• Tidak ada hasil yang ditemukan

Extended Producer Responsibility (EPR)

Dalam dokumen BAB II. TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 25-31)

Pengertian Extended Producer Responsibility (EPR) menurut Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia adalah konsep yang didesain untuk mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan kedalam proses produksi suatu barang sampai produk ini tidak dapat dipakai lagi (life cycle produk) sehingga biaya lingkungan menjadi bagian dari komponen harga pasar produk tersebut.

Organisation for Economic Cooperpation and Development (OECD), sebuah organisasi internasional yang concern membantu pemerintah pada bidang ekonomi, sosial dan tantangan dalam mengelola ekonomi global, EPR merupakan suatu pendekatan kebijakan lingkungan dimana tanggung jawab produsen pada sebuah mata rantai produksi secara fisik dan financial diperluas hingga pada tahap post-consumer.

EPR mewajibkan para produsen untuk bertanggungjawab terhadap seluruh siklus produk dan kemasan dari produk yang mereka hasilkan. Perusahaan yang menjual produk dan kemasan yang berpotensi menghasilkan sampah wajib bertanggung jawab baik secara financial maupun fisik, pada produk dan kemasan yang masa pakainya sudah usai.

Tujuan dari EPR adalah untuk mendorong produsen meminimalisir pencemaran dan mereduksi penggunaan sumber daya alam dan energi dari setiap tahap siklus hidup produk melalui rekayasa desain produk dan teknologi proses.

Produsen harus bertanggung jawab terhadap semua hal, termasuk akibat dari pemilihan material, proses manufaktur, pemakaian produk, dan pembuangannya.

Sehingga sangat memungkinkan bagi industri untuk menerapkan kebijakan penampungan kembali barang rusak (limbah) melalui distributornya. Selain sebagai bentuk tanggung jawab sosial, mekanisme itu harus diintegrasikan dengan sustem pelayanannya. Timbal baliknya, apresiasi konsumen terhadap industri bersangkutan commit to user

pun dapat meningkat. Yang terakhir ini lebih terkait ke usaha mengedukasi konsumen agar memilih produk ramah lingkungan.

Pelaksanaan EPR memerlukan mekanisme yang jelas karena dari sisi produsen penerapan EPR ini menjalani rantai perjalanan yang sangat panjang, sejak dari produsen (pabrik) sampai ke konsumen dan kembali lagi ke produsen.

Selama perjalanan panjang tersebut banyak tahapan yang kemungkinan sulit dikendalikan, oleh karena itu diperlukan aturan main yang jelas bagaimana produsen benar-benar melakukan kewajibannya.

Mekanisme EPR yang biasa digunakan adalah melalui penarikan kembali produk dan/atau kemasan produk yang habis masa pakainya dan dikelola melalui cara reuse, recycling, atau dimanfaatkan sebagai sumber energi. Seluruh proses mekanisme ini dapat dilaksanakan sendiri oleh produsen/perusahaan. Mekanisme kedua adalah dengan mendelegasikan tanggung jawab tersebut ke pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut dibayar untuk mengumpulkan dan mengelola produk dan/atau kemasan mereka. Jadi, EPR memindahkan sebagian tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan sampah kepada pelaku usaha, dimana mengharuskan produsen, impotir, dan/atau penjual memasukkan biaya pengelolaan sampah ke dalam harga produk mereka.

Implikasi penting dari penerapan EPR adalah timbulnya beban yang harus ditanggung oleh konsumen terkait dengan kenaikan harga dari produk dan/atau kemasan yang dihasilkan. Jadi, penerapan EPR dalam jangka waktu tertentu dapat meningkatkan inflasi.

Di Indonesia, kebijakan soal sampah dalam skala nasional sebenarnya sudah mulai dirintis sejak 2008 silam. Kementerian Lingkungan Hdup (KLH) pernah mengeluarkan peraturan yang mendorong industri untuk turut serta menangani sampah dari produk yang mereka produksi. Peraturan ini tertuang dalam tiga isu utama. Pertama, tentang penanganan sampah. Kedua, tentang pengurangan sampah.

Ketiga, tentang pengelolaan sampah khusus.

Prinsip utama pemberlakuan EPR dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah adanya pembagian peran dan tanggung jawab antara Pemerintah dan dunia usaha dalam pengelolaan sampah. Spirit utama dari UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah secara revolusioner commit to user

mengubah paradigma pengelolaan sampah dari end of pipe menjadi reduce at souces and resources recycle.

Dengan paradigma baru tersebut, pengelolaan sampah harus bertumpu pada pertama, pembatasan (timbulan) sampah sejak dari sumbernya karena jika tidak terkelola baik, sampah berpotensi menjadi polutan yang membahayakan lingkungan dan manusia. Kedua, pemanfaatan sampah sebagai sumber daya atau sumber energi sehingga dapat mendatangkan manfaat yang lebih banyak. Terkait dengan upaya pengurangan sampah, peran dan tanggung jawab masyarakat dan dunia usaha menjadi sangat penting.

Terkait penanganan sampah oleh produsen, Pasal 14 dan 15 UU 18 Tahun 2008 secara tegas mengamanatkan peran dan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah. Kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi Pemerintah untuk menuntut peran dan tanggung jawab produsen dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah, karena produsen, melalui produk dan kemasan produk yang dihasilkan, adalah salah satu sumber penghasil sampah.

Pasal 14: Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya.

Pasal 15: Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.

Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008 adalah landasan hukum diwajibkannya (mandatory basis) penerapan EPR. Kendaraan bermotor, peralatan listrik dan barang elektronik serta kemasan produk tertentu adalah contoh lazim dalam penerapan EPR di negara maju.

Dalam undang-undang ini terlihat bahwa pemerintah telah menegaskan bahwa pengelolaan sampah tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja. Pelaku usaha, sebagai penghasil sampah memiliki tanggung jawab dalam mengelola sampah. implementasinya, konsumen dapat meminta pembayaran kembali (reimburse) dari pengeluaran dana awal untuk pembelian suatu produk yang menyisakan barang tidak bermanfaat seperti sampah plastik.

commit to user

Dari sisi praktis, penerapan EPR akan berbeda di tiap negara, namun terdapat beberapa prinsip dasar yang harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengembangan strategi 3R (reduce, reuse, recycle).

EPR dimaksud pertama, mengurangi jumlah material yang masuk ke landfill dengan mempromosikan upaya 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Kedua, menyediakan insentif bagi produsen yang mempertimbangkan keselamatan lingkungan pada proses mendisain sebuah produk dan memilih bahan baku.

Dengan kebijakan EPR ini mau tidak mau produsen akan melakukan inovasi-inovasi terbaru pada produk dan kemasannya dengan mempertimbangkan beberapa aspek lingkungan. Ini akan menurunkan dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan industri. Produsen yang dimaksud dalam EPR adalah brand owner atau pemilik merek, dan importir, retailer dan distributor.

1. Keuntungan EPR

Keuntungan pelaksanaan EPR tidak saja dilihat dari sisi pemerintah saja sebagai penanggung jawab pengelolaan sampah. EPR ternyata memberikan banyak keuntungan pada pelaku industri dalam hal penghematan bahan baku dan energi yang dipakai, belum lagi bila terkait dengan imej baik perusahaan.

Beberapa keuntungan yang dicatat OECD adalah EPR adalah:

a. Mengurangi beban landfill dan incinerator dan dampak dari kegiatan keduanya (landfill dan incinerator) terhadap lingkungan.

b. Mengurangi beban pemerintah secara fisik dan financial dalam pengelola sampah.

c. Mendorong upaya daur ulang dan penggunaan kembali produk atau elemen dari sebuah produk.

d. Mempermudah dan mempersingkat proses pembongkaran produk yang akan didaur ulang atau yang akan digunakan kembali (reuse).

e. Mempromosikan clean product (produk bersih) atau green products (produk hijau).

f. Mempromosi penggunaan sumberdaya alam yang lebih efisien.

g. Meningkatkan hubungan antara masyarakat pemakai dengan industri pembuat produk.

commit to user

h. Mendorong efisiensi dan persaingan pada proses manufaktur yakni proses merubah bahan baku menjadi produk.

i. Mempromosikan pengelolaan lingkungan terpadu dengan penekanan pada siklus daur hidup produk.

j. Meningkatkan pengelolaan material atau bahan baku.

2. Pelaksanaan EPR

Dalam implementasinya, EPR bisa dilakukan dengan tiga cara. Cara pertama adalah dengan melakukan evaluasi dan manajemen ulang pada proses produksi. Cara ini bisa dilakukan dengan mengevaluasi bahan baku produk dan kemasan dan menukarnya dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan, seperti kemasan bioplastik.

Cara ini biasanya menggunakan berbagai analisis seperti Life Cycle Analysis (LCA), LCA bisa membantu meningkatkan penerimaan program dan optimasi sebuah produk lingkungan. Cara kedua adalah dengan melakukan penarikan kembali produk dan/atau kemasan yang habis masa pakainya dan dikelola melalui cara reuse dan recycle, atau dimanfaatkan sebagai sumber energi. Seluruh mekanisme ini dapat dilaksanakan sendiri oleh produsen/perusahaan.

Di beberapa negara maju seperti Belanda dan negara eropa lainnya, produsen minuman jenis soft drink seperti cocacola, sprite, fanta dan sejenisnya, menyediakan sebuah mesin penerima botol bekas yang dihargai 25 cent per botol dalam bentuk voucher belanja. Mesin-mesin ini biasanya ditempatkan di satu kawasan perbelanjaan, sehingga memudahkan konsumen untuk menggunakan vouchernya pada saat berbelanja.

Beberapa perusahaan elektronik di Jepang menerima kembali produknya dan atau beberapa komponen produknya yang tidak terpakai yang selanjutnya akan didaurulang oleh perusahaan bersangkutan. Konsep ini kemudian dikenal dengan sebutan take back. Bahkan di Jerman sejak 1991, konsep take back telah diundangkan dan diberlakukan untuk berbagai jenis peralatan elektronik rumah tangga, baterai, computer, ban, mobil, hingga oli bekas.

Cara ketiga adalah, dengan mendelegasikan tanggung jawab tersebut ke pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut dibayar untuk mengumpulkan dan mengelola commit to user

produk dan/atau kemasan mereka. Praktik ini telah banyak dilakukan di negara-negara maju, biasanya ini berupa bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti baterai, perlengkapan pertanian, dan industri kimia.

Poin penting yang harus dipertimbangkan untuk mengimplementasikan EPR program secara efektif yakni:

a. Menyediakan insentive bagi produsen yang hendak merubah desain produknya untuk memenuhi standar eco-produk.

b. Kebijakan EPR sebaiknya menstimulasi kegiatan-kegiatan inovasi yang berfokus pada hasil akhir, dan menyerahkan implementasinya kepada produsen.

c. Dilakukan dengan pendekatan siklus hidup (Life Cycle Approach) untuk mencegah dampak lingkungan yang lebih besar atau mentransfer dampaknya dalam bentuk lain dalam mata rantai produk.

d. Tanggung jawab yang jelas dan tidak melemahkan antar stakeholder terkait pada mata rantai produk.

e. Mempertimbangkan karakteristik dan sifat unik dari produk. Kategori produk atau aliran limbah harus menjadi faktor dalam merancang kebijakan. Mengingat keragaman produk dan karakteristik yang berbeda, satu jenis program atau ukuran tidak berlaku untuk semua produk, kategori produk atau aliran limbahnya.

f. Pemilihan instrumen-instrumen kebijakan harus lebih fleksibel dan melihat kasus per kasus, tidak menyamakan kebijakan untuk semua jenis produk.

g. Membangun komunikasi yang baik dengan stakeholder pada mata rantai produk.

h. Sebuah strategi komunikasi harus disusun untuk menginformasikan semua aktor dalam rantai produk, termasuk konsumen, tentang program EPR untuk mendapatkan dorongan dan kerjasama.

i. Untuk meningkatkan efektifitas dan penerimaan program, konsultasi stakeholder sebaiknya dilakukan untuk membicarakan target, tujuan, biaya dan keuntungan financial.

j. Konsultasi dengan pemerintah lokal untuk memperjelas peran mereka dan mendapatkan masukan tentang operasional program.

k. Pendekatan sukarela maupun wajib harus dipertimbangkan agar maksud, tujuan dan prioritas (penyelamatan) lingkungan nasional dapat terpenuhi.

commit to user

l. Melakukan analisis yang komprehensif mengenai EPR program. Seperti, menentukan jenis, kategori produk dan aliran limbah yang cocok untuk EPR, apakah sejarah produksi dan peran setiap stakeholder dalam mata rantai produksi akan dimasukkan dalam program EPR.

m. Ada evaluasi secara berkala untuk meyakinkan apakah semua aspek telah berjalan sesuai fungsinya dan cukup fleksibel untuk merespon setiap hasil evaluasi.

n. Program harus didisain dan diimplementasikan dimana keuntungan lingkungan bisa dijangkau dan dislokasi ekonomi bisa dihindari secara bersamaan.

o. Proses pengembangan dan implementasi kebijakan dan program EPR harus transparan.

Pada akhirnya, program ini memerlukan proses implementasi yang cukup panjang, secara eksternal maupun internal. Belum lagi akan adanya implikasi baru yang timbul pada kerjasama antar negara seperti, perjanjian ekspor-impor sampah lintas negara. Ini terutama untuk sampah elektronik yang memakai konsep take back.

Padahal beberapa negara telah mengeluarkan peraturan untuk tidak menerima dan mengkespor sampah B3. Poin ini menjadi catatan penting pada pertemuan EPR di Manila 2006 yang menyebutkan, bahwa sejumlah masalah akan timbul antar negara produsen dan negara pengguna dalam mengatur lalu lintas pengiriman barang-barang take-back.

Dalam dokumen BAB II. TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 25-31)

Dokumen terkait