• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN UMUR TANAMAN Rasional

Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO2 dan CH4. Konversi hutan gambut ini mengakibatkan perubahan terhadap karakteristik inhern gambut. Tindakan pengelolaan kebun kelapa sawit seperti drainase, pembuatan jalan, pemupukan dan pengapuran yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit akan berpengaruh terhadap karakteristik lahan gambut seperti perubahan pada bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Selain itu budidaya monokultur ini akan menurunkan keanekaragaman hayati dan perubahan unsur mikro yang sangat terkait dengan emisi CO2dan CH4.

Besarnya emisi CO2 di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode pengukuran, diantaranya metode titrasi dan menggunakan alat kromatografi gas. Pengukuran menggunakan metode tertentu pasti disertai dengan serangkaian peralatan pendukung yang berbeda dengan menggunakan metode lainnya. Dengan demikian metode pengukuran sampel gas CO2 sangat menentukan jumlah konsentrasi CO2yang terukur, sehingga mempunyai pengaruh terhadap besarnya hasil pengukuran emisi CO2.

Dalam pengukuran emisi CO2 terjadi variasi temporal yang tinggi terkait dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda daripada musim penghujan, maka emisi CO2sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut.

Besarnya emisi CO2 dan CH4sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan gambut seperti kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO2 dan CH4 (Nyman dan DeLaune, 1991; Moore dan Dalva, 1993; Klemedtsson et al,. 1997). Kedalaman muka air tanah

52 akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO2

dan CH4. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO2. Gambut juga dapat menghasilkan CO2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron (Morril et al., 1982), namun pada kondisi anaerob, bakteri metanogen akan memproduksi CH4(Rinnan et al., 2003). Ketebalan gambut sangat berkaitan dengan besarnya cadangan C gambut dan tingkat kesuburan gambut. Menurut Sylvia et al. (1998), ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan gambut untuk tanaman kelapa sawit, karena semakin tebal gambut akan semakin besar juga kendala biofisik yang ditemui dalam pengelolaan gambut. Makin tebal gambut cenderung semakin rendah produktivitas lahannya.

Daerah perakaran (rhizosfer) khususnya pada tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar merupakan bagian penting yang memberikan pengaruh dalam emisi CO2dan CH4di lahan gambut. Komunitas mikrob dan proses dekomposisi di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada tanah yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan akar tanaman (bulk soil). Hal ini disebabkan oleh (1) meningkatnya ketersediaan substrat seperti akar-akar yang mati di rhizosfer, sehingga kualitas komunitas dekomposer meningkat, (2) meningkatnya ketersediaan eksudat akar dan derivatnya akan meningkatkan dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C-organik terlarut (Ekberg et al., 2007). Proses dekomposisi yang lebih cepat ini menyebabkan emisi CO2 di daerah rhizosfer lebih tinggi, karena gas CO2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi.

Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Emisi CO2

akan meningkat dengan meningkatnya biomas akar dan umur tanaman. Pola hubungan peningkatan biomass tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan

bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan. Tanaman dapat berperan sebagai media transportasi CO2 dari dalam tanah ke atmosfer, terutama pada tanaman yang mempunyai jaringan aerenchima. Akar tanaman yang memiliki aerenkim akan menembus horizon yang lebih dalam, sehingga akan menyumbang eksudat akar dan memberikan substrat dalam proses produksi gas CO2. Produksi gas-gas pada daerah perakaran ini dilepaskan ke atmosfer melalui beberapa cara yaitu difusi, ebulisi, dan transport tanaman.

Perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan pengendalian dan interaksi antara fluks CO2 dengan mekanisme dua arah antara dalam tanah dan atmosfer (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom et al., 2005), tidak terkecuali pada konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan analisis data hasil pengukuran emisi CO2dan CH4yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit, semak belukar dan hutan di lahan gambut dengan tujuan untuk:

(1) mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO2.

(2) mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO2 pada musim hujan dan musim kemarau.

(3) Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dan CH4di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit. (4) Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO2.

(5) Mengevaluasi emisi CO2 pada kebun kelapa sawit dengan umur tanaman yang berbeda.

(6) Mengevaluasi emisi CO2 pada 3 tipe penggunaan lahan.. Bahan dan Metode

Tahapan kegiatan analisis fluks CO2 di lapang diawali dengan penentuan lokasi kebun kelapa sawit, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan transek dan penentuan titik pengamatan. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon

54 kelima dari saluran drainase, demikian untuk titik pengamatan selanjutnya pada setiap tiga pohon berikutnya yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rhizosfer dan non rhizosfer. Transek yang dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pada lahan gambut Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun dan b) transek ke-2; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun.

2. Pada lahan gambut Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan terdapat lima transek yaitu: a) transek ke-3; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun b) transek ke-4; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun c) transek ke-5; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun d) transek ke-6; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun dan e) transek ke-7; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun.

3. Pada lahan gambut Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek terdapat dua transek yaitu a) transek ke-8; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) pertama yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun baru ditanam dan b) transek ke-9; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) kedua yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun. Pada pengamatan bulan Mei-Juni 2008 pada lokasi ini terdapat tiga transek. Masing-masing transek terdiri dari empat pasang (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) titik pengamatan, namun pada pengamatan bulan Oktober-November sungkup tersebut hilang.

4. Pada lahan gambut Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI terdapat dua transek yaitu a) transek ke-10; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada

lahan gambut yang didominasi semak belukar, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan b) transek ke-11; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada hutan sekunder gambut, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama.

Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rhizosfer dan non rhizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Sungkup rhizosfer berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm. Pada paralon tersebut dibuat lubang dengan diameter 5 cm pada titik 20 cm dari atas permukaan paralon. Lubang ini dimaksudkan untuk memasukkan tiga buah akar sedemikian rupa sehingga akar tetap dapat tumbuh dan berkembang dalam sungkup (Gambar 25b). Sungkup ini dipasang pada jarak 2,5 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 10 tahun (Gambar 23a), 1 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 5 tahun, dan < 1 m untuk kelapa sawit umur 1 tahun (Gambar 25a), hal ini disesuaikan dengan keberadaan bulu-bulu akar. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas non rhizosfer dilakukan dengan memasang paralon silinder dengan ukuran yang sama tetapi tanpa dibuat lubang. Paralon ini dipasang pada 1 m dari paralon rhizosfer dengan perlakuan yang sama (Gambar 26a).

Saat pengambilan sampel gas, pada sungkup permanen dipasang tutup sungkup yang telah dilengkapi sebuah septum untuk tempat jarum syringe, sebuah kipas angin kecil yang digerakkan dengan baterei 9 volt untuk mengaduk udara dalam sungkup dan sebuah termometer untuk mengukur suhu dalam sungkup. Untuk metode analisis dengan menggunakan alat kromatografi gas, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 5 dan 10 ml, dengan frekuensi pengambilan sampel gas 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib. Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-400 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Alat ini selain mengukur konsentrasi gas CO2 juga mampu mendeteksi CH4sekaligus.

Dari data perubahan konsentrasi CO2 dan atau CH4 antar waktu pengambilan sampel gas akan diperoleh gradien perubahan konsentrasi per satuan waktu (dc/dt). Dengan diketahuinya gradien ini dan dengan diukurnya data suhu,

56 dan ketinggian efektif sungkup akan dapat dihitung nilai fluks CO2 dan CH4. Perhitungan fluks gas CO2 dan CH4 didasarkan pada metode Hue et al. (2000), dengan rumus:

F = m/A/t

F = ρ x H x dc/dt (mg CO2-C m-2jam-1 atau mg CH4- C m-2 jam-1) F = (44/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CO2-C m-2jam-1) F = (16/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CH4- C m-2 jam-1) Dengan lambang notasi:

F = fluks CO2atau CH4(mg CH4-C m-2jam-1 atau mg CH4-C m-2jam-1) ρ = kerapatan CO2-C atau CH4-C pada suhu absolut (g dm-3),

H = tinggi efektif sungkup (m)

dc/dt = perubahan konsentrasi CO2atau CH4-C antar waktu (ppm jam-1) t = rata-rata suhu dalam sungkup (oC)

Sedangkan untuk analisis gas dengan metode titrasi, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 50 ml dari sungkup yang dipasang di atas paralon silinder permanen yang telah dipasang di lahan gambut. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib dengan frekuensi pengambilan 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Sampel gas dalam syringe dimasukkan ke dalam botol vial berukuran 35 ml yang telah diisi dengan KOH 0,2N sebanyak 5 ml. Untuk mengetahui konsentrasi gas CO2 dilakukan titrasi pada larutan KOH 0,2N yang telah menyerap sampel gas CO2dengan larutan HCl 0,1N dengan menggunakan indikator penolptalin (pp) dan metil oranye (mo), dengan berpedoman pada perubahan warna sebagai berikut:

1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp) K2CO3 + HCl KCl + KHCO3

2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo) KHCO3 + HCl KCl + H2O + CO2

Perhitungan jumlah CO2 dengan metode titrasi diperoleh dengan menggunakan persamaan:

Dengan lambang notasi: a = ml HCl sampel gas b = ml HCl blanko

t = normalitas HCl (tentukan normalitas yang tepat dari larutan HCl) r = (a-b) x t

Evaluasi metode analisis dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO2dari kedua metode tersebut, sedangkan evaluasi pengaruh musim dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO2 dengan menggunakan alat kromatografi gas yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2008 mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November mewakili musim hujan.

Disamping pengukuran konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada sungkup rhizosfer dan non rhizosfer, dilakukan juga pengukuran kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Untuk mengetahui kedalaman muka air tanah dilakukan kegiatan sebagai berikut: (1) membuat lubang dengan bor tanah pada titik tengah antara sungkup rhizosfer dan non rhizosfer setiap titik pengamatan, (2) lubang dibiarkan selama 2 jam supaya posisi air tanah stabil, (3) memasukkan kayu ke dalam lubang hingga menyentuh air tanah dan mengukur kedalaman muka air tanah dari permukaan gambut dengan alat meteran, dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Untuk mengetahui ketebalan gambut diukur dengan melakukan pengeboran gambut dari permukaan hingga ditemukan lapisan tanah mineral yang dinyatakan dengan satuan centimeter (cm).

Data emisi CO2 dan CH4 pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer, pengukuran kedalaman muka air tanah dan pengukuran ketebalan gambut yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9,1 untuk mengetahui: (1) regresi dan korelasi antara kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dan CH4, (2) regresi dan korelasi antara ketebalan gambut terhadap emisi CO2. Semua pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%.

Untuk mempelajari pengaruh pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman terhadap fluks CO2 dilakukan analisis korelasi dan regresi pada data emisi CO2 non rhizosfer berdasarkan umur tanaman dengan menggunakan SAS versi 9,1. Pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%. Sedangkan data fluks CO2 dari kebun kelapa sawit (desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), semak, hutan (desa Cot Gajah Mati dan Simpang) dievaluasi untuk mengetahui pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap fluks CO2.

58 Hasil dan Pembahasan

Penelitian dilaksanakan di empat lokasi gambut yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat, yaitu (1) kebun kelapa sawit di Desa Suak puntong, Kecamatan Meurebu (2) kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan, (3) kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek, dan (4) hutan dan semak belukar di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI (Gambar 18). Deskripsi masing-masing lokasi adalah sebagai berikut:

1. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu.

Kebun kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu merupakan perkebunan milik perorangan dengan luas kebun sekitar 15 ha. Tanaman kelapa sawit ditanam dengan jarak 9 m x 9 m dan telah berumur 10 tahun (Gambar 19a). Kebun ini tidak terpelihara secara intensif, terbukti dengan tingginya semak belukar diantara pohon kelapa sawit mencapai 1 - 1,5 m (Gambar 20b), tidak dilakukannya pemangkasan dahan yang kering dan pemupukan tidak diberikan secara rutin.

(a) (b)

Gambar 19. (a) Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong

Pada blok kebun yang berukuran panjang 1150 m dan lebar 300 m dibuat 2 buah transek, jarak antar transek 1 dan 2 sekitar 150 m ke arah hutan.

Peat

Dokumen terkait