• Tidak ada hasil yang ditemukan

YOGYAKARTA 2013 HUBUNGAN PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA PENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA AWAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "YOGYAKARTA 2013 HUBUNGAN PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA PENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA AWAL"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PERIL PADA PENIK

Diaj

PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU A ENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA A

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Yoga Prasetyo Utomo NIM : 069114023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013

(2)

HUBUNGAN PERIL PADA PENIK

Diaj

i

PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU A ENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA A

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Yoga Prasetyo Utomo NIM : 069114023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN MOTTO

TUHAN menetapkan

langkah-langkah orang yang hidupnya

berkenan kepada-Nya;

apabila ia jatuh, tidaklah sampai

tergeletak, sebab TUHAN

menopang tangannya.

(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kudedikasikan untuk :

Bapa di surga dan seluruh keluargaku

(7)
(8)

Utomo-vii

HUBUNGAN PERILAKU AGRESI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA PENIKMAT MUSIK KERAS USIA DEWASA AWAL

Yoga Prasetyo Utomo

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku agresivitas dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras usia dewasa awal. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada korelasi atau hubungan yang negatif antara perilaku agresi dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras usia dewasa awal. Semakin tinggi perilaku agresi maka semakin rendah perilaku altruisme seseorang. Sebaliknya, bila semakin rendah perilaku agresi maka semakin tinggi perilaku altruisme seseorang. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 72 orang. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode try out terpakai. Skala perilaku agresivitas disusun berdasar teori Barbara Krahe (2005), sedangkan skala altruisme disusun berdasar teori Baron dan Bryne (2005). Koefisien reliabilitas dari skala agresivitas adalah 0.961 alpha cronbach dan koefisien reliabilitas skala altruisme adalah adalah 0.888 alpha cronbach. Hasil penelitian yang diperoleh menyatakan bahwa subyek memiliki perilaku agresivitas dan altruisme yang rendah. Sehingga dapat disimpulkan hipotesis ditolak. Tidak ada hubungan yang negatif antara perilaku agresi dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras usia dewasa awal.

(9)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN AGGRESSIVENESS BEHAVIOR AND BEHAVIOR OF ALTRUISM TO EARLY ADULTHOOD ROCK MUSIC

LOVERS

Yoga Prasetyo Utomo

ABSTRACT

This study aimed to determine the relationship between the aggressiveness behavior and the behavior of altruism to rock music lovers at early adulthood. This hypothesis had a negative correlation or relationship between aggressive behavior with altruistic behavior on rock music lovers early adulthood. The higher the aggressive behavior, the lower the person's altruism behavior. Conversely, the lower the aggressive behavior, the higher a person's altruism behavior. The subjects in this study amounted to 72 people. The method used in this study was ‘used try out’ method. Aggressive behavior scale developed based on the theory of Barbara Krahe (2005), while the altruism scale arranged on the theory Baron and Byrne (2005). Reliability coefficient of aggressiveness scale was 0.961 alpha Cronbach and reliability coefficient of altruism scale was 0.888 alpha Cronbach. The results obtained state that the subjects had low aggressiveness and altruism behavior. Thus, It could be concluded that the hypothesis was rejected. There was no negative relationship between aggressive behavior with altruistic behavior on rock music lovers at early adulthood.

(10)
(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji hormat, syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus atas pengampunan, berkat, kesempatan dan karuniaNya yang tidak pernah berakhir setiap hari. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini, yaitu:

1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko. M.Psi. selaku Dekan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ratri Sunar Astuti S.Psi., M.Si selaku Kaprodi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Kepada Bapak Prof. Augustinus Supratiknya, Bapak Drs. Hadrianus Wahyudi. M.Si., dan Ibu Aquilina Tanti Arini. S.Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari. S.Psi., M.Si. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih untuk bantuannya dan maaf karena saya sering menghilang.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bimbingan, pengajaran, dan banyak hal lainnya yang boleh penulis dapatkan selama menjalankan masa studi.

(12)

xi

7. Angkatan 2006 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Saya adalah kloter terakhir yang keluar.

8. Bapak, Ibu, Yogi, Yori, Coki, Guguk, Mbah, Pakde, Bude, Om, Bulek, dan keluarga besar lainnya.

9. Kineta (Satria, Timo, Tari, Hayu, Mas Djarot, Gigih, Henta, Joko, Galih, Aji, semoga gak ada yang ketinggalan) aku rindu masa kejayaan kita hehehe. RockerMemble (Aji, Rio) teruslah menggalau hahahaha. 10.Orang-orang yang pernah datang dan pergi didalam hidupku. Kalian

adalah sebagian dari nada-nada hidupku.

11.Teman-teman dan komunitas PMK Ebenhaezer, KDM GKI Gejayan, KOMPA GKJ Gondokusuman, Indonesian Drummer Jogja, Family Of Locos Jogja, JMF beserta seisinya dan teman-teman saya yang lain. Juga tak lupa saya berterimakasih kepada orang-orang yang bersedia untuk mengisi kuesioner saya.

12.Juga semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tuhan memberkati kalian semua.

Penulis menyadari keterbatasan dalam melaksanakan penelitian. Mohon maaf untuk setiap ketidaksempurnaan yang ada didalam karya ini. Semoga kita semua dapat menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Yogyakarta, 28 Juni 2013

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….………… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING..……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………..………… iii

HALAMAN MOTTO……… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..……… vi

ABSTRAK……….……… vii

ABSTRACT……… viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH… ix KATA PENGANTAR……… x

DAFTAR ISI……… xii

DAFTAR TABEL……… xv

DAFTAR LAMPIRAN………..……… xvi

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan Masalah……… 8

C. Tujuan Penelitian………. 8

D. Manfaat Penelitian……….. 8

BAB II. LANDASAN TEORI………... 10

(14)

xiii

1. Pengertian Agresivitas………. 10

2. Teori Agresivitas……… 12

3. Faktor-faktor Agresivitas……… 17

4. Aspek-aspek Agresivitas……… 24

5. Jenis-jenis Agresivitas……… 26

B. Altruisme……… 28

1. Pengertian Altruisme……… 28

2. Teori Altruisme……… 31

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Altruisme…… 37

4. Aspek-aspek Altruisme……… 43

C. Kegemaran Musik Keras……… 44

1. Musik Keras……… 44

2. Pengemar Musik Keras……… 46

D. Masa Awal Dewasa atau Pemuda……… 46

E. Dinamika Hubungan Antar Variabel……… 48

F. Hipotesis……… 54

BAB III. METODE PENELITIAN……… 55

A. Jenis Penelitian……… 55

B. Variabel Penelitian……… 56

C. Definisi Operasional……… 56

D. Subyek Penelitian……… 59

E. Metode Pengambilan Data……… 59

(15)

xiv

G. Analisa Data……… 62

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN….. 63

A. Pelaksanaan Penelitian……… 63

B. Deskripsi Subyek……… 63

C. Uji Coba Alat Ukur……… 65

D. Hasil Penelitian……… 67

E. Pembahasan……… 72

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 77

A. Kesimpulan……… 77

B. Saran……… 77

DAFTAR PUSTAKA……… 79

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue print skala agresivitas……….… 60

Tabel 2 Blue print skala altruisme……… 61

Tabel 3 Jenis kelamin subyek……….. 64

Tabel 4 Usia subyek……… 64

Tabel 5 Rincian item valid dan gugur pada skala agresivitas………. 65

Tabel 6 Rincian item valid dan gugur pada skala altruisme………. 67

Tabel 7 Deskripsi data hasil penelitian……… 68

Tabel 8 Uji normalitas………. 70

Tabel 9 Uji linearitas……… 70

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(19)

lain karena unsur tidak disengaja, maka perilaku tersebut tidak dikategorikan sebagai perilaku agresif. Misalnya dokter yang memberikan suntikan pengobatan yang menimbulkan rasa sakit pada pasien.

Berbeda dengan agresivitas, altruisme adalah tindakan menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dengan definisi tersebut, apakah tindakan seseorang altruistik atau tidak, tergantung pada tujuan si penolong. Batson (2008) menyatakan altruisme adalah motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Pada altruisme, tindakan menolong orang atau memberikan bantuan pada orang lain adalah bersifat tidak mementingkan diri sendiri (selfless) dan bukan untuk kepentingan diri sendiri (selfish). Sebagai contoh seseorang yang melihat korban kecelakaan motor lalu segera mengangkat tubuh korban ke tepi jalan serta menghubungi rumah sakit untuk minta dikirimkan Ambulance untuk membawa tubuh korban ke rumah sakit dan segera dirawat, tanpa mengharapkan imbalan apapun dari korban maupun keluarga korban dan tidak ingin mengharapkan penghargaan dari siapapun. Altruisme adalah lawan dari egoisme. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran ataupun keuntungan.

(20)

ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan segala sesuatu kepada manusia, kini musik telah berkembang menjadi sarana hiburan bagi manusia, terapi kesehatan, menumbuhkan kecerdasan, membentuk kepribadian, dan berbagai kegunaan yang lainnya (Rasyid, 2010).

Musik dapat menghasilkan berbagai macam emosi dalam diri manusia, seperti merasa senang, gembira, marah, jengkel bahkan menangis ketika mendengarkan musik. Selain menghasilkan berbagai macam emosi dalam diri manusia, musik dapat membantu pembentukan pola belajar, mengatasi kebosanan dan membantu meningkatkan konsentrasi belajar. Musik juga dapat membantu agar manusia dapat merasa lebih bersemangat, percaya diri, mengurangi kesedihan, menghapus kemarahan, melepaskan stress serta mengurangi rasa takut dan cemas. Namun disisi lain musik dapat mengakibatkan manusia bertindak agresif dan melakukan hal-hal yang diluar batas kewajaran.

(21)

mana menurut penelitian juga membantu peningkatan kecerdasan pada anak, juga memiliki nilai seni dan ilmiah yang tinggi, berkadar keindahan dan tidak luntur sepanjang massa (Utomo dan Natalia, 1999). Musik rock dan heavy metal (keras) memiliki penikmat yang cenderung brutal (Utomo dan Natalia, 1999). Penikmat musik keras adalah individu atau sekumpulan individu yang memiliki kegemaran untuk mendengarkan musik keras. Kelompok musik atau grup band yang memainkan genre musik keras dapat tergolong kedalam penikmat musik keras, karena mereka juga menggemari musik keras.

(22)

Sebuah kelompok pemusik yang mengkhususkan diri memainkan musik rock disebut rock band atau rock group. Grup musik rock memiliki personil yang terdiri dari pemain gitar, penyanyi, pemain gitar bass dan pemain drum sehingga membentuk kuartet. Beberapa grup menanggalkan satu atau dua posisi dan menggunakan penyanyi sebagai pemain alat musik disamping menyanyi, sehingga membentuk duo atau trio. Grup lainnya memiliki pemusik tambahan seperti dua orang pemain gitar dan seorang pemain keyboard. Selain alat-alat tersebut, grup musik rock juga menggunakan biola, cello, saksofon terompet atau trombon (http://id.wikipedia.org/wiki/Rock).

(23)

Ada beberapa hal yang dapat ditemukan dalam penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, secara khusus dalam hubungan musik dan agresivitas. Antara lain dalam sebuah penelitian yang dilakukan untuk mencari skor agresi pada mahasiswa Universitas Loyola yang mendengarkan musik heavy metal dan yang tidak mendengarkan musik sama sekali (Hill, 2000), dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan diantara kedua grup subyek. Penelitian yang sama juga dilakukan Coss (2000) dengan mengambil tempat yang sama, dari penelitian tersebut juga dihasilkan kesimpulan yang sama. Bahwa tidak ada hubungan antara musik heavy metal dengan tingkat agresi. Chimento & Tafalla (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa pendengar musik keras tidak memiliki tingkat stress yang tinggi. Namun pada penelitian Roy (2001) dapat ditemukan bahwa subyek yang mendengarkan musik keras memiliki skor kemarahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan subyek yang tidak mendengarkan musik. Musik agresif atau musik keras juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan dan mengurangi ketenangan (Mcquinn, 2003). Sedangkan Hamilton (2001) menemukan bahwa penikmat musik keras memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi alkohol lebih banyak dibandingkan dengan penikmat musik lain.

(24)

menghindar dari sikap menyendiri (isolation). Erikson menggambarkan keakraban sebagai penemuan diri sendiri, tetapi kehilangan diri sendiri pada diri orang lain (Santrock, 2002).

Pada masa ini apabila individu gagal dalam mencapai tugas perkembangannya, maka individu akan cenderung untuk meningkatkan penggunaan obat-obatan, lebih banyak merokok, minum-minuman keras, menggunakan ganja (mariyuana), dan menggunakan amphetamine, barbiturat dan halusinogen (Bachman, O’Malley dan Johnston dalam Santrock, 2002). Pesta minum-minuman keras tingkat berat dan meningkatnya penggunaan kokain juga kerap terjadi, bahkan hal ini sudah dianggap sebagai hal yang biasa (Johnston, O’Malley dan Bachman dalam Santrock, 2002). Hal-hal tersebut dapat menjadi pemicu berbagai macam bentuk tindakan agresif yang dapat merugikan orang lain.

(25)

oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut dapat saja terjadi karena kurangnya kesadaran dari masing-masing individu.

Altruisme dan agresivitas merupakan dua hal yang sangat bertolak belakang. Altruisme merupakan tindakan menolong yang sifatnya positif, sedangkan agresivitas cenderung bersifat destruktif atau merusak. Melalui penjabaran ini penulis tertarik untuk meneliti dan memahami hal ini, secara khusus hubungan antara agresivitas dan altruisme. Sehingga dapat diperoleh hasil penelitian terbaru tentang hubungan perilaku agresi dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras.

B. Rumusan Masalah

Melalui rumusan diatas, masalah yang ingin diteliti adalah “Apakah Ada Hubungan Perilaku Agresi dengan Perilaku Altruisme pada Penikmat Musik Keras Usia Dewasa Awal?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan perilaku agresi dengan perilaku altruisme pada penikmat musik keras usia dewasa awal.

D. Manfaat Penelitian

(26)
(27)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Agresivitas

1. Pengertian Agresivitas

Pengertian agresi mengarah pada perilaku atau aksi yang ditujukan

untuk membuat obyeknya mengalami bahaya atau kesakitan, juga

merupakan sebuah bentuk keinginan diri untuk menyakiti atau melukai

seseorang. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mengejek,

menghina) maupun kekerasan fisik (menendang, menampar, meninju, dan

lain-lain). Tindakan merusak barang milik orang lain juga dapat

dikategorikan sebagai tindakan agresif. Agresi merupakan perilaku yang

dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis

(Baron, 1994). Definisi agresi ini mencakup empat faktor: tingkah laku,

tujuan untuk melukai dan mencelakakan (termasuk mematikan atau

membunuh), individu yang menjadi pelaku dan individu yang menjadi

korban, dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku

(Koeswara, 1988). Aspek-aspek yang membentuk agresi antara lain

modalitas respon, kualitas respon, kesegeraan, visibilitas, hasutan, arah

sasaran, tipe kerusakan, durasi akibat, dan unit-unit sosial yang terlibat

(28)

Leonard Berkowitz (1969) membedakan agresi sebagai tingkah

laku sebagaimana diindikasikan oleh definisi Baron dengan agresi sebagai

emosi yang bisa mengarah kepada tindakan agresif. Berkowitz juga

membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yaitu agresi instrumental

(instrumental aggression) dan agresi benci atau agresi impulsif (hostile

aggression /impulsive aggresion). Agresi instrumental adalah agresi yang

dilakukan organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai

tujuan tertentu. Sedangkan agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan

hanya sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti.

Agresi impulsif ini dilakukan tanpa tujuan karena hanya ingin

menimbulkan kekacauan, kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran

atau korban agresi.

Elliot Aronson (1972) mengajukan definisi yang sama dengan

definisi dari Baron dan Berkowitz. Yaitu agresi adalah tingkah laku yang

dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan

individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu Moore

dan Fine (1968) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan

secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap

obyek-obyek lain. Berdasarkan dari definisi-definisi yang telah dipaparkan

diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa agresi merupakan tingkah laku

kekerasan yang dilakukan dengan sengaja baik secara fisik maupun secara

verbal yang ditujukan untuk menyakiti orang lain atau merusak

(29)

2. Teori Agresivitas

Menurut Koeswara (1988), ada beberapa teori yang berkaitan

dengan agresi, yaitu :

a. Teori-teori naluri.

1.) Sigmund Freud: naluri kematian.

Freud membagi naluri ke dalam dua kelompok, yaitu naluri

kehidupan (life instinct / eros), dan naluri kematian (death instinct /

thanatos). Naluri kehidupan terdiri atas naluri reproduksi dan

naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan hidup individu

(mencari makanan, minuman dan sebagainya). Sedangkan naluri

kematian memiliki tujuan penghancuran hidup individu. Freud

berasumsi bahwa tujuan seluruh kehidupan adalah kematian.

Dalam konteks naluri kematian ini, Freud berbicara tentang hasrat

kepada kematian (death wish), menurutnya hasrat kepada kematian

ada secara tidak disadari pada setiap individu. Sebab hasrat kepada

kematian tersebut bersumber pada naluri kematian yang terangkum

dalam id, dan id tersebut berada pada taraf tak sadar.

Pengungkapan hasrat kepada kematian itu berbentuk

agresi-diri atau tindakan menyakiti agresi-diri senagresi-diri dan bunuh agresi-diri. Namun

sistem kepribadian yang disebut ego selalu berusaha merepresi

hasrat kepada kematian tersebut agar tetap berada pada taraf tak

sadar. Akan tetapi selalu terdapat kemungkinan hasrat tersebut

(30)

hasrat kepada kematian itu muncul ke permukaan. Kemungkinan

lain yang bisa terjadi adalah hasrat kepada kematian tersebut

ditujukan keluar diri individu, yaitu berwujud agresi kepada orang

lain. Melalui cara ini individu dapat memuaskan hasrat kepada

kematian tanpa hambatan dari naluri kehidupan (dalam Koeswara,

1988).

2.) Konrad Lorenz: naluri agresif.

Lorenz memiliki keyakinan bahwa tingkah laku naluriah

tertentu ada atau bertahan pada organisme karena memiliki nilai

survival bagi organisme tersebut. Keyakinan tersebut membawa

implikasi yang penting bagi pemahaman Lorenz terhadap fungsi

dan peranan agresi pada organisme berbagai spesies. Lorenz

(dalam Koeswara, 1988) berasumsi bahwa setiap tingkah laku

naluriah memiliki sumber energi yang disebut energi tindakan

spesifik (action specific energy) dan kemunculannya dikunci oleh

mekanisme pelepasan bawaan (innate releasing mechanism).

Stimulus yang dapat membuka kunci dari mekanisme pelepasan

bawaan sehingga suatu tingkah laku naluriah dapat muncul adalah

stimulus tertentu yang cocok dengan mekanisme pelepasan bawaan

tersebut.

3.) Robert Ardrey: naluri teritorial.

Ardrey menyatakan (dalam Koeswara, 1988) bahwa

(31)

Australopithecus, sehingga pada manusia terbentuk killing

imperative. Melalui killing imperative ini manusia memiliki obsesi

untuk membuat senjata dan menggunakannya untuk membunuh

apabila diperlukan. Melalui tesisnya, Ardrey (dalam Koeswara,

1988) juga menyatakan bahwa manusia telah diprogram melalui

evolusi untuk mengancam, berkelahi, bahkan membunuh. Tesis ini

didasari dari homologi antara manusia dan spesies bukan manusia

(hewan sebagai subyek penelitian). Ardrey juga menekankan

bahwa naluri teritorial merupakan naluri utama pada manusia dan

agresi merupakan pengungkapan dari naluri teritorial tersebut.

b. Teori belajar dan belajar observasional tentang agresi.

Agresi juga dapat terbentuk pada manusia sebagai hasil dari proses

belajar. Belajar adalah proses yang luas yang terjadi dalam konteks

sosial yang melibatkan faktor-faktor internal berupa situasi yang

berlangsung dalam diri individu dan faktor-faktor eksternal yang

berwujud situasi, kejadian, atau tingkah laku yang ditunjukkan oleh

individu lain.

1.) Pembentukan agresi menurut teori belajar.

Thorndike (dalam Koeswara, 1988) dengan teori law of

effect-nya menekankan bahwa dalam proses belajar atau

pembentukan tingkah laku, hadiah (reward) dan hukuman

(32)

kecenderungan mengulang suatu tingkah laku apabila tingkah laku

tersebut menimbulkan efek yang menyenangkan (rewarded), dan

sebaliknya tingkah laku tersebut tidak akan diulang apabila

individu mendapat efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya

(punished). Bila hal tersebut (law of effect) digunakan untuk

menerangkan pembentukan agresi, maka dapat disimpulkan bahwa

agresi terbentuk dan diulang karena individu memperoleh efek

yang menyenangkan, dan begitu pula sebaliknya.

Dollard-Miller (dalam Koeswara, 1988) menyebutkan

bahwa belajar sebagai proses pengasosiasian stimulus-respon akan

terjadi apabila respon yang diungkapkan individu atau organisme

memperoleh perkuatan. Dollar-Miller juga menyebutkan

pereduksian dorongan sebagai kondisi yang memperkuat suatu

respon. Menurutnya, dorongan yang merupakan stimulus internal

mengaktifkan tingkah laku individu dalam rangka mengurangi atau

mereduksi dorongan itu. Apabila individu gagal untuk mereduksi

dorongannya tersebut dan gagal dalam mencapai suatu tujuan,

maka individu akan mengalami frustasi. Salah satu bentuk respon

yang akan muncul pada diri individu sebagai bentuk reaksi atas

frustasi yang dialaminya adalah agresi (teori frustasi-agresi).

Skinner (dalam Koeswara, 1988) dengan operant

conditioning-nya menekankan bahwa tingkah laku, termasuk

(33)

melihat belajar sebagai proses pengasosiasian respon-kekuatan,

dimana perkuatan positif menghasilkan kemungkinan kemunculan

respon atau tingkah laku yang tinggi, dan sebaliknya perkuatan

negatif menghasilkan kemungkinan kemunculan tingkah laku yang

rendah atau bahkan menghapus kemungkinan tingkah laku yang

akan muncul.

2.) Pembentukan agresi menurut teori belajar observasional.

Teori belajar observasional ini dikembangkan oleh Albert

Bandura. Asumsi dasar dari teori ini adalah sebagian besar tingkah

laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas

tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lainnya yang

menjadi model. Contoh penelitian yang dilakukan oleh Robert

Baron (dalam Koeswara, 1988) dengan menggunakan

model-model yang melakukan agresif dan non-agresif. Sekelompok

subyek (kelompok pertama) diminta untuk menonton model yang

melakukan tindakan agresif. Sedangkan kelompok subyek yang

lain (kelompok kedua) diminta untuk menyaksikan model yang

melakukan tindakan tidak agresif, kemudian dilanjutkan dengan

menyaksikan model yang melakukan tindakan agresif. Hasil dari

penelitian ini adalah kelompok subyek pertama menunjukkan

agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

(34)

3. Faktor-faktor Agresivitas

Agresi tidak muncul secara otomatis, tetapi ada faktor-faktor

tertentu yang mengarahkannya. Berikut ini beberapa faktor yang sering

ditemukan sebagai pengarah dan penyebab kemunculan agresi. Yaitu,

frustasi, stress, deindividuasi, kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata,

provokasi, alkohol dan obat-obatan, dan suhu udara.

a. Frustasi.

Frustasi adalah suatu kondisi atau situasi dimana individu

terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang

diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam

mencapai tujuan. Frustasi dapat mengarahkan individu kepada agresi,

sehingga menjadi biasa disebut teori frustasi-agresi. Frustasi

merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan agresi

merupakan salah satu cara untuk mengatasinya. Individu akan memilih

tindakan agresif sebagai reaksi atau cara untuk mengatasi frustasi yang

sedang dialaminya apabila terdapat stimulus-stimulus yang menunjang

kearah tindakan agresif tersebut. Para teoris dan peneliti lain percaya

bahwa kecenderungan individu dalam memilih agresi sebagai cara

untuk mengatasi frustasinya dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar

(35)

b. Stress.

Stress merupakan hal yang hampir sering dialami oleh manusia

dan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan intrapsikis. Engle

(dalam Koeswara, 1988) memberikan definisi stress yang meliputi

sumber-sumber stimulasi eksternal dan internal dari individu. Stress

dapat berupa stimulus eksternal (sosiologis atau situasional) dan bisa

berupa stimulus internal (intrapsikis) yang dialami oleh individu

sebagai hal yang tidak menyenangkan serta menuntut penyesuaian. Hal

tersebut dapat menghasilkan efek somatik dan efek behavioral (dalam

hal ini kemunculan agresi).

1.) Stress eksternal

Kemajuan teknologi juga disertai oleh

perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat. Seperti pergeseran nilai-nilai,

berkurangnya kontrol sosial, persaingan hidup yang semakin ketat,

memburuknya perekonomian, dan sebagainya. Hal-hal tersebut

dapat menimbulkan dampak berupa peningkatan stress eksternal

bagi banyak kalangan masyarakat, terutama kalangan yang tidak

mampu. Durkheim (dalam Koeswara, 1988) memiliki konsep

tentang anomie, kerusakan norma sosial antara individu dan

masyarakat, bahwa stress eksternal yang ditimbulkan oleh

perubahan-perubahan sosial dan memburuknya perekonomian

mempunyai peran terhadap meningkatnya kriminalitas termasuk

(36)

1988) menekankan bahwa banyak faktor yang berperan dalam

peningkatan kriminalitas dan agresivitas, tetapi stress eksternal

tetap memiliki peranan paling penting. Schlesinger dan Revitch

(dalam Koeswara, 1988) juga mengungkapkan sumber-sumber lain

dari stress eksternal yang dapat memicu timbulnya agresi. Yaitu

isolasi, kepadatan penduduk atau sempitnya ruang hidup,

kekurangan privasi, rasa tidak bebas, irama kehidupan yang rutin

dan monoton, dan mobilisasi sosial.

2.) Stress internal

Hubungan antara stress internal dan agresi masih belum

begitu jelas. Hal itu disebabkan oleh adanya kerumitan dalam

mengukur stress internal secara obyektif. Freud (dalam Koeswara,

1988) menerangkan bahwa tindak kekerasan dan psikopatologi

pada umumnya adalah adaptasi terhadap stress internal dan

eksternal. Menninger (dalam Koeswara, 1988) juga

mengungkapkan tindakan yang tidak terkendali (termasuk agresi)

adalah akibat dari kegagalan ego untuk mengadaptasi

hambatan-hambatan sebagai upaya untuk memelihara keseimbangan

intrapsikis.

c. Deindividuasi.

Deindividuasi (penghilangan identitas diri) dapat mengarahkan

(37)

yang dilakukannya menjadi lebih intens. Dunn, Rogers, Diener, Mann,

Newton dan Innes (dalam Koeswara, 1988) mengungkapkan bahwa

deindividuasi memiliki efek memperbesar keleluasaan individu untuk

melakukan agresi. Hal tersebut disebabkan oleh karena deindividuasi

menghilangkan atau mengurangi peranan beberapa aspek yang

terdapat pada diri individu, yaitu identitas diri pelaku maupun identitas

diri korban agresi, dan keterlibatan emosional individu pelaku agresi

terhadap korbannya. Ada kalanya dalam suatu situasi deindividuasi

dapat berubah menjadi dehumanisasi. Perbedaan dari kedua istilah

tersebut adalah pada deindividuasi si korban masih dipandang sebagai

manusia, sedangkan dehumanisasi si korban dipandang oleh pelaku

agresi sebagai obyek yang layak diperlakukan secara lebih kejam dan

brutal sesuai dengan kehendak pelaku agresi.

d. Kekuasaan dan kepatuhan.

Lord Acton (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa

kekuasaan cenderung disalahgunakan menjadi sebuah kekuatan yang

memaksa (coercive) sehingga memiliki efek langsung maupun tidak

langsung terhadap kemunculan agresi. Max Weber (dalam Koeswara,

1988) menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari

seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan berbagai

keinginannya dalam tindakan komunal, bahkan meskipun harus

(38)

(dalam Koeswara, 1988) menyatakan dengan kekuasaan seseorang

atau sekelompok orang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi

dan mengendalikan tingkah laku orang lain yang pada akhirnya

menghasilkan superiority feeling. Peranan kekuasaan sebagai pengarah

kemunculan agresi tidak dapat dilepaskan dari aspek pengabdian atau

kepatuhan. Para pemegang kekuasaan sering mengeksploitasi

kepatuhan pengikutnya untuk menyingkirkan kelompok pesaing dalam

rangka memelihara kestabilan kekuasaannya. Bahkan aspek kepatuhan

ini diduga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan

intensitas agresi individu.

e. Efek senjata.

Sejak senjata ditemukan agresi intraspesies pada manusia

menjadi lebih efektif dan efisien. Sedangkan modernisasi, peningkatan

produksi dan penyebaran senjata memberikan sumbangan besar

terhadap intensitas berlangsungnya konflik-konflik lokal dan regional.

Peranan senjata dalam agresi tidak hanya karena fungsinya dapat

mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresi, tetapi juga

karena efek kehadirannya. Namun menurut Berkowitz (dalam

Koeswara, 1988) efek senjata api terhadap kecenderungan agresi

individu ditentukan oleh persepsi individu tersebut terhadap senjata

(39)

berbahaya oleh individu, maka individu akan lebih cenderung merasa

cemas daripada bertindak agresif.

f. Provokasi.

Mengenai hubungan antara provokasi dan agresi, beberapa

peneliti telah melakukan penelitian untuk mengungkap hal tersebut.

Wolfgang (dalam Koeswara, 1988) mengemukakan tiga perempat dari

enam ratus kasus pembunuhan yang diselidikinya terjadi karena

adanya provokasi dari korban. Ditemukan juga bahwa perampokan

yang disertai tindakan kekerasan oleh perampok dengan menggunakan

senjata api disebabkan oleh pihak korban yang menunjukkan

provokatif dalam bentuk perlawanan aktif maupun pasif terhadap

perampok. Pelaku agresi memiliki kemungkinan untuk melakukan

tindak agresi secara lebih besar apabila korban memiliki senjata dan

menunjukkan isyarat akan melawan dengan menggunakan senjata itu.

Untuk menghadapi provokasi yang mengancam, para pelaku agresi

cenderung berpegang pada prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu

daripada diserang dan lebih baik membunuh daripada dibunuh.

g. Alkohol dan obat-obatan.

Alkohol dapat memberikan pengaruh buruk bagi diri manusia,

bila alkohol tersebut (dalam bentuk minuman keras) dikonsumsi secara

(40)

Taylor dan Schmut (dalam Koeswara, 1988) melakukan sebuah

penelitian yang meneliti pengaruh alkohol pada subyek-subyek yang

mereka gunakan. Hasilnya adalah subyek-subyek yang menerima

alkohol dalam takaran tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih

tinggi bila dibandingkan dengan para subyek yang menerima alkohol

dalam takaran rendah dan para subyek yang tidak menerima alkohol.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa alkohol memiliki

pengaruh untuk mengarahkan individu kepada agresi, bahkan dapat

mengarahkan individu kearah tingkah laku antisosial lainnya. Hal itu

disebabkan karena alkohol dalam takaran yang tinggi dapat

melemahkan kendali diri peminumnya, sedangkan dalam takaran yang

rendah alkohol dapat melemahkan aktivitas sistem syaraf pusat dan

menghasilkan efek sedatif (rasa atau efek tenang).

h. Suhu udara.

Suhu udara adalah faktor yang jarang diperhatikan oleh para

peneliti agresi meskipun sejak lama sudah ada dugaan bahwa suhu

udara memiliki hubungan dengan tingkah laku, termasuk tingkah laku

agresif. Carlsmith dan Anderson (dalam Koeswara, 1988)

menyimpulkan bahwa pada musim panas sering terjadi tingkah laku

agresif karena musim panas memiliki hari-hari yang lebih panjang,

serta individu-individu memiliki keleluasaan bertindak yang lebih

(41)

tersebut masih belum jelas, karena tidak semua negara memiliki

perubahan iklim yang mencolok. Sehingga belum diketahui bagaimana

pengaruh suhu udara terhadap agresivitas manusia di negara yang tidak

memiliki iklim yang mencolok tersebut.

4. Aspek-aspek Agresivitas

Barbara krahe (2005) merangkum sembilan aspek perilaku agresif

untuk mengkarakteristikan berbagai macam bentuk agresi, yaitu:

a. Modalitas respon.

Meliputi tindakan agresif yang dilakukan secara fisik ataupun

secara verbal. Contoh tindakan agresif secara fisik adalah memukul,

menampar, dan menendang. Sedangkan contoh tindakan agresif secara

verbal adalah memaki, mengumpat, mengejek, dan menghina.

b. Kualitas respon.

Meliputi tindakan agresif yang berhasil dilakukan atau berhasil

mengenai sasaran atau tindakan agresif yang gagal dilakukan atau

gagal mengenai sasaran. Misalnya si A yang berhasil memukul si B

sehingga si B merasakan rasa sakit akibat dari pukulan tersebut. Begitu

juga sebaliknya apabila si A gagal memukul si B, maka tidak ada rasa

sakit yang dirasakan oleh si B.

c. Kesegeraan.

Meliputi tindakan agresif yang dilakukan individu langsung

(42)

langsung. Misalnya si A yang langsung memukul si B dengan

menggunakan tangannya sendiri, tanpa menyuruh orang lain.

d. Visibilitas.

Meliputi perilaku agresif yang tampak dari perilaku individu

atau yang tak tampak dari luar namun dirasakan oleh individu.

Misalnya si A membenci si B dan sering memaki si B (tampak). Si A

membenci si B dan jarang menyapanya (tidak tampak).

e. Hasutan.

Meliputi perilaku agresif yang terjadi karena tidak diprovokasi

atau yang merupakan tindakan balasan. Contoh si A memukul si B

sebagai suatu tindakan balasan karena sebelumnya si A pernah dipukul

oleh si B (tindakan balasan).

f. Arah sasaran.

Meliputi perilaku agresif yang terjadi karena adanya rasa

permusuhan (hostility) kepada sasaran atau yang dilakukan karena

adanya tujuan lain yang diinginkan (instrumental). Contoh si A

membunuh si B karena si A membenci si B (permusuhan). Si A

membunuh si B karena ingin memiliki harta si B (instrumental).

g. Tipe kerusakan.

Meliputi perilaku agresif yang menyebabkan kerusakan fisik

atau yang menyebabkan kerusakan psikologis pada sasaran agresi.

(43)

pada tubuh mereka (fisik). Si B menderita stress berat setelah

perkelahiannya dengan si A (psikologis).

h. Durasi akibat.

Meliputi perilaku agresif yang menyebabkan kerusakan

sementara atau yang menyebabkan kerusakan jangka panjang. Contoh

si B mengalami luka ringan pada lengan kirinya setelah berkelahi

dengan si A (sementara). Si B menderita cacat pada matanya setelah

terkena pukulan dari si A (jangka panjang).

i. Unit-unit sosial yang terlibat.

Meliputi perilaku agresif yang dilakukan individu atau yang

dilakukan secara berkelompok. Misalnya perkelahian antar genk

(kelompok). Perkelahian antar individu (individu).

5. Jenis-jenis Agresivitas

Leonard Berkowitz (1969) membedakan agresi sebagai tingkah

laku sebagaimana diindikasikan oleh definisi Baron dengan agresi sebagai

emosi yang bisa mengarah kepada tindakan agresif. Berkowitz juga

membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yaitu agresi instrumental

(instrumental aggression) dan agresi benci atau agresi impulsif (hostile

aggression /impulsive aggresion). Agresi instrumental adalah agresi yang

dilakukan organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai

tujuan tertentu. Sedangkan agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan

(44)

Agresi impulsif ini dilakukan tanpa tujuan karena hanya ingin

menimbulkan kekacauan, kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran

atau korban agresi.

Taylor, Peplau, dan Sears (2009) membedakan agresi menjadi

beberapa jenis, yaitu agresi antisosial (antisocial aggression), agresi

prososial (prosocial aggression), dan agresi yang disetujui (sanctioned

aggression). Agresi antisosial berarti agresi yang bertujuan menyakiti

orang lain dan melanggar norma sosial. Agresi prososial berarti tindakan

agresif yang mendukung norma sosial dan dapat diterima oleh masyarakat,

misalnya tindakan menegakkan hukum yang dilakukan oleh polisi dengan

cara menembak mati kelompok perampok yang telah merugikan banyak

orang. Agresi yang disetujui (sanctioned aggression) memiliki arti agresi

yang tidak diharuskan oleh norma sosial tetapi berada dalam batas-batas

wajar, tindakan agresi ini tidak melanggar standar moral yang telah

dipegang oleh masyarakat. Contohnya pelatih sepakbola yang menghukum

pemainnya yang tidak disiplin dengan menyuruhnya untuk berlari keliling

lapangan.

Kenneth Moyer (dalam Koeswara, 1988) membagi agresi kedalam

tujuh jenis, antara lain:

1. Agresi predatori, yaitu agresi yang dibangkitkan oleh kehadiran obyek

alamiah (mangsa). Agresi ini biasanya terdapat pada organisme atau

spesies hewan yang menjadikan hewan dari spesies lain sebagai

(45)

2. Agresi antarjantan, yaitu agresi yang secara tipikal dibangkitkan oleh

kehadiran sesama jantan pada suatu spesies.

3. Agresi ketakutan, yaitu agresi yang dibangkitkan oleh tertutupnya

kesempatan untuk menghindar dari ancaman.

4. Agresi tersinggung, yaitu agresi yang muncul karena perasaan

tersinggung atau amarah. Respon menyerang muncul terhadap

stimulus yang luas dan tanpa memilih sasaran, baik berupa

obyek-obyek hidup maupun obyek-obyek-obyek-obyek mati.

5. Agresi pertahanan atau teritorial, yaitu agresi yang dilakukan oleh

organisme dalam rangka mempertahankan daerah kekuasaannya dari

ancaman atau gangguan anggota spesiesnya sendiri.

6. Agresi maternal, yaitu agresi yang spesifik pada spesies atau

organisme betina (induk) yang dilakukan untuk melindungi

anak-anaknya dari berbagai ancaman.

7. Agresi instrumental, yaitu agresi yang dipelajari, diperkuat dan

dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

B. Altruisme

1. Pengertian Altrusime

Beberapa ahli psikologi memberikan definisi untuk membedakan

antara perilaku prososial dan perilaku altruistik. Terdapat dua hal yang

membedakan antara perilaku prososial dan perilaku altruistik. Pertama,

(46)

perilaku prososial ada tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku setelah

melakukan suatu kebaikan, sedangkan pada perilaku altruistik pelaku tidak

mengharapkan adanya balas jasa atau imbalan setelah pelaku melakukan

suatu kebaikan.

Tingkah laku prososial adalah tindakan individu untuk menolong

orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong (Baron,

Bryne dan Brascombe, 2006). Tingkah laku prososial mencakup kategori

yang sangat luas, meliputi segala tindakan yang dilakukan atau

direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan

motif-motis si penolong. Beberapa jenis perilaku prososial tidak merupakan

tindakan altruistik. Sebagai contoh seorang Kader partai politik yang

memberikan sumbangan dana yang cukup besar dalam suatu kegiatan

sosial yang ditujukan untuk menolong korban bencana alam, sang Kader

memilliki harapan dirinya akan mendapatkan penghargaan dari orang lain

maupun dari korban bencana dan akan dipilih untuk menduduki jabatan

penting dalan pemerintahan. Tindakan tersebut merupakan perilaku

prososial tetapi tidak altruistik. Perilaku prososial berkisar dari tindakan

altruistik atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya

(Rushton, 1980).

Dalam menolong yang lebih diutamakan adalah kepentingan orang

lain dibandingkan kepentingan diri sendiri, terutama dalam situasi darurat

(Deaus, Dane, dan Wrightsman, 1993). Menolong sebagai tingkah laku

(47)

kasus bisa saja tidak dapat mencapai tujuannya. Hal ini dapat disebabkan

karena penolong tidak mengetahui kesulitan korban yang sesungguhnya

(Holander, 1981) atau karena penolong tidak memiliki keterampilan yang

memadai untuk menolong korban sehingga dapat berakibat fatal baik bagi

penolong maupun orang yang akan ditolong. Sebagai contoh seseorang

yang tidak bisa berenang berusaha menolong rekannya yang hanyut di

lautan, sehingga orang yang menolong berpotensi untuk ikut hanyut

bahkan tenggelam juga.

Altruisme adalah tindakan menolong orang lain tanpa

mengharapkan imbalan apapun (Sears, 1994). Dengan definisi tersebut,

apakah tindakan seseorang altruistik atau tidak, tergantung pada tujuan si

penolong. Batson (2008) menyatakan altruisme adalah motivasi untuk

meningkatkan kesejahteraan orang lain. Pada altruisme, tindakan

menolong orang atau memberikan bantuan pada orang lain adalah bersifat

tidak mementingkan diri sendiri (selfless) bukan untuk kepentingan diri

sendiri (selfish) (Sarwono, 2009). Sebagai contoh seseorang yang melihat

korban kecelakaan motor lalu segera mengangkat tubuh korban ke tepi

jalan serta menghubungi rumah sakit untuk minta dikirimkan Ambulance

untuk membawa tubuh korban ke rumah sakit dan segera dirawat, tanpa

mengharapkan imbalan dan penghargaan apapun dari korban, keluarga

korban maupun orang lain.

Altruisme adalah lawan dari egoisme. Altruisme murni memberi

(48)

mengutamakan kepentingan sendiri diatas kepentingan orang lain untuk

mengejar kesenangan sendiri maupun untuk tujuan lain. Menurut Myers

(1983) dalam psikologi sosial, altruisme berarti memusatkan perhatian

pada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, menaruh perhatian pada

orang lain tanpa mengharapkan imbalan dari orang lain. Maka dapat

diambil kesimpulan bahwa perilaku altruisme adalah tindakan yang

dilakukan untuk menolong dan memberikan manfaat positif bagi orang

lain tanpa mengharapkan adanya imbalan dalam bentuk apapun.

2. Teori Altruisme

Ada beberapa teori yang membahas tentang altruisme. Dalam

bukunya, Sarwono (2009) menuliskan beberapa teori altruisme, antara lain

adalah:

a. Teori evolusi.

Menurut teori evolusi, inti dari kehidupan adalah kelangsungan

hidup gen. Manusia berusaha agar gennya tetap lestari atau tidak

punah.

1.) Perlindungan kerabat (kin protection).

Menurut teori evolusi, tindakan orang tua dalam

melindungi dan membantu anaknya ini adalah demi kelangsungan

gen-gen orang tua yang ada di dalam diri anaknya. Orang tua yang

mengutamakan kesejahteraan anak dibandingkan dengan

(49)

gennya tetap bertahan dan lestari bila dibandingkan dengan orang

tua yang mengabaikan anaknya (Myers dalam Sarwono, 1988). Hal

tersebut juga berlaku untuk keluarga jauh yang masih memiliki

kedekatan gen-gen secara biologis, sehingga manusia akan secara

otomatis memiliki keinginan untuk lebih menolong orang yang

masih memiliki hubungan keluarga dengannya.

2.) Timbal balik biologik (biological reciprocity).

Prinsip timbal balik biologik memiliki arti menolong untuk

memperoleh pertolongan kembali (Sarwono, 2002). Seseorang

menolong karena ia memiliki harapan kelak suatu saat ia akan

memperoleh balasan pertolongan dari orang yang telah ia tolong.

b. Teori belajar.

Pengaplikasian teori belajar pada tingkah laku menolong

merupakan salah satu cara untuk mengungkap bagaimana seseorang

belajar untuk menolong orang lain dan dalam kondisi yang seperti apa

seseorang memiliki kemungkinan untuk menolong.

1.) Teori belajar sosial (social learning theory).

Dalam teori belajar sosial, tingkah laku manusia dijelaskan

sebagai hasil dari proses belajar terhadap lingkungan. Seseorang

menolong karena sebelumnya telah mengalami proses belajar

melalui observasi terhadap model prososial. Jika model prososial

(50)

model antisosial dapat menghambat tingkah laku menolong

(Baron, Bryne, dan Brascombe dalam Sarwono, 2009). Dengan

demikian seseorang dapat menjadi pribadi yang altruis karena

lingkungannya telah lebih dahulu memberi contoh-contoh yang

dapat diobservasi oleh orang tersebut untuk bertindak menolong.

2.) Teori pertukaran sosial (social exchange theory).

Menurut teori pertukaran sosial, interaksi sosial bergantung

pada untung dan rugi yang terjadi. Teori ini melihat tingkah laku

sosial sebagai hubungan pertukaran dengan memberi dan

menerima (take and give relationship). Menurut Deaux, Dane, dan

Wrightsman (dalam Sarwono, 2009) sesuatu yang dipertukarkan

dapat berupa materi (uang, barang, perhiasan) atau non materi

(penghargaan, penerimaan). Teori ini menyatakan bahwa interaksi

manusia mengikuti prinsip ekonomi, yaitu memaksimalkan

ganjaran (keuntungan) dan meminimalkan kerugian. Menurut

Myers (dalam Sarwono, 2009) keuntungan dari tingkah laku

menolong dapat bersifat menolong untuk memperoleh imbalan dari

lingkungan (external self rewards) atau menolong untuk

mendapatkan kepuasan batin (internal self rewards).

c. Teori empati.

Empati merupakan respon yang kompleks, mencakup

(51)

dapat merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain, dan

dengan komponen kognitif seseorang mampu memahami apa yang

orang lain sedang rasakan beserta dengan alasannya. Daniel Batson

(dalam Sarwono, 2009) menjelaskan adanya hubungan antara empati

dan tingkah laku menolong, serta menjelaskan bahwa empati adalah

sumber dari moticasi altruistik.

1.) Hipotesis empati-altruisme (empathy-altruism hypothesis).

Saat seseorang melihat penderitaan orang lain maka akan

muncul perasaan empati yang mendorong seseorang tersebut untuk

menolong. Dalam kaitannya dengan hipotesis empati-altruisme,

perhatian empatik yang dirasakan seseorang terhadap penderitaan

orang lain akan menghasilkan motivasi untuk mengurangi

penderitaan orang lain tersebut. Motivasi menolong ini bisa sangat

kuat sehingga seseorang bersedia terlibat dalam aktivitas menolong

yang tidak menyenangkan, berbahaya bahkan mengancam jiwanya

(Batson dalam Sarwono, 2009). Dengan demikian motivasi

seseorang untuk menolong adalah karena adanya orang lain yang

membutuhkan bantuan dan menghasilkan rasa yang menyenangkan

bila dapat berbuat baik.

2.) Model mengurangi perasaan negatif (negative-state-relief model).

Melihat orang lain menderita dapat membuat perasaan

seseorang menjadi tidak nyaman sehingga ia berusaha untuk

(52)

orang yang menderita tersebut. Model mengurangi perasaan negatif

ini dikemukakan oleh Cialdini dan timnya (dalam Sarwono, 2009),

teori ini menjelaskan bahwa orang menolong dengan tujuan untuk

mengurangi perasaan negatif akibat dari melihat penderitaan orang

lain. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

tingkah laku menolong dapat berperan sebagai self help agar

seseorang dapat terbebas dari suasana hati yang tidak

menyenangkan atau negatif (Sarwono, 2009).

3.) Hipotesis kesenangan empatik (empathic joy hypothesis).

Hipotesis kesenangan empatik merupakan salah satu teori

yang dapat menjelaskan tingkah laku menolong (Smith dalam

Sarwono, 2009). Menurut hipotesis tersebut, seseorang akan

menolong bila ia dapat memperkirakan bisa ikut merasakan

kebahagiaan orang yang akan menerima pertolongannya.

Seseorang yang menolong juga perlu untuk mengetahui bahwa

tindakannya akan memberikan pengaruh positif bagi orang yang

ditolong.

d. Teori perkembangan kognisi sosial.

Saat seseorang berada didalam suatu situasi darurat yang

membutuhkan pertolongan, ia perlu untuk memproses dengan cepat

sejumlah informasi sebelum ia memutuskan untuk memberikan

(53)

proses kognitif seperti persepsi, penalaran, pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan. Pendekatan kognisi memiliki fokus pada

pemahaman yang mendasari terjadinya suatu tingkah laku sosial

(Sarwono, 2009).

e. Teori norma sosial.

Saat seseorang menolong, ia mungkin tidak sadar akan

keuntungan apa yang akan dirinya terima atas pertolongan yang ia

berikan. Ia hanya merasa bahwa ia harus memberikan pertolongan

kepada orang yang membutuhkan. Tindakan menolong ini

dipersepsikan sebagai sesuatu yang diwajibkan oleh norma-norma

masyarakat. Myers (dalam Sarwono, 2009) menyatakan bahwa norma

merupakan harapan-harapan masyarakat berkaitan dengan tingkah laku

yang seharusnya dilakukan seseorang.

1.) Norma timbal-balik (the reciprocity norm).

Alvin Gouldner (dalam Sarwono, 2009) mengemukakan

bahwa salah satu norma yang bersifat universal adalah norma

timbal balik. Yaitu individu harus menolong orang lain yang

pernah menolongnya. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan

bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada prinsip balas budi yang

harus dilakukan. Dengan demikian, individu harus menolong orang

lain karena kelak dimasa depan ia akan ditolong oleh orang lain,

(54)

2.) Norma tanggung jawab sosial (the social-responsibility norm).

Menurut Schwartz (dalam Sarwono, 2009) didalam norma

tanggung jawab sosial, individu harus memberikan pertolongan

kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan tanpa

mengharapkan adanya balasan dimasa yang akan datang. Norma

ini memotivasi orang untuk memberikan pertolongannya kepada

orang-orang yang lebih lemah dari dirinya. Misalnya membantu

orang cacat, anak kecil, dan orang-orang tua.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Altruisme

Menurut Sarwono (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

altruisme seseorang, yaitu:

a. Pengaruh faktor situasional.

1.) Bystander.

Ketika seseorang berada dalam suatu situasi darurat,

bystander atau orang-orang yang berada di sekitar lokasi kejadian

memiliki peran yang cukup besar dalam mempengaruhi seseorang

untuk memutuskan antara menolong dan tidak menolong. Efek

bystander terjadi karena:

- Pengaruh sosial (social influence).

Yaitu pengaruh dari orang lain yang dijadikan sebagai

(55)

mengambil keputusan untuk menolong. Seseorang akan

menolong jika orang lain juga menolong.

- Hambatan penonton (audience inhibition).

Yaitu merasa dirinya dinilai oleh orang lain dan resiko

membuat malu diri sendiri apabila tindakan menolong yang

dilakukannya kurang tepat sehingga menghambat orang lain

untuk menolong.

- Penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility).

Dengan adanya kehadiran orang lain maka tanggung

jawab menjadi ikut tersebar ke masing-masing bystander atau

orang lain.

2.) Daya tarik.

Ketertarikan individu pada korban mempengaruhi

kesediaan individu untuk memberikan bantuan pada korban atau

orang yang membutuhkan pertolongan. Apapun faktor yang dapat

meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban akan

meningkatkan kemungkinan terjadinya respon untuk menolong

(Clark dalam Sarwono, 2009). Adanya kesamaan antara penolong

dengan orang yang akan ditolong juga meningkatkan kemungkinan

terjadinya tingkah laku menolong. Seseorang cenderung untuk

menolong orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya (Krebs

(56)

3.) Atribusi terhadap korban.

Seseorang akan termotivasi untuk memberikan pertolongan

pada orang lain bila sebelumnya ia mengasumsikan bahwa

ketidakberuntungan korban merupakan sesuatu yang diluar kendali

diri korban (Weiner dalam Sarwono, 2009). Dengan demikian

pertolongan tidak akan diberikan bila penderitaan korban

merupakan akibat dari kesalahan korban sendiri.

4.) Ada model.

Seseorang akan terdorong untuk memberikan pertolongan

jika sebelumnya telah ada model yang melakukan tingkah laku

menolong untuk orang lain. Rushton dan Campbell (dalam

Sarwono, 2009) menemukan bahwa orang-orang akan bersedia

mendonorkan darahnya bila sebelumnya mereka melihat ada model

yang mendonorkan darahnya terlebih dahulu.

5.) Desakan waktu.

Orang yang sibuk atau tergesa-gesa memiliki

kecenderungan untuk tidak menolong, sedangkan orang yang

memiliki waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk

memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan

pertolongan (Sarwono, 2009).

6.) Sifat kebutuhan korban.

Kesediaan menolong dari calon penolong dipengaruhi oleh

(57)

pertolongan (clarity of need). Korban memang pantas untuk

mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need) dan

bukanlah tanggung jawab korban sehingga korban memerlukan

bantuan dari orang lain (atribusi eksternal) (Deaux, Dane,

Wrightsman dalam Sarwono, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa

orang yang meminta pertolongan akan memiliki kesempatan yang

lebih besar untuk mendapatkan pertolongan daripada orang yang

tidak meminta pertolongan, walaupun sesungguhnya ia juga

membutuhkan pertolongan.

b. Pengaruh faktor dari dalam diri.

1.) Suasana hati (mood).

Emosi dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang

untuk menolong (Baron, Bryne, Brascombe dalam Sarwono,

2009). Secara umum emosi positif dapat meningkatkan tingkah

laku menolong, namun apabila situasinya ambigu maka orang yang

sedang bahagia (emosi positif) cenderung untuk mengartikan

bahwa tidak ada keadaan darurat sehingga ia tidak memberikan

pertolongan. Pada emosi negatif seseorang yang sedang sedih

memiliki kemungkinan menolong yang lebih kecil, namun bila

dengan memberikan pertolongan dapat membuat suasana hati

(58)

2.) Sifat.

Terdapat hubungan antara karakteristik seseorang dengan

kecenderungannya untuk menolong. Individu yang memiliki sifat

pemaaf (forgiveness) cenderung mudah untuk menolong

(Karremans dalam Sarwono, 2009). Individu yang mempunyai

pemantauan diri (self monitoring) yang tinggi juga cenderung

mudah untuk menolong, karena dengan menjadi penolong ia akan

memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi (White dan

Gerstein dalam Sarwono, 2009). Individu yang memiliki

kebutuhan yang tinggi akan pujian dan penghargaan akan

meningkatkan perilaku menolongnya bila dalam situasi menolong

tersebut dapat memberikan dirinya kesempatan untuk memperoleh

penghargaan (Deutsch dan Lamberti dalam Sarwono, 2009).

3.) Jenis kelamin.

Peranan gender atau jenis kelamin terhadap kecenderungan

individu untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan

bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung untuk

lebih memilih terlibat dalam aktivitas menolong yang bersifat

darurat dan membahayakan, hal tersebut terkait dengan peran

laki-laki yang memiliki kemampuan lebih dalam hal kekuatan dan lebih

mampu untuk melindungi diri. Sedangkan perempuan lebih

(59)

bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh

(Deaux, Dane, Wrightsman dalam Sarwono, 2009).

4.) Tempat tinggal.

Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan cenderung

untuk lebih penolong bila dibandingkan dengan masyarakat yang

tinggal di daerah perkotaan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan

menggunakan urban overload hypothesis, yaitu orang-orang yang

tinggal di daerah perkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi dari

lingkungan. Oleh karena itu, ia harus selektif dalam menerima

paparan informasi yang sangat banyak agar ia tetap dapat

menjalankan peran-perannya dengan baik. Itulah sebabnya

mengapa masyarakat daerah perkotaan sering tidak memperdulikan

kesusahan orang lain, karena mereka sudah sangat sibuk dengan

beban tugasnya sehari-hari (Deaux, Dane, Wrightsman dalam

Sarwono, 2009).

5.) Pola asuh.

Tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang

menguntungkan orang lain tidak dapat dilepaskan dari peranan

pola asuh didalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis

secara signifikan mempengaruhi adanya kecenderungan anak untuk

tumbuh menjadi individu yang mau menolong. Yaitu melalui

(60)

contoh-contoh tingkah laku menolong (Bern dalam Sarwono,

2009).

4. Aspek-aspek Altruisme

Menurut Baron, Bryne (2005), ada beberapa aspek yang terdapat

pada diri individu yang altruis, yaitu:

a. Empati.

Individu yang senang menolong orang lain memiliki empati

yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang tidak senang

menolong orang lain. Individu yang altruistik menggambarkan diri

mereka sebagai pribadi yang bertanggung jawab, bersosialisasi,

menenangkan, toleran, memiliki self-control, dan termotivasi untuk

membuat impresi yang baik.

b. Mempercayai dunia yang adil.

Individu yang suka menolong mempersepsikan dunia sebagai

tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang baik akan

diberi imbalan, sedangkan tingkah laku yang buruk akan akan

mendapatkan hukuman.

c. Tanggung jawab sosial.

Setiap individu yang altruis memiliki keyakinan bahwa setiap

orang bertanggung jawab untuk melakukan hal yang terbaik bagi

(61)

d. Locus of control internal.

Individu yang altruis memiliki locus of control yang tinggi dan

memiliki keyakinan bahwa setiap individu berhak untuk menentukan

cara bertingkah lakunya sendiri dengan berusaha untuk

mengoptimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang buruk.

Segala sesuatu yang terjadi dalam diri individu merupakan hasil dari

perilaku individu itu sendiri.

e. Egosentrisme rendah.

Individu yang altruis tidak memiliki keinginan untuk menjadi

pribadi yang egosentris, self-absorbed, dan kompetitif.

C. Kegemaran Musik Keras

1. Musik Keras

Ada beragam pandangan mengenai musik sehingga musik

memiliki bermacam-macam definisi, diantaranya: bunyi atau kesan

terhadap sesuatu yang ditangkap oleh indera pendengar, suatu karya seni

dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya, segala bunyi yang

dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau sekelompok orang dan

disajikan sebagai musik (Rasyid, 2010). Menurut Aristoteles, musik

memiliki kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi

rekreatif, dan menumbuhkan jiwa patriotisme. Nietzsche, seorang filsuf

dari Jerman meyakini bahwa musik dapat memberikan kontribusi yang

(62)

Without music, life would be an error” (Rasyid, 2010). Sedangkan

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) yang dimaksud dengan

musik adalah nada atau suara yg disusun demikian rupa sehingga

mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Terutama yg menggunakan

alat-alat yg dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu.

Pada tahun 1960-an, musik rock berkembang menjadi beberapa

jenis, seperti folk rock, blues rock, dan jazz rock fusion. Pada tahun

1970-an lahir alir1970-an soft rock, glam rock, heavy metal, hard rock, progressive

rock dan punk rock. Sub kategori yang mencuat ditahun 1980-an, seperti

new wave rock, hardcore punk dan alternative rock. Sedangkan pada

tahun 1990-an terdapat aliran grunge, britpop, indie rock, dan nu metal.

Sebuah kelompok pemusik yang mengkhususkan diri memainkan musik

rock disebut rock band atau rock group. Grup musik rock memiliki

personil yang terdiri dari pemain gitar, penyanyi, pemain gitar bass dan

pemain drum sehingga membentuk kuartet. Beberapa grup menanggalkan

satu atau dua posisi dan menggunakan penyanyi sebagai pemain alat

musik disamping menyanyi, sehingga membentuk duo atau trio. Grup

lainnya memiliki pemusik tambahan seperti dua orang pemain gitar dan

seorang pemain keyboard. Selain alat-alat tersebut, grup musik rock juga

menggunakan biola, cello, saksofon terompet atau trombon

(http://id.wikipedia.org/wiki/Rock). Musik rock sering disebut sebagai

musik setan karena penggunaan lirik yang kasar serta mengajak untuk

(63)

lain (Utomo dan Natalia, 1999) walaupun pada periode ini penggunaan

lirik yang kasar sudah mulai tidak digunakan oleh musisi rock.

2. Pengemar Musik Keras

Penggemar musik keras adalah individu atau kelompok yang

menyenangi musik keras. Berdasarkan pada perkembangan musik dunia

maka tumbuhlah berbagai pandangan yang berhubungan pada penikmat

musik. Sebagai contoh musik klasik adalah musiknya orang intelek, yang

mana menurut penelitian juga membantu peningkatan kecerdasan pada

anak, juga memiliki nilai seni dan ilmiah yang tinggi, berkadar keindahan

dan tidak luntur sepanjang massa (Utomo dan Natalia, 1999). Musik rock

dan heavy metal (keras) memiliki penikmat yang cenderung brutal (Utomo

dan Natalia, 1999). Musik keras dapat mempengaruhi pendengarnya,

pengaruh ini dapat masuk melalui lirik atau syair musik, gaya hidup

pemusik keras, gambar atau simbol yang digunakan dalam setiap aktivitas

pemusik keras, terakhir filsafat dan tujuan dari pemusik keras.

D. Masa Awal Dewasa atau Pemuda

Masa dewasa awal merupakan tahap perkembangan keenam dalam

delapan tahap perkembangan menurut Erikson dan rentang usia dalam tahap

ini adalah 18 sampai 30 tahun (Boeree, 2006). Pada masa ini individu

menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi yang akrab dengan

Gambar

Gambar 1. Dinamika hubungan antara agresivitas dengan perilaku altruisme pada
Tabel 1 Blue print skala agresivitas
Tabel 2 Blue print skala altruisme
Tabel 4 Usia subyek
+7

Referensi

Dokumen terkait