HUBUNGAN PERIL PADA PENIK
Diaj
PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU A ENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA A
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Yoga Prasetyo Utomo NIM : 069114023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2013
HUBUNGAN PERIL PADA PENIK
Diaj
i
PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU A ENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA A
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Yoga Prasetyo Utomo NIM : 069114023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2013
iv
HALAMAN MOTTO
TUHAN menetapkan
langkah-langkah orang yang hidupnya
berkenan kepada-Nya;
apabila ia jatuh, tidaklah sampai
tergeletak, sebab TUHAN
menopang tangannya.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kudedikasikan untuk :
Bapa di surga dan seluruh keluargaku
Utomo-vii
HUBUNGAN PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU ALTRUISME
PADA PENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA AWAL
Yoga Prasetyo Utomo
ABSTRAK
viii
THE RELATIONSHIP BETWEEN AGGRESSIVENESS BEHAVIOR AND
BEHAVIOR OF ALTRUISM TO EARLY ADULTHOOD ROCK MUSIC
LOVERS
Yoga Prasetyo Utomo
ABSTRACT
This study aimed to determine the relationship between the aggressiveness behavior and the behavior of altruism to rock music lovers at early adulthood. This hypothesis had a negative correlation or relationship between aggressive behavior with altruistic behavior on rock music lovers early adulthood. The higher the aggressive behavior, the lower the person's altruism behavior. Conversely, the lower the aggressive behavior, the higher a person's altruism behavior. The subjects in this study amounted to 72 people. The method used in this study was ‘used try out’ method. Aggressive behavior scale developed based on the theory of Barbara Krahe (2005), while the altruism scale arranged on the theory Baron and Byrne (2005). Reliability coefficient of aggressiveness scale was 0.961 alpha Cronbach and reliability coefficient of altruism scale was 0.888 alpha Cronbach. The results obtained state that the subjects had low aggressiveness and altruism behavior. Thus, It could be concluded that the hypothesis was rejected. There was no negative relationship between aggressive behavior with altruistic behavior on rock music lovers at early adulthood.
x
KATA PENGANTAR
Puji hormat, syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus atas pengampunan, berkat, kesempatan dan karuniaNya yang tidak pernah berakhir setiap hari. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini, yaitu:
1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko. M.Psi. selaku Dekan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ratri Sunar Astuti S.Psi., M.Si selaku Kaprodi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Kepada Bapak Prof. Augustinus Supratiknya, Bapak Drs. Hadrianus Wahyudi. M.Si., dan Ibu Aquilina Tanti Arini. S.Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari. S.Psi., M.Si. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih untuk bantuannya dan maaf karena saya sering menghilang.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bimbingan, pengajaran, dan banyak hal lainnya yang boleh penulis dapatkan selama menjalankan masa studi.
xi
7. Angkatan 2006 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Saya adalah kloter terakhir yang keluar.
8. Bapak, Ibu, Yogi, Yori, Coki, Guguk, Mbah, Pakde, Bude, Om, Bulek, dan keluarga besar lainnya.
9. Kineta (Satria, Timo, Tari, Hayu, Mas Djarot, Gigih, Henta, Joko, Galih, Aji, semoga gak ada yang ketinggalan) aku rindu masa kejayaan kita hehehe. RockerMemble (Aji, Rio) teruslah menggalau hahahaha. 10.Orang-orang yang pernah datang dan pergi didalam hidupku. Kalian
adalah sebagian dari nada-nada hidupku.
11.Teman-teman dan komunitas PMK Ebenhaezer, KDM GKI Gejayan, KOMPA GKJ Gondokusuman, Indonesian Drummer Jogja, Family Of Locos Jogja, JMF beserta seisinya dan teman-teman saya yang lain. Juga tak lupa saya berterimakasih kepada orang-orang yang bersedia untuk mengisi kuesioner saya.
12.Juga semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tuhan memberkati kalian semua.
Penulis menyadari keterbatasan dalam melaksanakan penelitian. Mohon maaf untuk setiap ketidaksempurnaan yang ada didalam karya ini. Semoga kita semua dapat menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Yogyakarta, 28 Juni 2013
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….………… i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING..……… ii
HALAMAN PENGESAHAN………..………… iii
HALAMAN MOTTO……… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……… v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..……… vi
ABSTRAK……….……… vii
ABSTRACT……… viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH… ix KATA PENGANTAR……… x
DAFTAR ISI……… xii
DAFTAR TABEL……… xv
DAFTAR LAMPIRAN………..……… xvi
BAB I. PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang Masalah………... 1
B. Rumusan Masalah……… 8
C. Tujuan Penelitian………. 8
D. Manfaat Penelitian……….. 8
BAB II. LANDASAN TEORI………... 10
xiii
1. Pengertian Agresivitas………. 10
2. Teori Agresivitas……… 12
3. Faktor-faktor Agresivitas……… 17
4. Aspek-aspek Agresivitas……… 24
5. Jenis-jenis Agresivitas……… 26
B. Altruisme……… 28
1. Pengertian Altruisme……… 28
2. Teori Altruisme……… 31
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Altruisme…… 37
4. Aspek-aspek Altruisme……… 43
C. Kegemaran Musik Keras……… 44
1. Musik Keras……… 44
2. Pengemar Musik Keras……… 46
D. Masa Awal Dewasa atau Pemuda……… 46
E. Dinamika Hubungan Antar Variabel……… 48
F. Hipotesis……… 54
BAB III. METODE PENELITIAN……… 55
A. Jenis Penelitian……… 55
B. Variabel Penelitian……… 56
C. Definisi Operasional……… 56
D. Subyek Penelitian……… 59
E. Metode Pengambilan Data……… 59
xiv
G. Analisa Data……… 62
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN….. 63
A. Pelaksanaan Penelitian……… 63
B. Deskripsi Subyek……… 63
C. Uji Coba Alat Ukur……… 65
D. Hasil Penelitian……… 67
E. Pembahasan……… 72
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 77
A. Kesimpulan……… 77
B. Saran……… 77
DAFTAR PUSTAKA……… 79
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Blue print skala agresivitas……….… 60
Tabel 2 Blue print skala altruisme……… 61
Tabel 3 Jenis kelamin subyek……….. 64
Tabel 4 Usia subyek……… 64
Tabel 5 Rincian item valid dan gugur pada skala agresivitas………. 65
Tabel 6 Rincian item valid dan gugur pada skala altruisme………. 67
Tabel 7 Deskripsi data hasil penelitian……… 68
Tabel 8 Uji normalitas………. 70
Tabel 9 Uji linearitas……… 70
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi dimana saja. Seperti di jalan raya,
gang-gang kecil perkampungan, bahkan di institusi-institusi pendidikan.
Contohnya adalah, tawuran antar pelajar, perampokan, pembunuhan,
pembacokan, dan lain sebagainya. Aksi-aksi kekerasan tersebut merupakan
bentuk dari tindakan agresif. Menurut suatu penyelidikan, dari tahun 1820
hingga tahun 1945 diperkirakan tidak kurang dari 59 juta nyawa manusia
melayang akibat tindakan agresif dari sesamanya. Dari jumlah tersebut,
banyak dari separuhnya adalah korban yang jatuh dalam peperangan,
sedangkan sisanya merupakan korban perkelahian, penganiayaan, perampokan
agresi seksual dan berbagai bentuk agresi lainnya (Koeswara, 1988).
Pengertian agresi mengarah pada perilaku atau aksi yang ditujukan untuk
membuat obyeknya mengalami bahaya atau kesakitan, juga merupakan sebuah
bentuk keinginan diri untuk menyakiti atau melukai seseorang. Aksi tersebut
dapat berupa kekerasan verbal (mengejek) maupun kekerasan fisik
(menendang, menampar, meninju, dan lain-lain). Tindakan merusak barang
milik orang lain juga dapat dikategorikan sebagai tindakan agresif. Agresi
merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik
lain karena unsur tidak disengaja, maka perilaku tersebut tidak dikategorikan
sebagai perilaku agresif. Misalnya dokter yang memberikan suntikan
pengobatan yang menimbulkan rasa sakit pada pasien.
Berbeda dengan agresivitas, altruisme adalah tindakan menolong orang
lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dengan definisi tersebut, apakah
tindakan seseorang altruistik atau tidak, tergantung pada tujuan si penolong.
Batson (2008) menyatakan altruisme adalah motivasi untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain. Pada altruisme, tindakan menolong orang atau
memberikan bantuan pada orang lain adalah bersifat tidak mementingkan diri
sendiri (selfless) dan bukan untuk kepentingan diri sendiri (selfish). Sebagai
contoh seseorang yang melihat korban kecelakaan motor lalu segera
mengangkat tubuh korban ke tepi jalan serta menghubungi rumah sakit untuk
minta dikirimkan Ambulance untuk membawa tubuh korban ke rumah sakit
dan segera dirawat, tanpa mengharapkan imbalan apapun dari korban maupun
keluarga korban dan tidak ingin mengharapkan penghargaan dari siapapun.
Altruisme adalah lawan dari egoisme. Altruisme murni memberi tanpa
memperhatikan ganjaran ataupun keuntungan.
Musik sudah menjadi bagian dari dalam kehidupan setiap manusia dan
musik dapat memberikan pengaruh baik positif maupun negatif bagi
kehidupan manusia tersebut. Musik mengandung kesinambungan analogis
antara emosi dengan karakter manusia, dan musik merupakan salah satu aspek
perilaku manusia serta memiliki pengaruh yang kuat (Djohan, 2009). Pada
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan segala sesuatu
kepada manusia, kini musik telah berkembang menjadi sarana hiburan bagi
manusia, terapi kesehatan, menumbuhkan kecerdasan, membentuk
kepribadian, dan berbagai kegunaan yang lainnya (Rasyid, 2010).
Musik dapat menghasilkan berbagai macam emosi dalam diri manusia,
seperti merasa senang, gembira, marah, jengkel bahkan menangis ketika
mendengarkan musik. Selain menghasilkan berbagai macam emosi dalam diri
manusia, musik dapat membantu pembentukan pola belajar, mengatasi
kebosanan dan membantu meningkatkan konsentrasi belajar. Musik juga dapat
membantu agar manusia dapat merasa lebih bersemangat, percaya diri,
mengurangi kesedihan, menghapus kemarahan, melepaskan stress serta
mengurangi rasa takut dan cemas. Namun disisi lain musik dapat
mengakibatkan manusia bertindak agresif dan melakukan hal-hal yang diluar
batas kewajaran.
Musik terdiri dari beberapa unsur yang menyusunnya, seperti nada,
ritme, melodi, harmoni, notasi, dan notasi Gregorian (Rasyid, 2010). Melalui
penggabungan unsur-unsur tersebut dapat dihasilkan suatu komposisi musik
yang luar biasa sesuai dengan kreativitas komposernya. Musik dapat dibagi ke
dalam beberapa aliran. Pembagian ini berdasarkan dari cepat-lambatnya
tempo, harmonisasi, keras-lembutnya suara yang dihasilkan, dan lirik lagu.
Beberapa aliran tersebut diantaranya: klasik, rock, pop, jazz, orkestra,
tradisional, dan keras. Muncul pandangan-pandangan tertentu pada tiap
mana menurut penelitian juga membantu peningkatan kecerdasan pada anak,
juga memiliki nilai seni dan ilmiah yang tinggi, berkadar keindahan dan tidak
luntur sepanjang massa (Utomo dan Natalia, 1999). Musik rock dan heavy
metal (keras) memiliki penikmat yang cenderung brutal (Utomo dan Natalia,
1999). Penikmat musik keras adalah individu atau sekumpulan individu yang
memiliki kegemaran untuk mendengarkan musik keras. Kelompok musik atau
grup band yang memainkan genre musik keras dapat tergolong kedalam
penikmat musik keras, karena mereka juga menggemari musik keras.
Musik rock adalah genre musik populer yang mulai dikenal umum
pada pertengahan tahun 1950. Musik rock berakar dari musik blues, musik
country dari tahun 1940 dan 1950 serta mengambil gaya dari musik folk dan
musik klasik. Bunyi khas musik rock banyak berasal dari gitar listrik atau gitar
akustik dengan penggunaan back beat yang sangat kentara pada rhythm
section yang diiringi dengan penggunaan gitar bass, drum, keyboard serta
syntheizer. Disamping itu, alat musik saksofon dan harmonika bergaya blues
kadang digunakan sebagai instrumen musik solo. Dalam bentuk murninya
musik rock mempunyai tiga kord, backbeat yang konsisten dan mencolok
serta melodi yang menarik. Pada tahun 1960-an, musik rock berkembang
menjadi beberapa jenis, seperti folk rock, blues rock, dan jazz rock fusion.
Pada tahun 1970-an lahir aliran soft rock, glam rock, heavy metal, hard rock,
progressive rock dan punk rock. Sub kategori yang mencuat ditahun 1980-an,
seperti new wave rock, hardcore punk dan alternative rock. Sedangkan pada
Sebuah kelompok pemusik yang mengkhususkan diri memainkan musik rock
disebut rock band atau rock group. Grup musik rock memiliki personil yang
terdiri dari pemain gitar, penyanyi, pemain gitar bass dan pemain drum
sehingga membentuk kuartet. Beberapa grup menanggalkan satu atau dua
posisi dan menggunakan penyanyi sebagai pemain alat musik disamping
menyanyi, sehingga membentuk duo atau trio. Grup lainnya memiliki pemusik
tambahan seperti dua orang pemain gitar dan seorang pemain keyboard. Selain
alat-alat tersebut, grup musik rock juga menggunakan biola, cello, saksofon
terompet atau trombon (http://id.wikipedia.org/wiki/Rock).
Dalam pertunjukan musik keras biasanya terjadi kerusuhan atau aksi
saling menyakiti yang dilakukan oleh penonton atau penikmat musik keras
walaupun pada awal acara sering diberi peringatan untuk menjaga suasana
tetap kondusif. Contoh yang dapat diambil dari media massa misalnya adalah
sebagai berikut. Konser musik underground di Bandung pada tahun 2008
yang memakan korban tewas karena terhimpit dan terinjak-injak
(kompas.com). Contoh lainnya adalah terjadinya keributan dalam sebuah
konser kelompok band Superman Is Dead yang diadakan di kota Solo pada
tahun 2009, sehingga mengakibatkan satu orang tewas dan dua orang
luka-luka karena terkena benda tajam (kompas.com). Dari dua contoh diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa para penikmat musik keras cenderung untuk
melakukan tindakan agresif yang merugikan orang lain, walaupun pada awal
konser sudah dihimbau untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat
Ada beberapa hal yang dapat ditemukan dalam penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya, secara khusus dalam hubungan musik dan agresivitas.
Antara lain dalam sebuah penelitian yang dilakukan untuk mencari skor agresi
pada mahasiswa Universitas Loyola yang mendengarkan musik heavy metal
dan yang tidak mendengarkan musik sama sekali (Hill, 2000), dari penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan diantara
kedua grup subyek. Penelitian yang sama juga dilakukan Coss (2000) dengan
mengambil tempat yang sama, dari penelitian tersebut juga dihasilkan
kesimpulan yang sama. Bahwa tidak ada hubungan antara musik heavy metal
dengan tingkat agresi. Chimento & Tafalla (2002) dalam penelitiannya
menemukan bahwa pendengar musik keras tidak memiliki tingkat stress yang
tinggi. Namun pada penelitian Roy (2001) dapat ditemukan bahwa subyek
yang mendengarkan musik keras memiliki skor kemarahan yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan subyek yang tidak mendengarkan musik. Musik
agresif atau musik keras juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan dan
mengurangi ketenangan (Mcquinn, 2003). Sedangkan Hamilton (2001)
menemukan bahwa penikmat musik keras memiliki kecenderungan untuk
mengkonsumsi alkohol lebih banyak dibandingkan dengan penikmat musik
lain.
Masa dewasa awal atau pemuda (young adult-hood) merupakan
perkembangan tahap keenam dalam delapan tahap perkembangan menurut
Erikson. Pada masa ini individu menghadapi tugas perkembangan
menghindar dari sikap menyendiri (isolation). Erikson menggambarkan
keakraban sebagai penemuan diri sendiri, tetapi kehilangan diri sendiri pada
diri orang lain (Santrock, 2002).
Pada masa ini apabila individu gagal dalam mencapai tugas
perkembangannya, maka individu akan cenderung untuk meningkatkan
penggunaan obat-obatan, lebih banyak merokok, minum-minuman keras,
menggunakan ganja (mariyuana), dan menggunakan amphetamine, barbiturat
dan halusinogen (Bachman, O’Malley dan Johnston dalam Santrock, 2002).
Pesta minum-minuman keras tingkat berat dan meningkatnya penggunaan
kokain juga kerap terjadi, bahkan hal ini sudah dianggap sebagai hal yang
biasa (Johnston, O’Malley dan Bachman dalam Santrock, 2002). Hal-hal
tersebut dapat menjadi pemicu berbagai macam bentuk tindakan agresif yang
dapat merugikan orang lain.
Melalui penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ada
berbagai macam hal yang dapat terjadi pada individu yang sedang berada pada
tahap perkembangan dewasa awal. Secara khusus pada individu yang
menggemari genre musik keras, dimana penggemar musik keras ini identik
dengan kekerasan yang hampir sering terjadi pada setiap konser musik keras.
Namun hal ini juga tak dapat digeneralisasikan pada semua penggemar musik
keras. Hal tersebut dapat saja bisa terjadi karena adanya keunikan pada diri
setiap individu. Pada saat-saat ini suasana rusuh tersebut dapat dikatakan
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut dapat saja
terjadi karena kurangnya kesadaran dari masing-masing individu.
Altruisme dan agresivitas merupakan dua hal yang sangat bertolak
belakang. Altruisme merupakan tindakan menolong yang sifatnya positif,
sedangkan agresivitas cenderung bersifat destruktif atau merusak. Melalui
penjabaran ini penulis tertarik untuk meneliti dan memahami hal ini, secara
khusus hubungan antara agresivitas dan altruisme. Sehingga dapat diperoleh
hasil penelitian terbaru tentang hubungan perilaku agresi dengan perilaku
altruisme pada penikmat musik keras.
B. Rumusan Masalah
Melalui rumusan diatas, masalah yang ingin diteliti adalah “Apakah
Ada Hubungan Perilaku Agresi dengan Perilaku Altruisme pada Penikmat
Musik Keras Usia Dewasa Awal?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan
perilaku agresi dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras usia
dewasa awal.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
perilaku altruistik dalam hubungannya dengan agresivitas pada penikmat
musik keras, serta menambah wacana bagi penelitian selanjutnya. Penelitian
ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat praktis bagi subyek (penikmat
musik keras) untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan akan perilaku
altruistik sehingga subyek dapat mempertahankan atau meningkatkan perilaku
10 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Agresivitas
1. Pengertian Agresivitas
Pengertian agresi mengarah pada perilaku atau aksi yang ditujukan
untuk membuat obyeknya mengalami bahaya atau kesakitan, juga
merupakan sebuah bentuk keinginan diri untuk menyakiti atau melukai
seseorang. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mengejek,
menghina) maupun kekerasan fisik (menendang, menampar, meninju, dan
lain-lain). Tindakan merusak barang milik orang lain juga dapat
dikategorikan sebagai tindakan agresif. Agresi merupakan perilaku yang
dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis
(Baron, 1994). Definisi agresi ini mencakup empat faktor: tingkah laku,
tujuan untuk melukai dan mencelakakan (termasuk mematikan atau
membunuh), individu yang menjadi pelaku dan individu yang menjadi
korban, dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku
(Koeswara, 1988). Aspek-aspek yang membentuk agresi antara lain
modalitas respon, kualitas respon, kesegeraan, visibilitas, hasutan, arah
sasaran, tipe kerusakan, durasi akibat, dan unit-unit sosial yang terlibat
Leonard Berkowitz (1969) membedakan agresi sebagai tingkah
laku sebagaimana diindikasikan oleh definisi Baron dengan agresi sebagai
emosi yang bisa mengarah kepada tindakan agresif. Berkowitz juga
membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yaitu agresi instrumental
(instrumental aggression) dan agresi benci atau agresi impulsif (hostile
aggression /impulsive aggresion). Agresi instrumental adalah agresi yang
dilakukan organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai
tujuan tertentu. Sedangkan agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan
hanya sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti.
Agresi impulsif ini dilakukan tanpa tujuan karena hanya ingin
menimbulkan kekacauan, kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran
atau korban agresi.
Elliot Aronson (1972) mengajukan definisi yang sama dengan
definisi dari Baron dan Berkowitz. Yaitu agresi adalah tingkah laku yang
dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan
individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu Moore
dan Fine (1968) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan
secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap
obyek-obyek lain. Berdasarkan dari definisi-definisi yang telah dipaparkan
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa agresi merupakan tingkah laku
kekerasan yang dilakukan dengan sengaja baik secara fisik maupun secara
verbal yang ditujukan untuk menyakiti orang lain atau merusak
2. Teori Agresivitas
Menurut Koeswara (1988), ada beberapa teori yang berkaitan
dengan agresi, yaitu :
a. Teori-teori naluri.
1.) Sigmund Freud: naluri kematian.
Freud membagi naluri ke dalam dua kelompok, yaitu naluri
kehidupan (life instinct / eros), dan naluri kematian (death instinct /
thanatos). Naluri kehidupan terdiri atas naluri reproduksi dan
naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan hidup individu
(mencari makanan, minuman dan sebagainya). Sedangkan naluri
kematian memiliki tujuan penghancuran hidup individu. Freud
berasumsi bahwa tujuan seluruh kehidupan adalah kematian.
Dalam konteks naluri kematian ini, Freud berbicara tentang hasrat
kepada kematian (death wish), menurutnya hasrat kepada kematian
ada secara tidak disadari pada setiap individu. Sebab hasrat kepada
kematian tersebut bersumber pada naluri kematian yang terangkum
dalam id, dan id tersebut berada pada taraf tak sadar.
Pengungkapan hasrat kepada kematian itu berbentuk
agresi-diri atau tindakan menyakiti agresi-diri senagresi-diri dan bunuh agresi-diri. Namun
sistem kepribadian yang disebut ego selalu berusaha merepresi
hasrat kepada kematian tersebut agar tetap berada pada taraf tak
sadar. Akan tetapi selalu terdapat kemungkinan hasrat tersebut
hasrat kepada kematian itu muncul ke permukaan. Kemungkinan
lain yang bisa terjadi adalah hasrat kepada kematian tersebut
ditujukan keluar diri individu, yaitu berwujud agresi kepada orang
lain. Melalui cara ini individu dapat memuaskan hasrat kepada
kematian tanpa hambatan dari naluri kehidupan (dalam Koeswara,
1988).
2.) Konrad Lorenz: naluri agresif.
Lorenz memiliki keyakinan bahwa tingkah laku naluriah
tertentu ada atau bertahan pada organisme karena memiliki nilai
survival bagi organisme tersebut. Keyakinan tersebut membawa
implikasi yang penting bagi pemahaman Lorenz terhadap fungsi
dan peranan agresi pada organisme berbagai spesies. Lorenz
(dalam Koeswara, 1988) berasumsi bahwa setiap tingkah laku
naluriah memiliki sumber energi yang disebut energi tindakan
spesifik (action specific energy) dan kemunculannya dikunci oleh
mekanisme pelepasan bawaan (innate releasing mechanism).
Stimulus yang dapat membuka kunci dari mekanisme pelepasan
bawaan sehingga suatu tingkah laku naluriah dapat muncul adalah
stimulus tertentu yang cocok dengan mekanisme pelepasan bawaan
tersebut.
3.) Robert Ardrey: naluri teritorial.
Ardrey menyatakan (dalam Koeswara, 1988) bahwa
Australopithecus, sehingga pada manusia terbentuk killing
imperative. Melalui killing imperative ini manusia memiliki obsesi
untuk membuat senjata dan menggunakannya untuk membunuh
apabila diperlukan. Melalui tesisnya, Ardrey (dalam Koeswara,
1988) juga menyatakan bahwa manusia telah diprogram melalui
evolusi untuk mengancam, berkelahi, bahkan membunuh. Tesis ini
didasari dari homologi antara manusia dan spesies bukan manusia
(hewan sebagai subyek penelitian). Ardrey juga menekankan
bahwa naluri teritorial merupakan naluri utama pada manusia dan
agresi merupakan pengungkapan dari naluri teritorial tersebut.
b. Teori belajar dan belajar observasional tentang agresi.
Agresi juga dapat terbentuk pada manusia sebagai hasil dari proses
belajar. Belajar adalah proses yang luas yang terjadi dalam konteks
sosial yang melibatkan faktor-faktor internal berupa situasi yang
berlangsung dalam diri individu dan faktor-faktor eksternal yang
berwujud situasi, kejadian, atau tingkah laku yang ditunjukkan oleh
individu lain.
1.) Pembentukan agresi menurut teori belajar.
Thorndike (dalam Koeswara, 1988) dengan teori law of
effect-nya menekankan bahwa dalam proses belajar atau
pembentukan tingkah laku, hadiah (reward) dan hukuman
kecenderungan mengulang suatu tingkah laku apabila tingkah laku
tersebut menimbulkan efek yang menyenangkan (rewarded), dan
sebaliknya tingkah laku tersebut tidak akan diulang apabila
individu mendapat efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya
(punished). Bila hal tersebut (law of effect) digunakan untuk
menerangkan pembentukan agresi, maka dapat disimpulkan bahwa
agresi terbentuk dan diulang karena individu memperoleh efek
yang menyenangkan, dan begitu pula sebaliknya.
Dollard-Miller (dalam Koeswara, 1988) menyebutkan
bahwa belajar sebagai proses pengasosiasian stimulus-respon akan
terjadi apabila respon yang diungkapkan individu atau organisme
memperoleh perkuatan. Dollar-Miller juga menyebutkan
pereduksian dorongan sebagai kondisi yang memperkuat suatu
respon. Menurutnya, dorongan yang merupakan stimulus internal
mengaktifkan tingkah laku individu dalam rangka mengurangi atau
mereduksi dorongan itu. Apabila individu gagal untuk mereduksi
dorongannya tersebut dan gagal dalam mencapai suatu tujuan,
maka individu akan mengalami frustasi. Salah satu bentuk respon
yang akan muncul pada diri individu sebagai bentuk reaksi atas
frustasi yang dialaminya adalah agresi (teori frustasi-agresi).
Skinner (dalam Koeswara, 1988) dengan operant
conditioning-nya menekankan bahwa tingkah laku, termasuk
melihat belajar sebagai proses pengasosiasian respon-kekuatan,
dimana perkuatan positif menghasilkan kemungkinan kemunculan
respon atau tingkah laku yang tinggi, dan sebaliknya perkuatan
negatif menghasilkan kemungkinan kemunculan tingkah laku yang
rendah atau bahkan menghapus kemungkinan tingkah laku yang
akan muncul.
2.) Pembentukan agresi menurut teori belajar observasional.
Teori belajar observasional ini dikembangkan oleh Albert
Bandura. Asumsi dasar dari teori ini adalah sebagian besar tingkah
laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas
tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lainnya yang
menjadi model. Contoh penelitian yang dilakukan oleh Robert
Baron (dalam Koeswara, 1988) dengan menggunakan
model-model yang melakukan agresif dan non-agresif. Sekelompok
subyek (kelompok pertama) diminta untuk menonton model yang
melakukan tindakan agresif. Sedangkan kelompok subyek yang
lain (kelompok kedua) diminta untuk menyaksikan model yang
melakukan tindakan tidak agresif, kemudian dilanjutkan dengan
menyaksikan model yang melakukan tindakan agresif. Hasil dari
penelitian ini adalah kelompok subyek pertama menunjukkan
agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
3. Faktor-faktor Agresivitas
Agresi tidak muncul secara otomatis, tetapi ada faktor-faktor
tertentu yang mengarahkannya. Berikut ini beberapa faktor yang sering
ditemukan sebagai pengarah dan penyebab kemunculan agresi. Yaitu,
frustasi, stress, deindividuasi, kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata,
provokasi, alkohol dan obat-obatan, dan suhu udara.
a. Frustasi.
Frustasi adalah suatu kondisi atau situasi dimana individu
terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang
diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam
mencapai tujuan. Frustasi dapat mengarahkan individu kepada agresi,
sehingga menjadi biasa disebut teori frustasi-agresi. Frustasi
merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan agresi
merupakan salah satu cara untuk mengatasinya. Individu akan memilih
tindakan agresif sebagai reaksi atau cara untuk mengatasi frustasi yang
sedang dialaminya apabila terdapat stimulus-stimulus yang menunjang
kearah tindakan agresif tersebut. Para teoris dan peneliti lain percaya
bahwa kecenderungan individu dalam memilih agresi sebagai cara
untuk mengatasi frustasinya dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar
b. Stress.
Stress merupakan hal yang hampir sering dialami oleh manusia
dan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan intrapsikis. Engle
(dalam Koeswara, 1988) memberikan definisi stress yang meliputi
sumber-sumber stimulasi eksternal dan internal dari individu. Stress
dapat berupa stimulus eksternal (sosiologis atau situasional) dan bisa
berupa stimulus internal (intrapsikis) yang dialami oleh individu
sebagai hal yang tidak menyenangkan serta menuntut penyesuaian. Hal
tersebut dapat menghasilkan efek somatik dan efek behavioral (dalam
hal ini kemunculan agresi).
1.) Stress eksternal
Kemajuan teknologi juga disertai oleh
perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat. Seperti pergeseran nilai-nilai,
berkurangnya kontrol sosial, persaingan hidup yang semakin ketat,
memburuknya perekonomian, dan sebagainya. Hal-hal tersebut
dapat menimbulkan dampak berupa peningkatan stress eksternal
bagi banyak kalangan masyarakat, terutama kalangan yang tidak
mampu. Durkheim (dalam Koeswara, 1988) memiliki konsep
tentang anomie, kerusakan norma sosial antara individu dan
masyarakat, bahwa stress eksternal yang ditimbulkan oleh
perubahan-perubahan sosial dan memburuknya perekonomian
mempunyai peran terhadap meningkatnya kriminalitas termasuk
1988) menekankan bahwa banyak faktor yang berperan dalam
peningkatan kriminalitas dan agresivitas, tetapi stress eksternal
tetap memiliki peranan paling penting. Schlesinger dan Revitch
(dalam Koeswara, 1988) juga mengungkapkan sumber-sumber lain
dari stress eksternal yang dapat memicu timbulnya agresi. Yaitu
isolasi, kepadatan penduduk atau sempitnya ruang hidup,
kekurangan privasi, rasa tidak bebas, irama kehidupan yang rutin
dan monoton, dan mobilisasi sosial.
2.) Stress internal
Hubungan antara stress internal dan agresi masih belum
begitu jelas. Hal itu disebabkan oleh adanya kerumitan dalam
mengukur stress internal secara obyektif. Freud (dalam Koeswara,
1988) menerangkan bahwa tindak kekerasan dan psikopatologi
pada umumnya adalah adaptasi terhadap stress internal dan
eksternal. Menninger (dalam Koeswara, 1988) juga
mengungkapkan tindakan yang tidak terkendali (termasuk agresi)
adalah akibat dari kegagalan ego untuk mengadaptasi
hambatan-hambatan sebagai upaya untuk memelihara keseimbangan
intrapsikis.
c. Deindividuasi.
Deindividuasi (penghilangan identitas diri) dapat mengarahkan
yang dilakukannya menjadi lebih intens. Dunn, Rogers, Diener, Mann,
Newton dan Innes (dalam Koeswara, 1988) mengungkapkan bahwa
deindividuasi memiliki efek memperbesar keleluasaan individu untuk
melakukan agresi. Hal tersebut disebabkan oleh karena deindividuasi
menghilangkan atau mengurangi peranan beberapa aspek yang
terdapat pada diri individu, yaitu identitas diri pelaku maupun identitas
diri korban agresi, dan keterlibatan emosional individu pelaku agresi
terhadap korbannya. Ada kalanya dalam suatu situasi deindividuasi
dapat berubah menjadi dehumanisasi. Perbedaan dari kedua istilah
tersebut adalah pada deindividuasi si korban masih dipandang sebagai
manusia, sedangkan dehumanisasi si korban dipandang oleh pelaku
agresi sebagai obyek yang layak diperlakukan secara lebih kejam dan
brutal sesuai dengan kehendak pelaku agresi.
d. Kekuasaan dan kepatuhan.
Lord Acton (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa
kekuasaan cenderung disalahgunakan menjadi sebuah kekuatan yang
memaksa (coercive) sehingga memiliki efek langsung maupun tidak
langsung terhadap kemunculan agresi. Max Weber (dalam Koeswara,
1988) menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari
seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan berbagai
keinginannya dalam tindakan komunal, bahkan meskipun harus
(dalam Koeswara, 1988) menyatakan dengan kekuasaan seseorang
atau sekelompok orang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
dan mengendalikan tingkah laku orang lain yang pada akhirnya
menghasilkan superiority feeling. Peranan kekuasaan sebagai pengarah
kemunculan agresi tidak dapat dilepaskan dari aspek pengabdian atau
kepatuhan. Para pemegang kekuasaan sering mengeksploitasi
kepatuhan pengikutnya untuk menyingkirkan kelompok pesaing dalam
rangka memelihara kestabilan kekuasaannya. Bahkan aspek kepatuhan
ini diduga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan
intensitas agresi individu.
e. Efek senjata.
Sejak senjata ditemukan agresi intraspesies pada manusia
menjadi lebih efektif dan efisien. Sedangkan modernisasi, peningkatan
produksi dan penyebaran senjata memberikan sumbangan besar
terhadap intensitas berlangsungnya konflik-konflik lokal dan regional.
Peranan senjata dalam agresi tidak hanya karena fungsinya dapat
mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresi, tetapi juga
karena efek kehadirannya. Namun menurut Berkowitz (dalam
Koeswara, 1988) efek senjata api terhadap kecenderungan agresi
individu ditentukan oleh persepsi individu tersebut terhadap senjata
berbahaya oleh individu, maka individu akan lebih cenderung merasa
cemas daripada bertindak agresif.
f. Provokasi.
Mengenai hubungan antara provokasi dan agresi, beberapa
peneliti telah melakukan penelitian untuk mengungkap hal tersebut.
Wolfgang (dalam Koeswara, 1988) mengemukakan tiga perempat dari
enam ratus kasus pembunuhan yang diselidikinya terjadi karena
adanya provokasi dari korban. Ditemukan juga bahwa perampokan
yang disertai tindakan kekerasan oleh perampok dengan menggunakan
senjata api disebabkan oleh pihak korban yang menunjukkan
provokatif dalam bentuk perlawanan aktif maupun pasif terhadap
perampok. Pelaku agresi memiliki kemungkinan untuk melakukan
tindak agresi secara lebih besar apabila korban memiliki senjata dan
menunjukkan isyarat akan melawan dengan menggunakan senjata itu.
Untuk menghadapi provokasi yang mengancam, para pelaku agresi
cenderung berpegang pada prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu
daripada diserang dan lebih baik membunuh daripada dibunuh.
g. Alkohol dan obat-obatan.
Alkohol dapat memberikan pengaruh buruk bagi diri manusia,
bila alkohol tersebut (dalam bentuk minuman keras) dikonsumsi secara
Taylor dan Schmut (dalam Koeswara, 1988) melakukan sebuah
penelitian yang meneliti pengaruh alkohol pada subyek-subyek yang
mereka gunakan. Hasilnya adalah subyek-subyek yang menerima
alkohol dalam takaran tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan para subyek yang menerima alkohol
dalam takaran rendah dan para subyek yang tidak menerima alkohol.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa alkohol memiliki
pengaruh untuk mengarahkan individu kepada agresi, bahkan dapat
mengarahkan individu kearah tingkah laku antisosial lainnya. Hal itu
disebabkan karena alkohol dalam takaran yang tinggi dapat
melemahkan kendali diri peminumnya, sedangkan dalam takaran yang
rendah alkohol dapat melemahkan aktivitas sistem syaraf pusat dan
menghasilkan efek sedatif (rasa atau efek tenang).
h. Suhu udara.
Suhu udara adalah faktor yang jarang diperhatikan oleh para
peneliti agresi meskipun sejak lama sudah ada dugaan bahwa suhu
udara memiliki hubungan dengan tingkah laku, termasuk tingkah laku
agresif. Carlsmith dan Anderson (dalam Koeswara, 1988)
menyimpulkan bahwa pada musim panas sering terjadi tingkah laku
agresif karena musim panas memiliki hari-hari yang lebih panjang,
serta individu-individu memiliki keleluasaan bertindak yang lebih
tersebut masih belum jelas, karena tidak semua negara memiliki
perubahan iklim yang mencolok. Sehingga belum diketahui bagaimana
pengaruh suhu udara terhadap agresivitas manusia di negara yang tidak
memiliki iklim yang mencolok tersebut.
4. Aspek-aspek Agresivitas
Barbara krahe (2005) merangkum sembilan aspek perilaku agresif
untuk mengkarakteristikan berbagai macam bentuk agresi, yaitu:
a. Modalitas respon.
Meliputi tindakan agresif yang dilakukan secara fisik ataupun
secara verbal. Contoh tindakan agresif secara fisik adalah memukul,
menampar, dan menendang. Sedangkan contoh tindakan agresif secara
verbal adalah memaki, mengumpat, mengejek, dan menghina.
b. Kualitas respon.
Meliputi tindakan agresif yang berhasil dilakukan atau berhasil
mengenai sasaran atau tindakan agresif yang gagal dilakukan atau
gagal mengenai sasaran. Misalnya si A yang berhasil memukul si B
sehingga si B merasakan rasa sakit akibat dari pukulan tersebut. Begitu
juga sebaliknya apabila si A gagal memukul si B, maka tidak ada rasa
sakit yang dirasakan oleh si B.
c. Kesegeraan.
Meliputi tindakan agresif yang dilakukan individu langsung
langsung. Misalnya si A yang langsung memukul si B dengan
menggunakan tangannya sendiri, tanpa menyuruh orang lain.
d. Visibilitas.
Meliputi perilaku agresif yang tampak dari perilaku individu
atau yang tak tampak dari luar namun dirasakan oleh individu.
Misalnya si A membenci si B dan sering memaki si B (tampak). Si A
membenci si B dan jarang menyapanya (tidak tampak).
e. Hasutan.
Meliputi perilaku agresif yang terjadi karena tidak diprovokasi
atau yang merupakan tindakan balasan. Contoh si A memukul si B
sebagai suatu tindakan balasan karena sebelumnya si A pernah dipukul
oleh si B (tindakan balasan).
f. Arah sasaran.
Meliputi perilaku agresif yang terjadi karena adanya rasa
permusuhan (hostility) kepada sasaran atau yang dilakukan karena
adanya tujuan lain yang diinginkan (instrumental). Contoh si A
membunuh si B karena si A membenci si B (permusuhan). Si A
membunuh si B karena ingin memiliki harta si B (instrumental).
g. Tipe kerusakan.
Meliputi perilaku agresif yang menyebabkan kerusakan fisik
atau yang menyebabkan kerusakan psikologis pada sasaran agresi.
pada tubuh mereka (fisik). Si B menderita stress berat setelah
perkelahiannya dengan si A (psikologis).
h. Durasi akibat.
Meliputi perilaku agresif yang menyebabkan kerusakan
sementara atau yang menyebabkan kerusakan jangka panjang. Contoh
si B mengalami luka ringan pada lengan kirinya setelah berkelahi
dengan si A (sementara). Si B menderita cacat pada matanya setelah
terkena pukulan dari si A (jangka panjang).
i. Unit-unit sosial yang terlibat.
Meliputi perilaku agresif yang dilakukan individu atau yang
dilakukan secara berkelompok. Misalnya perkelahian antar genk
(kelompok). Perkelahian antar individu (individu).
5. Jenis-jenis Agresivitas
Leonard Berkowitz (1969) membedakan agresi sebagai tingkah
laku sebagaimana diindikasikan oleh definisi Baron dengan agresi sebagai
emosi yang bisa mengarah kepada tindakan agresif. Berkowitz juga
membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yaitu agresi instrumental
(instrumental aggression) dan agresi benci atau agresi impulsif (hostile
aggression /impulsive aggresion). Agresi instrumental adalah agresi yang
dilakukan organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai
tujuan tertentu. Sedangkan agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan
Agresi impulsif ini dilakukan tanpa tujuan karena hanya ingin
menimbulkan kekacauan, kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran
atau korban agresi.
Taylor, Peplau, dan Sears (2009) membedakan agresi menjadi
beberapa jenis, yaitu agresi antisosial (antisocial aggression), agresi
prososial (prosocial aggression), dan agresi yang disetujui (sanctioned
aggression). Agresi antisosial berarti agresi yang bertujuan menyakiti
orang lain dan melanggar norma sosial. Agresi prososial berarti tindakan
agresif yang mendukung norma sosial dan dapat diterima oleh masyarakat,
misalnya tindakan menegakkan hukum yang dilakukan oleh polisi dengan
cara menembak mati kelompok perampok yang telah merugikan banyak
orang. Agresi yang disetujui (sanctioned aggression) memiliki arti agresi
yang tidak diharuskan oleh norma sosial tetapi berada dalam batas-batas
wajar, tindakan agresi ini tidak melanggar standar moral yang telah
dipegang oleh masyarakat. Contohnya pelatih sepakbola yang menghukum
pemainnya yang tidak disiplin dengan menyuruhnya untuk berlari keliling
lapangan.
Kenneth Moyer (dalam Koeswara, 1988) membagi agresi kedalam
tujuh jenis, antara lain:
1. Agresi predatori, yaitu agresi yang dibangkitkan oleh kehadiran obyek
alamiah (mangsa). Agresi ini biasanya terdapat pada organisme atau
spesies hewan yang menjadikan hewan dari spesies lain sebagai
2. Agresi antarjantan, yaitu agresi yang secara tipikal dibangkitkan oleh
kehadiran sesama jantan pada suatu spesies.
3. Agresi ketakutan, yaitu agresi yang dibangkitkan oleh tertutupnya
kesempatan untuk menghindar dari ancaman.
4. Agresi tersinggung, yaitu agresi yang muncul karena perasaan
tersinggung atau amarah. Respon menyerang muncul terhadap
stimulus yang luas dan tanpa memilih sasaran, baik berupa
obyek-obyek hidup maupun obyek-obyek-obyek-obyek mati.
5. Agresi pertahanan atau teritorial, yaitu agresi yang dilakukan oleh
organisme dalam rangka mempertahankan daerah kekuasaannya dari
ancaman atau gangguan anggota spesiesnya sendiri.
6. Agresi maternal, yaitu agresi yang spesifik pada spesies atau
organisme betina (induk) yang dilakukan untuk melindungi
anak-anaknya dari berbagai ancaman.
7. Agresi instrumental, yaitu agresi yang dipelajari, diperkuat dan
dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
B. Altruisme
1. Pengertian Altrusime
Beberapa ahli psikologi memberikan definisi untuk membedakan
antara perilaku prososial dan perilaku altruistik. Terdapat dua hal yang
membedakan antara perilaku prososial dan perilaku altruistik. Pertama,
perilaku prososial ada tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku setelah
melakukan suatu kebaikan, sedangkan pada perilaku altruistik pelaku tidak
mengharapkan adanya balas jasa atau imbalan setelah pelaku melakukan
suatu kebaikan.
Tingkah laku prososial adalah tindakan individu untuk menolong
orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong (Baron,
Bryne dan Brascombe, 2006). Tingkah laku prososial mencakup kategori
yang sangat luas, meliputi segala tindakan yang dilakukan atau
direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan
motif-motis si penolong. Beberapa jenis perilaku prososial tidak merupakan
tindakan altruistik. Sebagai contoh seorang Kader partai politik yang
memberikan sumbangan dana yang cukup besar dalam suatu kegiatan
sosial yang ditujukan untuk menolong korban bencana alam, sang Kader
memilliki harapan dirinya akan mendapatkan penghargaan dari orang lain
maupun dari korban bencana dan akan dipilih untuk menduduki jabatan
penting dalan pemerintahan. Tindakan tersebut merupakan perilaku
prososial tetapi tidak altruistik. Perilaku prososial berkisar dari tindakan
altruistik atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya
(Rushton, 1980).
Dalam menolong yang lebih diutamakan adalah kepentingan orang
lain dibandingkan kepentingan diri sendiri, terutama dalam situasi darurat
(Deaus, Dane, dan Wrightsman, 1993). Menolong sebagai tingkah laku
kasus bisa saja tidak dapat mencapai tujuannya. Hal ini dapat disebabkan
karena penolong tidak mengetahui kesulitan korban yang sesungguhnya
(Holander, 1981) atau karena penolong tidak memiliki keterampilan yang
memadai untuk menolong korban sehingga dapat berakibat fatal baik bagi
penolong maupun orang yang akan ditolong. Sebagai contoh seseorang
yang tidak bisa berenang berusaha menolong rekannya yang hanyut di
lautan, sehingga orang yang menolong berpotensi untuk ikut hanyut
bahkan tenggelam juga.
Altruisme adalah tindakan menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan apapun (Sears, 1994). Dengan definisi tersebut,
apakah tindakan seseorang altruistik atau tidak, tergantung pada tujuan si
penolong. Batson (2008) menyatakan altruisme adalah motivasi untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain. Pada altruisme, tindakan
menolong orang atau memberikan bantuan pada orang lain adalah bersifat
tidak mementingkan diri sendiri (selfless) bukan untuk kepentingan diri
sendiri (selfish) (Sarwono, 2009). Sebagai contoh seseorang yang melihat
korban kecelakaan motor lalu segera mengangkat tubuh korban ke tepi
jalan serta menghubungi rumah sakit untuk minta dikirimkan Ambulance
untuk membawa tubuh korban ke rumah sakit dan segera dirawat, tanpa
mengharapkan imbalan dan penghargaan apapun dari korban, keluarga
korban maupun orang lain.
Altruisme adalah lawan dari egoisme. Altruisme murni memberi
mengutamakan kepentingan sendiri diatas kepentingan orang lain untuk
mengejar kesenangan sendiri maupun untuk tujuan lain. Menurut Myers
(1983) dalam psikologi sosial, altruisme berarti memusatkan perhatian
pada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, menaruh perhatian pada
orang lain tanpa mengharapkan imbalan dari orang lain. Maka dapat
diambil kesimpulan bahwa perilaku altruisme adalah tindakan yang
dilakukan untuk menolong dan memberikan manfaat positif bagi orang
lain tanpa mengharapkan adanya imbalan dalam bentuk apapun.
2. Teori Altruisme
Ada beberapa teori yang membahas tentang altruisme. Dalam
bukunya, Sarwono (2009) menuliskan beberapa teori altruisme, antara lain
adalah:
a. Teori evolusi.
Menurut teori evolusi, inti dari kehidupan adalah kelangsungan
hidup gen. Manusia berusaha agar gennya tetap lestari atau tidak
punah.
1.) Perlindungan kerabat (kin protection).
Menurut teori evolusi, tindakan orang tua dalam
melindungi dan membantu anaknya ini adalah demi kelangsungan
gen-gen orang tua yang ada di dalam diri anaknya. Orang tua yang
mengutamakan kesejahteraan anak dibandingkan dengan
gennya tetap bertahan dan lestari bila dibandingkan dengan orang
tua yang mengabaikan anaknya (Myers dalam Sarwono, 1988). Hal
tersebut juga berlaku untuk keluarga jauh yang masih memiliki
kedekatan gen-gen secara biologis, sehingga manusia akan secara
otomatis memiliki keinginan untuk lebih menolong orang yang
masih memiliki hubungan keluarga dengannya.
2.) Timbal balik biologik (biological reciprocity).
Prinsip timbal balik biologik memiliki arti menolong untuk
memperoleh pertolongan kembali (Sarwono, 2002). Seseorang
menolong karena ia memiliki harapan kelak suatu saat ia akan
memperoleh balasan pertolongan dari orang yang telah ia tolong.
b. Teori belajar.
Pengaplikasian teori belajar pada tingkah laku menolong
merupakan salah satu cara untuk mengungkap bagaimana seseorang
belajar untuk menolong orang lain dan dalam kondisi yang seperti apa
seseorang memiliki kemungkinan untuk menolong.
1.) Teori belajar sosial (social learning theory).
Dalam teori belajar sosial, tingkah laku manusia dijelaskan
sebagai hasil dari proses belajar terhadap lingkungan. Seseorang
menolong karena sebelumnya telah mengalami proses belajar
melalui observasi terhadap model prososial. Jika model prososial
model antisosial dapat menghambat tingkah laku menolong
(Baron, Bryne, dan Brascombe dalam Sarwono, 2009). Dengan
demikian seseorang dapat menjadi pribadi yang altruis karena
lingkungannya telah lebih dahulu memberi contoh-contoh yang
dapat diobservasi oleh orang tersebut untuk bertindak menolong.
2.) Teori pertukaran sosial (social exchange theory).
Menurut teori pertukaran sosial, interaksi sosial bergantung
pada untung dan rugi yang terjadi. Teori ini melihat tingkah laku
sosial sebagai hubungan pertukaran dengan memberi dan
menerima (take and give relationship). Menurut Deaux, Dane, dan
Wrightsman (dalam Sarwono, 2009) sesuatu yang dipertukarkan
dapat berupa materi (uang, barang, perhiasan) atau non materi
(penghargaan, penerimaan). Teori ini menyatakan bahwa interaksi
manusia mengikuti prinsip ekonomi, yaitu memaksimalkan
ganjaran (keuntungan) dan meminimalkan kerugian. Menurut
Myers (dalam Sarwono, 2009) keuntungan dari tingkah laku
menolong dapat bersifat menolong untuk memperoleh imbalan dari
lingkungan (external self rewards) atau menolong untuk
mendapatkan kepuasan batin (internal self rewards).
c. Teori empati.
Empati merupakan respon yang kompleks, mencakup
dapat merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain, dan
dengan komponen kognitif seseorang mampu memahami apa yang
orang lain sedang rasakan beserta dengan alasannya. Daniel Batson
(dalam Sarwono, 2009) menjelaskan adanya hubungan antara empati
dan tingkah laku menolong, serta menjelaskan bahwa empati adalah
sumber dari moticasi altruistik.
1.) Hipotesis empati-altruisme (empathy-altruism hypothesis).
Saat seseorang melihat penderitaan orang lain maka akan
muncul perasaan empati yang mendorong seseorang tersebut untuk
menolong. Dalam kaitannya dengan hipotesis empati-altruisme,
perhatian empatik yang dirasakan seseorang terhadap penderitaan
orang lain akan menghasilkan motivasi untuk mengurangi
penderitaan orang lain tersebut. Motivasi menolong ini bisa sangat
kuat sehingga seseorang bersedia terlibat dalam aktivitas menolong
yang tidak menyenangkan, berbahaya bahkan mengancam jiwanya
(Batson dalam Sarwono, 2009). Dengan demikian motivasi
seseorang untuk menolong adalah karena adanya orang lain yang
membutuhkan bantuan dan menghasilkan rasa yang menyenangkan
bila dapat berbuat baik.
2.) Model mengurangi perasaan negatif (negative-state-relief model).
Melihat orang lain menderita dapat membuat perasaan
seseorang menjadi tidak nyaman sehingga ia berusaha untuk
orang yang menderita tersebut. Model mengurangi perasaan negatif
ini dikemukakan oleh Cialdini dan timnya (dalam Sarwono, 2009),
teori ini menjelaskan bahwa orang menolong dengan tujuan untuk
mengurangi perasaan negatif akibat dari melihat penderitaan orang
lain. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
tingkah laku menolong dapat berperan sebagai self help agar
seseorang dapat terbebas dari suasana hati yang tidak
menyenangkan atau negatif (Sarwono, 2009).
3.) Hipotesis kesenangan empatik (empathic joy hypothesis).
Hipotesis kesenangan empatik merupakan salah satu teori
yang dapat menjelaskan tingkah laku menolong (Smith dalam
Sarwono, 2009). Menurut hipotesis tersebut, seseorang akan
menolong bila ia dapat memperkirakan bisa ikut merasakan
kebahagiaan orang yang akan menerima pertolongannya.
Seseorang yang menolong juga perlu untuk mengetahui bahwa
tindakannya akan memberikan pengaruh positif bagi orang yang
ditolong.
d. Teori perkembangan kognisi sosial.
Saat seseorang berada didalam suatu situasi darurat yang
membutuhkan pertolongan, ia perlu untuk memproses dengan cepat
sejumlah informasi sebelum ia memutuskan untuk memberikan
proses kognitif seperti persepsi, penalaran, pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Pendekatan kognisi memiliki fokus pada
pemahaman yang mendasari terjadinya suatu tingkah laku sosial
(Sarwono, 2009).
e. Teori norma sosial.
Saat seseorang menolong, ia mungkin tidak sadar akan
keuntungan apa yang akan dirinya terima atas pertolongan yang ia
berikan. Ia hanya merasa bahwa ia harus memberikan pertolongan
kepada orang yang membutuhkan. Tindakan menolong ini
dipersepsikan sebagai sesuatu yang diwajibkan oleh norma-norma
masyarakat. Myers (dalam Sarwono, 2009) menyatakan bahwa norma
merupakan harapan-harapan masyarakat berkaitan dengan tingkah laku
yang seharusnya dilakukan seseorang.
1.) Norma timbal-balik (the reciprocity norm).
Alvin Gouldner (dalam Sarwono, 2009) mengemukakan
bahwa salah satu norma yang bersifat universal adalah norma
timbal balik. Yaitu individu harus menolong orang lain yang
pernah menolongnya. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan
bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada prinsip balas budi yang
harus dilakukan. Dengan demikian, individu harus menolong orang
lain karena kelak dimasa depan ia akan ditolong oleh orang lain,
2.) Norma tanggung jawab sosial (the social-responsibility norm).
Menurut Schwartz (dalam Sarwono, 2009) didalam norma
tanggung jawab sosial, individu harus memberikan pertolongan
kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan tanpa
mengharapkan adanya balasan dimasa yang akan datang. Norma
ini memotivasi orang untuk memberikan pertolongannya kepada
orang-orang yang lebih lemah dari dirinya. Misalnya membantu
orang cacat, anak kecil, dan orang-orang tua.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Altruisme
Menurut Sarwono (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
altruisme seseorang, yaitu:
a. Pengaruh faktor situasional.
1.) Bystander.
Ketika seseorang berada dalam suatu situasi darurat,
bystander atau orang-orang yang berada di sekitar lokasi kejadian
memiliki peran yang cukup besar dalam mempengaruhi seseorang
untuk memutuskan antara menolong dan tidak menolong. Efek
bystander terjadi karena:
- Pengaruh sosial (social influence).
Yaitu pengaruh dari orang lain yang dijadikan sebagai
mengambil keputusan untuk menolong. Seseorang akan
menolong jika orang lain juga menolong.
- Hambatan penonton (audience inhibition).
Yaitu merasa dirinya dinilai oleh orang lain dan resiko
membuat malu diri sendiri apabila tindakan menolong yang
dilakukannya kurang tepat sehingga menghambat orang lain
untuk menolong.
- Penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility).
Dengan adanya kehadiran orang lain maka tanggung
jawab menjadi ikut tersebar ke masing-masing bystander atau
orang lain.
2.) Daya tarik.
Ketertarikan individu pada korban mempengaruhi
kesediaan individu untuk memberikan bantuan pada korban atau
orang yang membutuhkan pertolongan. Apapun faktor yang dapat
meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya respon untuk menolong
(Clark dalam Sarwono, 2009). Adanya kesamaan antara penolong
dengan orang yang akan ditolong juga meningkatkan kemungkinan
terjadinya tingkah laku menolong. Seseorang cenderung untuk
menolong orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya (Krebs
3.) Atribusi terhadap korban.
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan pertolongan
pada orang lain bila sebelumnya ia mengasumsikan bahwa
ketidakberuntungan korban merupakan sesuatu yang diluar kendali
diri korban (Weiner dalam Sarwono, 2009). Dengan demikian
pertolongan tidak akan diberikan bila penderitaan korban
merupakan akibat dari kesalahan korban sendiri.
4.) Ada model.
Seseorang akan terdorong untuk memberikan pertolongan
jika sebelumnya telah ada model yang melakukan tingkah laku
menolong untuk orang lain. Rushton dan Campbell (dalam
Sarwono, 2009) menemukan bahwa orang-orang akan bersedia
mendonorkan darahnya bila sebelumnya mereka melihat ada model
yang mendonorkan darahnya terlebih dahulu.
5.) Desakan waktu.
Orang yang sibuk atau tergesa-gesa memiliki
kecenderungan untuk tidak menolong, sedangkan orang yang
memiliki waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk
memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan
pertolongan (Sarwono, 2009).
6.) Sifat kebutuhan korban.
Kesediaan menolong dari calon penolong dipengaruhi oleh
pertolongan (clarity of need). Korban memang pantas untuk
mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need) dan
bukanlah tanggung jawab korban sehingga korban memerlukan
bantuan dari orang lain (atribusi eksternal) (Deaux, Dane,
Wrightsman dalam Sarwono, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa
orang yang meminta pertolongan akan memiliki kesempatan yang
lebih besar untuk mendapatkan pertolongan daripada orang yang
tidak meminta pertolongan, walaupun sesungguhnya ia juga
membutuhkan pertolongan.
b. Pengaruh faktor dari dalam diri.
1.) Suasana hati (mood).
Emosi dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang
untuk menolong (Baron, Bryne, Brascombe dalam Sarwono,
2009). Secara umum emosi positif dapat meningkatkan tingkah
laku menolong, namun apabila situasinya ambigu maka orang yang
sedang bahagia (emosi positif) cenderung untuk mengartikan
bahwa tidak ada keadaan darurat sehingga ia tidak memberikan
pertolongan. Pada emosi negatif seseorang yang sedang sedih
memiliki kemungkinan menolong yang lebih kecil, namun bila
dengan memberikan pertolongan dapat membuat suasana hati
2.) Sifat.
Terdapat hubungan antara karakteristik seseorang dengan
kecenderungannya untuk menolong. Individu yang memiliki sifat
pemaaf (forgiveness) cenderung mudah untuk menolong
(Karremans dalam Sarwono, 2009). Individu yang mempunyai
pemantauan diri (self monitoring) yang tinggi juga cenderung
mudah untuk menolong, karena dengan menjadi penolong ia akan
memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi (White dan
Gerstein dalam Sarwono, 2009). Individu yang memiliki
kebutuhan yang tinggi akan pujian dan penghargaan akan
meningkatkan perilaku menolongnya bila dalam situasi menolong
tersebut dapat memberikan dirinya kesempatan untuk memperoleh
penghargaan (Deutsch dan Lamberti dalam Sarwono, 2009).
3.) Jenis kelamin.
Peranan gender atau jenis kelamin terhadap kecenderungan
individu untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan
bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung untuk
lebih memilih terlibat dalam aktivitas menolong yang bersifat
darurat dan membahayakan, hal tersebut terkait dengan peran
laki-laki yang memiliki kemampuan lebih dalam hal kekuatan dan lebih
mampu untuk melindungi diri. Sedangkan perempuan lebih
bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh
(Deaux, Dane, Wrightsman dalam Sarwono, 2009).
4.) Tempat tinggal.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan cenderung
untuk lebih penolong bila dibandingkan dengan masyarakat yang
tinggal di daerah perkotaan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan
menggunakan urban overload hypothesis, yaitu orang-orang yang
tinggal di daerah perkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi dari
lingkungan. Oleh karena itu, ia harus selektif dalam menerima
paparan informasi yang sangat banyak agar ia tetap dapat
menjalankan peran-perannya dengan baik. Itulah sebabnya
mengapa masyarakat daerah perkotaan sering tidak memperdulikan
kesusahan orang lain, karena mereka sudah sangat sibuk dengan
beban tugasnya sehari-hari (Deaux, Dane, Wrightsman dalam
Sarwono, 2009).
5.) Pola asuh.
Tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang
menguntungkan orang lain tidak dapat dilepaskan dari peranan
pola asuh didalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis
secara signifikan mempengaruhi adanya kecenderungan anak untuk
tumbuh menjadi individu yang mau menolong. Yaitu melalui
contoh-contoh tingkah laku menolong (Bern dalam Sarwono,
2009).
4. Aspek-aspek Altruisme
Menurut Baron, Bryne (2005), ada beberapa aspek yang terdapat
pada diri individu yang altruis, yaitu:
a. Empati.
Individu yang senang menolong orang lain memiliki empati
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang tidak senang
menolong orang lain. Individu yang altruistik menggambarkan diri
mereka sebagai pribadi yang bertanggung jawab, bersosialisasi,
menenangkan, toleran, memiliki self-control, dan termotivasi untuk
membuat impresi yang baik.
b. Mempercayai dunia yang adil.
Individu yang suka menolong mempersepsikan dunia sebagai
tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang baik akan
diberi imbalan, sedangkan tingkah laku yang buruk akan akan
mendapatkan hukuman.
c. Tanggung jawab sosial.
Setiap individu yang altruis memiliki keyakinan bahwa setiap
orang bertanggung jawab untuk melakukan hal yang terbaik bagi