• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Desain Organisasi yang Inklusif dan Otonom

Dalam dokumen POLITIK DAN ELIT Dan MUHAMMADIYAH (Halaman 121-127)

| 72 |studi di luar negeri

B. Faktor-Faktor Penyebab Fragmentas

3. Faktor Desain Organisasi yang Inklusif dan Otonom

Muhammadiyah sejak didirikan dan sampai sekarang terlihat sebagai organisasi yang open dan tidak ekslusif. Hal ini bisa terlihat dari beragamnya

62 Syafiq A. Mughni, Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, artikel dimuat Majalah

David Efendi

|

10 4

|

orang di rumah atau ‘tenda’ Muhammadiyah ini. Sebagai implikasinya adalah ketidakseragaman atas sikap dan respon terhadap fenomena atau keadaan politik nasional ataupun lokal. Ciri organisasi yang lainnya adalah sifat otonomi yang diberikan sangat luas kepada organsiasi otonom di bawahnya yang meliputi delapan organisasi otonom dan juga beberapa majelis dan lembaganya yang sangat terbuka peluang untuk berbeda sikap dengan elit 13 besar PP Muhammadiyah (popular dengan istilah ‘13 dewa’ yang dipilih dalam forum Muktamar). Ada fenomena yang bisa merepre- sentasikan keadaan tersebut, misalnya Majelis Tabligh lebih mengarah ke sosok MAR sebagai kiblat politiknya, dan Majelis Hikmah akan lebih condong mendukung manufer DS, dan sebagainya.

Sebagaimana yang kita tahu, bahwa kondisi internal ini tumbuh semen- jak organisasi ini berdiri yang dilatarbelakangi pendidikan di Timur Tengah yang masa itu juga terjadi beragam aliran keagamaan dalam Islam. Wahabi dianggap yang dekat dengan Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Di dalam Muhammadiyah kelebihan bisa menjadi kelemahan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang disampaikan oleh Kim Hyung-Jun (2010), guru besar Antropologi di Kangwon Na- tional University, South Korea, bahwa MD mempunyai titik lemah di lima hal. Pertama, Management of Organization yaitu Collegial system in deci- sion-making dalam organisasi. Kedua, Structure of Organization Composition of Leaders Five-leveled structure. Ketiga, Leadership Structure, Image of Ideal leader yaitu penerapan Bloc Voting. Keempat, Main Activities yang ada di amal usaha yang sangat beragam dan kompleksitas persoalannya. Kelima,

Ideal of managing-Unity Organization.63

Dari penjelasan Kim (2010) dan hasil diskusi penulis dengan pentolan MD kultural yang tergabung di Majelis Reboan semenjak tahun 2005, tepatnya menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, penulis menyusun faktor-faktor yang mengilhami terjadinya perkubuan dan fragmentasi elit Muhammadiyah. Pertama, desain struktur organisasi yang

63 Kim Hyung-Jun, 2010, Can Muhammadiyah Become a Cradle for New Civil Movement?, presentasi hasil temuan penelitian di gedung PP Muhammadiyah jalan Cik Di Tiro Yogyakarta, tanggal 12 Mei 2010.

terpisahkan ke dalam tujuh organisasi otonom yang mempunyai kedau- latan atas rumah tangga masing-masing, termasuk pilihan politiknya yang tidak serta merta dapat dikontrol oleh PP Muhammadiyah sebagai organi- sasi atau institusi. Dengan pendidikan yang tinggi, tentu pengetahuan elite ortom sangat luas yang memunculkan sifat kritis dan tidak mudah diinter- vensi oleh kelompok lainnya.

Kedua, kepemimpinan kolektif-kolegial. Muhammadiyah tidak dipimpin satu orang. Di Muhammadiyah ada 13 elite pimpinan struktural dengan basis dukungan masing-masing dan bisa mengambil kebijakan dalam hal yang hanya menjadi wewenangnya, melalui mekanisme rapat yang panjang. Sehingga, menurut Profesor Kim, organisasi MD tidak ‘satu komando’ yang berakibat menjadi organisasi yang tidak kuat dengan leadership karismatik atau radikal. Dalam sikap politik ke-13 ‘dewa’ tersebut tidak selalu kompak seiring sejalan. Ke-13 elite struktural tersebut mempunyai wilayah kekuasaan, rasionalisasi dan basis dukungan masing- masing (konstituen dalam bahasa politik). Jika mau radikal harusnya Muhammadiyah jadi partai politik. Itu saran Profesor Kim kepada MD. Ketiga, latar belakang pendidikan elite. Umat Islam semenjak pasca Nabi Muhammad terjadi perpecahan, yang kalau sampai sekarang bisa dihitung menjadi ratusan golongan. Bahan bacaan sangat mempengaruhi sikap keagamaan dan politik para elite Muhammadiyah. Pendidikan menjadikan orang berwawasan luas, jika dilakukan dengan dialogis akan membebaskan pikiran-pikiran hitam putih, naïf. Sebaliknya, pendidikan doktriner yang ditempa berpuluh tahun akan menghasilkan sosok-sosok yang tidak segan menganggap teman atau orang lain sebagai pengidap virus membahayakan: SEPILIS. Inilah kesimpulan bagaimana elite Muhammadiyah terfragmentsi secara pemikiran agama yang didukung oleh latar belakang pendidikan. Dalam konteks MD, dikotomi produk Amerika dan Timur tengah menjadi perdebatan sengit sampai saat ini.

Terakhir, adalah faktor perebutan amal usaha. Ini persoalan yang sedang terjadi di banyak tempat di level struktur MD mulai dari ranting, daerah, wilayah, sampai pusat. Mengapa? MD dianggap sangat kaya dengan amal usaha pendidikan, ribuan sekolah, ratusan universitas dan akademi, ratusan

David Efendi

|

10 6

|

balai kesehatan dan rumah sakit.64 Hal ini menjadi arena yang basah bagi

’Muhammadiyah pencari makan’ (istilah Afan Gaffar) untuk bertarung dan mengadu nasib di persyarikatan. Lebih kronis lagi, jika ’perang’ atas kepentingan ekonomi ini berhimpit dengan afiliasi politik, patron, yang berbeda, sebagaimana konflik elite MD yang terjadi di Sumatra Utara menjelang Pemilu 2009, dimana PWM dan ortom terpecah dengan afiliasi kubu PAN dan PMB serta kubu yang berada di luar keduanya. Contoh konflik lain terjadi di Klaten yang mempertemukan kubu Muhammadiyah- PKS dengan Muhammadiyah PAN.65 Konflik itu menjadi polemik sampai

di tingkat elite pusat, sebab ketiga partai ’Muhammadiyah’ tersebut direpresentasikan oleh elitnya di tingkat pusat MD seperti: Anis Matta, Hidayat NW, Amien Rais, Din Syamsuddin, Yunahar Ilyas, Muhammad Muqoddas, dan elite di PP Pemuda Muhammadiyah yang punya hubungan emosional yang dalam dengan PMB.

Polemik ini direspon oleh elite secara berbeda. Ada yang menganggap wajar karena organisasi MD besar sehingga banyak yang tertarik masuk dan tertarik untuk menuai keuntungan di air keruh. Tetapi ada juga yang serius dengan mengusulkan gagasan perlunya MD mempunyai amal usaha di bidang politik. PMB yang dianggap menambah deretan prestasi kegagalan politik orang MD dinilai sinis oleh kubu kultural dan kelompok yang diam-diam membonceng partai-partai “Islam” dan “sekuler”. 4. Pragmatisme Politik Elit

Muhammadiyah adalah ormas besar. Anggotanya banyak, kegiatannya komprehensif, demikian juga amal usahanya, dan jaringannya luas, sehingga punya pengaruh di tingkat massa. Kebesaran Muhammadiyah menyebab- kannya menjadi sasaran kooptasi. Dalam perhitungan kasar, kekuasaan pasti berminat pada Muhammadiyah: bukan dalam arti memberi du-

64 Sumber, Profil Muhammadiyah 2005, 2005

65 Masih banyak contoh lain, termasuk kasus di Lamongan antara kubu Muhammadiyah struktural dan kultural berbeda dukungan politiknya dalam pilkada 2010 pada tanggal 23 Mei 2010 yang lalu. Hal ini menunjukkan keragaman yang kuat di Muhammadiyah. Contoh lain, di NTB dan Sumbar ada gerakan anti PAN yang dipelopori elite PMB yang juga aktivis Muhammadiyah.

kungan terhadap dakwahnya, tetapi mengkooptasi dan bahkan menakluk- kannya. Karena itu, Muktamar dan berbagai forum permusyawaratan Muhammadiyah akan menjadi ajang untuk kooptasi dan penaklukan itu. Penguasa pasti tidak akan membiarkan Muhammadiyah menjadi lebih besar dari negara, pemimpinnya kompak dan kritis terhadap kebijakan penguasa. Tidak akan! Sehingga paradigma kritis dalam menganalisis faktor ini perlu dimunculkan sebab state terrorisme itu nyata adanya.

Dengan masing-masing modalitas atau basis legitimasi yang dimiliki elit Muhammadiyah, mereka mempunyai cara sendiri untuk bermain api dengan politik. Banyak bukti yang sudah penulis himpun di bab-bab sebelumnya, bahwa syahwat politik elit Muhammdiyah pada saat Pemilu 2009 nyata-nyata berhaluan pragmatis, sebagaimana yang diekspresikan Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah) yang mendukung JK-WIN lantaran kecewa dengan SBY dan bobroknya mesin politik yang bernama Partai Matahari Bangsa (PMB, didirikan tahun 2006); dan ‘Muhammadiyah’ dengan 30 juta warganya yang diharapkan seiring dan sejalan dengan Din Syamsuddin nyata-nyata jauh dari harapan. Begitu juga yang dimainkan oleh Syafii Maarif yang mempromosikan JK-Win yang notabene punya masalah dengan penegakan HAM dan juga orde baru: Golkar. Dan yang paling terlihat pragmatis adalah bagaimana Amien Rais yang membungkam diri sendiri terhadap kekritisan dan agenda reformasi yang ia bangun melalui Muhammadiyah, Perhimpunan Amanat Muhammadiyah, sampai lahir Partai Amanat Nasional (PAN).

Diujung perhelatan politik yang bernama pemilihan umum presiden dan wakil presiden itu, Amien Rais dan jajarannya di PAN lalu merapat ke SBY-Budiono dengan berbagai kepentingan di dalamnya termasuk memasukkan menteri dalam kabinet dan membiayai mesin partai agar dapurnya tetap dapat mengepul. Pada saat yang sama, Amien diapresiasi sebagai penyelamat muka Muhammadiyah ketika pasangan capres cawapres yang didukung sebagian besar elit Muhammadiyah itu kalah telak dalam satu putaran Pemilu 2009. Sebagai dampaknya, berbagai gerakan anak muda Muhammadiyah muncul dengan kritik yang sangat keras bahwa Amien Rais dan PAN partai dan tokoh pragmatis sehingga

David Efendi

|

10 8

|

penolakan itu berujuang pada keurungan Amien Rais kembali masuk jajaran pimpinan pusat Muhammadiyah.

Mungkin beberapa aktivis muda Muhammadiyah bisa bernafas lega? Tapi hubungan politik dengan Muhammadiyah tidak lantas selesai sebab Din Syamsuddin pun dikenal sebagai politisi yang sudah banyak memakan garam. Jadi organisasi ini kedepan akan terus mengalami dinamika politik dan ‘pertarungan’ sengit di antara elit lama, sesama elit baru dalam wadah Muhammadiyah yang sekali lagi tidak monolitik atau heteropolitik.

BAB IV

METODE DAN IMPLIKASI

Dalam dokumen POLITIK DAN ELIT Dan MUHAMMADIYAH (Halaman 121-127)