• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI Tahun 2005

Dewan Periklanan Indonesia (DPI) adalah lembaga independen yang dibentuk oleh dan dari berbagai pihak periklanan Indonesia yang nantinya akan bermanfaat untuk kepentingan pihak periklanan maupun masyarakat secara keseluruhan. DPI memiliki beberapa fungsi seperti memastikan terjadinya persaingan yang sehat antar pelaku periklanan dan memastikan setiap iklan memiliki tanggungjawab etika dengan menaati aturan dari DPI (Anonim, 2005). DPI menyusun Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang merupakan dasar penegakan etika dalam iklan, sehingga kedua fungsi tersebut dapat tercapai.

Suatu iklan dapat dikatakan telah memiliki tanggungjawab sosial jika menaati aturan DPI. DPI telah cukup mengatur berbagai masalah periklanan yang

kerap timbul dalam periklanan baik menyangkut isi, bahasa, maupun pemeran iklan (Diani, 2012). Pada kenyataannya masih terdapat beberapa iklan obat yang melanggar aturan DPI. Aturan DPI yang harus ditaati oleh iklan obat dijabarkan dalam tabel X berikut.

Tabel X. Aturan Iklan Obat Menurut DPI (Dewan Periklanan Indonesia) Tahun 2005 (Anonim)

No. Kriteria

1. Menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan. 2. Tidak menganjurkan pemakaian obat secara berlebihan.

3. Tidak menjanjikan penyembuhan, tetapi hanya membantu menghilangkan gejala penyakit.

4. Tidak menggambarkan rekomendasi, atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu dari Tenaga kesehatan.

5. Tidak menganjurkan bahwa obat adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh.

6. Tidak menakut-nakuti orang terhadap sesuatu penyakit karena tidak menggunakan obat yang diiklankan.

7. Tidak menggunakan kata aman”, “tidak berbahaya”, “bebas efek samping” dan “bebas risiko”.

8. Tidak menawarkan diagnosa pengobatan atau perawatan lewat surat menyurat.

9. Tidak boleh menawarkan jaminan pengembalian uang (warranty) 10. Tidak boleh menyebutkan adanya kemampuan untuk menyembuhkan

penyakit dalam kapasitas yang melampaui batas atau tidak terbatas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aturan DPI yang kerap dilanggar oleh iklan obat yaitu menjanjikan penyembuhan; tidak menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan; dan menggunakan kata “aman”, “tidak berbahaya”, “bebas efek samping” dan “bebas risiko”. Menurut Hariyanto (2009), semakin ketatnya persaingan antar industri farmasi menyebabkan pihak industri

farmasi lebih agresif dalam berpromosi, sehingga menarik perhatian masyarakat dalam meiliih produknya. Menjanjikan penyembuhan dan mencantumkan kata- kata seperti “aman”, “tidak berbahaya”, “bebas efek samping” dan “bebas risiko” dijadikan salah satu strategi pemasaran oleh pihak produsen. Hasil evaluasi iklan obat yang telah melanggar aturan DPI, dapat dilihat pada lampiran 10.

Iklan obat dikatakan menjanjikan penyembuhan bila terdapat pernyataan atau penggambaran bahwa kondisi penyakit tertentu dapat sembuh jika telah mengkonsumsi obat tersebut. Penggunaan kata menuntaskan, mengobati, mengatasi, menyetop, menuntaskan, membebaskan dan membereskan dalam iklan obat, juga dikatakan dapat menjanjikan penyembuhan. Hal itu disebabkan karena kata-kata tersebut memiliki pengertian yang sama dengan menyembuhkan, yaitu dapat menyembuhkan kondisi penyakit tertentu jika telah mengkonsumsi obat.

Terdapat 28,2% iklan obat yang melanggar aturan DPI dengan menjanjikan penyembuhan yaitu Albothyl®, Bodrex® (versi nelayan dan ibu rumah tangga), Dulcolactol® Lactulase, Entrostop®, Fatigon®, Mextril®, Mixagrip® Rhema, dan lain-lain.

Iklan Paramex® merupakan salah satu contoh iklan obat yang menjanjikan penyembuhan. Iklan tersebut menyatakan bahwa obat Paramex® dapat “mengobati sakit kepala”. Penggunaan kata mengobati memiliki pengertian yang sama dengan menyembuhkan. Kejadian serupa juga terdapat pada iklan Mextril® yang menyatakan bahwa obat Mextril® dapat “mengatasi batuk pilek sampai tuntas”.

Beberapa iklan obat yang tidak menganjurkan indikasi apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa iklan obat tersebut melanggar aturan DPI yang pertama, yaitu menganjurkan obat menurut indikasi yang diajukan. Sebesar 2,2% dari 46 iklan obat tidak mencantumkan informasi indikasi obat seperti iklan Promag®.

Penggunaan kata “aman” pada iklan obat di Indonesia, masih dapat ditemui pada iklan Kalpanax K® dan Mixagrip® Rhema. Iklan obat yang

melanggar aturan DPI dengan mencantumkan kata “aman” sebesar 4,4%,

sedangkan 95,6% iklan obat lainnya telah menaati aturan tersebut.

Aturan mengenai tidak menganjurkan pemakaian obat secara berlebihan; rekomendasi dari tenaga kesehatan; obat adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh; warranty atau jaminan pengembalian uang; diagnosa melalui surat menyurat; dan kemampuan menyembuhkan yang melampaui batas, dalam penelitian ini telah ditaati seluruh iklan obat.

Anjuran pemakaian obat secara berlebih akan menyebabkan penggunaan obat yang tidak rasional, khususnya dari faktor tidak tepat dosis (Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011). Berdasarkan teori tersebut, iklan obat yang menganjurkan pemakaian berlebih dapat menyebabkan kegagalan kerasionalan terapi.

Perusahaan farmasi berpendapat dokter dapat menarik emosi atau perhatian konsumen, sehingga dapat mempengaruhi penjualan obat (Spillane, 2010), sehingga dapat disimpulkan konsumen akan berpendapat bahwa obat

tersebut merupakan pilihan tenaga kesehatan. Konsumen pun cenderung percaya dan memilih obat tersebut untuk menyembuhkan penyakitnya.

Warranty atau yang biasa disebut garansi, bertujuan untuk mempromosikan suatu produk (Murthy and Blischke, 2006). Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang menampilkan garansi suatu produk ingin agar produknya laku di pasaran dibandingkan produk kompetitornya.

Anjuran bahwa obat adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh; diagnosa melalui surat menyurat; dan menyebutkan kemampuan penyembuhan suatu obat yang melampaui batas, mungkin merupakan salah satu strategi pemasaran oleh pihak produsen.

Tabel XI. Persentase Evaluasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus 2014 Menurut DPI tahun 2005

No. Kriteria Sesuai

Tidak

Sesuai Total

n % n % n %

1. Tidak menjanjikan penyembuhan, tetapi hanya membantu menghilangkan gejala penyakit.

33 71,8 13 28,2 46 100 2. Menganjurkan obat menurut indikasi

yang diajukan. 63 95,6 2 4,4 46 100 3. Tidak menggunakan kata “aman”,

“tidak berbahaya”, “bebas efek samping” dan “bebas risiko”.

63 95,6 2 4,4 46 100 4. Tidak menganjurkan pemakaian obat

secara berlebihan.

46 100 0 0 46 100 5. Tidak menggambarkan rekomendasi,

atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu dari Tenaga kesehatan.

Lanjutan Tabel XI

6. Tidak menganjurkan bahwa obat adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan tubuh.

46 100 0 0 46 100 7. Tidak menakut-nakuti orang terhadap

sesuatu penyakit karena tidak menggunakan obat yang diiklankan.

46 100 0 0 46 100 8. Tidak menawarkan diagnosa

pengobatan atau perawatan lewat surat menyurat.

46 100 0 0 46 100 9. Tidak boleh menawarkan jaminan

pengembalian uang (warranty)

46 100 0 0 46 100 10. Tidak boleh menyebutkan adanya

kemampuan untuk menyembuhkan penyakit dalam kapasitas yang melampaui batas atau tidak terbatas.

46 100 0 0 46 100

Keterangan : n = jumlah iklan, % = persentase

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari 46 iklan obat terdapat 65,2% iklan obat yang telah sesuai atau menaati aturan menurut DPI. Iklan obat yang masih tidak sesuai atau tidak menaati aturan DPI sebesar 34,8%. Pelanggaran yang kerap terjadi ini dimungkinkan karena terdapat 2 macam fungsi dalam iklan, yaitu fungsi informatif dan persuasif (Turisno, 2012). Iklan berfungsi memberikan informasi mengenai produknya ke khalayak umum. Iklan juga harus dapat menarik perhatian masyarakat untuk menggunakan produknya, sehingga untuk menarik masyarakat, iklan obat kerap menjanjikan kesembuhan bagi konsumen yang menggunakan produknya. Berdasarkan hasil pengamatan ini, banyak iklan obat yang terlalu fokus pada pemeran iklan dan unsur kreatifitas iklan. Hal tersebut menyebabkan kualitas dari kandungan iklan pun dapat dilupakan. Beberapa iklan obat yang cenderung mengarah ke fungsi persuasif tersebut, dapat melupakan fungsi informatif.

Gambar 1. Persentase Evaluasi Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus 2014 Menurut DPI (Dewan Periklanan Indonesia) Tahun 2005

65,2% 34,8%

Persentase Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI

Iklan obat yang sesuai Iklan obat yang tidak sesuai

Bab V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait