• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Proteksi Lemak dalam Rumen Secara In Vitro Optimasi metode proteksi

Dalam dokumen Upaya peningkatan asam lemak tidak jenuh (Halaman 72-82)

Rerata kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, asam lemak bebas dan angka yod dari minyak yang disabunkan dengan kadar CaCl2 yang berbeda dan minyak yang diproteksi dengan kapsulasi protein dan formaldehid dengan kadar formaldehid yang berbeda secara in vitro dapat dilihat pada Tabel 8.

Kecernaan bahan kering metode kapsulasi formaldehid berbeda sangat nyata (P<0,01) dibandingkan dengan metode proteksi penyabunan (Lampiran 37 dan Lampiran 38). Pada uji kecernaan in vitro, metode penyabunan menunjukkan kecernaan bahan kering lebih rendah (20,12 vs. 48,83%) pada tingkat 1 atau pencernaan rumen maupun pada tingkat 2 atau pencernaan pasca rumen dibandingkan proteksi menggunakan metode kapsulasi formaldehid. Pada kecernaan bahan kering tingkat 1, kecernaan kapsulasi formaldehid memberikan kecernaan 142,76% lebih besar (48,83 vs. 20,12 %) dibanding kecernaan pada metode penyabunan. Pada kecernaan bahan kering tingkat 2, metode kapsulasi formaldehid memberikan kecernaan 227,68% lebih besar (73,32 vs. 22,38 %) dibanding dengan metode penyabunan.

Perbedaan kadar CaCl2 dalam metode penyabunan dan perbedaan kadar formaldehid dalam metode kapsulasi formaldehid tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kecernaan bahan kering secara in vitro. Kadar CaCl2 dari 0,25 – 1,0% tidak memberikan perbedaan kecernaan bahan kering lemak terproteksi yang nyata, demikian juga kadar formaldehid dari 0,5 – 2 ,0% tidak

48 memberikan perbedaan yang nyata pada kecernaan bahan kering lemak terproteksi baik pada tingkat 1 maupun tingkat 2.

Kecernaan bahan organik lemak terproteksi dengan metode penyabunan lebih rendah dibandingkan kecernaan bahan organik metode kapsulasi formaldehid baik pada tingkat 1 (17,75 vs. 46,98%) maupun pada tingkat 2 (18,33 vs. 70,03%). Perbedaan kadar formaldehid pada metode kapsulasi formaldehid tidak memberikan perbedaan kecernaan bahan organik lemak terproteksi secara invitro baik pada tingkat 1 maupun tingkat 2, hal yang sama juga terjadi pada perbedaan kadar CaCl2 pada metode penyabunan (Lampiran 39, 40).

Pada kecernaan bahan organik tingkat 1, metode kapsulasi formaldehid menunjukkan hasil 164,72% lebih tinggi (46,98 vs. 17,75 %) dan pada tingkat 2 sebesar 282,11% lebih tinggi (70,03 vs. 18,33 %) dibanding metode penyabunan. Dari hasil ini menunjukkan bahwa proteksi dengan metode penyabunan memberikan daya proteksi yang kuat sehingga pada pencernaan rumen dan pasca rumen tetap rendah tingkat kecernaannya. Lemak yang tersabunkan tidak mampu didegradasi oleh mikrobia rumen sehingga memberikan kecernaan bahan organik yang rendah pada pencernaan rumen atau pencernaan tingkat 1.

Penelitian Naik et al. ( 2009) yang menggunakan sabun asam lemak rantai panjang dalam ransum campuran memberikan kecernaan in vitro bahan kering yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol yang tanpa sabun asam lemak (53% pada kontrol vs. 54% pada lemak terproteksi). Uji kecernaan in vitro dari minyak biji kapuk yang disabunkan dengan level proteksi yang berbeda (25, 50, 75, dan 100%) pada penelitian Widiyanto et al. (2007), menunjukkan hasil kecernaan bahan kering dan organik yang lebih tinggi (54,22, 54,11, 56,60,

49 55,64% untuk bahan kering dan 56,11, 56,14, 57,93, 56,02% untuk bahan organik), dan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kecernaan bahan organiknya pada suplementasi minyak sebesar 5%. Hasil yang sama juga dilaporkan dari penelitian Sirohi et al. (2001) yang menggunakan garam kalsium dari minyak kedelai dan mustard serta minyak mahua yang ternyata tidak memberikan hasil yang berbeda pada kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organiknya. Sirohi et al. (2001) juga menyatakan bahwa pemakaian kedua sumber minyak tersebut sampai level 7,5% aman digunakan dan tidak mempengaruhi fermentasi dalam rumen.

Kadar asam lemak bebas metode kapsulasi dan formaldehid menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) dibandingkan dengan metode penyabunan (Lampiran 43) dengan perbedaan sebesar 1,83% pada tingkat 2. Pengujian terhadap digesta lemak uji kecernaan secara in vitro menunjukkan bahwa metode penyabunan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kadar asam lemak bebas baik pada tingkat 1 (rumen), maupun pada tingkat 2 (di pasca rumen). Perbedaan kadar CaCl2 tidak memberikan perbedaan nyata terhadap kadar asam lemak bebas. Proteksi lemak dengan metode penyabunan memberikan hasil proteksi yang terlalu kuat sehingga pada pencernaan tingkat 2 yang diharapkan lemaknya terhidrolisis, ternyata menunjukkan hasil asam lemak bebas yang rendah.

Perbedaan kadar formaldehid pada metode proteksi kapsulasi formaldehid pada pasca rumen (Lampiran 45) menunjukkan hasil kadar asam lemak bebas yang berbeda nyata (P<0,05). Kadar asam lemak bebas pada pencernaan pasca rumen kadar formaldehid 0,5% memberikan hasil kadar asam lemak bebas yang lebih rendah dibanding kadar formaldehid yang lain yaitu

50 sebesar 1,02%. Dari Tabel 8 terlihat bahwa pada kadar formaldehid 1,0, 1,5, dan 2,0% pada pencernaan tingkat 2 memberikan hasil asam lemak bebas yang tidak berbeda nyata dan terlihat cukup tinggi bila dibandingkan dengan pencernaan tingkat 1.

Perbedaan metode proteksi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap angka yod, baik pada tingkat 1 maupun pada tingkat 2. Pada pencernaan tingkat 1 dan pencernaan tingkat 2, perbedaan kadar CaCl2 tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap angka yod. Hal ini sesuai dengan hasil kadar asam lemak bebas yang terbebaskan pada metode penyabunan ini juga tidak menunjukkan hasil yang berbeda dengan adanya perbedaan kadar CaCl2.

Perbedaan kadar formaldehid tidak menunjukkan perbedaan pada angka yod baik pada tingkat 1 maupun tingkat 2, walaupun asam lemak bebas yang dibebaskan pada pencernaan tingkat 2 terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini berarti terjadi hidrogenasi dari asam lemak yang terbebaskan sehingga angka yodnya tidak berbeda nyata. Penelitian Abu-Ghazaleh dan Jacobson (2007) melaporkan bahwa pemberian pakan rendah hijauan dan disuplementasi dengan minyak nabati atau minyak ikan akan mempengaruhi biohidrogenasi oleh mikrobia rumen.

Metode proteksi dengan kapsulasi dan formaldehid juga dilakukan uji kecernaan protein berdasar metode kecernaan in vitro Tilley dan Terry dan diuji protein terdegradasinya menurut metode Lowry. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kecernaan protein serta seberapa besar protein yang terdegradasi yang digunakan dalam kapsulasi baik pada tingkat 1 maupun tingkat 2.

51 Tabel 9. Rerata kecernaan in vitro protein kasar (KcPK) dan protein

terdegradasi dari lemak terproteksi dengan formaldehid

Parameter Kadar formaldehid (%) 0,5 1,0 1,5 2,0 %KcPK Tk 1ns 0,00 0,00 0,00 0,00 Tk 2 64,19±0,5d 72,57±0,03c 87,69±0,1a 84,05±0,1b Protein terdegradasi (mg/ml) Tk 1 0,18±0,1a 0,00b 0,00b 0,03±0,04b Tk 2 0,61±0,1b 0,89±0,1a 0,94±0,04a 0,97±0,1a Keterangan : Tk = tingkat

a,b,c,d = superskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)

ns = non signifikan

Dari Tabel 9 terlihat bahwa perbedaan kadar formaldehid memberikan kecernaan yang tidak berbeda nyata pada kecernaan protein kasar 1. Pada tingkat 2, semakin tinggi kadar formaldehid sampai kadar 1,5% semakin tinggi pula kecernaan proteinnya dan menurun pada kadar formaldehid 2,0% (P<0,01). Perbedaan kadar formaldehid memberikan pengaruh yang nyata terhadap protein terdegradasi baik pada tingkat 1 maupun tingkat 2. Kadar formaldehid 0,5% memberikan degradasi protein yang lebih besar dibanding kadar formladehid yang lain pada tingkat 1, tetapi memberikan degradasi protein yang lebih kecil dibanding kadar formaldehid lain pada tingkat 2.

Prinsip dari proteksi dengan formaldehid adalah pembentukan ikatan silang yang disebut jembatan metilen (-CH2-) dari nitrogen di dalam protein dengan gugus aldehid formaldehide. Substrat seperti karbohidrat, lemak dan asam nukleat akan terperangkap di dalam matrik tidak larut ikatan silang molekul protein, tetapi secara kimia tidak mengalami perubahan ( Kiernan, 2000). Ikatan silang ini stabil pada pH netral tetapi menjadi labil pada pH rendah (Wilbraham dan Matta, 1992 dalam Anggraeny dan Krishna, 2005).

52 Semakin tinggi kadar formaldehid yang dipakai untuk proteksi, akan semakin banyak terbentuk ikatan silang antara protein dan aldehid sehinggga akan semakin kuat tingkat proteksinya. Menurut Kiernan (2000), pembentukan ikatan silang antara protein dan formaldehid berjalan lambat. Pada pencernaan rumen (tingkat 1), suplemen protein terproteksi sempurna tidak terdegradasi (kecernaannya 0%). Ini bisa diasumsikan bahwa protein yang diproteksi tersebut tidak dimanfaatkan oleh mikrobia rumen atau dengan kata lain mikrobia rumen memanfaatkan N dari bahan pakan yang tidak terproteksi, dan protein yang terproteksi tersebut bisa dimanfaatkan oleh ternak tanpa mengalami perubahan menjadi protein mikrobia. Pada pencernaan tingkat 2 (pasca rumen), kecernaan protein tetap tinggi, hal ini disebabkan karena pada pH rendah ikatan silang menjadi labil dan akan mudah untuk didegradasi oleh enzim proteolitik. Perlakuan formaldehid akan mempengaruhi kelarutan dan ikatan silang dari protein sehingga protein akan terproteksi dari degradasi rumen dan lebih cepat ke saluran pencernaan pasca rumen (Kauffman dan Lupping dalam Wallace dan Cotta, 1988). Kadar formaldehid 1,5% memberikan hasil kecernaan protein pada tingkat 2 yang paling besar (87,69%), tetapi pada kadar protein terdegradasi tidak ada perbedaan nyata antara kadar formaldehid 1,0, 1,5, dan 2,0%. Hasil penelitian Widyobroto et al. (1997) yang memproteksi protein dengan formaldehid pada bungkil kedelai mendapatkan hasil bahwa perlakuan formaldehid menurunkan degradasi protein dalam rumen tetapi fraksi undegraded protein masih dapat dimanfaatkan dengan baik oleh ternaknya.

Berdasarkan hasil uji secara in vitro ini, maka untuk uji kecernaan in sacco dengan menggunakan metode kombinasi kapsulasi protein dan

53 formaldehid dengan alasan bahwa pada metode kapsulasi dan formaldehid pada penelitian ini lebih efektif dibanding metode penyabunan.

Uji kecernaan in sacco

Persen kehilangan bahan kering lemak terproteksi yang diuji secara in sacco, dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai a, b, c dan DT lemak terproteksi yang diuji dengan metode in sacco dapat dilihat pada Tabel 10.

Gambar 3. Kehilangan bahan kering lemak terproteksi dengan kadar formaldehid yang berbeda (%)

Persen kehilangan bahan kering dari lemak terproteksi terjadi cukup besar pada jam ke-0, dan terjadi kehilangan bahan kering yang cukup cepat pada 2 jam pertama. Pada semua kadar formaldehid, dengan masa inkubasi 48 jam terlihat bahwa bahan pakan hampir terdegradasi semuanya (Gambar 3). Materi bahan pakan yang berupa minyak dan susu skim menyebabkan persen kehilangan bahan pakan ketika diinkubasi di dalam rumen menjadi besar. Persen kehilangan bahan kering dari hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian Taghizadeh et al. (2005) yang melaporkan bahwa kehilangan beberapa sumber protein hanya berkisar 31-64% setelah 12 jam inkubasi. Jenis

0 20 40 60 80 100 120 0 10 20 30 40 50 60 %   K e h il a n g a n   B a h a n   K e ri n g  

Jam Pengambilan Sampel 

0,5% 1,0% 1,5% 2,0%

54 pakan yang berbeda menyebabkan perbedaan besarnya kehilangan bahan kering dalam inkubasi antara penelitian ini dengan penelitian Taghizadeh et al. (2005). Penelitian Kilic dan Garipoglu (2009) yang menggunakan 4 varietas biji canola mempunyai kecernaan bahan kering antara 63 – 72% pada inkubasi 48 jam, lebih rendah dari kehilangan bahan kering pada penelitian ini. Penelitian Rossi et al. (1999) melaporkan bahwa penambahan 10 dan 25% lemak dalam kedelai akan menurunkan kecernaan bahan keringnya setelah 8 dan 12 jam inkubasi dibandingkan kontrol.

Tabel 10. Nilai a, b, c dan DT dari BK lemak terproteksi dengan kadar formaldehid yang berbeda

Parameter Kadar formaldehid (%) 0,5 1,0 1,5 2,0 a (%) 64,26a 63,39ab 62,28b 64,46a b (%) 39,54ab 38,14b 45,50a 45,73a c (%/jam) 4,52p 3,84p 2,96q 2,10q DT (%) 81,15p 78,27q 77,31r 75,97s

Keterangan: abSuperskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)

pqrsSuperskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,01)

a: fraksi yang terlarut

b: fraksi yang potensial terdegradasi c: laju kecepatan degradasi

DT: degradasi teori

Fraksi a merupakan gambaran dari fraksi yang mudah larut. Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai fraksi a cukup besar yaitu diatas 50%. Hal ini disebabkan karena bentuk dari bahan pakannya sehingga kemungkinan persen kehilangan karena keluar dari kantong cukup besar, seperti yang dinyatakan oleh Haryanto (1998) bahwa ukuran sampel merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi degradasi. Ukuran partikel akan berpengaruh terhadap persen kehilangan dan degradasi pakan (Fredrikzs, 2002; Yin et al., 2002), dan semakin kecil ukuran

55 partikel pakan akan semakin besar nilai degradasi yang diperoleh (Widyobroto, 1998). Perbedaan kadar formaldehid memberikan perbedaan terhadap fraksi a dan juga fraksi b. Kadar formaldehid 1,5% memberikan nilai fraksi a yang lebih kecil (62,28%) dibandingkan kadar 0,5% (64,26%) dan kadar 2,0% (64,46%) tetapi tidak berbeda dengan kadar 1,0% (63,39%). Kadar formaldehid 1,5% mempunyai kelarutan yang lebih kecil dibanding kadar formaldehid 0,5 dan 2,0%. Kelarutan yang lebih rendah pada kadar formaldehid 1,5% bisa disebabkan oleh proteksi yang terjadi lebih baik dibanding pada kadar formaldehid yang lain.

Perbedaan kadar formaldehid memberikan hasil nilai b yang berbeda nyata. Nilai fraksi b atau fraksi yang potensial terdegradasi pada kadar formaldehid kadar 1,0% memberikan hasil yang lebih rendah (P<0,01) dibanding kadar formaldehid 1,5 dan 2,0%. Nilai fraksi b pada kadar formaldehid 2,0% cukup tinggi walaupun nilai fraksi a-nya juga cukup tinggi, sedangkan pada kadar formaldehid 1,5% memberikan nilai fraksi b tinggi tetapi mempunyai nilai fraksi a yang lebih rendah dibanding kadar formaldehid yang lainnya.

Fraksi c adalah gambaran laju degradasi dari fraksi b. Dari Tabel 10 terlihat bahwa perbedaan kadar formaldehid memberikan perbedaan terhadap nilai c (P<0,01). Kadar formaldehid 0,5 dan kadar 1,0% memberikan laju degradasi yang lebih besar dibanding kadar formaldehid 1,5 dan 2,0% ( 4,52 dan 3,84%/jam vs. 2,96 dan 2,10%/jam). Laju degradasi semakin menurun ketika kadar formaldehidnya ditingkatkan. Semakin tinggi kadar formaldehid, kemampuan untuk memproteksi substrat semakin besar sehingga laju degradasinya akan semakin melambat.

Dari Tabel 10 terlihat bahwa nilai DT dari semua kelompok perlakuan mempunyai nilai yang tinggi (>70%). Hal ini dikarenakan bentuk pakan yang diuji

56 berupa konsentrat dengan ukuran partikel yang kecil sehingga kemungkinan untuk lolos dari kantong karena pergerakan rumen cukup besar. Perbedaan kadar formaldehid memberikan nilai DT yang berbeda (P<0,01), dengan nilai tertinggi pada kadar formaldehid 0,5% sebesar 81,15% dan terendah pada kadar formaldehid 2,0% sebesar 75,97%. Pada kadar 0,5%, mempunyai nilai a yang tinggi serta nilai c dan DT yang juga tinggi, sedangkan pada kadar formaldehid 2,0% walaupun memberikan nilai c dan DT yang rendah tetapi mempunyai nilai a yang paling besar. Dari Tabel 10 dapat terlihat bahwa upaya proteksi dengan formaldehid tidak memberikan hasil menjadikan fraksi a menjadi rendah. Dari penelitian Rossi et al. (2003) dilaporkan bahwa pengkapsulan asam amino dengan menggunakan sabun asam lemak memberikan nilai DT yang cukup tinggi (83-94%).

Dari penelitian tahap 1 ini dapat disimpulkan bahwa metode proteksi dengan kapsulasi formaldehid memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan metode penyabunan dengan hasil terbaik pada kadar formaldehid 1,5%.

Penelitian II. Evaluasi Penggunaan Lemak Terproteksi Terhadap Parameter

Dalam dokumen Upaya peningkatan asam lemak tidak jenuh (Halaman 72-82)

Dokumen terkait