• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Agresivitas

3. Faktor-faktor Agresivitas

Agresi tidak muncul secara otomatis, tetapi ada faktor-faktor tertentu yang mengarahkannya. Berikut ini beberapa faktor yang sering ditemukan sebagai pengarah dan penyebab kemunculan agresi. Yaitu, frustasi, stress, deindividuasi, kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, dan suhu udara.

a. Frustasi.

Frustasi adalah suatu kondisi atau situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam mencapai tujuan. Frustasi dapat mengarahkan individu kepada agresi, sehingga menjadi biasa disebut teori frustasi-agresi. Frustasi merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan agresi merupakan salah satu cara untuk mengatasinya. Individu akan memilih tindakan agresif sebagai reaksi atau cara untuk mengatasi frustasi yang sedang dialaminya apabila terdapat stimulus-stimulus yang menunjang kearah tindakan agresif tersebut. Para teoris dan peneliti lain percaya bahwa kecenderungan individu dalam memilih agresi sebagai cara untuk mengatasi frustasinya dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar (Ulrich dalam Koeswara, 1988).

b. Stress.

Stress merupakan hal yang hampir sering dialami oleh manusia dan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan intrapsikis. Engle (dalam Koeswara, 1988) memberikan definisi stress yang meliputi sumber-sumber stimulasi eksternal dan internal dari individu. Stress dapat berupa stimulus eksternal (sosiologis atau situasional) dan bisa berupa stimulus internal (intrapsikis) yang dialami oleh individu sebagai hal yang tidak menyenangkan serta menuntut penyesuaian. Hal tersebut dapat menghasilkan efek somatik dan efek behavioral (dalam hal ini kemunculan agresi).

1.) Stress eksternal

Kemajuan teknologi juga disertai oleh perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat. Seperti pergeseran nilai-nilai, berkurangnya kontrol sosial, persaingan hidup yang semakin ketat, memburuknya perekonomian, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat menimbulkan dampak berupa peningkatan stress eksternal bagi banyak kalangan masyarakat, terutama kalangan yang tidak mampu. Durkheim (dalam Koeswara, 1988) memiliki konsep tentang anomie, kerusakan norma sosial antara individu dan masyarakat, bahwa stress eksternal yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan sosial dan memburuknya perekonomian mempunyai peran terhadap meningkatnya kriminalitas termasuk tindakan-tindakan kekerasan atau agresi. Teeters (dalam Koeswara,

1988) menekankan bahwa banyak faktor yang berperan dalam peningkatan kriminalitas dan agresivitas, tetapi stress eksternal tetap memiliki peranan paling penting. Schlesinger dan Revitch (dalam Koeswara, 1988) juga mengungkapkan sumber-sumber lain dari stress eksternal yang dapat memicu timbulnya agresi. Yaitu isolasi, kepadatan penduduk atau sempitnya ruang hidup, kekurangan privasi, rasa tidak bebas, irama kehidupan yang rutin dan monoton, dan mobilisasi sosial.

2.) Stress internal

Hubungan antara stress internal dan agresi masih belum begitu jelas. Hal itu disebabkan oleh adanya kerumitan dalam mengukur stress internal secara obyektif. Freud (dalam Koeswara, 1988) menerangkan bahwa tindak kekerasan dan psikopatologi pada umumnya adalah adaptasi terhadap stress internal dan

eksternal. Menninger (dalam Koeswara, 1988) juga

mengungkapkan tindakan yang tidak terkendali (termasuk agresi) adalah akibat dari kegagalan ego untuk mengadaptasi hambatan-hambatan sebagai upaya untuk memelihara keseimbangan intrapsikis.

c. Deindividuasi.

Deindividuasi (penghilangan identitas diri) dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan dalam melakukan agresi sehingga agresi

yang dilakukannya menjadi lebih intens. Dunn, Rogers, Diener, Mann, Newton dan Innes (dalam Koeswara, 1988) mengungkapkan bahwa deindividuasi memiliki efek memperbesar keleluasaan individu untuk melakukan agresi. Hal tersebut disebabkan oleh karena deindividuasi menghilangkan atau mengurangi peranan beberapa aspek yang terdapat pada diri individu, yaitu identitas diri pelaku maupun identitas diri korban agresi, dan keterlibatan emosional individu pelaku agresi terhadap korbannya. Ada kalanya dalam suatu situasi deindividuasi dapat berubah menjadi dehumanisasi. Perbedaan dari kedua istilah tersebut adalah pada deindividuasi si korban masih dipandang sebagai manusia, sedangkan dehumanisasi si korban dipandang oleh pelaku agresi sebagai obyek yang layak diperlakukan secara lebih kejam dan brutal sesuai dengan kehendak pelaku agresi.

d. Kekuasaan dan kepatuhan.

Lord Acton (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan menjadi sebuah kekuatan yang memaksa (coercive) sehingga memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi. Max Weber (dalam Koeswara, 1988) menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan berbagai keinginannya dalam tindakan komunal, bahkan meskipun harus berhadapan dengan perlawanan dari kelompoknya sendiri. Adler

(dalam Koeswara, 1988) menyatakan dengan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan tingkah laku orang lain yang pada akhirnya menghasilkan superiority feeling. Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat dilepaskan dari aspek pengabdian atau kepatuhan. Para pemegang kekuasaan sering mengeksploitasi kepatuhan pengikutnya untuk menyingkirkan kelompok pesaing dalam rangka memelihara kestabilan kekuasaannya. Bahkan aspek kepatuhan ini diduga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan intensitas agresi individu.

e. Efek senjata.

Sejak senjata ditemukan agresi intraspesies pada manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Sedangkan modernisasi, peningkatan produksi dan penyebaran senjata memberikan sumbangan besar terhadap intensitas berlangsungnya konflik-konflik lokal dan regional. Peranan senjata dalam agresi tidak hanya karena fungsinya dapat mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresi, tetapi juga karena efek kehadirannya. Namun menurut Berkowitz (dalam Koeswara, 1988) efek senjata api terhadap kecenderungan agresi individu ditentukan oleh persepsi individu tersebut terhadap senjata api. Bila kehadiran senjata api dianggap sebagai sesuatu yang

berbahaya oleh individu, maka individu akan lebih cenderung merasa cemas daripada bertindak agresif.

f. Provokasi.

Mengenai hubungan antara provokasi dan agresi, beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk mengungkap hal tersebut. Wolfgang (dalam Koeswara, 1988) mengemukakan tiga perempat dari enam ratus kasus pembunuhan yang diselidikinya terjadi karena adanya provokasi dari korban. Ditemukan juga bahwa perampokan yang disertai tindakan kekerasan oleh perampok dengan menggunakan senjata api disebabkan oleh pihak korban yang menunjukkan provokatif dalam bentuk perlawanan aktif maupun pasif terhadap perampok. Pelaku agresi memiliki kemungkinan untuk melakukan tindak agresi secara lebih besar apabila korban memiliki senjata dan menunjukkan isyarat akan melawan dengan menggunakan senjata itu. Untuk menghadapi provokasi yang mengancam, para pelaku agresi cenderung berpegang pada prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang dan lebih baik membunuh daripada dibunuh.

g. Alkohol dan obat-obatan.

Alkohol dapat memberikan pengaruh buruk bagi diri manusia, bila alkohol tersebut (dalam bentuk minuman keras) dikonsumsi secara berlebihan oleh individu-individu yang memiliki karakter tertentu.

Taylor dan Schmut (dalam Koeswara, 1988) melakukan sebuah penelitian yang meneliti pengaruh alkohol pada subyek-subyek yang mereka gunakan. Hasilnya adalah subyek-subyek yang menerima alkohol dalam takaran tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan para subyek yang menerima alkohol dalam takaran rendah dan para subyek yang tidak menerima alkohol. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa alkohol memiliki pengaruh untuk mengarahkan individu kepada agresi, bahkan dapat mengarahkan individu kearah tingkah laku antisosial lainnya. Hal itu disebabkan karena alkohol dalam takaran yang tinggi dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sedangkan dalam takaran yang rendah alkohol dapat melemahkan aktivitas sistem syaraf pusat dan menghasilkan efek sedatif (rasa atau efek tenang).

h. Suhu udara.

Suhu udara adalah faktor yang jarang diperhatikan oleh para peneliti agresi meskipun sejak lama sudah ada dugaan bahwa suhu udara memiliki hubungan dengan tingkah laku, termasuk tingkah laku

agresif. Carlsmith dan Anderson (dalam Koeswara, 1988)

menyimpulkan bahwa pada musim panas sering terjadi tingkah laku agresif karena musim panas memiliki hari-hari yang lebih panjang, serta individu-individu memiliki keleluasaan bertindak yang lebih besar bila dibandingkan dengan musim-musim yang lain. Namun hal

tersebut masih belum jelas, karena tidak semua negara memiliki perubahan iklim yang mencolok. Sehingga belum diketahui bagaimana pengaruh suhu udara terhadap agresivitas manusia di negara yang tidak memiliki iklim yang mencolok tersebut.

Dokumen terkait