• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Tahapan Kebijakan Publik

5. Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang iinginkan.

C. Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Masalah Sampah

Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang kebijakan pemerintah mengatasi permasalahan penduduk tentang pengelolaan sampah sudah menjadi tanggung jawab pemerintah termasuk masalah pembiayaannya. Sedangkan manusia hidup di dunia menentukan lingkunganya atau ditentukan oleh lingkunganya. Perubahan lingkungan sangat ditentukan oleh sikap maupun perlindungan manusia pada lingkungannya. Alam secara fisik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik dan sehat menjadi tidak baik dan tidak sehat dan dapat pula sebaliknya, apabila pemanfaatanya tidak sesuai dengan kemampuan serta melihat situasinya14

Langkah Pertama, faktor penyebab secara internal dilihat dari sudut pandang internal, faktor penyebab mencuatnya masalah sampah antara lain

14

P. Joko Subagyo, Hukum Lingkungan Masalah Penanggulangannya cet.3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 1

adalah minimnya kesadaran warga untuk bertanggung jawab terhadap permasalahan sampah di lingkungan rumah tangganya sendiri. Banyak warga yang merasa bahwa dengan membayar retribusi sampah berarti tanggung jawab sampah menjadi tanggung jawab Kebersihan.

Faktor internal lain adalah munculnya pola pikir atau paradigma yang salah tentang sampah seperti:

Pertama : Masalah sampah adalah masalah kecil yang tidak perlu mendapat prioritas perhatian.

Kedua : Sampah adalah barang yang tidak berguna, bukan sebagai sumber energi atau pendapatan.

Ketiga : Sindrom “not in my backyard” atau Urusan sampah “bukan urusan gue”. Keempat: Filosofi pengelolaan sampah : dikumpulkan → ditampung → dibuang di tempat akhir.

Faktor internal yang tidak kalah pentingnya adalah masalah minimnya kualitas SDM yang berakibat fatal pada buruknya teknologi pengelolaan sampah yang saat ini terbukti sudah tidak lagi mampu menampung kuantitas sampah yang semakin besar.

Faktor penyebab eksternal yang paling klasik terdengar adalah minimnya lahan TPA yang hingga saat ini memang menjadi kendala umum bagi kota-kota besar. Akibatnya, sampah dari kota-kota besar ini sering dialokasikan ke daerah-daerah satelitnya seperti TPA Jakarta yang berada di daerah Bekasi, Depok, dan Tangerang serta TPA Bandung yang berada di Cimahi atau di Kabupaten Bandung.

Alasan eksternal lainnya yang kini santer terdengar di media massa adalah aksi penolakan keras dari warga sekitar TPA yang merasa sangat

dirugikan dengan keberadaan TPA di wilayahnya. Faktor lain adalah tidak adanya AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) melalui kajian geologi, transportasi, sosial-ekonomi, dan lain-lain dimana dengan tidak adanya amdal membuat pemerintah tidak dapat memantau perkembangan yang terjadi akibat kerusakan lingkungan. yang mendukung masalah Amdal sehingga seringkali kita temui TPA yang berada di tempat tinggi meskipun struktur tanah di sebagian besar Jawa Barat bersifat labil. Faktor eksternal dominan lainnya adalah pengelolaan sampah kebersihan kota yang belum dimasukkan ke dalam prioritas pembangunan perkotaan sehingga alokasi anggaran yang ada sama sekali kurang.15

Salah satu kelemahan pengelolaan sampah di TPA adalah masalah minimnya kualitas SDM yang berakibat fatal pada buruknya teknologi pengelolaan sampah yang saat ini terbukti sudah tidak lagi mampu menampung kuantitas sampah yang semakin besar.

1. Pemerintah Pusat

Penanganan kebersihan di wilayah DKI Jakarta dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta, dengan jumlah sarana dan prasarana yang terdiri dari tonk sebanyak 737 buah (efektif : 701 buah); alat-alat besar : 128 buah (efektif : 121 buah); kendaraan penunjang : 107 buah (efektif : 94 buah), sarana pengumpul/pengangkutan sampah dari rumah tangga : gerobak sampah : 5829 buah; gerobak celeng : 1930 buah, galvanis : 201 buah. Bahwa,produksi sampah di kota Jakarta mencapai 7.500,58 m3 / hari. Sumber sampah terbesar adalah sampah domestik atau pemukiman

15

Dikutip dari harian KOMPAS, 15 Mei 2012 yang bersumber dari PD Kebersihan kabupaten Tangerang beserta keterangan singkat dari tim Litbang KOMPAS yang tercantum di bawah data

yang mencapai 4.951,98 m3 / hari. Disusul sampah dari pasar sekitar 618,50 m3, komersial 302,80 m3, jalan 452,30 m3, industri 798 m3, non komersial 363 m3, dan sampah saluran 12,90 m3 / hari. Akumulasi dari sampah yang tidak terangkut sejak 15 April lalu diperkirakan sekitar 225.017,4 m3 sampah. Hasil estimasi jumlah sampah di DKI Jakarta berkisar antara 5.900 – 6.000 ton/hari atau 25.000 m3/hari dan berdasarkan data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, sampah yang dapat tertangani ± 87,72 persen dan sisanya masih dibuang ke sungai, dibakar atau dipakai untuk menimbun.

Sampah yang diangkut dari Lokasi Penampungan Sementara (LPS) akan diolah di Tempat Pemusnahan Akhir (TPA). TPA yang sekarang adalah TPA Bantar Gebang, Bekasi dengan luas yang direncanakan 108 Ha. Status tanah adalah milik Pemda DKI Jakarta dan sistim pemusnahan yang dilaksanakan adalah “sanitary landfill”. Luas tanah yang sudah dipergunakan sebesar 85 persen, sisanya ± 15 persen diperkirakan dapat menampung sampah sampai tahun 2004, sehingga Pemda DKI Jakarta saat ini sudah mencari alternatif-alternatif lain sistim penanganan sampah melalui kerjasama dengan pihak swasta.

Besarnya beban sampah tidak terlepas dari minimnya pengelolaan sampah dari sumber penghasil dan di tempat pembuangan sementara (TPS) sampah. Baru sekitar 75 m3 yang didaur ulang atau dibuat kompos. Sementara itu, sisanya sekitar 60% dibuang begitu saja tanpa pengolahan ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Dan, 30% dibiarkan di TPS. Tak heran bila sampah akan menumpuk di TPA. Akibatnya, daya tampung TPA akan menjadi cepat terpenuhi. Besarnya volume sampah di TPA juga

mempengaruhi biaya pengelolaan. Tahun 2005, sedikitnya dibutuhkan Rp 8 milyar untuk mengelola sampah. Tanpa adanya kebijakan penanganan sampah terpadu, sampah akan terus menjadi masalah16

2. Pemerintah Propinsi

Untuk Penanganan sampah khususnya di Provinsi Banten merupakan salah satu permasalahan perkotaan yang sampai saat ini merupakan tantangan bagi pengelola. Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas yang demikian pesat di kota-kota besar, telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah disertai permasalahannya. Diprakirakan paling banyak hanya sekitar 60% - 70 % yang dapat terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh institusi yang bertanggung jawab atas masalah sampah dan kebersihan, seperti Dinas Kebersihan dan pertamanan. Bagian sampah yang tidak terangkut tersebut ditangani oleh masyarakat secara swadaya, atau sampah yang tercecer dan secara sistematis terbuang ke mana saja.17

Tambah banyak sampah yang dapat diangkut ke TPA bukan pula jaminan bahwa kota akan menjadi makin bersih. Kualitas kebersihan suatu kota, lebih tergantung pada peran serta masyarakatnya untuk menjaga kebersihan kota tersebut. Kebersihan suatu kota biasanya tercermin dari penanganan sampah di tempat-tempat umum seperti di pasar dan sebagainya. Oleh karenanya, pengertian masyarakat bukan hanya terbatas pada penduduk di permukiman-permukiman, tetapi seluruh penghasil sampah, seperti pedagang di pasar, pedagang kaki lima, pejalan kaki,

16Ibid 17

Enri Damanhuri, Departemen Teknik Lingkungan - FTSP ITB, (Teknologi untuk Negeri 2003, Vol. I), 394 - 400

pengusaha hotel dan restoran, pengendara kendaraan, atau karyawan/pegawai di kantor-kantor pemerintah atau swasta, dan sebagainya.

Biasanya pengelola kota cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut, sehingga muncullah kasus TPA Bantar Gebang di Bekasi dan TPA Keputih di Surabaya, dan TPA lain yang belum terungkap di masamedia. Biasanya pengelola kota di Indonesia menganggap bahwa penanganan sampah di TPA dapat berjalan dengan sendirinya. Bahkan petugas untuk mengatur dan mengelola sampah di lapangan tidak disediakan secara baik.

Pengelola kota cenderung beranggapan bahwa TPA yang dipunyainya dapat menyeselesaikan semua persoalan sampah di kotanya, tanpa harus memberikan perhatian yang proporsional terhadap sarana tersebut. Aktivitas utama pemusnahan sampah di TPA adalah dengan landfilling. Dapat dipastikan bahwa yang digunakan di Indonesia adalah bukan landfilling yang baik, karena hampir seluruh TPA di kota-kota di Indonesia hanya menerapkan apa yang dikenal sebagai open-dumping, yang sebetulnya tidak layak disebut sebagai sebuah cara yang sistematis, dan sama sekali sulit pula disebut sebagai sebuah bentuk teknologi penanganan sampah.

3. Pemerintah Kabupaten atau Kota

Pengolahan sampah di kota Tangerang dikelola oleh Dinas Kebersihan, pertamanan dan pemakaman. Tingkat pelayanan pada saat ini baru mencapai 28% dari total penduduk yang setiap tahun bertambah,

dengan total sampah terangkut 445 m3 per hari. Lokasi tempat pembuangan akhir terletak di Rawa Kucing Kelurahan Kedaung Wetan kecamatan sepatan sekitar 7 Km dari pusat kota. Sistem yang dipakai yaitu open dumping dan compositing yang tidak beroperasi secara kontinu dengan luas lahan sekitar 8 Ha (2 Ha milik Pemerintah Daerah dan 6 Ha milik swasta). Sisa kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) saat ini sekitar 0,25 Ha sehingga untuk menampung volume sampah yang ada diperlukan penanganan khusus atau penanganan lainnya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut Dinas Kebersihan telah merencanakan TPA baru di daerah Jatiwaringin yang terletak di Kabupaten Tangerang, bersebelahan dengan TPA milik Kabupaten Tangerang dan merupakan lahan bekas galian tanah dengan luas 10 Ha, dimana pada saat ini baru 8 Ha yang telah dibebaskan.

Sistem pengolahan air limbah yang dioperasikan, saat ini oleh Kota Tangerang meliputi sistem setempat dan sistem terpusat. Sistem setempat berupa jamban pribadi atau jamban umum yang dilengkapi dengan tangki septik dengan bidang rembesan. Apabila tangki septik sudah penuh, lumpur disedot atau dikuras oleh Truk Tinja dan dibuang ke IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja).

Saat ini Pemerintah Kota Tangerang menyediakan 7 unit Truk Tinja dan I unit IPLT di Karawaci. Pembuangan lumpur septik dengan sistem terpusat yaitu pengelolaan air limbah di lokasi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Tanah Tinggi yang melayani Kelurahan Sukasari dan Babakan sebanyak/sekitar 3.000 KK. IPAL ini dibangun oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1981/1982 dengan panjang 22,7 Km dan

pengelolaannya baru diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang kepada Pemerintah Kota Tangerang pada tahun 2000.

Di samping lokasi IPAL Tanah Tinggi, lokasi lain Pengolahan Air Limbah secara terpusat yaitu di kawasan Perumnas Karawaci, dilayani dengan sistem pengolahan kolam oksidasi, sebanyak 2 lokasi dan 6 lokasi lainnya masih berupa Laggon. Penyaluran air limbah dilakukan dengan menggunakan sistem perpipaan skala kawasan dengan kondisi baik dan penyaluran dilakukan secara gravitasi. Cakupan pelayanan dengan sistem perpipaan sekitar 10.000 KK. 18

Akibat operasional yang tidak sempurna, maka timbul pencemaran terhadap badan air di sekitar LPA dan air tanah akibat limbah serta timbulnya kebakaran karena terbakarnya gas methan. Untuk mengatasi hal ini Dinas Kebersihan telah melakukan kegiatan-kegiatan antara lain

1. Menambah fasilitas Unit Pengolahan Limbah dan meningkatkan efisiensi pengolahan sehingga kualitas limbah memenuhi persyaratan untuk dibuang.

2. Meningkatkan/memperbaiki penanganan sampah sesuai dengan prosedur.

3. Membantu masyarakat sekitar LPA dengan menyediakan air bersih, Puskesmas dan ambulance. Keempat: Mengatur para pemulung agar tidak mengganggu operasional LPA.19

Besarnya beban sampah tidak terlepas dari minimnya pengelolaan sampah dari sumber penghasil dan di tempat pembuangan sementara

http://tangerangnews.com/baca/2011/01/24/4173/pemkot-tuding-bandara-kirim-sampah-ke-kota-tangerang. Diakses tanggal 2 April 2012.

19

Sudrajat H.R.., Solusi Mengatasi masalah Sampah kota Dengan Manajemen Terpadu dan Mengolahnya Menjadi Energi Listrik dan Kompos., Cet.1., (Jakarta: Penebar Swadaya, 2006), 5-17

sampah. Baru sekitar 75 m3 yang didaur ulang atau dibuat kompos. Sementara itu, sisanya sekitar 60% dibuang begitu saja tanpa pengolahan ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Dan, 30% dibiarkan di TPS. Tak heran bila sampah akan menumpuk di TPA. Akibatnya, daya tampung TPA akan menjadi cepat terpenuhi. Besarnya volume sampah di TPA juga mempengaruhi biaya pengelolaan. Tahun 2005, sedikitnya dibutuhkan Rp 8 milyar untuk mengelola sampah. Tanpa adanya kebijakan penanganan sampah terpadu, sampah akan terus menjadi masalah. 20

20

Harjasumantri Kusnadi, Hukum Tata Lingkungan, Edisi.7, Cet.15,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), 28-35

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG SAMPAH DI KABUPATEN TANGERANG

A. Gambaran Umum Kabupaten Tangerang A. Sejarah

Kabupaten Tangerang sejak ratusan tahun lalu sudah menjadi daerah perlintasan perniagaan, perhubungan sosial dan interaksi antar daerah lain. Hal ini, disebabkan letak daerah ini yang berada di dua poros pusat perniagaan Jakarta - Banten. Berdasarkan catatan sejarah, daerah ini sarat dengan konflik kepentingan perniagaan dan kekuasaan wilayah antara Kesultanan Banten dengan Penjajah Belanda.21

Semasa Bupati Kabupaten Tangerang dijabat, H. Tadjus Sobirin (1983-1988 dan 1988- 1993) bersama DPRD Kabupaten Tangerang pada masa itu, menetapkan hari jadi Kabupaten Tangerang tanggal 27 Desember 1943 (Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 1984 tanggal 25 Oktober 1984). Seiring dengan pemekaran wilayah dengan terbentuknya pemerintah Kota Tangerang tanggal 27 Februari 1993 berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993, maka pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pindah ke Tigaraksa. Pemindahan ibukota ke Tigaraksa dinilai strategis, karena menggugah kembali cita-cita dan semangat para pendiri untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang bebas dari belenggu penjajahan (kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan) menuju masyarakat yang mandiri, maju dan sejahtera.

21

http://www.kabupaten tangerang.go.id

Oleh kerna itu kabupaten tangerang disebut dengan kota industri karna disetiap lahan kosong pasti dibuat dengan Pabrik atau perumahan.

B. Keadaan Gegrafis

Kabupaten Tangerang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten, terletak dibagian Timur dengan luas wilayah sekitar 959,6 km2(9,93 persen dari luas wilayah Provinsi Banten). Letak Kabupaten Tangerang secara astronomi antara 106020’–106043’ Bujur Timur dan 6000’ – 6020’ Lintang Selatan. Wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten Tangerang, terdiri dari 29 kecamatan, 28 kelurahan dan 246 desa.22

Kondisi topografi wilayah Kabupaten Tangerang merupakan wilayah dataran dengan ketinggian antara 0 – 85 m diatas permukaan laut. Dataran rendah sebagian besar berada di wilayah utara yang berbatasan dengan laut jawa, sedangkan dataran tinggi berada di wilayah bagian tengah ke arah selatan.

Batas wilayah Secara Administrasi sebagai berikut: 1. Utara: Laut Jawa

2. Timur: Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan

3. Selatan: Kabupaten bogor

4. Barat: Kabupaten Serang dan Lebak

Secara administratif, Kabupaten Tangerang terdiri dari 29 Kecamatan, Kelurahan dan desa.

No Kecamatan Luas Daerah (Km2) Keterangan 1. Tigaraksa 48.74 2. Cisoka 55.99

3. Solear Pemekaran dari kec. Cisoka

4. Jambe 26.02

5. Cikupa 42.68

6. Panongan 34.93

7. Curug 40.97

8. Kelapa Dua Pemekaran dari kec. Curug

9. Legok 41.06

10. Pagedangan 50.57 11. Cisauk 43.38 12. Pasar Kemis 60.53

13. Sindang Jaya Pemekaran dari kec. Pasar Kemis 14. Rajeg

15. Mekarbaru Pemekaran dari kec. Kronjo 16. Balaraja 57.48

17. Sukamulya Pemekaran dari kec. Balaraja 18. Jayanti 26.91

20. Gunungkaler Pemekaran dari kec. Kresek 21. Kronjo 68.05 22. Mauk 51.42 23. Kemiri 32.70 24. Sukadiri 24.14 25. Sepatan 56.24

26. Sepatan Timur 35.59 Pemekaran dari kec. Sepatan 27. Pakuhaji 51.87

28. Teluknaga 40.58 29. Kosambi 29.76

C. Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang diperkirakan meningkat sekitar 4,5 persen atau 2,6 juta jiwa. Peningkatan ini dibandingkan tahun lalu dimana penduduk berjumlah 2,5 juta jiwa. Perkiraan tersebut berdasarkan sejumlah indikator diantaranya jumlah kelahiran penduduk dan pendatang baru dari luar daerah pasca lebaran. Penambahan angka penduduk tahun ini mencapai 2,6 juta jiwa. 23Angka pertambahan penduduk di Kabupaten Tangerang mulai terasa dan didominasi dengan gelombang para pendatang dari kota-kota lainnya seperti dari Sumatera, Jawa yang mencari pekerjaan dan menetap di Kabupaten Tangerang pasca lebaran. Pertambahan penduduk didominasi oleh para pendatang.

23

Joniansyah. Keadaan Penduduk Kabupaten Tangerang. Tempo Interaktip 02 September 2012. yang bersumber dari Dinas kependudukan Kabupaten Tangerang.

Kepala Bidang Pendaftaran Penduduk Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang menambahkan untuk operasi kependudukan akan dilaksanakan dilima titik yang merupakan kantong-kantong industri di Kabupaten Tangerang yaitu Cikupa, Balaraja, Curug, Pasar Kemis dan Tigaraksa. Titik-titik ini menjadi pusat para pendatang yang ingin mencari kerja. Bagi pendatang yang sama sekali tidak memiliki identitas diri diancam denda Rp 5 juta. ini sesuai dengan Perda No 2/2006 tentang Kependudukan dan Undang Undang nomor 23 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendataan Kependudukan. Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang memperkirakan jumlah pendatang baru yang tiba kewilayah itu pasca lebaran tahun ini meninkat 20 persen dari tahun lalu yang mencapai 1.520 orang.

B. Pengaruh Sampah di Kabupaten Tangerang

Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Jatiwaringin berada di desa Jatiwaringin Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang. Keberadaannya yang sudah hampir lima belas tahun, ternyata semakin memperparah keadan lingkungan di sekitar. Sebagai warga masyarakat yang tinggal di Jatiwaringin, Saya sangat prihatin sekaligus kecewa dengan keberadaan TPA Jatiwaringin. Sebagai warga masyarakat yang daerahnya hanya dijadikan tempat membuang sampah,

Maka dengan tegas warga yang ekonominya menengah ke atas menolak keberadaan TPA Jatiwaringin untuk terus berada dilingkungannya. Keberadaan TPA Jatiwaringin sangat mengganggu ketentraman warga, khususnya Desa jatiwaringin, juga beberapa desa lainnya, yaitu Desa

Buaranjati, Desa Gintung, dan Desa Rajeg Mulya hampir tiga kecamatan, karena berada tidak jauh dari kawasan TPA tersebut.

Pihak pengelola, yakni Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Tangerang, tidak mengelola sampah di lokasi TPA secara baik dan benar. Sampah hanya diangkut kelokasi, kemudian hanya ditumpuk saja (open dumping), tanpa ada pengelolaan lebih lanjut yang lebih ramah lingkungan. Akibatnya, bau busuk sampah yang menyengat dan juga kerumunan lalat, sudah masuk kerumah warga yang ada di sekitar TPA tersebut, hal ini tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan warga disekitar. Yang lebih berbahaya, rembesan air sampah (Lindi) yang mencemari bagian dalam tanah, sehingga mencemari sumur warga yang notabenenya menjadi konsumsi warga sekitar. Pencemaran lingkungan baik pencemaran Udara, pencemaran Air, juga pencemaran Tanah yang ditimbulkan akan sangat merugikan bagi kehidupan warga untuk sekarang dan masa yang akan datang.

Fakta yang lebih mengejutkan, bahwa TPA Jatiwaringin yang sudah beroperasi lebih dari lima belas tahun, perhatian Pemerintah Kabupaten Tangerang dan intansi terkait, terhadap warga masyarakat yang wilayahnya terkena dampak langsung keberadaan TPA tersebut, masih sangat minim sekali. Kalaupun ada, kemungkinan hanya dirasakan oleh segelintir oknum saja, Tentu saja hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap amanat Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.

Adanya rencana Pemerintah Kabupaten Tangerang untuk mengelola sampah TPA Jatiwaringin menjadi tenaga listrik, mungkin saja baik. Tapi melihat sebuah langkah yang sangat lambat. Sangat terlambat karena hal itu baru akan dilakukan ketika dampak kerusakan lingkungan sudah sedemikian

parahnya. Dan tidak produktif, karena berbicara kebutuhan listrik, di kecamatan kemiri baru beroperasi PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap) baru yang mampu menghasilkan daya 10.000 Mega watt.

C. Lingkungan di Kabupaten Tangerang

Untuk menilai keadaan lingkungan dan upaya yang dilakukan untuk menciptakan lingkungan sehat telah dipilih empat indikator, yaitu persentase keluarga yang memiliki akses air bersih, presentase rumah sehat, keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar, Tempat Umum dan Pengolahan Makanan (TUPM). Beberapa upaya untuk memperkecil resiko turunnya kualitas lingkungan telah dilaksanakan oleh berbagai instansi terkait seperti pembangunan sarana sanitasi dasar, pemantauan dan penataan lingkungan, pengukuran dan pengendalian kualitas lingkungan.

Pembangunan sarana Sanitasi (usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yg baik di bidang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat) dasar bagi masyarakat yang berkaitan langsung dengan masalah kesehatan meliputi penyediaan air bersih, jamban sehat, perumahan sehat yang biasanya ditangani secara lintas sektor. Sedangkan dijajaran Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang kegiatan yang dilaksanakan meliputi pemantauan kualitas air minum, pemantauan sanitasi rumah sakit, pembinaan dan pemantauan sanitasi tempat-tempat umum (Perumahan, Ruko-ruko dan Terminal), tempat pengolahan makanan, tempat pengolahan pestisida dan sebagainya.

Sistem pengolahan air limbah yang dioperasikan, saat ini oleh Kabupaten Tangerang meliputi sistem setempat (on-site) dan sistem terpusat (off-site). Sistem setempat berupa jamban pribadi atau jamban umum yang dilengkapi dengan tangki septik dengan bidang rembesan. Apabila tangki septik sudah penuh, lumpur disedot atau dikuras oleh Truk Tinja dan dibuang ke IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja). Saat ini Pemerintah Kabupaten Tangerang menyediakan 7 unit Truk Tinja dan I unit IPLT di Kecamatan Pasar kemis.

Pembuangan lumpur septik dengan sistem terpusat yaitu pengelolaan air limbah di lokasi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Tanah Tinggi yang melayani Kelurahan Sukasari dan Babakan sebanyak/sekitar 3.000 KK. IPAL ini dibangun oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1981/1982 dengan panjang 22,7 Km dan pengelolaannya baru diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang kepada Pemerintah Kota Tangerang pada tahun 2000.

Di samping lokasi IPAL Tanah Tinggi, lokasi lain Pengolahan Air Limbah secara terpusat yaitu di kawasan Perumnas Karawaci, dilayani dengan sistem pengolahan kolam oksidasi, (Oxidation Pond) sebanyak 2 lokasi (Jalan Pandan dan Jalan Karang) dan 6 lokasi lainnya masih berupa Laggon. Penyaluran air limbah dilakukan dengan menggunakan sistem perpipaan skala kawasan dengan kondisi baik dan penyaluran dilakukan secara gravitasi. Cakupan pelayanan dengan sistem perpipaan sekitar 10.000 KK.

Proses pengolahan pada lagoon terjadi secara biologis dengan melalui proses dan pada saat ini kolam sudah mengalami pendangkalan sehingga pengolahan atau reduksi air limbah tidak optimal.

Akibat operasional yang tidak sempurna, maka timbul pencemaran terhadap badan air di sekitar LPA dan air tanah akibat limbah serta timbulnya kebakaran karena terbakarnya gas methan. Untuk mengatasi hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan telah melakukan kegiatan-kegiatan antara lain :

a. Menambah fasilitas Unit Pengolahan Limbah dan meningkatkan efisiensi pengolahan sehingga kualitas limbah memenuhi persyaratan untuk dibuang. b. Meningkatkan/memperbaiki penanganan sampah sesuai dengan prosedur

“sanitary landfill”.

Dokumen terkait