• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Kekeringan dan Langkah-Langkah Preventif untuk

Dalam dokumen ANALISIS KEKERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN M (Halaman 62-69)

Mencegahnya

Terdapat beberapa faktor penyebab kekeringan dan banjir dan cara mencegahnya. Dari 6 faktor di bawah ini, yang menjadi penyebab terjadinya kekeringan dan banjir di DAS Ciujung adalah iklim ekstrem, kesalahan perencanaan dan implementasi pengembangan kawasan, dan faktor sosio-hidraulik. Upaya mencegah banjir harus sekaligus terkait dengan upaya mencegah kekeringan. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Iklim Ekstrem

Faktor iklim ekstrem, dapat menyebabkan kekeringan dan banjir yang tak terkendali. Misalnya kemarau panjang atau hujan badai ekstrem yang kesemuanya dipengaruhi oleh iklim makro global. Misalnya, El Nino-La Nina yang bergerak antara kepulauan Indonesia dan Panama-Chili. Selain itu, TIFCA-Hurricane yaitu badai dahsyat dengan lama hujan masing-masing mencapai 24 jam dan 72 jam pernah terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah. Kondisi iklim ekstrem ini tidak bisa dielakkan dan dapat menyebabkan kekeringan dan banjir. Hal seperti ini bisa

dikategorikan ke dalam natural disaster (bencana alam) yang sulit diatasi.

Masalahnya ialah, jika kondisi iklim ekstrem semacam ini terjadi, sedangkan kondisi daya dukung DAS sangat jelek, dampak kekeringan dan banjir yang terjadi akan semakin parah. Cara mengatasi faktor iklim ekstrem ini mesti dilakukan secara global bersama negara-negara lain.

2. Daya Dukung DAS

Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir. DAS berdaya dukung rendah ditandai dengan perubahan tata guna lahan dari daerah tangkapan

hujan dengan koefisien aliran permukaan (koefisien run off) rendah

(sebagian besar air hujan diserap ke tanah) berubah menjadi tanah terbuka dengan koefisien run off tinggi (sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan). Rendahnya daya dukung DAS dapat diamati dengan semakin mengecilnya luas area hutan, tidak terurusnya lahan pertanian, semakin luasnya lahan untuk hunian dan prasarana, serta semakin banyaknya tanah

49 terbuka dan tanah kritis. Akibat hancurnya DAS, banjir akan terjadi pada musim hujan (terutaman di daerah hilir dan tengah, misalnya di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Semarang). Kemudian, banjir akan disusul kekeringan pada musim kemarau berikutnya. Hal ini disebabkan seluruh

air pada musim hujan dengan cepat mengalir ke hilir (karena run off tinggi)

sehingga konservasi (simpanan) air di hulu menjadi sangat berkurang. Akibatnya, pada musim kemarau tidak ada lagi aliran air menuju ke hilir yang mengakibatkan terjadinya kekeringan. Hal ini biasanya ditandai dengan surut atau keringnya sungai-sungai kecil terlebih dulu, disusul sungai menengah, kemudian sungai besar.

Sebagai contoh, akibat yang terjadi ialah transportasi air yang macet (banyak terjadi di Sumatra dan Kalimantan), debit bendung irigasi yang berkurang secara drastis hingga pertanian kolaps (banyak terjadi di Jawa), permukaan air tanah yang menurun drastis sehingga sumur-sumur perlu diperdalam (banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta), dan menghilangnya atau matinya mata air (seperti di Gunung Kidul dan daerah lainnya). Masalah kekeringan lainnya yang mengancam ialah semakin banyaknya permukaan tanah terbuka dan berbutir lepas. Kondisi ini menyebabkan ancaman erosi dan banjir yang lebih hebat pada musim berikutnya.

Daya dukung DAS untuk menanggulangi kekeringan sekaligus banjir hanya dapat ditingkatkan dengan partisipasi masyarakat melalui program penyelamatan DAS yang menyeluruh. Hal ini di lakukan dari hulu sampai ke hilir, di perkotaan maupun pedesaan; dengan cara mengaktifkan reservoir-reservoir alamiah, pembuatan resapan-resapan air hujan alamiah, dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah. Memperbaiki daya dukung DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap secara alamiah ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau mengalir ke hilir.

50

3. Pola Pembangunan Sungai

Kekeringan dan banjir dapat disebabkan oleh pola pembangunan sungai dengan normalisasi, penelusuran, sudetan, pembuatan tanggul sisi, pembetonan dinding tebing, dan pengerasan tebing dan dasar sungai. Sungai-sungai di Indonesia dekade terakhir ini juga menglami hal serupa. Inti pola ini, menurut penulis, adalah mengusahakan air banjir secepat-cepatnya di alirkan ke hilir. Pola ini pun belum memperhatikan peningkatan tendensi kekeringan yang akan terjadi pada musim kemarau. Pada pola ini, seluruh air diusahakan dibuang ke hilir secepat-cepatnya. Otomatis keseimbangan air akan terganggu dan tidak ada air yang mengalir dari daerah hulu lagi pada musim kemarau.

Jika ditinjau dari kacamata ekologi dan hidraulik, pola pembangunan sungai ini sungguh amat merusak. Disamping akan merusak ekosistem sepanjang sungai, pola ini juga merusak equilibrium hidraulika sungai sehingga bisa mengakibatkan banjir pada musim hujan dan

kekeringan serta penurunan muka air tanah pada musim kemarau (Patt at

al.,1999; Maryono, 1999; dan Hütte, 2000). Perlu kiranya masyarakat dan

pemerintah untuk mulai mengubah pola pikir ini.

4. Kesalahan Perencanaan dan Implementasi Pengembangan Kawasan

Tidak bisa dimungkiri, perencanaan wilayah dan implementasinya di seluruh Indonesia dewasa ini belum memasukkan faktor konservasi sumber daya air sebagai faktor dominan. Bahkan, tiga dasawarsa yang lalu, perencanaan regional hanya dipercayakan sepenuhnya kepada ahli-ahli

perencanaan yang sedikit mengerti permasalahan persungaian,

kekeringan, banjir, dan ekologi. Hasil akumulasi kesalahan ini salah satunya ialah pola sebaran pengembangan kawasan dan sarana yang kontradiktif dengan upaya penanggulangan kekeringan, banjir, dan konservasi air. Penyebaran permukiman di sebagian besar kota-kota di Indonesia dan daerah eperi-perinya mengikuti penyebaran merata pola horizontal (lihat Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, Samarinda, dan Pontianak) sehingga dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, seluruh DAS telah berubah menjadi hunian yang tersebar merata.

51 Akibatnya sangat buruk karena ketika luas hunian mencapai sepertiga luas DAS, seluruh DAS pada dasarnya sudah rusak. Perlu diketahui bahwa setiap bangunan (dengan tipe horizontal) memerlukan luasan tambahan untuk sarana prasarana sekitar tiga kali lipat dari luas bangunan itu sendiri. Jika DAS rusak akibatnya hunian ini, kekeringan dan banjir otomatis akan datang silih berganti. Pola penyebaran permukiman dan pengembangan kawasan seperti di atas perlu segera dikoreksi ke arah kota-region dan perkembangan kearah vertikal. Tentu saja pola ini akan menghadapi kendala sosial. Untuk itu, wacana pola ini perlu sesegera mungkin dibuka ke masyarakat guna mendapatkan respon aktif.

Pemerintah harusnya menerapkan secara realistis konsep One River

One Plan One Integrated Management (satu sungai satu perencanaan dan

pengelolaan secara integral) untuk memperbaiki kondisi DAS. Perencanaan integral ini bukan hanya diartikan secara administratif dari hulu sampai dengan hilir, namun juga diartikan secara substantif menyeluruh menyangkut seluruh aspek yang berhubungan dengan sungai, artinya bahwa dalam menangani permasalahan yang berhubungan dengan sungai mesti dilihat secara menyeluruh semua komponen yang berhubungan dengan sistem sungai tersebut dari hulu (pegunungan) sampai ke hilir (muara). Pemerintah dan masyarakat pun harus menyiapkan solusi untuk menghadapi kemarau ataupun banjir dengan cara

preventif, antara lain menyimpan air hujan dengan tampungan atau Rain

Filter yang diperkenalkan oleh Agus Maryono, memasukan ke sumur

resapan dan sumur-sumur penduduk, dan dengan cara kuratif, seperti mencari sumber air tersisa, memeriksa kembali sumur-sumur penduduk hingga menyaring air untuk air bersih.

5. Kesalahan Konsep Drainase

Konsep masterplan drainase kota dan kawasan di seluruh Indonesia yang digunakan sampai sekarang pada umumnya masih konsep drainase konvensional. Konsep ini mengartikan drainase sebagai upaya mengatuskan air secepat-cepatnya ke sungai dan selanjutnya ke hilir. Bahkan drainase konvensional sering diartikan sebagai upaya pengeringan

52 kawasan. Dengan konsep konvensional ini jelas akan menimbulkan banjir bagian hilir pada musim penghujan dan kekeringan pasa musim kemarau. Sebabnya ialah seluruh air yang seharusnya meresap ke tanah dan nantinya akan muncul sebagai mata air, dipaksakan secepatnya dibuang ke hilir.

Kesalahan ini perlu diatasi dengan mengubah paradigma konsep drainase menuju konsep drainase ramah lingkungan, yaitu upaya mengalirkan kelebihan air di suatu kawasan dengan jalan meresapkan air ini atau mengalirkannnya secara alamiah dan bertahap kesungai. Metode yang cocok untuk ini misalnya pembuatan embung dan kolam kecil untuk menampung air hujan di permukiman-permukiman dan pembuatan sumur-sumur resapan alamiah. Prinsipnya ialah menghindarkan aliran air limpasan hujan secepatnya ke hilir. Khusus untuk daerah perkotaan, konsep drainase pengatusan ini seyogianya diganti dengan konsep peresapan dengan tetap memperhatikan layanan sanitasi daerah perkotaan yang bersangkutan. Untuk itu, perlu pengembangan teknologi sumur resapan dan parit atau bidang resapan yang sesuai (Suntojo, 1991)

6. Faktor Sosio-Hidraulik

Sosio-hidraulik diartikan sebagai pemahaman sosial tentang masalah yang berkaitan dengan keairan dan konservasinya. Selama masyarakat di kota maupun di desa belum paham tentang keterkaitan antara daerah hulu dan hilir, banjir dan kekeringan, sampah-pendangkalan dan banjir, pengambilan air tanah besar-besaran dan kekeringan serta intrusi air laut, penebangan pohon/hutan dan banjir serta kekeringan, ekosistem sungai dan kekeringan serta banjir, serta bagaimana dan dengan cara apa seharusnya mereka berbuat, pemahaman terhadap faktor sosio-hidraulik belum dicapai. Konsekuensinya, sejumlah usaha yang dilakukan di luar peningkatan pemahaman ini hanya akan membawa sedikit hasil. Dengan demikian, faktor sosio-hidraulik ini sangat penting diperhatikan,

misalnya melalui community development (pemberdayaan masyarakat)

untuk upaya water resources development and conservation (sumber daya

53 Setelah masyarakat berjuang melawan kekeringan, pada gilirannya masyarakat tidak boleh terlena dan harus kembali bersiap-siap guna menghadapi banjir yang akan datang menyusul.patut kembali diingat, kekeringan dan banjir adalah saudara kembar yang bisa hadir bergantian. (Agus Maryono, 2005, p. 1-5)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang ada pada bab sebelumnya pada Skripsi yang berjudul Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Metode

Theory of Run Studi Kasus Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung ini,

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari 10 stasiun hujan yang ada di DAS Ciujung, setelah dilakukan uji

kepanggahan data yang dilakukan dengan perhitungan korelasi dan kurva massa ganda, di dapat 6 stasiun hujan yang memiliki data yang layak untuk digunakan dalam analisis kekeringan dengan menggunakan metode

Theory of Run. Yang diantaranya adalah stasiun Bojongmanik,

Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy.

2. Keenam stasiun tersebut memiliki nilai korelasi dari 0,618 sampai 0,811

yang memiliki interpretasi cukup sampai tinggi. Begitu pula dengan hasil yang didapat dari analsisi kurva massa ganda, keenam stasiun memiliki nilai koefisien deternimasi (R2) di atas 0,99 yang artinya semua stasiun saling berkaitan dan mendukung dalam anlinisis.

3. Dari keenam stasiun hujan, Stasiun Bojongmanik memiliki durasi dan

defisit hujan yang paling besar, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan durasi 21 bulan dan defisit 1574 mm, sedangkan stasiun Cibeureum memiliki durasi dan defisit hujan yang paling kecil, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan durasi 7 bulan dan defisit 468 mm.

4. Pola kekeringan terjadi pada pertengahan tahun di bulan Juni, Juli,

Agustus dan September dengan jumlah defisit terbesar di bulan Juli dan Agustus. Dari hasil analisa didapat tingkat kekeringan, untuk stasiun Bojongmanik kondisi basah 45,1 %; kondisi normal 6,37 %; kondisi kering 48,4 %. Stasiun Pamarayan kondisi basah 42,6 %; kondisi normal

55 14,2 %; kondisi kering 43,1 %. Stasiun Pipitan kondisi basah 39,2 %; kondisi normal 12,3 %; kondisi kering 48,5 %. Stasiun Cibeureum kondisi basah 42,1 %; kondisi normal 12,7 %; kondisi kering 45,1 %. Stasiun Pasir Ona kondisi basah 42,6 %; kondisi normal 8,3%; kondisi kering 49,1%. Stasiun Sampang Peundeuy kondisi basah 41,1%; kondisi normal 14,2 %; kondisi kering 44,5 %. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa DAS Ciujung memiliki kondisi normal basah.

Dalam dokumen ANALISIS KEKERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN M (Halaman 62-69)

Dokumen terkait