• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Emisi CO 2 pada tiga Tipe Penggunaan Lahan

Lokasi Penelitian:

6. Evaluasi Emisi CO 2 pada tiga Tipe Penggunaan Lahan

Evaluasi ini dilakukan terhadap data emisi CO2 dari kebun kelapa sawit (desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), dibandingkan dengan emisi CO2 semak dan hutan (desa Cot Gajah Mati dan Simpang). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa emisi CO2pada musim hujan (Oktober – November 2008) di vegetasi semak lebih tinggi daripada emisi CO2di hutan maupun di kebun kelapa sawit, namun emisi CO2di kebun kelapa sawit dapat lebih tinggi atau lebih rendah daripada emisi CO2 di hutan, tergantung pada kedalaman muka air tanah atau posisi titik pengamatan dari saluran drainase utama dan ketebalan gambut (Tabel 10) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 50 dan Gambar 51. Hal ini menunjukkan bahwa praktek penggunaan lahan gambut untuk pertanian memiliki dampak yang besar terhadap emisi CO2dari permukaan tanah, seperti yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu (Smith et al., 2000; Houghton, 2002; Melling et al., 2005b; Liu et al., 2008).

Rendahnya emisi CO2dari kebun kelapa sawit Desa Suak Raya transek 6 dan 7 dibandingkan dengan emisi CO2 dari hutan disebabkan karena rendahnya muka air tanah (39 - 52 cm dari permukaan gambut) dan sangat dangkalnya gambut pada transek tersebut yaitu kurang dari 2 m. Sedangkan pada gambut dengan ketebalan antara 2 - 4 m dan muka air tanah lebih dalam (43 - 60 cm dari permukaan gambut) seperti di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya transek 3, 4, dan 5 merupakan kondisi yang memicu besarnya produksi CO2 di dalam tanah, sehingga emisi CO2lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO2dari hutan yang

88 memiliki ketebalan gambut lebih dari 9 m dan muka air tanah 36 - 53 cm dari permukaan gambut. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 20 40 60 80 100 120 Emisi CO2 (t ha-1 th-1) K ed al am an m uk a ai r ta na h (c m ))

Kebun kelapa Sawit Hutan Simpang Semak Simpang

Gambar 50. Emisi CO2di tiga tipe penggunaan lahan gambut pada berbagai kedalaman muka air tanah.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 20 40 60 80 100 120 Emisi CO2 (t ha-1 th-1) K et eb al an g am bu t ( cm ))

Kebun kelapa Sawit Semak Simpang Hutan Simpang

Gambar 51. Emisi CO2di tiga tipe penggunaan lahan pada berbagai ketebalan gambut.

Drainase pada lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berakibat pada percepatan subsiden terutama pada lapisan atas gambut, sehingga kondisi fisik bahan gambut berubah. Selain itu terjadi juga percepatan dekomposisi. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun kelapa sawit dengan berbagai pengelolaan yang diterapkan untuk mengoptimalkan produksi kelapa sawit mempunyai kontribusi terhadap meningkatnya konsentrasi CO2di atmosfer. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa drainase di ekosistem gambut untuk tujuan agribisnis akan berdampak pada keseimbangan global C.

Meningkatnya oksidasi bahan organik pada kondisi aerob akibat drainase akan merubah peranan gambut sebagai C sink menjadi C source. Hasil pengukuran emisi CO2 dari gambut tropik sangat tinggi variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai di konversi yang berkaitan erat dengan tingkat humifikasi, variasi tempat atau perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara, status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pendapat. Melling et al. (2004) melaporkan bahwa alih guna lahan gambut untuk kelapa sawit dan sagu dapat menurunkan emisi CO2. Potensial pemanasan global dari hutan gambut lebih besar (7850 g CO2m-2 th-1) daripada ekosistem kelapa sawit (5706 g CO2m

-2 th-1) dan ekosistem sagu (4233 g CO2m-2 th-1). Tingginya potensial pemanasan global di ekosistem hutan disebabkan oleh tingginya respirasi tanah (7817 g CO2

m-2 th-1), respirasi di ekosistem sagu dan kelapa sawit masing-masing 4074 g CO2 m-2 th-1 dan 5652 g CO2m-2 th-1. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Wagai et

al. (1998) dan Davidson et al. (2000), tetapi berbeda dengan hasil penelitian

Inubushi et al. (2003). Hirano et al. (2007) menyatakan bahwa emisi CO2 hutan gambut lebih besar daripada perkebunan kelapa sawit karena (1) tingkat humifikasi dari lapisan gambut dan (2) tingginya respirasi akar akibat banyaknya biomas di belowground pada hutan daripada di perkebunan

Kesimpulan

Dari serangkaian evaluasi yang dilakukan terhadap hasil pengukuran emisi CO2 dan CH4dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Emisi CO2 pada musim hujan cenderung lebih tinggi daripada emisi CO2musim kemarau di kebun kelapa sawit Suak Raya dan Cot Gajah Mati.

2. Alat kromatografi gas lebih layak digunakan untuk mengetahui emisi CO2daripada metode titrasi.

3. Pola hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air pada masing-masing transek adalah semakin meningkat kedalaman muka air tanah, maka emisi CO2 semakin bertambah kecuali transek 4 dan 6.

90 4. Pola hubungan antara emisi CO2 dengan ketebalan gambut pada

masing-masing transek adalah semakin dalam gambut, emisi CO2

semakin menurun.

5. Emisi CH4pada hutan Cot Gajah Mati menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah hingga tidak terdeteksi pada kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut.

6. Emisi CO2 di daerah rhizosfer tanaman kelapa sawit lebih besar daripada emisi CO2di non rhizosfer.

7. Terdapat kecenderungan emisi CO2 pada kebun kelapa sawit yang berumur 1 th > umur 5 th > umur 10 th.

8. Emisi CO2 berbeda tergantung pada tipe penggunaan lahan gambut, emisi CO2pada semak > Hutan.

Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO2, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons fluks CO2 tidak sama yakni tergantung pada tingkat kematangan gambut. Meningkatnya respirasi akibat penambahan pupuk urea disebabkan karena adanya percepatan laju aktivitas mikrob dengan cukup tersedianya sumber energi sumbangan dari pupuk urea. Tersedianya sumber energi ini dibuktikan dengan menurunnya nisbah C/N dengan penambahan urea hingga 16 g/100 g tanah. Dengan meningkatnya dosis urea terjadi penurunan nisbah C/N dari 170 menjadi 33 untuk gambut fibrik, dari 154 menjadi 25 untuk gambut hemik, dan dari 89 menjadi 18 untuk gambut saprik. Penurunan nisbah C/N ini merupakan akibat dari menurunnya C-organik tanah (55,7 menjadi 53,4%) dan meningkatnya kandungan N tersedia tanah (0,4 menjadi 2,6%) pada proses dekomposisi yang dipacu lebih cepat dengan penambahan urea. Nilai nisbah C/N ini akan menunjukkan kualitas dari bahan organik tanah dan adanya potensial mineralisasi N atau immobilisasi N. Nisbah C/N juga merupakan indikator tingkat dekomposisi bahan gambut. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO2hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 53.

0 20 40 60 80 100 120 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Nisbah C/N F lu ks C O2 ( m g C O 2 k g ta na h -1 har i -1 )

Fibrik Hemik Saprik

92 Dari Gambar 52 jelas terlihat bahwa fluks CO2 tertinggi baik gambut fibrik, hemik maupun saprik berada pada nisbah C/N 20-40, karena pada nilai nisbah ini sudah terjadi mineralisasi N sehingga memacu aktivitas dan jumlah populasi mikrob. Pada nisbah C/N lebih tinggi, fluks CO2semakin rendah.

Meningkatnya total populasi mikrob juga dapat menyebabkan meningkatnya fluks CO2 hasil respirasi bahan gambut. Hasil percobaan menunjukkan adanya peningkatan total populasi mikrob dengan penambahan urea 1 g/100 g gambut. Hasil perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa meningkatnya respirasi akibat pemupukan urea tersebut dapat mencapai 10 kali setelah gambut diinkubasi selama satu minggu, namun respons tersebut tergantung pada tingkat kematangan gambut dan dosis pupuk urea. Hasil percobaan laboratorium ini merupakan dasar untuk memprediksi adanya peningkatan fluks CO2 dari lahan gambut dengan penambahan pupuk urea, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk skala penelitian lapang. Dalam penerapan penelitian lapang tersebut hendaknya berlandaskan hasil analisis beberapa karakteristik bahan gambut yang telah diperoleh dari penelitian ini. Karakteristik sifat fisiko kimia gambut ini berasal dari tiga lokasi gambut di desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut.

Emisi CO2 dan CH4 tidak dapat dihindarkan dalam budidaya tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan. Selama masa budidaya tanaman kelapa sawit, emisi dalam jumlah tinggi tetap terjadi disebabkan berlangsungnya proses dekomposisi gambut oleh mikroorganisme. Pembuatan drainase pada pembukaan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sangat penting untuk membuang kelebihan air, mencuci sebagian asam-asam organik, dan menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, karena tanaman kelapa sawit tidak dapat tumbuh pada tanah dengan kandungan kadar air tinggi apalagi jenuh air. Fauzi et al. (2006) menjelaskan bahwa perakaran kelapa sawit sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah, sedangkan akar sekunder, tertier dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air

tanah. Sistem perakaran paling banyak ditemukan pada kedalaman 0-20 cm. Saluran drainase yang biasa dibuat untuk tanaman kelapa sawit sedalam 50-80 cm. Kedalaman drainase ini sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi gambut. Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun.

Data pengukuran emisi CO2pada penelitian ini sama seperti yang dikutip dari kebanyakan penelitian lain merupakan data dari pengukuran jangka pendek sehingga memberikan gambaran emisi sesaat, sehingga dapat lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Besarnya angka emisi sangat bervariasi antar berbagai penelitian. Penelitian Furukawa et al. (2005) pada tanah gambut di daerah Jambi dengan kedalaman drainase 24 cm menemukan emisi CO2 sebesar 64 t ha-1 th-1, sedangkan Ali et al. (2005) menyatakan fluks CO2 di daerah pertanian Jambi dengan kedalaman drainase 78 cm sebesar 77 t ha-1 th-1, kemudian Melling et al. (2005a) menyatakan fluks CO2 di perkebunan kelapa sawit Serawak (Malaysia) dengan kedalaman drainase 60 cm sebesar 55 t ha-1th-1 dan menurut Murayama dan Bahar (1996), fluks CO2 di perkebunan kelapa sawit Johor Barat (Malaysia) dengan kedalaman drainase 80 cm sebesar 54 t ha-1 th-1. Pengukuran emisi GRK jangka panjang dan berulang, diperlukan untuk meningkatkan keyakinan tentang dugaan emisi tahunan yang berasal dari proses dekomposisi gambut ini.

Pada penelitian ini, besarnya emisi CO2 sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah. Hasil pengamatan pada bulan Oktober-Novermber 2008 menunjukkan bahwa pada saat kedalaman muka air tanah berkisar antara 39-86 cm, emisi CO2di rhizosfer berkisar antara 6 - 87 t ha-1 th-1 (rata-rata 30,53 ± 17,94 t ha-1 th-1), sedangkan di non rhizosfer berkisar antara 0,1 – 70 t ha-1 th-1 (rata-rata 19,02 ± 14,22 t ha-1 th-1). Nilai emisi CO2pada penelitian ini mendekati angka perkiraan emisi CO2dari dekomposisi gambut yang ditanami kelapa sawit yang diusulkan oleh Germer dan Sauerborn (2008) yaitu sebesar 31,4 ± 14,1 t ha-1 th-1. Hooijer et al. (2006) dari review sejumlah literatur mengemukakan bahwa untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi CO2akan meningkat setinggi 0,91 t ha-1 th-1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1

94 cm, sehingga apabila kedalaman muka air tanah 40-80 cm, maka emisi CO2

berkisar antara 36,4-72,8 t ha-1 th-1. Peningkatan emisi CO2 pada gambut tropik lebih tajam dibandingkan dengan gambut beriklim sedang dan gambut kutub. Hal ini diduga karena tingginya rata-rata dekomposisi pada gambut tropik yang memiliki iklim panas dan curah hujan tinggi. Pada penelitian ini menunjukkan hasil bahwa nilai korelasi antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2

tidak selalu linier positif pada semua kisaran kedalaman muka air tanah.

Pada penelitian ini ditemukan tiga pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2(Gambar 53) yaitu:

1. Pola 1 (pola paling dominan): semakin dalam muka air tanah, emisi CO2

semakin meningkat. Pada pola ini titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan titik pengamatan yang lebih jauh dari saluran drainase, karena titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah lebih dalam. Pola hubungan ini umumnya terjadi pada lahan pertanian baru disertai dengan pembuatan drainase yang didominasi oleh gambut fibrik. Drainase baru ini secara drastis menyebabkan menurunnya permukaan air tanah, terjadinya subsiden pada permukaan gambut dan mulai terjadi emisi CO2(Hooijer et al., 2006). Emisi CO2akan meningkat sejalan dengan semakin dalamnya muka air tanah akibat banyaknya air tanah yang hilang ke saluran drainase, sehingga tercipta kondisi oksidatif yang memacu proses dekomposisi. Lahan gambut yang didominasi oleh gambut fibrik memiliki stabilitas rendah dan kadar air relatif tinggi, sehingga kehilangan C pada gambut ini lebih tinggi daripada gambut lebih matang. Pengaruh drainase ini berbeda dengan gambut yang sudah lama untuk budidaya kelapa sawit. Pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 di lahan gambut Cot Gajah Mati mengikuti pola 1. 2. Pola 2: muka air tanah semakin dalam, emisi CO2semakin menurun. Pola

ini dapat terjadi pada lahan gambut yang telah lama diusahakan untuk kebun kelapa sawit yang disertai dengan pendalaman saluran drainase. Lahan gambut pada kondisi seperti ini subsiden sudah lebih stabil, permukaan gambut didominasi oleh gambut hemik dan saprik sehingga

emisi CO2 yang dihasilkan tidak meningkat dengan semakin dalamnya muka air tanah, bahkan terjadi sebaliknya. Menurunnya emisi CO2dengan semakin dalamnya muka air tanah karena gas CO2 hasil proses dekomposisi dari bahan gambut yang lebih matang jauh lebih sedikit daripada gambut mentah.

3. Pola 3: muka air tanah semakin dalam, tidak menyebabkan perubahan terhadap emisi CO2. Pola ini terjadi pada gambut yang didominasi oleh senyawa-senyawa yang telah inert seperti quinon sehingga tidak terbentuk gas CO2, karena proses dekomposisi sudah berakhir.

Pola 1 Pola 2 Pola 3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Emisi CO2 (t ha-1th-1) K ed al am an m uk a ai r ta na h (c m ))

Pola 1 Pola 2 Pola 3

Gambar 53. Pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2

Dari kajian pengaruh faktor-faktor di lapang yang mempengaruhi emisi CO2 dan CH4, nampak jelas bahwa kedalaman muka air tanah sangat

96 mempengaruhi dinamika emisi CO2dan CH4. Dari hasil pengukuran emisi CO2

dan CH4dari seluruh lokasi penelitian dengan berbagai kedalaman muka air tanah dapat diketahui bahwa emisi CH4 tidak terdeteksi pada permukaan gambut (kedalaman muka air tanah 0 cm) namun emisi CO2 mencapai 11,903 t ha-1 th-1. Emisi CH4meningkat dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah sampai 18 cm, namun setelah itu terjadi penurunan bahkan sudah tidak terdeteksi pada kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut. Hal ini berkaitan erat dengan kepadatan populasi bakteri metanogen yang jauh lebih sedikit daripada bakteri metanotrop pada bahan gambut di atas rata-rata permukaan air tanah (Granberg et al., 1997) seperti yang dilustrasikan pada Gambar 54.

Gambar 54. Skema profil kedalaman yang menunjukkan distribusi komonitas bakteri metanogen (penghasil CH4) dan bakteri

metanotrop (konsumsi CH4) dalam hubungannya dengan rata-rata permukaan air tanah (Granberg et al.,1997).

Alexander (1977) menjelaskan bahwa laju pembentukan CH4 secara akumulatif ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil CH4 dan lingkungannya. Metanogen membutuhkan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada temperatur 30-40oC. Bakteri metanogen hanya dapat hidup pada kondisi anaerob dan sangat sensitif bila ada oksigen, walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Metana yang dihasilkan oleh aktivitas metanogen melalui proses reduksi CO2 atau fermentasi asetat ini akan dilepaskan dari zone reduktif ke atmosfer baik melalui tiga proses difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman.

Bakteri metanogen. Tinggi air rata-rata.

Bakteri metanotropik.

Permukaan vegetasi. Kepadatan populasi organisme

K e d a l a m a n

Pada penelitian ini emisi CH4 mulai terdeteksi pada kedalaman muka air tanah 4 cm dari permukaan gambut. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Francez et al. (2000) bahwa pada lapisan atas (0-10 cm) tidak terjadi produksi CH4. Produksi CH4 mulai terjadi pada lapisan gambut kedalaman 10-20 cm dan 65-75 cm, namun rendah yaitu antara 6 x 10–3dan 53 x 10–3μg C g–1d–1.

Dengan memperhatikan fenomena pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap dinamika emisi CO2 dan CH4 tersebut, maka pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan kunci dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha untuk melestarikan lingkungan. Dalam kondisi tergenang (muka air tanah pada permukaan gambut) kelapa sawit tidak mampu beradaptasi tumbuh, sehingga pembuatan drainase yang menentukan kedalaman muka air tanah merupakan keharusan untuk budidaya kelapa sawit di lahan gambut. Dari hasil penelitian ini ternyata pada kedalaman 4-18 cm disamping akan muncul emisi CH4sebesar 0,078 - 4,525 t ha-1th-1dengan rata-rata 1,336 ± 1,63 t ha-1th-1, juga akan muncul emisi CO2 sebesar 3,194- 32,403 t ha-1 th-1 dengan rata-rata 16,364 ± 11,50 t ha-1th-1. Sedangkan pada kedalaman muka air tanah di atas 34 cm hanya emisi CO2saja yang terdeteksi.

Jadi secara alami produksi CH4 dan CO2 pada lahan gambut merupakan proses yang tak terhindarkan. Munculnya kedua gas tersebut sangat berpengaruh terhadap potensi pemanasan global (global warming potential/ GWP). Potensi pemanasan global ini dapat dihitung dari hasil kali total fluks masing-masing gas terhadap indeks GWPnya. Menurut IPCC (2001), indeks GWP untuk CO2 dan CH4masing-masing sebesar 1 dan 23. Semakin besar nilai indeks GWP semakin besar potensinya untuk menyebabkan pemanasan global. Perhitungan GWP dari kedua gas tersebut secara simultan digunakan sebagai dasar trade off keduanya untuk menyusun teknik budidaya kelapa sawit di lahan gambut yang diharapkan mampu meminimalkan potensi dampak negatif terhadap lingkungan. Pengelolaan kedalaman muka air tanah diharapkan akan meminimalisasi munculnya fluks CH4

dan mengurangi suasana oksidatif yang dapat mempercepat laju dekomposisi bahan organik yang akan menghasilkan gas CO2 sehingga diperoleh satu titik pertemuan kedalaman muka air tanah yang menyebabkan emisi CO2 dan CH4

98 Berdasarkan metode perhitungan ini, maka nilai GWP pada kedalaman muka air tanah 4-18 cm sebesar 1,785- 104,086 t CO2ha-1th-1(rata-rata 22,995 t CO2ha-1th-1), nilai GWP untuk kedalaman muka air tanah 34 cm sebesar 4,877 t CO2 ha-1 th-1, sedangkan nilai GWP untuk kedalaman muka air tanah 34-86 cm hanya berasal dari fluks CO2 saja yaitu berkisar antara 0,145- 70,085 t ha-1 th-1 (rata-rata fluks 21,284 t CO2 ha-1th-1). Dengan demikian, kedalaman muka air tanah pada 34 cm merupakan jumlah minimum total emisi C dari lahan gambut pada lokasi penelitian.

Pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Kegiatan ini berkaitan erat dengan permasalahan efisiensi dalam pembuatan drainase. Tujuan utama pembuatan drainase adalah untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan tanaman kelapa sawit dapat tumbuh, berkembang, dan berproduksi baik di lahan gambut. Oleh karena itu pembuatan drainase sebaiknya dibuat secara bertahap disesuaikan dengan umur tanaman kelapa sawit. Pada awal pembukaan gambut belum tentu harus disertai dengan pembuatan drainase sedalam 2 m karena awal pertumbuhan baru terbentuk akar primer tanaman di permukaan atas lahan gambut. Peranan tata air yang baik memang sangat diperlukan pada lahan gambut agar dapat mencegah kehilangan C melalui emisi CO2 sebagai hasil dekomposisi apabila berada dalam suasana oksidatif dan melalui emisi CH4 dalam suasana reduktif. Disamping itu, kehilangan C bisa terjadi melalui drainase air gambut dan terbentuknya pasir semu. Menurut Yulianti (2009), pada gambut yang berada di atas permukaan dengan ketebalan 2 cm cenderung terbentuk pasir semu karena mengalami pengeringan yang intensif akibat drainase dan penyinaran matahari. Jumlah C yang hilang dari pasir semu relatif kecil dan peluang untuk terjadinya emisi CO2 pada pasir semu sangat kecil dibandingkan dengan laju erosi yang mungkin terjadi.

Hasil penelitian dengan memasukkan 3 buah akar ke dalam sungkup permanen menunjukkan bahwa emisi CO2 di rhizosfer lebih tinggi daripada non rhizosfer. Perhitungan lebih lanjut dari data emisi CO2 rhizosfer dan non rhizosfer menunjukkan bahwa emisi CO2dari daerah rhizosfer dapat mencapai 4 kali lebih besar daripada daerah non rhizosfer (Gambar 55).

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 20 40 60 80 100

Emisi CO2 non rhizosfer (t ha-1th-1)

E m is i C O2 r hi zo sf er ( t ha -1 th -1 )

Gambar 55. Hubungan antara fluks CO2di rhizosfer dan non rhizosfer Tingginya fluks CO2 di rhizosfer ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu mengubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar (Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999). Rhizosfer mempunyai lingkungan yang memungkinkan untuk berkembangnya banyak organisme (Bowen dan Rovina, 1991; Peterson, 2003) maka banyak proses yang terjadi pada akar/permukaan tanah yang secara langsung maupun tidak langsung meningkatnya kapasitas fungsi tanah untuk pertumbuhan tanaman dan buffer lingkungan (Gregory dan Hinsinger, 1999). Aktivitas mikrob meningkat sebagai akibat tingginya konsentrasi nutrisi, C-labil, dan eksudat akar di sekitar daerah perakaran (Kuzyakov et al., 2000; Subke at al., 2004; Hamer dan Marschner, 2005). Dengan demikian produksi CO2 yang merupakan resultante dari respirasi mikroorganisme dan respirasi akar di rhizosfer lebih tinggi daripada non Rhizosfer. Respirasi rhizosfer ini sangat berkorelasi dengan respirasi akar dan aerasi akar, sehingga mempengaruhi terjadinya oksidasi CH4 menjadi fluks gas CO2sebelum mencapai permukaan tanah. Namun mekanisme dua arah proses emisi gas CO2dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi.

Dokumen terkait