Susu ibu mengandung antibodi dan bahan-bahan lain yang dapat mencegah infeksi dalam tubuh bayi. Antibodi dalam ASI dapat bertahan dalam pencernaan bayi karena tahan terhadap asam. Dalam tinja bayi yang mendapat ASI terdapat antibodi terhadap bakteri E.coli dalam konsentrasi yang tinggi sehingga jumlah bakteri E.coli dalam tinja bayi juga rendah. Faktor-faktor pelindung terdiri atas berbagai macam
imunoglobin, lysozym, laktoperoksid, faktor pertumbuhan lactobasilus, substansi
streptococus , makrofag dan dan lemak (DepKes, 2005).
− Imuglobulin
Semua macam imunoglobulin terdapat pada ASI seperti Ig A, Ig E, Ig G, Ig M. imunoglobulin A kadarnya lebih tinggi dalam kolostrum. Sekretori Ig A tidak diserap, tetapi melumpuhkan bakteri patogen E.coli dan berbagai virus dalam pencernaan (DepKes RI, 2005).
− Lysozym
Lysozym adalah enzim yang memecah dinding bakteri. Lysozym merupakan salah
satu enzim yang terdapat dalam ASI sebnyak 6-300 mg/100 ml, dan kadarnya biasa naik 3000-5000 kali lebih banyak dibandingkan kadar lisozym dalam susu sapi. Enzim ini aktif mengatasi bakteri E.coli dan salmonella (DepKes RI, 2005).
− Laktoperoksidase
Laktoperoksidase merupakan enzim bersama-sama peroksidase hidrogen dan ion tiosinat membantu membunuh streptococcus (Pudjiati, 1999).
− Faktor Bifidus
Sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan menunjang pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga keasaman flora usus bayi dan berguna untuk menghambat petumbuhan bakteri yang merugikan. Kotoran bayi menjadi bersifat asam yang berbeda dari kotoran bayi yanm meminum susu formul (DepKes RI, 2005)
− Faktor anti staphilococus
Merupakan asam lemak dan melidungi bayi terhadap gangguan bakteri staphilococus.
− Laktoferin dan Transferin
Kedua zat ini tedapat dalam ASI walaupun tidak banyak. Protein-protein tersebut mempunyai kapasitas pengikat zat besi bagi pertumbuhan kuman yang memerlukan.
− Komponen komplemen
Sistem komplemen terdiri atas 11 protein serum yang dapat dibedakan satu sama lain, dan dapat diaktifkan oleh berbagai zat seperti antibodi, produk kuman dan enzim. Dalam kolostrum terdapat konentrasi CO yang tinggi hingga dalam keadaan aktif merupakan faktor pertahanan yang berarti.
− Lipase
2.1.3. ASI Eksklusif
ASI Ekslusif adalah perilaku dimana bayi sampai dengan umur 6 bulan hanya diberikan Air Susu Ibu (ASI) saja tanpa makanan tambahan dan atau minuman lain kecuali sirop obat (DepKes RI, 2003).
Sedangakan menurut WHO/Unicef (2001) pemberian ASI Eksklusif adalah bayi hanya diberikan ASI saja, langsung atau tidak langsung (diperas).
Secara keseluruhan pemberian ASI Eksklusif mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Hanya ASI sampai umur 6 bulan
2. Menyusui dimulai 30 menit setelah bayi lahir
3. Tidak memberikan makanan pralakteal seperti air gula atau air tajin kepada bayi baru lahir
4. menyusui sesuai kebutuhan bayi (on demand)
5. Berikan kolostrum (ASI yang keluar pada hari hari pertama, yang bernilai gizi) kepada bayi
6. Menyusui sesering mungkin, termasuk pemberian ASI pada malam hari Cairan lain yang diperbolehkan hanya vitamin/mineraldan obat sesuai anjuran dokter. 2.2. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan Pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi bayi (Sulistijani, 2001). Sedang menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2006), MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI.
Tujuan pemberian Makanan Pendamping ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi terus menerus.
Selain sebagai pelengkap ASI, pemberian makanan tambahan bayi sangat membantu bayi dalam proses belajar makan dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik. Dalam hal ini, para orang tua dianjurkan untuk memperkenalkan bermacam-macam bahan makanan yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis bayi serta aneka ragam makanan dari daerah setempat. Pemberian makanan dari daerah setempat sejak dini akan memungkinkan anak yang bersangkutan menyukai makanan tersebut sampai anak beranjak dewasa (Husaini dan Aswar, 1984 dalam Krisnatuti, 2007).
Memasuki usia enam bulan bayi telah siap menerima makanan bukan cair, karena gigi sudah tumbuh dan lidah tidak lagi menolak makanan setengah padat. Di samping itu, lambung juga telah baik mencerna zat tepung. Menjelang usia sembilan bulan bayi telah pandai menggunakan tangan untuk memasukkan benda ke dalam mulut. Karena itu jelaslah, bahwa pada saat tersebut bayi siap mengkonsumsi makanan ( Setengah Padat) (Arisman, 2004). Selain itu saat bayi berumur enam bulan keatas, sistem pencernaannya juga sudah relatif sempurna dan siap menerima MP-ASI. Beberapa enzim pemecah protein seperti asam lambung, pepsin, lipase enzim amilase dan sebagainya juga telah diproduksi sempurna pada saat ia berumur enam bulan (Anonim, 2005). Agar makanan pendamping ASI dapat diberikan efisien, sebaiknya diberikan secara bertahap dan hati-hati, sedikit demi sedikit dalam bentuk encer secara berangsur-angsur ke bentuk yang lebih kental (Arisman, 2004).
Secara komersial, makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biskuit yang dapat dimakan secara langsung atau dijadikan bubur.
Makanan pendamping ASI dapat dibuat sendiri untuk bayi dengan menggunakan bahan pangan lokal, dengan harga yang murah dan mudah didapat serta bentuknya lebih bervariasi (Krisnatuti, 2007).
2.3. Imunisasi
2.3.1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Dalam imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Imunisasi merupakan upaya pemberian ketahanan tubuh yang dibentuk melalui vaksinasi (pemberian vaksin) maka jika ada antigen berupa virus atau kuman masuk ke dalam tubuh secara langsung, tubuh akan membentuk antibodi (Markum, 1997).
Ada dua jenis kekebalan terhadap penyakit yaitu :
1. Kekebalan Tidak Spesifik (Non Specifik Resistance) yaitu pertahanan tubuh pada manusia yang secara alamiah dapat melindungi badan dari suatu penyakit. Misalnya kulit, air mata, reflek tertentu seperti batuk dan bersin.
2. Kekebalan Spesifik (Specifik Resistance) yaitu kekebalan yang diperoleh dari dua sumber yaitu :
a. Kekebalan Genetik, berasal dari simber genetik biasanya berhubungan dengan ras ( warna kulit dan kelompok etnis).
b. Kekebalan yang diperoleh (acquired immunity), diperoleh dari luar tubuh individu.
Dalam hal ini Imunisasi termasuk dalam jenis kekebalan spesifik yang diperoleh.
2.3.2. Jenis Imunisasi Dasar yang Wajib di Indonesia 1. BCG (Bacillus Calmete Guerin)
Vaksin BCG melindungi anak terhadap penyakit TBC yang disebabkan oleh bakteri Mycrobakterium tuberculosis.
2. DPT (Difteri Pertusis Tetanus)
Vaksin DPT melindungi anak terhadap penyakit Difteri yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae, penyakit Pertusis yang disebabkan oleh kuman Bordetella pertusis, penyakit tetanus yang disebabkan oleh Clostridium tetani.
3. Polio
Vaksin polio melindungi anak dari penyakit polio (Poliomyelitis) yang disebabkan oleh virus.
4. Campak
Melindungi anak dari penyakit campak (measles) yang disebabkan oleh virus dari golongan Paramyxo virus.
5. Hepatitis B
Melindungi anak terhadap penyakit hepatitis B yang disebabkan oleh virus. 2.3.3. Jadwal Pemberian Imunisasi
Berbagai vaksin tersedia untuk menangkal bermacam-macam penyakit dengan cara pemakaian dan permberian yang berbeda. Ada vaksin yang perlu dikombinasiakan, ada juga yang diberikan dalam bentuk suntikan tunggal. Pemberian
nya ada yang cukup sekali, ada yang harus dibagi dalam beberapa dosis selama beberapa bulan.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.1 :
Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi yang wajib di Indonesia
Vaksin Pemberian Interval Umur
BCG 1x - 0-1 bulan
DPT 3x 4 minggu
minimum
2-4 bulan
POLIO 4x 4 minggu 0-4 bulan
CAMPAK 1x - 9-11 bulan
HEPATITIS B 3x 1 & 2 1 bulan 1 & 3 1 bulan
0-4 bulan Sumber : Depkes RI 2008
2.4. Penilaian Status Gizi
Status Gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu antara konsumsi dan penyerapan zat gizi serta penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung meliputi : antropometri, biokimia, klinis dan biofisik. Sedangkan penilaian secara tidak langsung meliputi survey konsumsi makanan , statistik vital dan faktor ekologi.
Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi. Antropometri gizi adalah hubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri yang digunakan adalah dengan menggunakan indeks BB/U (berat badan menurut umur). Berat badan adalah salah satu parameter yang
memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya penyakit infeksi dan menurunnya nafsu makan sehingga parameternya sangat labil (Supariasa, 2002).
Untuk menilai status gizi dengan menggunakan indeks BB/U yang dikonversikan dengan baku rujukan WHO-NCHS dimana status gizi dapat dibagi 4 kategori :
1. Gizi baik bila nilai skor Z terletak antara -2 SD ≤ Z < +2 SD 2. Gizi kurang bila nilai skor Z terletak antara -3 SD ≤ Z < -2 SD 3. Gizi buruk bila nilai skor Z < -3 SD
4. Gizi lebih bila nilai skor Z ≥ +2 SD
2.5. Status Gizi Bayi Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif
Meningkatnya penggunaan susu formula untuk makanan bayi, dapat menimbulkan berbagai masalah di negara-negara berkembang. Misalnya yang terkenal dengan trias Jeliffe yang terdiri dari : kekurangan kalori proterin tipe marasmus, moniliasis pada mulut, dan diare karena infeksi. Angka kesakitan dan kematian akibat diare di negara-negara yang sedang berkembang masih tinggi. Lebih-lebih pada anak yang mendapat susu formula, angka tersebut Lebih-lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI. Hal ini disebabkan karena nilai gizi ASI yang tinggi, adanya antibodi pada ASI, sel-sel lekosit, emzim, hormon dan lain-lain yang melindungi bayi terhadap berbagai infeksi (Soetjiningsih, 1997).
Rendahnya pemberian ASI Eksklusif menjadi salah satu pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita. Data SUSENAS menunjukkan status gizi kurang pada
balita menurun dari 37,5 % pada tahun 1989 menjadi 26,4 % pada tahun 1999. tetapi untuk kasus gizi buruk terjadi peningkatan yaitu 6,3 % pada tahun 1989 menjadi 11,4 % pada tahun 1995 (DepKes RI, 2002)
Dari penelitian Manoho di Deli Serdang tahun 2005 diketahui bahwa praktek pemberian ASI berhubungan dengan pertumbuhan anak. Semakin rendah tingkat pemberian ASI makin tinggi angka pertumbuhan anak kategori gizi kurang, baik dilihat dari indeks BB/U maupun PB/U. Pada penelitian Suharyono dan Hariarti di Jakarta tahun 1978 bahwa status gizi baik lebih tinggi pada kelompok yang diberi ASI yaitu 43,8% dari pada susu buatan 33,5%.
Hal ini didukung oleh penelitian Firdaus dkk di Aceh tahun 1996 terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan pemberian ASI, dimana 10,1 % yang mendapat ASI menderita gizi kurang bila dibandingkan dengan 27 % yang diberi PASI dengan atau tanpa ASI menderita gizi kurang.
2.6. Status Gizi Bayi Berdasarkan Pemberian MP-ASI
Pemberian MP-ASI sebaiknya diberikan pada umur yang tepat yakni pada saat usia anak 6 bulan. Resiko pemberian MP-ASI sebelum umur 6 bulan ialah ( Pudjiadi, 2005) :
1. Kenaikan berat badan yang terlalu cepat sehingga menjurus ke obesitas 2. Alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan tersebut 3. Mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan
4. Mungkin saja dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewaran atau zat pengawet yang tidak diinginkan
Sebaliknya penundaan pemberian MP-ASI akan menghambat pertumbuhan karena energi dan zat-zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak mencukupi kebutuhannya lagi (Pudjiadi, 2005).
Hal-hal penting yang harus diketahui mengenai cara-cara tepat pemberian MP-ASI dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2. Prinsip Pemberian MP-ASI
6-8 bulan 8-9 bulan 9-12 bulan 12-24 bulan
Jenis
1 jenis bahan dasar (6 bulan) 2 jenis bahan
dasar (7 bulan) 2-3 jenis bahan dasar (disajikan secara terpisah atau dicampur) 3-4 jenis bahan dasar (sajikan secara terpisah atau dicampur Makanan keluarga (tanpa garam, gula, hindari penyedap, hindari santan dan gorengan) Tekstur
Semi cair (dihaluskan atau pure), secara
bertahap kurangi campuran air sehingga menjadi semi padat Lunak (disaring) dan potongan makanan yang dapat digenggam dan mudah larut Kasar (dicincang). Makanan yang dipotong dan dapat digenggam. Padat Frekuensi Makanan utama : 1-2 x/hari, camilan 1x/hari Makanan utama: 2-3x/hari. Camilan 1x/hari Makanan utama: 3/hari. Camilan 2x/hari Makanan utama: 3/hari. Camilan 2x/hari Porsi 1-2 st, secara bertahap
ditambahkan 2-3 sm makanan semi padat. Potongan makanan seukuran sekali gigit 3-4 sm makanan semi padat yang kasar. Potongan makanan seukuran sekali gigit 5 sm makanan atau lebih
ASI Sesuka bayi Sesuka bayi Sesuka bayi Sesuka bayi
Sumber : Safitri, 2007
2.7. Status Gizi Bayi Berdasarkan Kelengkapan Imunisasi
Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh anak akan membawa pengaruh terhadap gizi anak. Sebagai reaksi pertama akibat adanya infeksi adalah menurunnya
nafsu makan anak sehingga anak menolak makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya pemasukan zat gizi dalam tubuh anak. Keadaan akan berangsur memburuk jika infeksi itu disertai muntah yang mengakibatkan hilangnya zat gizi. Kehilangan zat gizi dan cairan akan semakin banyak apabila anak juga menderita diare. Adanya muntah dan diare dengan sangat cepat akan mengubah tingkat gizi anak ke arah gizi buruk (Moehji, 1998).
Dengan imunisasi anak akan terhindar dari penyakit yang ganas tanpa bantuan pengobatan. Dengan reaksi antigen-antibodi ini tubuh anak memberikan reaksi perlawanan terhadap benda-benda asing dari luar (kuman, virus, racun, dan bahan kimia yang mungkin akan merusak tubuh (Markum, 1997).
Dinding usus dapat mengalami kemunduran dan dapat juga mengganggu produksi berbagai enzim untuk pencernaan makanan. Makanan tidak dapat dicerna dengan baik dan ini berarti penyerapan zat gizi akan mengalami gangguan sehingga dapat memperburuk keadaan gizi. Adanya penyakit infeksi dalam tubuh akan membawa pengaruh terhadap gizi anak sebagai reaksi pertama akibat adanya infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga anak menolak makanan yang diberikan ibunya, penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya pemasukan zat gizi kedalam tubuh anak. Adanya infeksi mengakibatkan terjadinya penghancuran jaringan tubuh, baik oleh bibit penyakit itu sendiri maupun penghancuran untuk memperoleh protein yang diperlukan untuk pertahanan tubuh ( Moehji, 2003).
Penelitian Renika di kecamatan Medan Baru tahun 2006 menyatakan terdapat hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan status gizi balita. Dari 40 balita yang diimunisasi lengkap terdapat 4 orang dengan status gizi kurang dan buruk. Sementara
Pemberian ASI -ASI Eksklusif -Tidak ASI Eksklusif
11 balita yang imunisasinya tidak lengkap terdapat 8 balita dengan status gizi kurang dan buruk.
2.8. Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini variabel-variabel yang diteliti dapat digambarkan sebagai berikut
Daya tahan tubuh terhadap penyakit
variabel yang diteliti
variabel tidak diteliti
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pemberian ASI, Pemberian MP-ASI dan Pemberian Imunisasi. Variabel terikat adalah Status Gizi bayi (7-12 bulan).
Pemberian MP ASI
Pemberian Imunisasi -Lengkap
-Tidak Lengkap
Status Gizi Bayi (7-12 Bulan)
BAB III
METODE PENELITIAN