BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sampah
1. Pengertian Sampah
Berdasarkan SK SNI tahun 1990, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah sudah diambil bagian utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya yang ditinjau dari segi sosial ekonomis tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan terhadap lingkungan hidup (Hadiwiyoto, 1983).
Sampah adalah limbah yang berbentuk padat dan juga setengah padat, dari bahan organik atau anorganik, baik benda logam maupun benda bukan logam,yang dapat terbakar dan yang tidak dapat terbakar. Bentuk fisik benda-benda tersebut dapat berubah menurut cara pengangkutannya atau cara pengolahannya (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1986).
Sampah adalah bahan buangan dalam bentuk padat atau semi padat yang dihasilkan dari aktifitas manusia atau hewan yang dibuang karena tidak diinginkan atau digunakan lagi (Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993). Sedangkan meurut UU RI Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
2. Timbulan Sampah
Timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan volume maupun berat per kapita perhari, atau perluas bangunan, atau perpanjang jalan (SNI 19-2454-2002). Data timbulan sampah sangat penting diketahui untuk menentukan fasilitas setiap unit pengelolaan sampah dan kapasitasnya misalnya fasilitas peralatan, kendaraan pengangkut dan rute angkutan, fasilitas daur ulang, luas dan jenis TPA. commit to user
Metode pengukuran timbulan sampah ada beberapa cara (Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993) antara lain :
a. Load-count analysis / analisis perhitungan beban.
b. Weight-volume analysis / analisis berat-volume.
c. Material-balance analysis / analisis kesetimbangan bahan.
(Sumber: Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993) Gambar 1. Aliran Kesetimbangan Bahan
3. Komposisi Sampah
Pengelompokan yang sering dilakukan adalah berdasarkan komposisinya misalnya dinyatakan dalam % berat (biasanya berat basah) atau % volume (basah) dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan, dan lain-lain.
Komposisi dan sifat-sifat biologis dan kimianya, sampah dapat digolongkan sebagai berikut :
a) Sampah yang dapat membusuk (garbage) seperti sisa makanan, daun, sampah kebun, sampah pasar, sampah pertanian, dan lain-lain.
b) Sampah yang tidak membusuk (refuse) seperti plastik, kertas, karet, gelas, logam, kaca dan sebagainya.
c) Sampah yang berupa debu dan abu.
d) Sampah yang mengandung zat-zat kimia atau fisis yang berbahaya. Disamping berasal dari industri atau pabrik-pabrik, sampah jenis ini banyak pula dihasilkan dari kegiatan kota termasuk dari rumah tangga.
Inflow (bahan)
Outflow (bahan) Outflow(produk)
Outflow (sampah dan air limbah) Penyimpanan bahan-bahan
(bahan baku, produk dan sampah) Outflow
(gas pembakaran dan debu)
commit to user
4. Karakteristik Sampah
Sampah mempunyai sifat fisik, kimia dan biologis. Pengetahuan akan sifat- sifat ini sangat penting untuk perencanaan dan pengelolaan sampah secara terpadu.
Sampah diklasifikasikan dalam karakteristiknya (Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993) sebagai berikut :
a. Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik sampah meliputi hal-hal di bawah ini : 1) Berat spesifik sampah
Dinyatakan sebagai berat per unit (kg/m3). Dalam pengukuran berat spesifik sampah, harus disebutkan dimana dan dalam kondisi bagaimana sampah diambil sebagai sampling untuk menghitung berat spesifik sampah. Berat spesifik sampah dipengaruhi oleh letak geografis, lokasi, jumlah musim dan lama waktu penyimpanan. Hal ini sangat penting untuk mengetahui volume sampah yang diolah.
2) Kelembaban
Kelembaban sampah dapat dinyatakan dengan dua cara, yaitu dengan metode berat basah dan metode berat kering. Metode basah dinyatakan dalam persen berat basah bahan. Metode kering dinyatakan sebagai persen berat kering bahan. Secara umum metode berat basah sering digunakan.
Rumus kelembaban dari berat basah adalah : (
)
Dimana : M = Kelembaban (%)
w = Berat sampah basah (kg)
d = Berat sampah setelah dikeringkan pada suhu 105ºC (kg) 3) Ukuran partikel
Sangat penting untuk pengolahan akhir sampah, terutama pada tahap mekanis untuk mengetahui ukuran penyaringan dan pemisahan magnetic.
4) Field capacity
Adalah jumlah air yang dapat tertahan dalam sampah dan dapat keluar dari sampah akibat daya grafitasi. Field capacity sangat penting untuk mengetahui komponen lindi dalam landfill. Field capacity bervariasi tergantung dari commit to user
perbedaan tekanan dan dekomposisi sampah. Sampah dari daerah permukiman dan komersial yang tanpa pemadatan Field capacity sebesar 50% sampai 60%.
5) Kepadatan sampah
Konduktifitas sampah sangat penting untuk mengetahui pergerakan dari cairan dan gas dalam landfill.
b. Karakteristik Kimia
Karakteristik kimia sangat penting dalam mengevaluasi proses alternatif dan pilihan pemulihan energi. Apabila sampah digunakan sebagai energi bahan bakar, maka komponen yang harus diketahui adalah analisis proksimasi (kandungan air, kandungan abu dan kandungan karbon tetap), titik abu sampah, analisis ultimasi (persentase C, H, O, N, S dan abu) dan besarnya energi.
1) Analisis proksimasi
Bertujuan mengetahui bahan-bahan yang mudah terbakar dan tak mudah terbakar. Biasanya dilakukan tes untuk komponen yang mudah terbakar supaya mengetahui kandungan volatile, kandungan abu, kandungan karbon tetap dan kandungan air.
2) Titik abu sampah
Adalah temperature dimana dihasilkan abu dari pembakaran sampah yang berbentuk padatan denga peleburan atau penggumpalan. Temperatur berkisar antara 1100ºC sampai 1200ºC.
3) Analisis ultimasi
Adalah penentuan persentase komponen yang ada dalam sampah seperti persentase C, H, N, S dan abu. Analisis ultimasi ini bertujuan menentukan karakteristik kimia bahan organik sampah secara biologis. Misalkan pada komposting perlu diketahui rasio C/N sampah, supaya dapat berlangsung baik.
4) Kandungan energi
Kandungan energi dari komponen organik sampah dapat ditentukan dengan Bomb Calorimeter.
commit to user
c. Karakteristik Biologis
Sampah organik memiliki komposisi biologis. Fraksi organik dari sampah dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu :
1) Kandungan terlarut seperti gula, asam amino dan berbagai macam asam organik.
2) Hemiselulosa, yaitu hasil penguraian gula.
3) Selulosa, yaitu hasil penguraian glukosa.
4) Lemak, minyak dan lilin.
5) Lignin, material polimer yang terdiri dari cincin aromatik dengan gugus methoksil. Biasanya terdapat pada kertas, seperti kertas koran dan fiberbroad.
6) Lignoselulosa, kombinasi dari lignin dan selulosa.
7) Protein, yang terdiri dari rantai asam amino.
5. Pengelolaan Sampah
Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan dilakukan melalui 3 tahapan kegiatan, yakni pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Aboejoewono (1985) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari proses kegiatan dalam pengelolaan sampah sebagai berikut :
Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Pada tahapan ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah, gerobak dorong maupun tempat pembuangan sementara (TPS/Dipo). Untuk melakukan pengumpulan, umumnya melibatkan sejumlah tenaga yang mengumpulkan sampah setiap periode waktu tertentu.
Tahapan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu menuju ke tempat pembuangan akhir/pengolahan.
Pada tahapan ini juga melibatkan tenaga yang pada periode waktu tertentu mengangkut sampah dari tempat pembuangan sementara ke tempat pembuangan akhir (TPA). Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan, sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis sedemikian hingga tuntas penyelesaian seluruh proses. Pengelolaan sampah, terutama di kawasan perkotaan, dewasa ini dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang cukup kompleks.
Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi tingginya laju timbulan sampah yang commit to user
tinggi, kepedulian masyarakat (human behaviour) yang masih sangat rendah serta masalah pada kegiatan pembuangan akhir sampah (final disposal) yang selalu menimbulkan permasalahan tersendiri.
6. Manajemen Pengelolaan Sampah
Dalam sistem manajemen pengelolaan sampah ada lima sub sistem yang saling terkait yaitu: kelembagaan, teknik operasional, pembiayaan, peraturan, dan peran serta masyarakat (Kodoatie, 2005).Arah kebijakan Sektor Persampahan di Indonesia menurut Ditjen Cipta Karya (2005: 4-24) adalah sebagai berikut:
a. Arah Kebijakan Sistem Teknik Operasional
Kebijakan manajemen pengelolaan sampah di Indonesia diarahkan padapengembangan tingkat pelayanan untuk mencapai sasaran nasional secara bertahap. Rentang antara cakupan pelayanan yang harus dicapai secara nasional pada tahun 2015 dengan tingkat pelayanan saat ini cukup jauh, yaitusekitar 30 – 40 %, tentunya memerlukan kesungguhan semua pihak. Kebijakan ini dapat dilaksanakan melalui berbagai strategi, yaitu:
1) Optimalisasi pemanfaatan prasarana dan sarana persampahan yang tersedia agar prasarana dan sarana yang ada dapat digunakan lebih efisien;
2) Meningkatkan kapasitas pelayanan yang berkeadilan, terencana dan terprogram sesuai kebutuhan dan prioritas;
3) Meningkatkan kualitas pengelolaan TPA ke arah Sanitary Landfill dan rehabilitasi TPA yang mencemari lingkungan;
4) Melakukan penelitian, pengembangan dan aplikasi teknologi penanganan persampahan tepat guna dan berwawasan lingkungan.
b. Arah Kebijakan Sistem Kelembagaan
Arah Kebijakan di bidang kelembagaan pengelolaan sampah perkotaan diarahkan pada penguatan kapasitas lembaga pengelola persampahan. Kebijakan ini dapat dilaksanakan melalui beberapa strategi sebagai berikut:
1) Mendorong peningkatan bentuk dan kapasitas lembaga pengelola persampahan sesuai kebutuhan pelayanan;
2) Memisahkan badan regulator dan operator; commit to user
3) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi pengelolaan dan mendorong pengelolaan kolektif atas penyelenggaraan persampahan skala regional;
4) Mekanisme insentif untuk kawasan di sekitar TPA.
c. Arah Kebijakan Sistem Pembiayaan
Sistem pembiayaan pengelolaan sampah ke depan diarahkan pada penerapan prinsip pemulihan biaya (cost recovery) secara bertahap. Kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut:
1) Perbaikan sistem tarif retribusi;
2) Mekanisme penarikan yang lebih efisien;
3) Meningkatkan prioritas pendanaan APBD untuk sektor persampahan.
d. Arah Kebijakan Sistem Peraturan
Suatu peraturan sebaik apapun tidak akan banyak memberikan manfaat apabila tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Untuk itu, dalam rangka menerapkan sistem peraturan dalam pengelolaan persampahan sebagaimana yang diharapkan, arah kebijakan yang ditempuh adalah upaya penegakan hukum secara sistematis dan terpadu sehingga akan berpengaruh pada perubahan perilaku masyarakat dalam pola penanganan sampah yang berwawasan lingkungan.
Strategi pelaksanaan kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan:
1) Mengembangkan produk hukum sebagai landasan dan acuan dalam pelaksanaan pelayanan persampahan;
2) Melaksanakan sistem pengawasan dan sanksi hukum secara konsisten.
Untuk melaksanakan kebijakan penegakan hukum tersebut harus didahului dengan sosialisasi yang memadai, menyiapkan aparat penegak hukum, melaksanakan uji coba dan kemudian baru melaksanakannya secara menyeluruh.
e. Arah Kebijakan Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat sangat mendukung program pengelolaan sampah (kebersihan) di suatu kota/wilayah. Pada dasarnya arah kebijakan di bidang peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah ke depan meliputi tiga hal, yaitu:
1) Mengedepankan peran dan partisipasi aktif masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan sampah. commit to user
Kebijakan ini dapat dilakukan melalui:
a) Peningkatkan pemahaman tentang pengelolaan sampah sejak dini;
b) Meningkatkan pembinaan peran serta/kemitraan masyarakat dan kaum perempuan;
2). Pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya.
Untuk melaksanakan kebijakan ini dapat dilakukan dengan strategimelakukan promosi dan kampanye peningkatan upaya 4R (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery). Upaya-upaya ini terutama diarahkan kepada masyarakat sebagai sumber sampah, agar kesadaran, kepedulian dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah lebih meningkat lagi.
Adapun yang dimaksud dengan prinsip 4R adalah (Ditjend Cipta Karya, 2005: 17):
a) Reduce (mengurangi timbulan pada sumber), yaitu upaya mengurangi timbulan sampah dengan jalan sebisa mungkin melakukan minimalisasi barang atau material yang digunakan, karena semakin banyak material yang dipergunakan, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
b) Reuse (pakai ulang), prinsip ini menghindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai). Sebisa mungkin menggunakan barang- barang yang bisa dipakai kembali. Apabila dilakukan, hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum akhirnya menjadi sampah.
c) Recycle (daur ulang) sebisa mungkin barang-barang yang sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri nonformal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
d) Recovery (ambil ulang), yaitu upaya memanfaatkan kembali barang- barang yang sudah tidak terpakai dengan jalan meneliti kembali barang- barang sebelum dibuang, apabila ada yang masih bisa dimanfaatkan diambil kembali untuk dipergunakan lagi.
3). Pengembangan kemitraan dengan swasta
Kebijakan ini dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut:
a) Peningkatan iklim yang kondusif bagi kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat.
b) Fasilitasi dan uji coba dalam pengembangan kemitraan dengan swasta.
c) Melakukan fasilitasi dengan komitmen yang sungguh-sungguh. commit to user
f. Paradigma Pengelolaan Sampah
Dalam sistem pengelolaan persampahan diperlukan suatu pola standart atau spesifikasi sebagai suatu landasan yang jelas. Seiring dengan kemajuan teknologi pengelolaan sampah, saat ini dikenal beberapa paradigma pengelolaan sampah. Namun yang paling populer saat ini ada dua paradigma, yaitu paradigma konvensional yang menitik beratkan pada kegiatan ”kumpul – angkut – buang”
serta paradigma baru yang mengelola sampah sejak dari sumbernya. Masing- masing paradigma mempunyai sistem teknik operasional yang berbeda.
1) Paradigma lama (Kumpul – Angkut – Buang)
Sistem ini dilaksanakan berpedoman pada Standar Nasional Indonesia.
Spesifikasi yang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-12-1991-03 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman, Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-13-1990 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor S-04-1993-03 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota Kecil dan Sedang di Indonesia. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan yang terdiri dari kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir harus bersifat terpadu seperti yang terlihat pada Gambar 2 berikut :
Sumber: SNI T-13-1990-F.
Gambar 2. Skema Sistem Teknik Operasional Pengelolaan Persampahan
Sumber Timbulan Sampah
Pewadahan/Pemilahan PEMILIHAN Pengumpulan
Pemindahan Dan Pengangkutan
Pengolahan
Pembuangan Akhir Sampah
commit to user
a) Pewadahan
Dalam menunjang keberhasilan operasi pengumpulan sampah, perlu adanya pewadahan yang sebaiknya dilakukan oleh pemilik rumah.
Pewadahan tersebut ditempatkan sedemikian rupa, sehingga memudahkan para petugas untuk mengambilnya secara teratur dan higienis. Waktu pembuangan sampah dapat dilakukan pagi, siang, sore atau pada malam hari dan disesuaikan dengan waktu pengumpulan oleh petugas agar sampah tidak mengendap terlalu lama.
b) Pengumpulan
Pengumpulan sampah adalah cara atau proses pengambilan sampah mulai dari tempat pewadahan penampungan sampah sampai ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). TPS yang digunakan biasanya kontainer kapasitas 10 m3, 6 m3, 1m3, transper depo, bak pasangan batu bata, drum bekas volume 200 liter, dan lain-lain. TPS-TPS tersebut penempatannya disesuaikan dengan kondisi lapangan yang ada.
c) Pengangkutan
Pengangkutan sampah adalah tahap membawa sampah dari lokasi pemindahan atau langsung dari sumber sampah menuju ke tempat pembuangan akhir. Pola pengangkutan berdasarkan sistem pengumpulan sampah sebagai berikut:
(1) Untuk pengumpulan sampah yang dilakukan berdasarkan sistem pemindahan (transfer depo). Kendaraan angkutan keluar dari pool langsung menuju ke lokasi pemindahan untuk mengangkut sampah ke TPA. Dari TPA kendaraan tersebut kembali ke Transfer Depo untuk pengambilan rit berikutnya. Proses pengangkutannya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :
Sumber: SK SNI T-13-1990-F
Gambar 3. Pola Pengangkutan Sampah Sistem Transfer Depo/TPS
Pool Kendaraan
Transfer TPA Depo
commit to user
(2) Pengumpulan sampah sistem kontainer dilakukan untuk pembuangan sementara tidak tetap atau dapat dipindahkan, dengan pola pengangkutannya:
(a). Pola Pengosongan Kontainer Cara I:
• Kendaraan dari pool membawa kontainer kosong menuju kontainerisi untuk mengganti dan mengambil langsung serta membawanya ke TPA
• Kendaraan dengan membawa kontainer kosong dari TPA ke lokasi kontainer berikutnya, demikian seterusnya hingga rit terakhir.
(b). Pola Pengosongan Kontainer Cara II:
• Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untukmengangkut sampah kemudian dibuang ke TPA;
• Kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula;
• Menuju kontainer isi berikutnya untuk diangkut ke TPA.
(c). Pola Pengosongan Kontainer Cara III:
• Kendaraan dari pool menuju kontainer pertama, sampah dituangkan ke dalam truk pemadat dan meletakkannya kembali pada lokasi semula dalam kondisi kosong;
• Kendaraan ke lokasi kontainer berikutnya hingga truk penuh untuk kemudian dibawa ke TPA, demikian seterusnya hingga rit berakhir.
d) Subsistem Pembuangan Akhir Sampah
Prinsip dari pembuangan akhir sampah adalah untuk memusnahkan sampah domestik di suatu lokasi pembuangan akhir dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya setelah dilakukan pengolahan. Cara pengolahan sampah yang selama ini diterapkan pada kebanyakan lokasi TPA di Indonesia adalah sistem landfill, diantaranya:
(1). Pembuangan akhir sampah dengan sistem open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi, dibiarkan commit to user
terbuka tanpa pengaman dan ditinggalkan setelah lokasi penuh.
Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi pencemaran lingkungan yang ditimbulkannya seperti:
• Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus dan sebagainya;
• Pencemaran polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan;
• Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul;
• Berpotensi terjadinya bahaya kebakaran yang sulit dipadamkan;
• Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor.
(2). Metode controlled landfill adalah sistem open dumping yang diperbaiki atau ditingkatkan. Pada cara ini setelah TPA penuh dengan timbunan sampah dilakukan penutupan dengan tanah.
Sepanjang belum dilakukan penutupan dengan tanah kondisinya mirip dengan sistem open dumping.
(3). Metode sanitary landfill merupakan metode standar yang dipakai secara internasional dimana penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setiap hari akhir operasi sehingga setelah operasi berakhir tidak akan terlihat adanya timbunan sampah (Ditjend Cipta Karya, 1993).
(4). Pembakaran (incenerator) merupakan metode pengolahan sampah secara kimiawi dengan proses oksidasi (pembakaran) dengan maksud stabilisasi dan reduksi volume dan berat sampah.
2) Paradigma baru pengelolaan sampah
Paradigma baru memandang sampah sebagai sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan, misalnya untuk energi, kompos ataupun untuk bahan baku industri. Pengelolaan sampah seharusnya dilakukan dengan pendekatan komprehensif dari hulu yaitu sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi sebagai sampah, sampai kehilir yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga sudah commit to user
menjadi sampah yang kemudian dikembalikan ke sebuah media yaitu lingkungan secara aman. Pengelolaan sampah dengan menggunakan paradigma baru tersebut dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali dan pendauran ulang. Sedangkan penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, pemrosesan akhir.
7. Pengelolaan Sampah 3R
Konsep pengelolaan sampah 3R menurut buku pedoman 3R berbasis masyarakat di kawasan permukiman meliputi reduce, reuse, dan recycle.
a. Reduce (R1) atau Pengurangan Volume
Reduce atau reduksi sampah merupakan upaya untuk mengurangi timbulan sampah di lingkungan sumber dan bahkan dapat dilakukan sejak sebelum sampah dihasilkan. Setiap sumber dapat melakukan upaya reduksi sampah dengan cara merubah pola hidup konsumtif, yaitu perubahan kebiasaan dari yang boros dan menghasilkan banyak sampah menjadi hemat/efisien dan sedikit sampah. Namun diperlukan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk merubah perilaku tersebut.
Dengan demikian, volume sampah dapat dikurangi sebelum dibuang ke TPA.
b. Reuse (R2) atau Penggunaan Kembali
Reuse berarti menggunakan kembali bahan atau material agar tidak menjadi sampah (tanpa melalui proses pengolahan), seperti menggunakan kertas bolak balik, menggunakan kembali botol bekas minuman untuk tempat air, mengisi kaleng susu dengan susu refill, dan lain-lain. Bahan-bahan yang dapat digunakan kembali meliputi kertas, cardboard, plastik, gelas, logam, dan lain-lain.
c. Recycle (R3) atau Daur Ulang
Recycle adalah mendaur ulang suatu bahan yang sudah tidak berguna (sampah) menjadi bahan lain setelah melalui proses pengolahan, seperti mengolah sisa kain perca menjadi selimut, kain lap, keset kaki, dan sebagainya, atau mengolah botol/plastik bekas menjadi biji plastik untuk dicetak kembali menjadi ember, hanger, pot, dan sebagainya, atau mengolah kertas bekas menjadi bubur kertas dan kembali dicetak menjadi kertas dan lain-lain. commit to user
Prinsip 3R dalam pengelolaan sampah erat kaitannya dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), khususnya dalam pelaksanaan penghematan sumber daya (resource efficiency) dan penghematan energi (energy efficiency). Dengan menjalankan prinsip 3R maka terjadi upaya pengurangan ekstraksi sumber daya karena sebagian bahan baku dapat terpenuhi dari sampah yang didaur-ulang dan sampah yang diguna-ulang.
Penggunaan bahan baku daur ulang untuk menghasilkan suatu produk telah terbukti menggunakan lebih sedikit energi dibandingkan menggunakan bahan baku alami (virgin material). Sehingga penerapan prinsip 3R adalah solusi cerdas atas semakin terbatasnya sumber daya alam dan kelangkaan energi. Di sektor energi sendiri, sampah adalah sumber energi alternatif pengganti energi fosil. Pemanfaatan sampah sebagai pembangkit energi merupakan hal yang lazim di beberapa negara maju dengan menggunakan berbagai metode, antara lain insinerasi, methane capture, biomass, dan refuse-derived fuel (RDF).
Dari sisi lingkungan, penerapan prinsip 3R merupakan langkah nyata upaya pengendalian dan pencemaran lingkungan karena dengan melakukan 3R maka akan terjadi pengurangan beban pencemar (pollutant load) yang dibuang ke lingkungan, baik pencemar air, tanah maupun udara. Bahkan, terkait perubahan iklim, implementasi 3R adalah usaha nyata mitigasi perubahan iklim karena dengan melaksanakan 3R dalam pengelolaan sampah dapat mengurangi emisi gas metana (CH4) yang berasal dari tempat pemrosesan akhir (TPA), yaitu salah satu gas rumah kaca (GRK) yang daya rusaknya terhadap lapisan ozon 21 (dua puluh satu) kali lebih kuat dibanding karbondioksida (CO2).
Seluruh lapisan masyarakat harus merubah pandangannya dan memperlakukan sampah sebagai sumberdaya alternatif yang sejauh mungkin dimanfaatkan kembali, baik secara langsung, proses daur-ulang, atau proses lainnya.
Sampah sebagai sumber daya alternatif antara lain dapat di daur ulang menjadi produk baru, dapat dimanfaatkan melalui proses biologi (kompos, biogas, dll) dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi (bioenergi). Sampah yang selama ini hanya dibuang, dalam ketentuan ini dapat dimanfaatkan sebagai pengganti sumber daya alami (virgin resources) sehingga dapat menghemat penggunaan sumber daya sebagai upaya nyata penerapan prinsip resource efficiency. commit to user
8. Penanganan Sampah 3R di Sumber Sampah a. Skala Rumah Tangga
Penanganan sampah sebaiknya tidak lagi bertumpu pada aktivitas pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah, tetapi mulai dari skala rumah tangga diharapkan dapat menerapkan upaya minimalisasi yaitu dengan cara mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang sampah yang dihasilkan (http://www.mediaindonesia.com, 2009). Kegiatan yang dapat dilakukan dalam skala rumah tangga meliputi:
1). Pemilahan sampah non organik
Pemilahan sampah non organik di kawasan permukiman perlu dilakukan dengan cara memisahkan sampah kertas, plastik, dan logam/kaca di masing- masing sumber dengan cara sederhana dan mudah dilakukan oleh masyarakat, misalnya menggunakan kantong plastik besar atau karung kecil.
Khusus untuk sampah B3 rumah tangga diperlukan wadah khusus yang pengumpulannya dapat dilakukan sebulan sekali atau sesuai kebutuhan.
Hasil pemilahan sampah dari sumbernya akan menghasilkan kualitas sampah yang lebih baik dibanding bila dipilah di TPA.
2). Pengolahan sampah organik (pengomposan)
Pengomposan adalah proses pengolahan sampah organik menjadi kompos.
Sampah organik meliputi sampah dari kebun (daun) dan dari dapur (nasi, sayur, daging, dan lain-lain). Hasil pengomposan dapat digunakan untuk program penghijauan dan penanaman bibit, dan lain-lain. Pengomposan yang dilakukan bersifat sederhana, seperti:
Metode lubang (hanya dapat dilakukan untuk daerah yang tingkat kepadatan penduduknya masih rendah);
Keranjang Takakura. Metode ini menggunakan keranjang yang dilapisi kertas karton/spon, sekam padi, dan kompos matang. Metode ini memerlukan sedikit kesabaran karena dibutuhkan sampah organik terseleksi dan pencacah untuk mempercepat proses pematangan kompos. Komposter Takakura dapat ditempatkan di dalam rumah (tidak menimbulkan bau);
commit to user
3). Daur ulang sampah
Kegiatan daur ulang sampah dilakukan mulai dengan melakukan pemilahan sampah, sebaiknya dilakukan dengan cara yang sederhana agar mudah dilakukan oleh masyarakat. Pemilahan sampah dapat dimulai dengan memisahkan sampah menjadi sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik) atau langsung menjadi beberapa jenis (sampah organik, kertas, plastik, kaleng, sampah B3 rumah tangga). Dari pemilahan sampah tersebut dapat didaur ulang menjadi bahan yang lebih berguna (dan/atau alih fungsi).
b. Skala Kawasan
1). Landasan operasional pengelolaan sampah
Penanganan sampah skala kawasan dibedakan berdasarkan tipe kawasan, seperti kawasan komplek perumahan baru (cakupan pelayanan 1000-2000 unit rumah), kawasan perumahan teratur/non komplek (cakupan pelayanan 1 RW), dan kawasan perumahan tidak teratur/kumuh. Pada penanganan sampah skala kawasan diperlukan keterpaduan operasional pengelolaan sampah mulai dari sumber, pihak penerima bahan daur ulang (lapak), dan pengangkutan residu ke TPA. Selain itu juga diperlukan area kerja pengelolaan sampah terpadu skala kawasan yang disebut TPST. Kegiatan pengelolaan sampah di TPST meliputi pemilahan sampah, pembuatan kompos, pengepakan bahan daur ulang, dan lain-lain. Pemilahan sampah dilakukan untuk beberapa jenis sampah seperti sampah B3 rumah tangga (yang selanjutnya akan dikelola dengan ketentuan), sampah kertas, plastik, logam/kaca (akan digunakan sebagai bahan daur ulang) dan sampah organik (akan digunakan sebagai bahan baku kompos).
2). Metode operasional
Metode pengumpulan sampah dapat dilakukan secara individu (door to door) maupun komunal (masyarakat membawa sendiri sampahnya ke Wadah/Bin Komunal yang sudah ditentukan). Peralatan pengumpulan sampah dapat menggunakan motor sampah (volume 1,2 m3), becak sampah atau gerobak sampah (volume 1 m3). Jadwal pengumpulan sampah non
commit to user
organik terpilah dapat dilakukan seminggu sekali, sedangkan yang masih tercampur harus dilakukan minimal seminggu 2 kali.
3). TPST Skala Kawasan
Lokasi Luas TPST tergantung kapasitas pelayanan dan tipe kawasan.
Fasilitas TPST meliputi wadah komunal, areal pemilahan dan areal composting dan juga dilengkapi dengan fasilitas penunjang lain seperti saluran drainase, air bersih, listrik, barier (pagar tanaman hidup) dan gudang penyimpanan bahan daur ulang maupun produk kompos serta blodigerter.
Kegiatan daur ulang meliputi:
Sampah yang dapat didaur ulang meliputi kertas, plastik, dan logam yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan untuk mendapatkan kualitas bahan daur ulang yang baik. Pemilahan sebaiknya dilakukan sejak dari sumbernya.
Pemasaran produk daur ulang dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lapak atau langsung dengan industri pemakai.
Daur ulang sampah B3 rumah tangga (baterai, lampu neon) dikumpulkan untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku (PP No. 18 tahun 1999 tentang pengelolaan sampah B3).
Daur ulang kemasan plastik (air mineral, minuman kemasan, mie instan, dan lain-lain) sebaiknya dimanfaatkan untuk barang-barang kerajinan atau bahan baku lain.
Pembuatan kompos dapat menggunakan metode open windrow.
Dilakukan analisis kualitas terhadap produk kompos secara acak dengan parameter antara lain warna, C/N rasio, kadar N, P, K, dan logam berat.
Pemasaran produk kompos dapat bekerja sama dengan pihak koperasi dan dinas atau yang lain.
Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah yang mengandung bahan organik biodegradabel (dapat diuraikan oleh mikroorganisme). Fungsi kompos adalah selain sebagai pupuk organik, akan berfungsi dalam memperbaiki struktur tanah untuk menyerap dan menahan air serta zat hara yang lain. Menurut prosesnya, pengomposan dapat commit to user
dibedakan atas dua jenis, yaitu pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pengomposan yang sering dilakukan adalah secara aerobik (tersedia oksigen dalam prosesnya), karena berbagai kelebihan, yaitu:
a) Tidak menimbulkan bau;
b) Waktu lebih cepat;
c) Temperatur tinggi, sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur cacing;
d) Kompos yang dihasilkan higienis.
4). Bank Sampah
Bank sampah adalah salah satu strategi penerapan 3R dalam pengelolaan sampah pada sumbernya di tingkat masyarakat. Pelaksanaan bank sampah pada prinsipnya adalah satu rekayasa sosial (social engineering) untuk mengajak masyarakat memilah sampah. Melalui bank sampah, ditemukan satu solusi inovatif untuk „memaksa‟ masyarakat memilah sampah. Dengan menyamakan sampah serupa uang atau barang berharga yang dapat ditabung, masyarakat akhirnya terdidik untuk menghargai sampah sesuai jenis dan nilainya sehingga mereka mau memilah sampah.
Selain sebagai salah satu solusi mengubah perilaku masyarakat agar lebih peduli terhadap sampah, sesungguhnya pelaksanaan bank sampah mengandung potensi ekonomi (economic opportunity) kerakyatan yang cukup besar. Pelaksanaan bank sampah dapat memberikan output nyata bagi masyarakat berupa kesempatan kerja (job creation) dalam melaksanakan majemen operasi bank sampah dan investasi dalam bentuk tabungan.
Sehingga masyarakat dapat penghasilan dari bekerja di bank sampah atau penghasilan tambahan dari tabungan bank sampah.
Tujuan dibangunnya bank sampah sebenarnya bukan bank sampah itu sendiri.
Bank sampah adalah strategi untuk membangun kepedulian masyarakat agar dapat „berkawan‟ dengan sampah untuk mendapatkan manfaat ekonomi langsung dari sampah. Jadi, bank sampah tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diintegrasikan dengan gerakan 3R di kalangan masyarakat sehingga manfaat langsung yang dirasakan masyarakat tidak hanya ekonomi
commit to user
kerakyatan yang kuat, namun pembangunan lingkungan yang bersih dan hijau guna menciptakan masyarakat yang sehat.
Sumber : Buku Panduan Gerakan Indonesia Berseri
Gambar 4. Kerangka Kerja Bank Sampah
B. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi merupakan suatu bagian terpenting dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Partisipasi masyarakat sering diartikan keikutsertaan, keterlibatan dan kesamaan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak dari gagasan, perumusan kebijakan, pelaksanaan program dan evaluasi. Partisipasi secara langsung berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga dalam kegiatan yang dilaksanakan.
Sedangkan partisipasi tidak langsung dapat berupa sumbangan pemikiran, pendanaan dan material yang diperlukan (Wibisono, 1989;41). Partisipasi masyarakat merupakan lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat interaksi individu dengan individu yang lain (Walgito, 1999:22). Dimana lingkungan sosial dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat, hal tersebut dapat dibedakan antara lingkungan sosial primer dan lingkungan sosial sekunder. Dimana dalam partisipasi
commit to user
di lingkungan sosial primer terdapat hubungan yang erat antara individu satu dengan yang lain, individu satu saling kenal dengan individu yang lain.
Seperti yang dikemukakan oleh Walgito (1999), partisipasi masyarakat memiliki hubungan yang erat antara individu satu dengan individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa tanpa partisipasi masyarakat maka setiap kegiatan pembangunan akan kurang berhasil.
Menurut Bandura (1977), hubungan antara individu dan lingkungannya dan individu dengan dirinya sendiri memberikan formulasi bahwa perilaku seseorang akan dapat mempengaruhi lingkungannya, tetapi juga dapat mempengaruhi individu yang bersangkutan.
1. Bentuk Partisipasi
Tujuan dari partisipasi masyarakat untuk menghasilkan ide dan persepsi yang berguna untuk masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan (Canter dalam Santoso, 1990:4).
Sebab dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak suatu kegiatan dari cara mengambilan keputusan, kebutuhan dari pengharapan kelompok masyarakat, dan kelompok masyarakat itu menuangkannya kedalam suatu konsep.
Reaksi dari pandangan masyarakat itu akan membantu masyarakat itu sendiri dalam hal pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas, arah dan kepentingan yang positif dari berbagai faktor.
Partisipasi haruslah terbuka untuk umum, partisipasi akan mempengaruhi kredibilitas suatu badan yang bersangkutan. Dengan cara mendokumentasikan perbuatan badan negara ini, sehingga mampu menyediakan sarana yang memuaskan jika masyarakat dan bahkan pengadilan merasa perlu melakukan pemeriksaan atas pertimbangan yang telah diambil ketika membuat keputusan tersebut yang pada akhimya akan memaksa tanggung jawab dari badan negara atas kegiatan yang dilakukan (Santosa, 1990).
Ada tiga hal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat yaitu:
a. Keadaan sosial masyarakat commit to user
b. Kegiatan program pembangunan c. Keadaan alam sekitar.
Keadaaan sosial masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang dirumuskan dan dikendalikan oleh pemerintah, sedangkan keadaan alam sekitar mencakup faktor fisik atau keadaan geofrafi daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat tersebut.
Faktor-faktor pokok yang mempengaruhi anggota masyarakat turut berpartisipasi menurut Sastroputro (1988) adalah:
a. Adanya kesempatan bagi anggota untuk berpartisipasi;
b. Kemampuan anggota untuk berpartisipasi;
c. Kemauan anggota untuk berpartisipasi.
2. Tingkat Partisipasi Masyarakat
Tingkat partisipasi untuk setiap anggota masyarakat berlainan satu sama lain sesuai dengan kemampuan masing-masing, dan yang lebih penting adalah dorongan untuk berpartisipasi, yaitu berdasarkan atas motivasi, cita-cita, dan kebutuhan individu yang kemudian diwujudkan secara bersama-sama. Menurut Wiswakharman dalam (Andriansyah, dkk, 2006 : 57) partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya terdapat tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a. Partisipasi Inisiasi, merupakan tingkatan partisipasi tertinggi. Masyarakat dalam tingkatan partisipasi ini dapat menentukan dan mengusulkan segala sesuatu rencana yang akan dilaksanakan dan benar-benar merupakan inisiatif murni mereka. Peran masyarakat di sini adalah sebagai subjek kegiatan (pembangunan).
b. Partisipasi Legitimasi, yaitu partisipasi pada tingkat pembicaraan atau perundingan kesepakatan pada suatu proses pembangunan. Peran masyarakat pada tingkat ini cukup besar, yaitu masyarakat dapat memberi usulan dan turut aktif dalam pembicaraan dan musyawarah dalam pelaksanaan pembangunan.
c. Partisipasi Eksekusi, yaitu partisipasi dalam tingkat pelaksanaan kegiatan dan mereka tidak mulai dari awal (pada tahap perencanaan) dan tidak turut mengambil/menentukan keputusan. Tipologi tingkat partisipasi masyarakat tersebut seringkali digunakan sebagai rujukan dalam berbagai kajian yang commit to user
berkaitan dengan partisipasi masyarakat. Selain cukup mudah dalam penggunaannya, juga karena kajian tentang masyarakat dalam pembangunan dirasakan semakin penting. Partisipasi warga merupakan proses ketika warga, sebagai individu maupun sebagai kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka.
Untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat juga dapat dilakukan dengan mengukur tingkat partisipasi individu atau keterlibatan individu dalam kegiatan bersama yang dapat diukur dengan skala yang dikemukakan (Chapin dan Golhamer dalam Slamet, 1994:82-89). Chapin mengungkapkan bahwa skala partisipasi dapat diperoleh dari penilaian-penilaian terhadap kriteria-kriteria tingkat partisipasi sosial, yaitu :
a. Keanggotaan dalam organisasi atau lembaga-lembaga sosial b. Kehadiran dalam pertemuan
c. Membayar iuran/ sumbangan
d. Keanggotaan didalam kepengurusan e. Kedudukan anggota didalam kepengurusan
Menurut Goldhamer, untuk mengukur partisipasi dengan menggunakan lima variabel, yaitu:
a. Jumlah asosiasi yang dimasuki b. Frekuensi kehadiran
c. Jumlah asosiasi dimana dia memangku jabatan d. Lamanya menjadi anggota
Berdasarkan skala partisipasi individu tersebut maka dapat disimpulkan skala untuk mengukur partisipasi masyarakat, yaitu:
a. Frekuensi kehadiran anggota kelompok dalam pertemuan b. Keaktifan anggota kelompok dalam berdiskusi
c. Keterlibatan anggota dalam kegiatan fisik d. Sumber dana
3. Bentuk Partisipasi Dalam Program 3R
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah keterlibatan masyarakat dalam ikut serta bertanggung jawab baik pasif maupun aktif secara individu, keluarga, kelompok masyarakat untuk mewujudkan kebersihan baik diri commit to user
maupun lingkungan. Disini masyarakat secara langsung dilibatkan dari sejak proses perencanaan penanganan sampah sampai akhirnya pada tahapan pelaksanaan serta monitroing dan evaluasi kegiatan pengelolaan sampah (http://www.mediaindonesia.com, 2009).
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dilibatkan langsung dalam penanganannya dengan memperhatikan aspek-aspek pengelolaan sampah yaitu;
a. Teknik operasional pengelolaan sampah mulai dari sumber timbulan sampah, kemudian sistem pewadahan, jenis dan pola penampungan, lokasi penempatan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan
b. Kelembagaan dalam pengelolaan sampah, mengenai organisasi yang menangani langsung pengelolaan sampah
c. Aspek Peraturan/hukum yang melibatkan wewenang dan tanggung jawab pengelola kebersihan
d. Sumber pembiayaannya, besaran retribusi dari masyarakat
e. Peran serta masyarakat yang dibagi menjadi partisipasi aktif dan pasif
Keberhasilan pengelolaan sampah oleh masyarakat sangat tergantung oleh kepedulian masyarakat, disini diperlukan cara untuk meningkatkan motivasi masyarakat untuk berperan aktif dengan berbagai media yang ada. Pemberdayaan masyarakat sangat penting dalam pengelolaan ini sebagai contoh pemberdayaan pemulung yang memilah sampah organik dan anorganik, kelompok masyarakat pembuat kompos. Alternatif pengelolaan sampah dimulai dengan pemilahan sampah sejak dari sumbernya untuk didaur ulang atau dijadikan kompos (konsep 3R) sehingga sampah mempunyai nilai dan merupakan produk yang menguntungkan (Marlia dan Tim Hima IP FISIP Unpad, 2009).
Saat ini penanganan sampah merupakan tanggung jawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan, sedangkan masyarakat hanya berperan sebagai produsen sampah, padahal masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah. Masyarakat sebagai produsen sampah dapat berpartisipasi dalam mengurangi jumlah sampah, memilah sampah dan mengolah kembali menjadi barang yang berguna. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat membantu dalam mewujudkan kebersihan kota (Marlia dan Tim Hima IP FISIP Unpad, 2009). Selain itu, dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah seringkali masyarakat tidak dilibatkan,
commit to user
padahal dalam kebanyakan kasus-kasus lingkungan korbannya adalah masyarakat baik sebagai individu maupun kolektif.
Untuk memenuhi target kebutuhan pelayanan pengelolaan sampah yang memadai pada masyarakat, perlu diciptakan iklim yang kondusif untuk menunjang peran serta masyarakat dan swasta. Sosialisasi konsep 3R (reduce, reuse, recycle) adalah target pertama yang dapat ditempuh. Sehingga dapat ditanamkan pengertian kepada masyarakat bahwa masih terdapat nilai ekonomi yang cukup potensial.
Diperlukan kampanye sadar kebersihan untuk mendorong masyarakat agar mau mengumpulkan sampah di tempatnya, bukan membuang sampah di tempatnya (http;//ratnaariani.wordpress.com, 2008).
Awalnya ide untuk mengelola sampah secara mandiri tidak langsung bisa diterima oleh masyarakat sekitar. Masih kentalnya kebudayaan membuang sampah turut andil menyulitkan terlaksananya program pengolahan sampah secara mandiri tersebut kesulitan makin bertambah karena banyak warga yang beranggapan bahwa urusan sampah tidak terlalu penting karena hanya tinggal membayar saja maka sampah itu lenyap dari pandangan mereka dan mereka pikir masalah tersebut selesai.
Pengolahan sampah yang dilakukan bergantung dan jenis dan komposisinya, sampah dapat diolah. Berbagai alternatif yang tersedia dalam pengolahan sampah, di antaranya adalah:
a. Transformasi fisik, meliputi pemisahan komponen sampah (shorting) dan pemadatan (compacting) yang tujuannya adalah mempermudah penyimpanan dan pengangkutan.
b. Pembakaran (incinerate), merupakan teknik pengolahan sampah yang dapat mengubah sampah menjadi bentuk gas, sehingga volumenya dapat berkurang hingga 90-95%. Meski merupakan teknik yang efektif, tetapi bukan merupakan teknik yang dianjurkan. Hal ini disebabkan karena teknik tersebut sangat berpotensi untuk menimbulkan pencemaran udara. Di samping itu, teknik baru itu akan berfungsi dengan baik bila kualitas sampah yang diolah memenuhi syarat tertentu, seperti tidak terlalu banyak mengandung sampah basah dan mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi.
commit to user
c. Pembuatan kompos (composting), yaitu merubah sampah melalui proses mikrobiologi menjadi produk lain yang dapat dipergunakan. Output dari proses ini adalah kompos dan gas bio.
d. Energy recovery, yaitu tranformasi sampah menjadi energi, baik energi panas maupun energi listrik.
C. Extended Producer Responsibility (EPR)
Pengertian Extended Producer Responsibility (EPR) menurut Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia adalah konsep yang didesain untuk mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan kedalam proses produksi suatu barang sampai produk ini tidak dapat dipakai lagi (life cycle produk) sehingga biaya lingkungan menjadi bagian dari komponen harga pasar produk tersebut.
Organisation for Economic Cooperpation and Development (OECD), sebuah organisasi internasional yang concern membantu pemerintah pada bidang ekonomi, sosial dan tantangan dalam mengelola ekonomi global, EPR merupakan suatu pendekatan kebijakan lingkungan dimana tanggung jawab produsen pada sebuah mata rantai produksi secara fisik dan financial diperluas hingga pada tahap post- consumer.
EPR mewajibkan para produsen untuk bertanggungjawab terhadap seluruh siklus produk dan kemasan dari produk yang mereka hasilkan. Perusahaan yang menjual produk dan kemasan yang berpotensi menghasilkan sampah wajib bertanggung jawab baik secara financial maupun fisik, pada produk dan kemasan yang masa pakainya sudah usai.
Tujuan dari EPR adalah untuk mendorong produsen meminimalisir pencemaran dan mereduksi penggunaan sumber daya alam dan energi dari setiap tahap siklus hidup produk melalui rekayasa desain produk dan teknologi proses.
Produsen harus bertanggung jawab terhadap semua hal, termasuk akibat dari pemilihan material, proses manufaktur, pemakaian produk, dan pembuangannya.
Sehingga sangat memungkinkan bagi industri untuk menerapkan kebijakan penampungan kembali barang rusak (limbah) melalui distributornya. Selain sebagai bentuk tanggung jawab sosial, mekanisme itu harus diintegrasikan dengan sustem pelayanannya. Timbal baliknya, apresiasi konsumen terhadap industri bersangkutan commit to user
pun dapat meningkat. Yang terakhir ini lebih terkait ke usaha mengedukasi konsumen agar memilih produk ramah lingkungan.
Pelaksanaan EPR memerlukan mekanisme yang jelas karena dari sisi produsen penerapan EPR ini menjalani rantai perjalanan yang sangat panjang, sejak dari produsen (pabrik) sampai ke konsumen dan kembali lagi ke produsen.
Selama perjalanan panjang tersebut banyak tahapan yang kemungkinan sulit dikendalikan, oleh karena itu diperlukan aturan main yang jelas bagaimana produsen benar-benar melakukan kewajibannya.
Mekanisme EPR yang biasa digunakan adalah melalui penarikan kembali produk dan/atau kemasan produk yang habis masa pakainya dan dikelola melalui cara reuse, recycling, atau dimanfaatkan sebagai sumber energi. Seluruh proses mekanisme ini dapat dilaksanakan sendiri oleh produsen/perusahaan. Mekanisme kedua adalah dengan mendelegasikan tanggung jawab tersebut ke pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut dibayar untuk mengumpulkan dan mengelola produk dan/atau kemasan mereka. Jadi, EPR memindahkan sebagian tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan sampah kepada pelaku usaha, dimana mengharuskan produsen, impotir, dan/atau penjual memasukkan biaya pengelolaan sampah ke dalam harga produk mereka.
Implikasi penting dari penerapan EPR adalah timbulnya beban yang harus ditanggung oleh konsumen terkait dengan kenaikan harga dari produk dan/atau kemasan yang dihasilkan. Jadi, penerapan EPR dalam jangka waktu tertentu dapat meningkatkan inflasi.
Di Indonesia, kebijakan soal sampah dalam skala nasional sebenarnya sudah mulai dirintis sejak 2008 silam. Kementerian Lingkungan Hdup (KLH) pernah mengeluarkan peraturan yang mendorong industri untuk turut serta menangani sampah dari produk yang mereka produksi. Peraturan ini tertuang dalam tiga isu utama. Pertama, tentang penanganan sampah. Kedua, tentang pengurangan sampah.
Ketiga, tentang pengelolaan sampah khusus.
Prinsip utama pemberlakuan EPR dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah adanya pembagian peran dan tanggung jawab antara Pemerintah dan dunia usaha dalam pengelolaan sampah. Spirit utama dari UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah secara revolusioner commit to user
mengubah paradigma pengelolaan sampah dari end of pipe menjadi reduce at souces and resources recycle.
Dengan paradigma baru tersebut, pengelolaan sampah harus bertumpu pada pertama, pembatasan (timbulan) sampah sejak dari sumbernya karena jika tidak terkelola baik, sampah berpotensi menjadi polutan yang membahayakan lingkungan dan manusia. Kedua, pemanfaatan sampah sebagai sumber daya atau sumber energi sehingga dapat mendatangkan manfaat yang lebih banyak. Terkait dengan upaya pengurangan sampah, peran dan tanggung jawab masyarakat dan dunia usaha menjadi sangat penting.
Terkait penanganan sampah oleh produsen, Pasal 14 dan 15 UU 18 Tahun 2008 secara tegas mengamanatkan peran dan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah. Kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi Pemerintah untuk menuntut peran dan tanggung jawab produsen dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah, karena produsen, melalui produk dan kemasan produk yang dihasilkan, adalah salah satu sumber penghasil sampah.
Pasal 14: Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya.
Pasal 15: Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008 adalah landasan hukum diwajibkannya (mandatory basis) penerapan EPR. Kendaraan bermotor, peralatan listrik dan barang elektronik serta kemasan produk tertentu adalah contoh lazim dalam penerapan EPR di negara maju.
Dalam undang-undang ini terlihat bahwa pemerintah telah menegaskan bahwa pengelolaan sampah tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja. Pelaku usaha, sebagai penghasil sampah memiliki tanggung jawab dalam mengelola sampah. implementasinya, konsumen dapat meminta pembayaran kembali (reimburse) dari pengeluaran dana awal untuk pembelian suatu produk yang menyisakan barang tidak bermanfaat seperti sampah plastik.
commit to user
Dari sisi praktis, penerapan EPR akan berbeda di tiap negara, namun terdapat beberapa prinsip dasar yang harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengembangan strategi 3R (reduce, reuse, recycle).
EPR dimaksud pertama, mengurangi jumlah material yang masuk ke landfill dengan mempromosikan upaya 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Kedua, menyediakan insentif bagi produsen yang mempertimbangkan keselamatan lingkungan pada proses mendisain sebuah produk dan memilih bahan baku.
Dengan kebijakan EPR ini mau tidak mau produsen akan melakukan inovasi- inovasi terbaru pada produk dan kemasannya dengan mempertimbangkan beberapa aspek lingkungan. Ini akan menurunkan dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan industri. Produsen yang dimaksud dalam EPR adalah brand owner atau pemilik merek, dan importir, retailer dan distributor.
1. Keuntungan EPR
Keuntungan pelaksanaan EPR tidak saja dilihat dari sisi pemerintah saja sebagai penanggung jawab pengelolaan sampah. EPR ternyata memberikan banyak keuntungan pada pelaku industri dalam hal penghematan bahan baku dan energi yang dipakai, belum lagi bila terkait dengan imej baik perusahaan.
Beberapa keuntungan yang dicatat OECD adalah EPR adalah:
a. Mengurangi beban landfill dan incinerator dan dampak dari kegiatan keduanya (landfill dan incinerator) terhadap lingkungan.
b. Mengurangi beban pemerintah secara fisik dan financial dalam pengelola sampah.
c. Mendorong upaya daur ulang dan penggunaan kembali produk atau elemen dari sebuah produk.
d. Mempermudah dan mempersingkat proses pembongkaran produk yang akan didaur ulang atau yang akan digunakan kembali (reuse).
e. Mempromosikan clean product (produk bersih) atau green products (produk hijau).
f. Mempromosi penggunaan sumberdaya alam yang lebih efisien.
g. Meningkatkan hubungan antara masyarakat pemakai dengan industri pembuat produk.
commit to user
h. Mendorong efisiensi dan persaingan pada proses manufaktur yakni proses merubah bahan baku menjadi produk.
i. Mempromosikan pengelolaan lingkungan terpadu dengan penekanan pada siklus daur hidup produk.
j. Meningkatkan pengelolaan material atau bahan baku.
2. Pelaksanaan EPR
Dalam implementasinya, EPR bisa dilakukan dengan tiga cara. Cara pertama adalah dengan melakukan evaluasi dan manajemen ulang pada proses produksi. Cara ini bisa dilakukan dengan mengevaluasi bahan baku produk dan kemasan dan menukarnya dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan, seperti kemasan bioplastik.
Cara ini biasanya menggunakan berbagai analisis seperti Life Cycle Analysis (LCA), LCA bisa membantu meningkatkan penerimaan program dan optimasi sebuah produk lingkungan. Cara kedua adalah dengan melakukan penarikan kembali produk dan/atau kemasan yang habis masa pakainya dan dikelola melalui cara reuse dan recycle, atau dimanfaatkan sebagai sumber energi. Seluruh mekanisme ini dapat dilaksanakan sendiri oleh produsen/perusahaan.
Di beberapa negara maju seperti Belanda dan negara eropa lainnya, produsen minuman jenis soft drink seperti cocacola, sprite, fanta dan sejenisnya, menyediakan sebuah mesin penerima botol bekas yang dihargai 25 cent per botol dalam bentuk voucher belanja. Mesin-mesin ini biasanya ditempatkan di satu kawasan perbelanjaan, sehingga memudahkan konsumen untuk menggunakan vouchernya pada saat berbelanja.
Beberapa perusahaan elektronik di Jepang menerima kembali produknya dan atau beberapa komponen produknya yang tidak terpakai yang selanjutnya akan didaurulang oleh perusahaan bersangkutan. Konsep ini kemudian dikenal dengan sebutan take back. Bahkan di Jerman sejak 1991, konsep take back telah diundangkan dan diberlakukan untuk berbagai jenis peralatan elektronik rumah tangga, baterai, computer, ban, mobil, hingga oli bekas.
Cara ketiga adalah, dengan mendelegasikan tanggung jawab tersebut ke pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut dibayar untuk mengumpulkan dan mengelola commit to user
produk dan/atau kemasan mereka. Praktik ini telah banyak dilakukan di negara- negara maju, biasanya ini berupa bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti baterai, perlengkapan pertanian, dan industri kimia.
Poin penting yang harus dipertimbangkan untuk mengimplementasikan EPR program secara efektif yakni:
a. Menyediakan insentive bagi produsen yang hendak merubah desain produknya untuk memenuhi standar eco-produk.
b. Kebijakan EPR sebaiknya menstimulasi kegiatan-kegiatan inovasi yang berfokus pada hasil akhir, dan menyerahkan implementasinya kepada produsen.
c. Dilakukan dengan pendekatan siklus hidup (Life Cycle Approach) untuk mencegah dampak lingkungan yang lebih besar atau mentransfer dampaknya dalam bentuk lain dalam mata rantai produk.
d. Tanggung jawab yang jelas dan tidak melemahkan antar stakeholder terkait pada mata rantai produk.
e. Mempertimbangkan karakteristik dan sifat unik dari produk. Kategori produk atau aliran limbah harus menjadi faktor dalam merancang kebijakan. Mengingat keragaman produk dan karakteristik yang berbeda, satu jenis program atau ukuran tidak berlaku untuk semua produk, kategori produk atau aliran limbahnya.
f. Pemilihan instrumen-instrumen kebijakan harus lebih fleksibel dan melihat kasus per kasus, tidak menyamakan kebijakan untuk semua jenis produk.
g. Membangun komunikasi yang baik dengan stakeholder pada mata rantai produk.
h. Sebuah strategi komunikasi harus disusun untuk menginformasikan semua aktor dalam rantai produk, termasuk konsumen, tentang program EPR untuk mendapatkan dorongan dan kerjasama.
i. Untuk meningkatkan efektifitas dan penerimaan program, konsultasi stakeholder sebaiknya dilakukan untuk membicarakan target, tujuan, biaya dan keuntungan financial.
j. Konsultasi dengan pemerintah lokal untuk memperjelas peran mereka dan mendapatkan masukan tentang operasional program.
k. Pendekatan sukarela maupun wajib harus dipertimbangkan agar maksud, tujuan dan prioritas (penyelamatan) lingkungan nasional dapat terpenuhi.
commit to user
l. Melakukan analisis yang komprehensif mengenai EPR program. Seperti, menentukan jenis, kategori produk dan aliran limbah yang cocok untuk EPR, apakah sejarah produksi dan peran setiap stakeholder dalam mata rantai produksi akan dimasukkan dalam program EPR.
m. Ada evaluasi secara berkala untuk meyakinkan apakah semua aspek telah berjalan sesuai fungsinya dan cukup fleksibel untuk merespon setiap hasil evaluasi.
n. Program harus didisain dan diimplementasikan dimana keuntungan lingkungan bisa dijangkau dan dislokasi ekonomi bisa dihindari secara bersamaan.
o. Proses pengembangan dan implementasi kebijakan dan program EPR harus transparan.
Pada akhirnya, program ini memerlukan proses implementasi yang cukup panjang, secara eksternal maupun internal. Belum lagi akan adanya implikasi baru yang timbul pada kerjasama antar negara seperti, perjanjian ekspor-impor sampah lintas negara. Ini terutama untuk sampah elektronik yang memakai konsep take back.
Padahal beberapa negara telah mengeluarkan peraturan untuk tidak menerima dan mengkespor sampah B3. Poin ini menjadi catatan penting pada pertemuan EPR di Manila 2006 yang menyebutkan, bahwa sejumlah masalah akan timbul antar negara produsen dan negara pengguna dalam mengatur lalu lintas pengiriman barang-barang take-back.
D. Optimalisasi Pengelolaan Persampahan
Menurut Winardi (1996: 363) Optimaslisai adalah ukuran yang menyebabkan tercapainya tujuan. Sedangkan jika dipandang dari sudut usaha, optimalisasi adalah usaha memaksimalkan kegiatan sehingga mewujudkan keuntungan yang diinginkan atau dikehendaki.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, optimalisasi mengandung arti pengoptimalan. Pengoptimalan adalah proses, cara, perbuatan mengoptimalkan.
Kata mengoptimalkan berarti menjadikan paling baik, menjadikan paling tinggi.
Optimalisasi adalah suatu proses, cara atau perbuatan untuk menjadikan sesuatu paling baik dan paling tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:705).
commit to user
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata optimalisasi berasal dari kata optimum yang berarti tertinggi atau maksimum dan setelah mendapatkan tambahan kata yang dibelakangnya yakni dari optimum menjadi optimalisasi maka mempunyai arti yaitu suatu usaha untuk meningkatkan, menambah, memperbaiki dan membuat menjadi lebih bagus atau sempurna yang dilakukan semaksimal mungkin untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam optimalisasi pengelolaan sampah, tujuan yang ingin dicapai adalah berkurangnya volume sampah yang masuk ke TPA. UU No 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah jelas mengamanatkan kepada pemerintah beserta pihak-pihak terkait lainnya untuk proaktif dan lebih responsif terhadap permasalahan pengelolaan sampah dengan kebijakan-kebijakan yang strategis dan partisipatif bagi masyarakat.
Dalam hal ini perlu adanya sebuah komitmen yang kuat dan terobosan yang bersifat kreatif-inovatif dari semua pihak untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah (http://green.kompasiana.com).
Ada beberapa prinsip kebijakan umum yang bisa dijadikan landasan dalam rangka optimalisasi pengelolaan sampah sebagai berikut:
1. Kebijakan persampahan yang Pro Poor dan Partisipasi Total dapat membuka seluas-luasnya peran dan partisipasi masyarakat terutama yang berada dibawah garis kemiskinan melalui pelayanan yang lebih responsif sehingga akan menciptakan iklim kesadaran bagi masyarakat pada secara menyeluruh (comprehensive).
2. Kebijakan yang Pro Lingkungan dimana setiap proses pembuatan dan pengimplementasian kebijakan tidak boleh dilepaskan dari pengaruhnya terhadap lingkungan sehingga tercipta kebijakan yang dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan persampahan dan daya dukung lingkungan.
3. Landasan yang berbasis pada konsep Regionalisasi dimana setiap daerah mebangun pola kerjasama strategis antar sektor dengan merumuskan mekanisme pengelolaan dan pembangunan persampahan secara terpadu.
4. Upaya mereformasi sumberdaya manusia dan aparatur pemerintahan terkait dengan pengelolaan dan pembagunan sampah yang dimanifestasikan dalam konsep Good Corporate governance dan Real Demand Survey yang menuntut commit to user
adanya optimalisasi terhadap aparatur pemeritnah dalam menerapkan prinsip kepengusahaan yang baik dan prinsip pemulihan biaya dalam penyelenggaraan dan pembangunan persampahan serta cepat tanggap dalam hal mengidentifikasi permasalahan persampahan berdasarkan kebutuhan yang nyata dilapangan.
5. Penegakan Hukum yang kosisten dan kredibel dalam permasalahan pegelolaan dan pembangunan persampahan untuk memeberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi semua pihak.(http://green.kompasiana.com).
Arah kebijakan manajemen pengelolaan sampah sebagaimana menurut Ditjend Cipta Karya, dijelaskan dalam matriks seperti di bawah ini:
Tabel 1. Strategi Pengelolaan Sampah
No Aspek Strategi
1. Teknik Opersional • Optimalisasi sarana dan prasarana yang ada
• Meningkatkan kapasitas pelayanan
• Peningkatan kualitas pengelolaan TPA
• Penelitian dan pengembangan aplikasi teknologi
• penanganan sampah tepat guna dan berwawasan lingkungan
2. Kelembagaan • Peningkatan bentuk dan kapasitas lembaga pengelola sampah
• Memisahkan badan regulator dan operator
• Mendorong ke arah penanganan sampah skala regional
• Mekanisme insentif untuk kawasan TPA 3. Pembiayaan • Meningkatkan prioritas pendanaan
• Alokasi dana untuk kampanye publik dan
• pemberdayaan masyarakat
• Perbaikan sistem tarif menuju cost recovery 4. Peraturan • Pengembangan produk hukum Sosialisasi produk
hukum
• Penyiapan aparat penegak hokum
• Melaksanakan uji coba
• Melaksanakan sistem pengawasan dan sanksi hukum yang konsisten
5. Peranserta masyarakat • Promosi dan kampanye upaya 3 R
• Mekanisme insentif bagi pengguna sampah
• Pengembangan kemitraan dengan swasta
• Insentif bagi investasi di bidang persampahan
• Fasilitasi dan uji coba kemitraan dengan swasta Sumber: Ditjend Cipta Karya, 2005
commit to user
E. Kerangka Pemikiran
Permasalahan persampahan terjadi karena adanya indikasi meningkatnya volume sampah dan daya tampung TPA yang terbatas serta pelaksanaan pengelolaan persampahan yang belum maksimal. Salah satu program pengelolaan sampah dilakukan melalui program 3R. Dalam pelaksanaan program 3R dibutuhkan partisipasi dari masyarakat. Di satu sisi keterlibatan Dunia Industri penghasil sampah khususnya anorganik sangat diperlukan dalam upaya pengelolaan sampah. Dengan penerapan konsep EPR diharapkan dunia industri ikut bertanggung jawab terhadap seluruh siklus produk dan kemasan dari produk yang mereka hasilkan, dimana selama ini tanggung jawab tersebut dibebankan kepada pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikaji mengenai partisipasi masyarakat dan dunia industri dalam sistem pengelolaan persampahan di Kabupaten Magetan.
Untuk mengkaji partisipasi masyarakat dan dunia industri dalam sistem pengelolaan persampahan, perlu dipertimbangkan berbagai sasaran yang berkaitan dengan pengelolaan persampahan. Sasaran tersebut antara lain gambaran wilayah studi secara makro dan mikro, karakteristik masyarakat, sistem pengelolaan persampahan di wilayah studi, partisipasi masyarakat dan dunia industri pada pengelolaan 3R dan EPR. Hasil dari analisis direkomendasikan terhadap pengembangan program pengelolaan sampah yang lebih optimal. Berikut kerangka pemikiran dalam penyusunan tesis ini:
commit to user