika jeda waktu tidak memungkinkan 9 Interaksi antara rifampisin
dan nevirapine
menyebabkan menurunnya AUC nevirapine
Potensial 1. Pertimbangkan jeda waktu antara pemberian rifampisin dan nevirapine agar tidak terjadi interaksi
2. Diperlukan pemantauan efek dan kadar nevirapine dalam tuuh pasien jika jeda waktu tidak memungkinkan
6. Obat kurang efektif
Kategori DRPs obat kurang efektif yang ditemukan pada penelitian
ini sebanyak 6,2%, terjadi pada 1 kasus dari 16 kasus. Kasus DRPs obat
kurang efektif yang terjadi pada pasien disebabkan oleh pemberian obat
yang bukan paling efektif untuk mengatasi kondisi pasien.
Pada kasus nomor 3a, pasien memperoleh stavudine sebagai obat
antiretrovirus. Pada kasus ini, pasien tidak memiliki kondisi apapun yang
adalah obat antiretroviral NRTI yang menjadi salah satu lini pertama dalam
regimen terapi (Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, 2011), sehingga penggunaan stavudine bukanlah penggunaan
obat yang efektif sebagai obat antiretroviral.
Tabel XXVI. Kejadian DRPs obat kurang efektif pada pasien HIV dengan kandidiasis di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2010-Juni 2014
No. Kasus Assessment Jenis DRPs Recommendation 3a Pemberian stavudine kurang
efektif
Aktual Pertimbangkan penggantian obat dengan zidovudine
61 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN