4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Kepuasan 2.1.1 Definisi Kepuasan
Kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang (pelanggan) setelah membandingkan antara kinerja atau hasil yang dirasakan (pelayanan yang diterima dan dirasakan) dengan yang diharapkannya (Fikri, Wiyani & Suwandaru, 2016).
Kepuasan merupakan penilaian mengenai ciri atau keistimewaan produk atau jasa, atau produk itu sendiri, yang menyediakan tingkat kesenangan konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi konsumen.
Kepuasan konsumen dapat diciptakan melalui kualitas, pelayanan dan nilai.
Kunci untuk menghasikan kesetian pelanggan adalah memberikan nilai pelanggan yang tinggi (Apriyani dan Sunarti, 2017).
2.1.2 Faktor-faktor Menentukan Kepuasan
Menurut Harlie (2016) ada beberapa faktor yang menentukan tingkat kepuasan konsumen/pasien, yaitu :
a. Kualitas pelayanan terhadap pasien. Pasien akan merasa puas bila mereka dapat pelayanan yang baik, ramah, sesuai dengan yang diharapkan.
b. Merupakan komponen emosional yaitu pasien akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi sosial atau self esteem yang membuat pasien merasa puas terhadap merek tertentu.
c. Harga, yaitu produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pasien.
d. Faktor biaya, yaitu pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau pelayanan kesehatan cenderung puas terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan.
2.1.3 Metode Mengukur Kepuasan Pasien
Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengukur kepuasan pasien : 1. Sistem keluhan dan saran
Setiap organisasi pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien (patient oriented) perlu memberikan kesempatan kepada pasien untuk menyampaikan pendapatnya. Penyediaan kotak saran, hotline service, dan lain-lain memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pasien atau pelanggan untuk menyampaikan keluhan, saran, komentar, dan pendapat mereka. Informasi yang diperoleh dari metode ini dapat memberi ide-ide baru yang berharga untuk mengatasi masalah yang timbul (Sarie, 2018).
2. Lost Customer Analysis
Menghubungi pasien yang telah berhenti atau beralih ke organisasi pelayanan lain agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan selanjutnya. Pemantauan terhadap lost customer analysis sangat penting karena peningkatannya menunjukkan kegagalan penyedia jasa dalam memuaskan pasien (Prihastono, 2012).
3. Ghost shopping
Salah satu cara untuk memperoleh gambaran kepuasan pasien adalah dengan mempekerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan dan bersikap seperti pasien di organisasi pelayanan kesehatan lain. Lalu mereka menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan di organisasi pelayanan kesehatan lain berdasarkan pengalamannya mengamati cara pesaing melayani permintaan, menjawab pertanyaan, dan menangani setiap keluhan pasien (Setyawati dkk, 2018).
4. Survei Kepuasan Pelanggan, untuk mengetahui kepuasan pelanggan para pemasar juga dapat melakukan berbagai penelitian atau survei mengenai kepuasan pelanggan misalnya melalui kuesioner, pos, telepon, ataupun wawancara langsung (Irawan dan Japarianto, 2013).
Namun model kualitas pelayanan yang paling populer dan hingga kini banyak dijadikan acuan dalam riset manajemen pelayanan adalah model Servqual (Service Quality). Penilaian kualitas pelayanan menggunakan metode Servqual
mencakup perhitungan perbedaan di antara nilai yang diberikan para pelanggan untuk setiap pasang pernyataan pada kuesioner berdasarkan persepsi yang berkaitan dengan harapan dan kenyataan. Model ini memiliki keterbatasan yaitu berpotensi menimbulkan social desireable bias karena kecenderungan responden untuk menilai variabel harapan dengan sangat tinggi (Indrayani, 2016).
2.2 Dimensi Kualitas Pelayanan
Terdapat lima dimensi yang mewakili persepsi konsumen/pasien terhadap suatu kualitas pelayanan jasa, yaitu:
1. Reliability (Kehandalan)
Yaitu dimensi yang mengukur kehandalan suatu pelayanan jasa kepada konsumen. Kehandalan adalah suatu kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan dengan akurat dan terpercaya misalnya memberikan kinerja sesuai dengan harapan pelanggan dan tanpa kesalahan, akurat dan dapat memuaskan pelanggan yang datang (Pratiwi dkk, 2018).
2. Responsiveness (Ketanggapan)
Yaitu kemampuan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan dengan cepat kepada konsumen. Dimensi ketanggapan merupakan dimensi yang bersifat paling dinamis. Hal ini dipengaruhi oleh faktor perkembangan teknologi. Salah satu contoh aspek ketanggapan dalam pelayanan adalah kemampuan untuk segera mengatasi masalah secara professional dan juga memberikan pelayanan yang tanggap kepada konsumen (Ulkhaq dan Barus, 2017).
3. Assurance (Jaminan)
Yaitu dimensi kualitas pelayanan yang berhubungan dengan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan dan keyakinan kepada konsumen. Salah satu contoh dimensi jaminan yaitu kemampuan tenaga kerja dalam menerapkan sikap sopan dan ramah ketika memberi pelayanan, keterampilan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan dan kemampuan di dalam menanamkan kepercayaan konsumen terhadap jasa yang ditawarkan (Radito, 2014).
4. Emphaty (Empati)
Yaitu kesediaan untuk peduli dan memberikan perhatian yang tulus dan bersifat pribadi kepada konsumen (pengguna jasa). Dimensi empati adalah dimensi yang memberikan peluang besar untuk menciptakan pelayanan yang “surprise” yaitu sesuatu yang tidak diharapkan pengguna jasa tetapi ternyata diberikan oleh penyedia jasa (Kamil, 2010).
5. Tangibles (Bukti langsung)
Yaitu penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik harus dapat di andalkan. Contoh dari dimensi ini meliputi penampilan fasilitas fisik, seperti gedung dan ruangan, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapian dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan karyawan (Amna, 2012).
2.3 Tinjauan Tentang Pelayanan Kefarmasian 2.3.1 Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menuntaskan masalah terkait obat dan masalah kesehatan pada umumnya. Pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik (penerimaan resep, peracikan obat, penyerahan obat, informasi obat dan pencatatan/penyimpanan resep) sampai kepada pelayanan informasi obat kepada pasien. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia serta sarana dan prasarana (Permenkes RI No. 30, 2014).
a. Pengelolaan Obat Medis Habis Pakai
Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian yang dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannnya adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat Bahan Medis Habis Pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan
tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan (Depkes RI, 2014a).
b. Pelayanan Farmasi Klinik :
Pelayanan Farmasi Klinik merupakan jenis pelayanan kefarmasian yang diteliti dalam penelitian ini karena berhubungan langsung dengan pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi :
1. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan Klinis.
a. Pemeriksaan kelengkapan administratif resep, yaitu : nama dokter, nomor surat izin praktek (SIP), alamat praktek dokter, paraf dokter, tanggal, penulisan resep, nama obat, jumlah obat, cara penggunaan, nama pasien, umur pasien, dan jenis kelamin pasien.
b. Pemeriksaan kesesuaian farmasetik, yaitu bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, cara dan lama penggunaan obat.
c. Mempertimbangkan klinik, seperti alergi, efek samping, interaksi dan kesesuaian dosis.
d. Mengkonsultasikan dengan dokter apabila ditemukan keraguan pada resep atau obatnya tidak tersedia (Depkes RI, 2014b).
2. Peracikan Obat
Setelah memeriksa resep, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Pengambilan obat yang dibutuhkan pada wadah menggunakan alat, dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
b. Peracikan obat.
c. Pemberian etiket warna putih untuk obat dalam/oral dan etiket warna biru untuk obat luar, serta menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan obat dalam bentuk suspensi atau emulsi.
d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang sesuai dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan penggunaan yang salah.
3. Penyerahan Obat
Setelah peracikan obat, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat.
b. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik dan sopan, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya kurang stabil.
c. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya.
d. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal lain yang terkait dengan obat tersebut, antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, dan cara penyimpanan obat (Depkes RI, 2014a).
4. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Hal ini sangat diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Sumber informasi obat adalah Buku Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI), Farmakologi dan Terapi, serta buku-buku lainnya.
Informasi obat juga dapat diperoleh dari setiap kemasan atau brosur obat yang berisi antara lain nama dagang obat jadi, komposisi, bobot tablet, isi atau jumlah tiap wadah, dosis pemakaian, cara pemakaian, khasiat atau kegunaan, Kontra indikasi (bila ada), tanggal kadaluarsa, nomor ijin edar/nomor registrasi, nomor kode produksi, nama dan alamat industri (Permenkes RI, 2014).
2.4 Tinjauan Tentang Puskesmas 2.4.1 Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah salah satu sarana pelayanan kefarmasian. Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang langsung memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat dalam satu wilayah tertentu dalam bentuk usaha- usaha kesehatan pokok (Wardani, 2014).
2.4.2 Fungsi Dan Tugas Puskesmas
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan pelayanan, pembinaan dan pengembangan upaya kesehatan secara paripurna kepada masyarakat di wilayah kerjanya (Depkes RI, 2004).
Puskesmas memiliki tiga fungsi pokok, yaitu (Sanah, 2017):
1. Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayahnya
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya
Fungsi puskesmas tersebut dapat dilaksanakan dengan cara merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri, memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien, memberikan bantuan yang bersifat membimbing teknis materi dan rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebbut tidak menimbulkan ketergantungan, memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat, berkerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program (Putri dkk, 2017).
2.4.3 Puskesmas Polowijen
Puskesmas Polowijen adalah salah satu Puskesmas di Kota Malang.
Beralamat di Polowijen, Blimbing, Kota Malang. Puskesmas Polowijen memiliki tempat pelayanan kefarmasian yang disebut pelayanan obat. Berdasarkan hasil laporan kunjungan pasien pada tahun 2018 jumlah kunjungan untuk pasien rawat jalan yaitu 21.847 orang .
2.5 Servqual (service quality)
Metode pengukuran kualitas layanan yang banyak digunakan secara luas adalah metode Servqual. Servqual berasal dari kata service quality yang artinya kualitas layanan. Metode Servqual dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama, yaitu persepsi pelanggan atas layanan yang nyata mereka terima (perceived service) dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan oleh pelanggan (expected service). Kualitas layanan merupakan selisih antara layanan yang dirasakan atau
dipersepsikan oleh konsumen (persepsi) dengan layanan ideal yang diinginkan atau diminta oleh konsumen (harapan) (Zeithaml dkk, 2014).
Service quality (kualitas layanan) adalah ukuran seberapa baik suatu layanan menemui kecocokan dengan harapan pelanggan. Penyelenggaraan kualitas layanan berarti melakukan kompromi dengan harapan pelanggan dengan tata cara yang konsisten. Dimana menurut Zeithaml rumus kepuasan pelanggan sebagai berikut :
Dimana:
Q = Quality / Kualitas Pelayanan Pelanggan
E = Expectation / Harapan Pelanggan atas Kualitas Pelayanan P = Perceived / Pelayanan yang sesungguhnya diterima
2.6 Analisis Importance Performance Matrix
Salah satu cara untuk melihat kualitas pelayanan secara keseluruhan dan mendeteksi adanya kesenjangan maka digunakan analisis Importance performance matrix. Konsep ini sebenarnya berasal dari konsep Servqual. Peta ini dibagi atas 4 kuadran dimana masing-masing kuadran menunjukkan pelayanan untuk setiap variabel pelayanan yang telah dilakukan (Amalia dan ST, 2018).
Gambar 2.1 Diagram Matriks Kinerja dan Harapan
Rendah Tinggi
Tinggi
Harapan
Kenyataan
C
A B
D
Q = P - E
(y)
(x)
Keterangan:
1. Kuadran A (attributes to improve) :
Wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap penting oleh pasien tetapi pada kenyataannya faktor-faktor ini belum sesuai seperti yang diharapkan.
Faktor-faktor yang masuk kuadran ini harus ditingkatkan (Suhendra dan Prasetyanto, 2016).
2. Kuadran B (maintain performance)
Wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap penting oleh pasien dan faktor-faktor yang dianggap pasien sudah sesuai dengan yang dirasakan sehingga tingkat kepuasan relatif tinggi. Faktor-faktor yang masuk kuadran ini harus tetap dipertahankan kinerjanya (Anggraini dkk, 2015).
3. Kuadran C (attributes to maintain)
Wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh pasien dan kenyataannya kinerjanya tidak terlalu istimewa. Peningkatan faktor- faktor yang masuk dalam kuadran ini perlu dipertimbangkan kembali karena pengaruhnya kecil terhadap kepuasan pasien (Nugraha dkk, 2014).
4. Kuadran D (main priority)
Wilayah yang memuat faktor yang dianggap kurang penting oleh pasien dan dirasakan terlalu berlebihan kinerjanya. Faktor-faktor yang masuk kuadran ini tidak perlu mengambil tindakan lebih lanjut terhadap kinerjanya (Indrajaya, 2018).