• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Metode Penelitian

3. Uji Fagositosis

Fraksi EtOAc adalah fraksi yang diperoleh dari fraksinasi ekstrak EtOAc dengan kromatografi kolom, terdiri atas fraksi A,B,C,D dan E. Pada uji fagositosis fraksi EtOAc yaitu fraksi A,B ,C,D (kadar 10,100 bbpj); diamati kemampuan fagositosis sel makrofag dengan parameter sel fagosit aktif (SFA) yaitu jumlah sel makrofag yang aktif melakukan fagositosis per-100 makrofag dan indeks fagosit (IF) yaitu jumlah rata - rata bakteri yang ditelan oleh satu makrofag aktif; dihitung dari jumlah total bakteri yang ditelan oleh 50 sel makrofag aktif (Wagner dan Jurcic 1991; Ichinose et al. 1998). Sel fagositik yang dapat digunakan antara lain granulosit, monosit sel darah perifer, makrofag peritoneal, sel Kupffer, sel NK (natural killer) dengan bakteri uji seperti

Staphylococcus epidermidis, S. aureus, Candida albicans, Eschericia coli, sel ragi (baker’s yearst) (Wagner dan Jurcic 1991). Penghitungan jumlah bakteri yang difagositosis dapat dilakukan secara manual dengan mikroskop cahaya yaitu dengan menghitung langsung jumlah bakteri yang difagosit (Gambar 24) atau bakteri uji dilabel dengan fluorescein -5 -isothiocyanate (FITC) dan diukur intensitas fluoresensi sebagai

Relative Fluorescence Unit (RFU) pada panjang gelombang eksitasi (485 ± 10 nm) dan emisi (530 ± 12,5 nm) pada instrumen fluoresence microplate reader (Wagner dan Jurcic 1991; Kim et al. 2001).

.

Gambar 24. Makrofag aktif yang telah memfagosit bakteri (tanda panah). Perwarnaan Giemsa. Perbesaran 10 X 100

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 0 bpj 10 bpj 100 bpj 1000 pj

Sel Fagosit Aktif (%)

A B C D 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 0 bpj 10 bpj 100 bpj 1000 pj Indeks Fagosit A B C D

Gambar 25. Sel fagosit aktif (A) dan Indek fagosit (B) pasca perlakuan fraksi EtOAc

Hasil pengamatan SFA dan IF dari fraksi EtOAc menunjukkan kecenderungan peningkatan SFA dan IF dengan meningkatnya kadar fraksi EtOAc dari 10 - 1000 bpj (Gambar 25). Pada kelompok kontrol diperoleh SFA sebesar 56,4% dan IF sebesar 10,07 Di antara perlakuan kelompok uji, fraksi B (1000 bpj) menunjukkan SFA yang paling tinggi yaitu 77% sedangkan IF tertinggi diperoleh pada perlakuan fraksi C (1000 bpj) sebesar 19,08. Menurut Wagner dan Jurcic (1991) bila nilai SFA dan IF kelompok perlakuan lebih besar dari kelompok kontrol, mengindikasikan adanya efek stimulasi atau peningkatan aktivitas fagositosis oleh bahan uji. Berdasarkan rumus Wagner da n Jurcic (1991), diperoleh stimulasi SFA (%) tertinggi sebesar 35,5% pada perlakuan fraksi B (1000 bpj) sedangkan peningkatan IF sebesar 89,6 % pada perlakuan fraksi C (1000 bpj). Pada uji antiproliferasi sel tumor (Gambar 20); fraksi B dan C (15 bpj) memberikan penghambatan pertumbuhan sebesar 25 - 32% (sel HeLa) dan 43 - 55% (sel K-562 dan WEHI 164), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komponen bioaktif di dalam fraksi B dan C mempunyai potensi sebagai antiproliferasi dan stimulasi fagositosis

B A

Peningkatan kemampuan fagositosis (SFA dan IF) sel makrofag pasca perlakuan fraksi EtOAc disebabkan adanya komponen bioaktif yaitu kelompok flavonoid dan terpenoid yang terdistribusi dalam fraksi tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa metabolit sekunder dari tumbuhan yang berpotensi sebagai imunomodulator antara lain kuinon, polifenol, polisakarida, protein, peptida, dan saponin (Wong 1997). Fraksi polisakarida C. zedoaria yaitu fraksiCZ-I-III (1000 bpj) dilaporkan oleh Kim et al. 2001 mempunyai efek stimulasi IF sebesar 30% terhadap bakteri E. coli dan S. aureus.

b. Fraksi Bioaktif

Fraksi bioaktif (B-1, C-1, C-2 dan C-3) diperoleh dari hasil pemisahan dan pemurnian fraksi B dan C dengan KCKT kemudian dilakukan pengujian aktivitas fagositosis dengan kadar 6,25; 12,5; 25; 50 dan 100 bpj.

0 20 40 60 80 100 0,0 bpj 6,25 bpj 12,5 bpj 25 bpj 50 bpj 100 bpj Sel Fagosit (%) B-1 C-1 C-2 C-3 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5 11.0 11.5 12.0 0,0 bpj 6,25 bpj 12,5 bpj 25 bpj 50 bpj 100 bpj Indeks Fagosit B-1 C-1 C-2 C-3 Gambar 26. Sel fagosit aktif (A) dan Indeks fagosit (B) pasca perlakuan fraksi bioaktif

A

Kelompok kontrol memberikan nilai SFA sebesar 53,3% dan IF sebesar 494,1; fraksi B-1 (100 bpj) menunjukkan SFA paling tinggi sebesar 77,3% dan IF sebesar 11,8 dan diikuti oleh fraksi C-1 (Gambar 26). Fraksi C -2 dan C-3 memberikan nilai SFA dan IF yang tidak berbeda (p>0,05) pada uji Duncan (Lampiran 10). Fraksi bioaktif menstimulasi SFA da n IF pada semua kelompok perlakuan; perlakuan menggunakan fraksi B (100 bpj) memberikan stimulasi paling tinggi yaitu peningkatan IF sebesar 38,5 % dan SFA sebesar 19,8%.

Makrofag merupakan fagosit profesional untuk menghancurkan dan menyajikan antigen kepada limfosit. Monosit dalam sirkulasi dan makrofag dalam jaringan berada dalam status istirahat dan akan menjadi aktif setelah ada stimulasi dari mikroba, sitokin atau stimulus lain. Aktivasi makrofag merupakan peristiwa yang kompleks. Makrofag yang teraktivasi akan melaksanakan fungsi efektornya sebagai aktivator limfosit, mikrobisidal, tumorisidal, kerusakan jaringan, inflamasi serta demam. Perubahan morfologis maupun fungsional dari makrofag teraktivasi adalah makrofag menjadi lebih besar dengan sitoplasma melebar, kecepatan pinositosis serta memakan (fagositosis) meningkat dan kadar enzim intraselular bertambah (Kresno 2001).

Peningkatan kemampuan fagositosis sel makrofag (SFA dan IF) menunjukkan adanya aktivasi makrofag oleh komponen seskuiterpen bentuk tunggal (fraksi B-1) atau kombinasi (fraksi C -1) yang terdapat dalam C. zedoaria. Mekanisme aktivasi makrofag tersebut diduga melalui stimulasi IL -1 yaitu sitokin yang disintesis dan disekresi oleh makrofag. Pelepasan sitokin oleh makrofag distimulasi oleh faktor lain seperti hormon, metabolit sekunder tumbuhan (Wong 1997) dan polisakarida (Kim et al. 2001). Fungsi IL-1 antara lain merangsang produksi faktor kemotaktik, mengaktifkan sel endotel dan makrofag. Kemoktakis adalah gerakan fagosit ke tempat infeksi sebagai respons terhadap berbagai faktor seperti produk bakteri dan faktor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen (Baratawidjaja 2001). Bergman et al. (2002) melaporkan peningkatan sekresi IL-1β akibat perangsangan oleh lateks sebesar 73% (in -vitro) dan 102% (in -vivo). IL-1 α dan IL-1 β adalah bentuk fungsional IL -1 yang dihasilkan oleh produk gen yang berbeda. Kemungkinan terjadinya peningkatan IL -1 oleh komponen seskuiterpen masih perlu dibuktikan dengan pengukuran kadar IL-1 secara bioassay

atau imunohistokimia.Pengukuran kemampuan fagositosis pada penelitian ini dilakukan secara langsung dengan menghitung jumlah partikel (bakteri) yang difagositosis oleh sel fagosit setelah inkubasi selama satu jam. Kemampuan membunuh mikroba yang

difagosit dapat diukur secara tidak langsung dari produk biokimia yang dihasilkan seperti hidrogen peroksida dan spesies oksigen reaktif dengan menggunakan spektrofotometer atau fluorometer.

Stimulasi sel fagosit aktif (SFA) pada fraksi yang telah dimurnikan dengan kadar uji 100 bpj yaitu fraksi B1 (38,5%) dan C-1 (36,6%) lebih besar dibandingkan fraksi B (23,2%) dan C (9,3%); diduga fraksi B-1 dan C-1 meningkatkan produksi dan sekresi faktor kemotaktik. Stimulasi IF (fungsi menelan) paling besar diperole h pada kelompok pasca perlakuan fraksi B (50,9%) dan fraksi C (59,5%) dibandingkan fraksi B-1 (19,8%) dan C-1 (16,7%). Hal ini mungkin disebabkan adanya efek aditif atau sinergis dari multikomponen bioaktif dalam fraksi B dan C melalui aktivasi berbagai faktor endogen (interleukin, faktor kemotaktik, sel NK, sel sitotoksik, TNFa ) yang terlibat dalam stimulasi sistim secara keseluruhan ( Baratawidjaja 2001).

Makrofag mempunyai peranan penting dalam sistim imun non spesifik sebagai pertahanan awal terhadap invasi mikroorganisme maupun imunitas anti-tumor dengan fungsinya sebagai fagosit profesional untuk menghancurkan dan menyajikan antigen kepada limfosit. Makrofag yang teraktivasi akan melaksanakan fungsi efektornya sebagai aktivator limfosit, mikrobisidal, tumorisidal, kerusakan jaringan, inflamasi serta demam. Komponen bioaktif yang mempunyai sifat mengaktivasi makrofag atau bekerja sebagai imunomodulator bermanfaat sebagai terapi tambahan (ajuvan) bagi penderita kanker dalam kaitan meningkatkan sistim imun non spesifik penderita melawan infeksi, meningkatkan efektivitas terapi melalui sistim efektor tumorisidal, mengurangi dampak efek samping kemoterapi maupun radioterapi yang bersifat menekan sistim imun penderita.

Dokumen terkait