• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEKERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KEKERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN M"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEKERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN

METODE

THEORY OF RUN

STUDI KASUS DAS CIUJUNG

SKRIPSI

SULASTRI OKTAVIANI

3336111250

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

BANTEN

(2)

ANALISIS KEKERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN

METODE

THEORY OF RUN

STUDI KASUS DAS CIUJUNG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana S-1 Jurusan Teknik Sipil

SULASTRI OKTAVIANI

3336111250

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

BANTEN

(3)
(4)
(5)

v

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena atas

kasih dan karunia-Nya Laporan Skripsi dengan judul “AnalisisKekeringan dengan

Menggunakan Metode Theory of Run (Studi Kasus: DAS Ciujung)” dapat

terselesaikan dengan baik. Penulisan Skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Jurusan Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Skripsi ini secara garis besar berisi tentang tingkat kekeringan yang terjadi

di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung, dampak kekeringan tersebut, dan

langkah-langkah preventif untuk mencengah kekeringan.

Laporan Skripsi ini dapat Penulis selesaikan dengan baik atas bantuan dan

kerjasama dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Bapak M. Fakhruriza Pradana, ST., MT dan Bapak Rama Indera Kusuma ST.,

MT selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Ibu Restu Wigati, ST,. MEng dan Bapak Soedarsono ST,. MMT selaku Dosen

Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dorongan sehingga

Skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Ibu Irma Suryani, ST., MSc selaku Koordinator Skripsi Jurusan Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan Dosen Penguji II

yang telah memberikan masukan serta kritik yang membangun untuk

menyempurnakan penulisan.

4. Ibu Rindu Twidi Bethari, ST., MT selaku Dosen Penguji I yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan memberikan masukan-masukan yang

membantu Penulis dalam penyusunan Skripsi ini.

5. Pihak Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian yang telah

membantu dalam memberikan wawasan dan data yang Penulis butuhkan.

6. Bapak, Mama, Abang dan Kakak yang telah memberikan doa, semangat,

(6)

vi

7. Seluruh mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa, khususnya angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan

kepada Penulis.

Penulis menyadari dalam Skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan.

Oleh karena itu, Penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang sifatnya

membangun demi kesempurnaan Laporan Skripsi ini.

Harapan Penulis semoga Laporan Skripsi ini bermanfaat bagi rekan-rekan

Mahasiswa/i Teknik Sipil serta bagi semua pihak yang membacanya. Atas

perhatiannya Penulis mengucapkan terimakasih.

Cilegon, Oktober 2015

(7)

Karena TUHANlah yang menberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.

Amsal 2:6

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan , untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.

Yeremia 29:11

Karya Skripsi ini Kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat dan kasih-Nya,

memimpin saya dalam penyelesaian Skripsi ini. Kepada Keluarga saya,

M. Sihombing, S. Siallagan, Ari Tagor Sihombing, dan Yanna Rotua

Sihombing yang telah mendukung saya dalam doa, materi dan spirit. Kepada

Henrick PM dan seluruh Teman-teman seperjuangan, Civil Eleven, yang

selalu ada untuk membantu dan menyemangati saya dalam masa-masa kuliah,

khususnya dalam pengerjaan Skripsi ini.

(8)

viii

Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Metode Theory of Run

Studi Kasus DAS Ciujung

Sulastri Oktaviani

INTISARI

Letak geografis diantara dua benua dan dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Kekeringan merupakan parameter yang seharusnya dapat diukur seperti halnya banjir, terutama kekeringan meteorologi yang sepenuhnya berasal dari hujan.

Studi ini bertujuan untuk melakukan analisis untuk mengetahui tingkat kekeringan, durasi kekeringan dan pola kekeringan yang dapat terjadi di suatu daerah, sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh. Data yang digunakan adalah data hujan bulanan selama 17 tahun di 6 stasiun hujan di DAS Ciujung, diantaranya stasiun Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy. Metode yang di gunakan

adalah Theory of Run, dengan perhitungan indeks kekeringan berupa durasi

kekeringan terpanjang dan jumlah kekeringan terbesar dengan periode ulang tertentu di suatu wilayah.

Hasil penelitian menunjukkan dari keenam stasiun hujan, Stasiun Bojongmanik memiliki durasi dan defisit hujan yang paling besar, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan defisit 1574 mm, sedangkan stasiun Cibeureum memiliki durasi dan defisit hujan yang paling kecil, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan defisit 468 mm. Dan dari hasil perhitungan klasifikasi tingkat kekeringan dapat disimpulkan bahwa DAS Ciujung memiliki kondisi normal basah.

(9)

ix

Drought Analysis Using Theory of Run Method

Case Study Ciujung Watershed

Sulastri Oktaviani

ABSTRACT

Geographical location between two continents and two oceans and also in the equator line is a climatological factor that cause floods and droughts in Indonesia. Drought is a measurable parameter, as well as flood, especially meteorological drought that entirely caused by rain.

The aim of this study is to conduct an analysis to determine drought’s level,

duration, and pattern that could possibly happen in an area, so it can be used as an early warning of an upcoming and worse drought. The analyzed data is the data of rain frequency in a month for 17 years in 6 rain station in Ciunjung Watershed, i.e. Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy. The used method is Theory of Run, with drought index calculation will be longest

drought’s duration and highest drought’s number with a specific repeated period in an area.

The results showed that, among all of the sixth rain station, Station Bojongmanik duration and deficit rainfall is the greatest. It has deficit of 1574 mm for about 20 years. In other side, Station Cibeureum has the smallest duration and deficit rainfall. It has deficit of 468 mm for about 20 years. From the calculation of the classification level of drought, it is concluded that Ciujung Watershed have normal wet conditions.

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PRAKATA ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vii

INTISARI ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 3

F. Batasan Masalah ... 5

G. Keaslian Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

III. LANDASAN TEORI A. Kekeringan ... 13

1. Definisi Kekeringan ... 13

2. Jenis-Jenis Kekeringan ... 14

3. Analisis Kekeringan ... 15

4. Kekeringan dan Banjir ... 16

(11)

xi

B. Metode Theory of Run ... 17

C. Korelasi ... 19

IV. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 21

B. Analisis Hidrologi ... 26

C. Perhitungan Durasi Kekeringan dan Jumlah Kekeringan ... 27

D. Bagan AlirMetodologi Penelitian ... 29

E. Jadwal Penelitian ... 30

F. Hipotesa Sementara ... 30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengisian Data Kosong ... 31

B. Uji Kepanggahan ... 32

1. Korelasi ... 33

2. Kurva Massa Ganda (Double Mass Curve) ... 34

C. Analisis Kekeringan dengan Theory of Run ... 35

1. Indeks Kekeringan ... 35

2. Parameter Statistik Data Hujan ... 36

3. Nilai Surplus dan Defisit dari Run ... 37

4. Durasi Kekeringan ... 39

5. Jumlah Kekeringan Kumulatif ... 41

6. Klasifikasi Tingkat Kekeringan ... 44

D. Faktor-Faktor Kekeringan dan Langkah-Langkah Preventif untuk Mencegahnya ... 48

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 54

B. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Pengelompokan Hasil Tinjauan Pustaka Terhadap Penelitian

Sebelumnya ... 9

Tabel 2 Interpretasi Dari Nilai Korelasi ... 19

Tabel 3 Nilai Batasan Debit ... 21

Tabel 4 Klasifikasi Tingkat Kekeringan ... 28

Tabel 5 Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Korelasi 10 Stasiun DAS Ciujung ... 33

Tabel 6 Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Korelasi 6 Stasiun DAS Ciujung ... 33

Tabel 7 Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik ... 36

Tabel 8 Nilai Surplus dan Defisit Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik ... 38

Tabel 9 Durasi Kekeringan Kumulatif Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik ... 40

Tabel 10 Durasi Kekeringan Terpanjang Stasiun Bojongmanik... 41

Tabel 11 Jumlah Kekeringan Kumulatif Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik ... 42

Tabel 12 Jumlah Kekeringan Terpanjang Stasiun Bojongmanik ... 43

Tabel 13 Klasifikasi Tingkat Kekeringan Bulan Januari Stasiun Bojongmanik ... 45

Tabel 14 Klasifikasi Tingkat Kekeringan Stasiun Bojongmanik ... 45

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian ... 4

Gambar 2 Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung... 5

Gambar 3 Posisi Penelitian Terhadap Penelitian Sebelumnya ... 12

Gambar 4 Durasi dan Jumlah Defisit Pos Bojong (23) Pekalongan ... 18

Gambar 5 Bagian Hulu Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan ... 23

Gambar 6 Bagian Hulu Sungai Ciujung pada saat Muka Air Normal ... 23

Gambar 7 Bagian Tengah Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan ... 24

Gambar 8 Bagian Tengah Sungai Ciujung pada saat Muka Air Normal ... 24

Gambar 9 Bagian Hilir Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan ... 25

Gambar 10 Bagian Hilir Sungai Ciujung pada saat Muka Air Normal ... 25

Gambar 11 Bagian Tengah Anak Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan ... 26

Gambar 12 Bagan Alir(Flow Chart) Metodologi Penelitian Analisis Kekeringandengan Menggunakan Medote Theory of Run Studi Kasus DAS Ciujung ... 29

Gambar 13 Jadwal Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote Theory of Run Studi Kasus DAS Ciujung ... 30

Gambar 14 Kurva Hubungan Antara Stasiun Bojongmanik dengan 5 Stasiun lain ... 34

Gambar 15 Hujan Bulanan dan Hujan Rata-Rata Bulanan di Stasiun Bojongmanik ... 38

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung

2. Data Asli Curah Hujan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung

3. Pengisian Data Kosong

4. Perhitungan Korelasi

5. Perhitungan Kurva Massa Ganda (Double Mass Curve)

6. Analisis Kekeringan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung dengan

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Letak geografis diantara dua benua dan dua samudra serta terletak di

sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan

kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada

pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif

terhadap anomali iklim El Nino Southern Oscillation (ENSO). ENSO

menyebabkan terjadinya kekeringan apabila kondisi suhu permukaan laut di

Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El Nino). Faktor

penyebab kekeringan adalah adanya penyimpangan iklim, adanya gangguan

keseimbangan hidrologis dan kekeringan agronomis. (BMKG, 2011)

Kekeringan merupakan parameter yang seharusnya dapat diukur seperti

halnya banjir, terutama kekeringan meteorologi yang sepenuhnya berasal dari

hujan. Pada saat kekeringan melanda suatu wilayah, seringkali kurang

disadari oleh karena dampaknya belum dirasakan. Hal ini terjadi akibat

kurangnya informasi mengenai awal, akhir dan besarnya kekeringan yang

seharusnya dapat dihitung dan dijadikan dasar perkiraan bagi dampak yang

mungkin terjadi sehingga upaya mitigasi dapat dilakukan secepat mungkin

jauh sebelum dampak terjadi. Ada kecenderungan bahwa kekeringan lebih

sering terjadi dan intensitas meningkat serta durasinya bertambah panjang,

sesuai kajian dari Adidarma dkk (2009) dan Puslitbang SDA (2012).

Selain banjir, masalah yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS)

Ciujung adalah kekeringan. Kekeringan parah terakhir yang terjadi di DAS

Ciujung dan DAS sekitarnya, yaitu DAS Cidanau dan DAS Cidurian adalah

tahun 2012. Bencana kekeringan ini mengakibatkan keringnya saluran irigasi

(16)

2 sehingga memerlukan bantuan air baku dari Balai Besar Wilayah Sungai

(BBWS) Cidanau-Ciujung-Cidurian.

Di wilayah tropis, termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung,

penelitian tentang kekeringan masih jarang dilakukan. Oleh karena itu,

terdapat peluang untuk menganalisis pola kekeringan di DAS Ciujung, seperti

mengetahui durasi dan volume defisit maksimum. Pola kekeringan berguna

untuk mencegah kerusakan pada kondisi kekeringan dan mengetahui

kondisi-kondisi normal seperti pada saat kekeringan hidrologi agar reservoir di

wilayah kajian dapat bekerja saat kondisi tersebut (Zelenhasic 2002).

Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisis untuk mengetahui

tingkat kekeringan, durasi kekeringan dan pola kekeringan yang dapat terjadi

di suatu daerah, sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya

kekeringan yang lebih jauh. Kekeringan dapat diketahui atau dianalisis

dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya Percent of Normal,

Desil, Standardized Precipitation Index (SPI), Palmer Drought Severity Index

(PDSI), dan Theory of Run.

Dengan menggunakan Theory of Run dapat dilakukan perhitungan

indeks kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang dan jumlah

kekeringan terbesar dengan periode ulang tertentu di suatu wilayah. Indeks

kekeringan tersebut dapat digunakan untuk mengindikasikan tingkat

keparahan kekeringan yang terkandung dalam seri data hujan. Tingkat

keparahan kekeringan digambarkan oleh periode ulang. Indeks kekeringan

perlu diketahui agar perencanaan waduk tidak mengalami overdesign (jika

periode ulang kekeringan terlalu tinggi) atau sebaliknya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang dan identifikasi masalah dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Apakah dalam uji kepanggahan data layak digunakan untuk analisis

kekeringan?

(17)

3

3. Berapa lama durasi kekeringan dan jumlah kekeringan dalam periode

ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun yang terjadi di

DAS Ciujung?

4. Bagaimana pola kekeringan yang terjadi di DAS Ciujung?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari analisis kekeringan adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kepanggahan data yang akan di analisis.

2. Mengetahui kaitan nilai korelasi beberapa stasiun hujan.

3. Menegetahui durasi kekeringan (Ln) dan jumlah kekeringan (Dn) dengan

periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun di DAS

Ciujung.

4. Mengetahui pola kekeringan yang terjadi di DAS Ciujung dengan

menggunakan Theory of Run.

D. Manfaat Penelitian

Tingkat kekeringan dan jumlah kekeringan yang dihasilkan dapat

dimanfaatkan dalam:

1. Perencanaan bangunan air, seperti menentukan kapasitas tampungan

waduk

2. Pengoperasian bangunan air, seperti operasi bangunan irigasi di musim

kemarau

3. Penanggulangan dan pengurangan dampak kekeringan, meliputi

penyusunan strategi yang bersifat reaktif dan proaktif.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah DAS Ciujung, yang memiliki luas

daerah 1.987 km2, dan mencakup 10 stasiun curah hujan, diantaranya

Bojongmanik, Cibeureum, Sampang Pendeuy, Ciminyak, Cibologer,

(18)

4 Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote

(19)

5 Gambar 2. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung

Sumber: BBWS Ciujung - Cidanau - Cidurian

F. Batasan Masalah

Agar masalah tidak melebar, maka pembahasan yang dilakukan sebagai

berikut:

1. Analisis kekeringan dilakukan di 10 stasiun pos hujan DAS Ciujung.

2. Analisis menggunakan metode Theory of Run untuk mengetahui durasi

kekeringan dan jumlah kekeringan dengan periode ulang 2 tahun, 5 tahun,

10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun di DAS Ciujung.

3. Menggunakan Reciprocal Methode untuk pengisian kekosongan data

(20)

6

4. Analisis kekeringan dilakukan di stasiun-stasiun hujan di DAS Ciujung

yang memenuhi nilai koefisien korelasi cukup (0,61 – 0,80).

G. Keaslian Penelitian

Penelitian analisis kekeringan ini telah diteliti oleh beberapa orang.

Namun setiap penelitian memiliki lokasi dan waktu yang berbeda. Analisis

kekeringan dengan menggunakan metode Theory of Run studi kasus DAS

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian yang dilakukan oleh Adyansyah Pratama (2014) dengan

judul “Analisa Kekeringan Menggunakan Metode Theory of Run Pada Sub

DAS Ngrowo” meninjau tingkat kekeringan dan durasi kekeringan yang dapat

terjadi di Sub DAS Ngrowo. Salah satu metode untuk analisa kekeringan adalah

menggunakan metode Theory of Run. Metode ini bertujuan untuk melakukan

penghitungan kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang dan jumlah

kekeringan terbesar pada lokasi stasiun hujan yang tersebar di suatu wilayah. Data

hujan yang digunakan adalah data hujan bulanan selama 20 tahun (1993-2012)

dari 18 stasiun hujan. Setelah melakukan analisa kekeringan menggunakan

metode theory of run dibuat peta kekeringan dengan bantuan metode interpolasi

kriging pada software Arc GIS. Hasil studi menunjukkan bahwa durasi kekeringan

paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998, untuk jumlah

kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada tahun 1998 dengan jumlah -2303

mm. Dari hasil analisa juga disimpulkan bahwa kekeringan meteorologi

berhubungan dengan kekeringan hidrologi. Selain itu kekeringan meteorologi

yang terjadi juga memiliki korelasi terhadap nilai SOI (Southern Oscillation

Index) yang merupakan indikator terjadinya El Nino.

Penelitian yang dilakukan oleh Basillius Retno Santoso dengan judul

“Penerapan Teori Run untuk Menentukan Indeks Kekeringan di Kecamatan Entikong” meninjau tingkat kekeringan berdasarkan intensitas curah hujan yang

ada di Kecamatan Entikong yang meliputi jumlah bulan kering (durasi

kekeringan) dan jumlah kekeringan (total hujan minimum), serta memberikan

strategi perencanaan penanganan kekeringan berdasarkan hasil analisis yang

dilakukan. Metodologi yang digunakan dalam penerapan Teori Run untuk

menentukan indeks kekeringan di Kecamatan Entikong adalah dengan melakukan

(22)

8

dan SGU-03 Balai Karangan serta peta DAS Sekayam untuk membuat catchment

area, yang selanjutnya dilakukan analisis menggunakan metode Run untuk

mendapatkan jumlah bulan kering dan jumlah kekeringan. Berdasarkan hasil

perhitungan indeks kekeringan untuk Kecamatan Entikong, diperoleh durasi

kekeringan terpanjang untuk periode ulang 5 tahun adalah 8 bulan dan untuk

periode ulang 10 tahun adalah 10 bulan. Jumlah kekeringan terbesar untuk periode

ulang 5 tahun adalah 704,45 mm dan untuk periode ulang 10 tahun adalah 827,93

mm.

Penelitian yang dilakukan oleh Novreta Ersyidarfia, Manyuk Fauzi,

dan Bambang Sujatmoko dengan judul “Perhitungan Indeks Kekeringan

Menggunakan Teori Run Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri”

meninjau indeks kekeringan yang digunakan untuk mengindikasikan tingkat

keparahan kekeringan yang terkandung dalam seri data hujan berupa durasi

kekeringan dan jumlah kekeringan dengan menggunakan Teori Run. Data hujan

yang digunakan adalah data hujan 25 tahun untuk Stasiun Air Molek, Pangkalan

Kasai, Sentajo, dan Talang Jerinjing dan data hujan 15 tahun untuk Stasiun Air

Molek, Pangkalan Kasai, Sentajo, Talang Jerinjing, Lirik, Sijunjung, Tembilahan,

dan Usul. Periode waktu yang digunakan adalah bulanan, 15 harian, 10 harian,

dan mingguan. Stasiun hujan yang mengalami durasi kekeringan dan jumlah

kekeringan tertinggi untuk data 25 tahun adalah Stasiun Air Molek, sedangkan

yang terendah adalah Stasiun Talang Jerinjing. Untuk data 15 tahun , durasi

kekeringan tertinggi dan terendah untuk tiap periode waktu berada pada stasiun

yang berbeda, sedangkan untuk jumlah kekeringan tertinggi berada pada Stasiun

Pangkalan Kasai dan jumlah kekeringan terendah berada pada Stasiun Talang

Jerinjing. Penggambaran nilai durasi kekeringan dan jumlah kekeringan dibantu

dengan software Golden Sufer 8.0. penggambaran isohyet antara menggunakan

empat stasiun hujan dan delapan stasiun hujan menggunakan nilai perbedaan

(23)

9 Tabel 1. Tabel Pengelompokan Hasil Tinjauan Pustaka Terhadap Penelitian Sebelumnya

No Nama Peneliti Daerah Kajian Tujuan Metode Hasil Analisa

1 Adyansyah Pratama

DAS Ngrowo Analisis Kekeringan

Untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi pada Sub DAS Ngrowo sehingga bias dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh.

Theory of Run Hasil studi menunjukkan bahwa durasi

kekeringan paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998, untuk jumlah kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada tahun 1998 dengan jumlah -2303 mm. Dari hasil analisa juga disimpulkan bahwa kekeringan meteorologi berhubungan dengan kekeringan hidrologi. Selain itu kekeringan meteorologi yang terjadi juga memiliki korelasi terhadap nilai SOI (Southern Oscillation Index) yang merupakan indikator terjadinya El Nino. 2 Basillius Retno

Santoso

Kecamatan Entikong

Analisis Kekeringan

memberikan strategi perencanaan penanganan kekeringan berdasarkan hasil analisis

Theory of Run Berdasarkan hasil perhitungan indeks

(24)

10

3 Novreta Ersyidarfia, Manyuk Fauzi, dan Bambang Sujatmoko

DAS Indragiri Analisis kekerinngan

untuk mengindikasikan tingkat keparahan kekeringan yang terkandung dalam seri data hujan berupa durasi kekeringan dan jumlah kekeringan.

Theory of Run Data hujan yang digunakan adalah data

(25)

11

4 Sulastri Oktaviani

DAS Ciujung Analisis Kekeringan

Untuk menegetahui durasi kekeringan dan jumlah kekeringan dengan periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun di DAS Ciujung.

Theory of Run Analisis kekeringan dilakukan di 6 stasiun

hujan, yaitu Stasiun Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy dengan panjang data selama 17 tahun. Dari keenam stasiun hujan, Stasiun Bojongmanik memiliki durasi dan defisit hujan yang paling besar, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan defisit 1574 mm, sedangkan stasiun Cibeureum memiliki durasi dan defisit hujan yang paling kecil, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan defisit 468 mm. Dari hasil analisa juga didapat tingkat kekeringan, untuk Stasiun Bojonmanik kondisi basah 45,1%; kondisi normal 6,37%; kondisi kering 48,4%. Stasiun Cibeureum kondisi basah 42,1%; kondisi normal 12,7%; kondisi kering 45,1%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa DAS Ciujung memiliki kondisi normal basah.

(26)

12 Gambar 3. Posisi Penelitian terhadap Penelitian Sebelumnya

Sumber: Hasil Analisis, 2015

Keterangan :

Penelitian sejenis yang digunakan sebagai referensi

Penelitian yang bersifat mendukung

“Penerapan Teori Run untuk Menentukan

Indeks Kekeringan di Kecamatan

Entikong”

Basillius

“Analisa Kekeringan Menggunakan

Metode Theory of Run Pada Sub DAS

Ngrowo”

Adyansyah

“Analisis Kekeringan dengan

menggunakan metode Theory of Run

Studi Kasus DAS Ciujung”

Oktaviani

“Perhitungan Indeks Kekeringan

Menggunakan Teori Run Pada Daerah

Aliran Sungai (DAS) Indragiri”

(27)

BAB III

LANDASAN TEORI

A. Kekeringan

1. Definisi Kekeringan

Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi

secara perlahan (slow-onset disaster), berdampak sangat luas dan bersifat

lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain).

Kekeringan merupakan fenomena alam yang tidak dapat dielakkan dan

merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Variasi alam

dapat terjadi dalam hitungan hari, minggu, bulan, tahun, bahkan abad.

Dengan melakukan penelusuran data cuaca dalam waktu yang panjang,

akan dapat dijumpai variasi cuaca yang beragam, misalnya bulan

basah-bulan kering, tahun basah-tahun kering, dan dekade basah-dekade kering.

Berkurangnya curah hujan biasanya ditandai dengan

berkurangnya air dalam tanah, sehingga pertanian merupakan sektor

pertama yang akan terpengaruh. Cukup sulit untuk mengetahui kapan

kekeringan akan dimulai dan berakhir, dan kriteria apa yang akan

digunakan untuk menentukannya. Apakah kekeringan itu berakhir

ditandai dengan faktor-faktor meteorologi dan klimatologi atau ditandai

dengan berkurangnya dampak negatif yang dialami oleh manusia dan

lingkungannya. (BMKG 1:2014)

Indonesia terletak di wilayah geografis dimana diapit oleh dua

benua dan dua samudera. Indonesia juga terletak di sepanjang garis

khatulistiwa. Semua fakta geografis ini membuat wilayah Indonesia

rentan terhadap gejala kekeringan sebab iklim yang berlaku di wilayah

tropis memang monsoon yang diketahui sangat sensitif terhadap

perubahan ENSO atau El-Nino Southern Oscilation. ENSO inilah yang

(28)

14 permukaan laut Pasifik equator tepatnya bagian tengah sampai bagian

timur mengalami peningkatan suhu.

Meski demikian, anomali ENSO tidak menjadi penyebab

satu-satunya atas gejala kekeringan di Indonesia. Kekeringan umunya

diperparah penyebab lainnya, antara lain:

a) Terjadinya pergeseran DAS (Daerah Aliran Sungai) utamanya di

wilayah hulu. Hal ini membuat lahan beralih fungsi, dari vegetasi

menjadi non-vegetasi. Efek dari perubahan ini adalah sistem resapan

air di tanah yang menjadi kacau dan akhirnya menyebabkan

kekeringan.

b) Terjadinya kerusakan hidrologis wilayah hulu sehingga waduk dan

juga saluran irigasi diisi oleh sedimen. Hal ini kemudian menjadikan

kapasitas dan daya tampung menjadi berkurang. Cadangan air yang

kurang akan memicu kekerinagn parah saat musim kemarau tiba.

c) Persoalan agronomis atau dikenal juga dengan nama kekeringan

agronomis. Hal ini diakibatkan pola tanam petani di Indonesia yang

memaksakan penanaman padi pada musim kemarau dan

mengakibatkan cadangan air semakin tidak mencukupi.

2. Jenis-Jenis Kekeringan

a) Kekeringan Meteorologis

Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi

berada dibawah kondisi normalnya pada suatu musim. Perhitungan

tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama

terjadinya kondisi kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan

definisi meteorologis adalah sebagai berikut:

1) Kering: apabila curah hujan antara 70%-85% dari kondisi normal

(curah hujan dibawah kondisi normal).

2) Sangat kering: apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi

normal (curah hujan jauh dibwah normal).

3) Amat sangat kering: apabila curah hujan <50% dari kondisi

(29)

15

b) Kekeringan Hidrologis

Kekeringan ini terjadi berhubung dengan berkurangnya pasokan air

permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari

ketinggian muka air sungai, waduk, danau, dan air tanah. Ada jarak

waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya

ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan

hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.

Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai

berikut:

1) Kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran

dibawah periode 5 tahunan.

2) Sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang

aliran jauh di bawah periode 25 tahunan.

3) Amat sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode

ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan.

c) Kekeringan Pertanian

Kekeringan pertanian menghubungkan berbagai karakteristik

meteorologi atau hidrologi dengan dampak pertanian. Kondisi kurang

hujan dikaitkan dengan evapotranspirasi aktual dan potensi, air tanah

yang menyusut, karakteristik dari tanaman tertentu seperti tingkat

pertumbuhan, dan penyusutan aliran air sungai, waduk dan air tanah.

3. Analisis Kekeringan

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada beberapa pengertian

kekeringan. Oleh karena analisis kekeringan meteorologi selalu

digunakan dalam analisis lain seperti kekeringan hidrologi dan pertanian,

maka kajian kekeringan difokuskan pada kekeringan meteorologi. Ada

beberapa indeks kekeringan yang mengukur berapa besar hujan yang

jatuh pada suatu periode tertentu dan menyimpang dari kondisi normal

yang dihitung dari data historisnya.

Adapun macam-macam analisis indeks kekeringan yang telah

(30)

16

a) Percent of Normal

b) Desil

c) Standardized Precipitation Index (SPI)

d) Palmer Drought Severity Index (PDSI)

e) Theory of Run

4. Kekeringan dan Banjir

Kekeringan dan banjir secara bersamaan maupun terpisah menjadi

pandangan publik yang memilukan. Dalam beberapa dekade terakhir ini,

kekeringan berlangsung di berbagai tempat di Indonesia. Akibatnya,

jutaan hektar area pertanian di Jawa dan luar Jawa terancam gagal panen.

Sementara itu, masih sangat kental dalam ingatan bahwa musim hujan

selalu memaksa orang untuk tergopoh-gopoh karena datangnya banjir

yang merendam berbagai kota.

Untuk mengkaji lebih dalam kedua kejadian itu, perlu

dikemukakan faktor-faktor penyebab kekeringan dan banjir secara

menyeluruh. Berdasarkan kaidah ilmu pada hidrologi dan keseimbangan

Daerah Aliran Sungai (DAS), banjir dan kekeringan merupakan “saudara

kembar” yang pemunculannya datang susul-menyusul. Faktor penyebab kekeringan sama persis seperti faktor penyebab banjir. Keduanya

berprilaku linier-dependent, artinya semua faktor yang menyebabkan

kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah

kekeringan yang terjadi, semakin dahsyat pula banjir yang akan menyusul

dan hal yang demikian berlaku sebaliknya.

Terdapat beberapa faktor penyebab kekeringan dan banjir,

diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Iklim Ekstrem

b) Daya Dukung DAS

c) Pola Pembangunan Sungai

d) Kesalahan Perencanaan dan Implementasi Pengembangan Kawasan

e) Kesalahan Konsep Drainase

(31)

17

5. Indeks Kekeringan Untuk Perencanaan Bangunan Air

Perencanaan bangunan air seperti waduk dan bendung

membutuhkan seri data debit bulanan atau tengah bulanan yang cukup

panjang. Dalam seri waktu tersebut fluktuasi data memberikan gambaran

akan kondisi ekstrim yang pernah terjadi yaitu surplus mengakibatkan

banjir dan defisit menimbulkan kekeringan yang pernah terjadi. Panjang

data debit jauh lebih pendek dibandingkan dengan data hujan. Disamping

itu watak seri data debit sangat tergantung dari alih fungsi lahan, sehingga

tidak dapat diperhitungkan sebagai satu sampel data. Oleh karena itu data

hujan lebih tepat digunakan untuk perhitungan kekeringan yang butuh

data hidrologi menerus (berkesinambungan, continued).

Seberapa kuatnya kekeringan yang terkandung secara historis

dalam data mempengaruhi dimensi bangunan air. Misalnya, panjang data

debit 20 tahun mengandung tingkat keparahan kekeringan periode ulang

50 tahun akan menghasilkan kapasitas waduk yang besar. Sebaliknya,

dengan panjang data yang sama, dengan tingkat keparahan periode ulang

10 tahun misalnya, akan menghasilkan kapasitas waduk yang kecil. Oleh

karena itu, peranan indeks kekeringan dengan tingkat keparahan tertentu

sangat memegang peranan penting. Surplus tidak dapat mencerminkan

kondisi banjir yang sebenarnya dibandingkan dengan defisit yang lebih

mampu menggambarkan kondisi kekeringan.

B. Metode Theory of Run

Prinsip perhitungan Theory of Run mengikuti proses peubah tanggal

(univariate). Gambar 4 menunjukkan seri data, X (t,m), dari peubah hidrologi

dalam hal ini hujan bulan m dan tahun ke t. Dengan menentukan rata-rata

hujan bulanan jangka panjang sebagai nilai pemepatan, Y (m), seri data

terpotong dibeberapa tempat, sehingga menimbulkan peubah baru. Pengertian

baru yang timbul akibat perpotongan tersebut menghasilkan peubah seperti:

1. Bagian yang berada diatas garis normal (run positive), D (t,m), disebut

surplus.

(32)

18

a) Jumlah bagian yang mengalami defisit berkesinambungan disebut

jumlah kekeringan dengan satuan mm.

b) Lama atau durasi terjadi pada bagian defisit yang berkesinambungan

disebut durasi kekeringan dengan satuan bulan.

Setelah nilai pemepatan ditentukan, dari seri data hujan dapat dibentuk

dua seri data baru yaitu durasi kekeringan, Ln, dan jumlah kekeringan, Dn,

lihat gambar 4.

Jika Y (m) < X (t,m), maka D (t,m) = X (t,m) –Y (m)………..…...(1)

Jumlah kekeringan: Dn = ∑im=1 D t, m A t, m ……….………(2)

Durasi kekeringan: Ln = ∑i m=1 A t, m ………...…….…...……(3)

Dengan:

A (t,m) adalah indikator bernilai 0, jika Y (m) ≥ X (t,m)

A (t,m) adalah indikator bernilai 1, jika Y (m) < X (t,m)

A (t,m) adalah indikator defisit atau surplus

m adalah bulan ke m; t adalah tahun ke t

Y(m) adalah pemepatan bulan m

X (t,m) adalah seri data hujan bulanan bulan m tahun t

Dn adalah jumlah kekeringan dari bulan ke m sampai ke m+i (mm)

Ln adalah durasi kekeringan dari bulan ke m sampai ke m+i (bulan)

Gambar 4. Durasi dan Jumlah Defisit Pos Bojong (23) Pekalongan Sumber: Yevjevich et al(14)

Run sebagai ciri statistik dari suatu seri data, menggambarkan indeks

(33)

19

run negatif menunjukkan kekurangan air selama kekeringan. Durasi

kekeringan terpanjang maupun jumlah kekeringan terbesar selama T tahun

mencerminkan tingkat keparahan kekeringan.

Seri data baru dipilah-pilah menjadi bagian-bagian dengan panjang data

masing-masing T tahun, sesuai dengan periode ulangnya seperti 10 atau 20

tahun. Jika data yang tersedia 60 tahun, maka ada 6 buah nilai durasi

kekeringan terpanjang 10 tahunan dan 6 nilai jumlah kekeringan terbesar 10

tahunan. Nilai-nilai tersebut dihitung rata-ratannya dan merupakan indeks

kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang periode ulang T tahun dan

jumlah kekeringan terbesar periode ulang T tahun.

C. Korelasi

Untuk mendapatkan gambaran hubungan variabel dari stasiun yang diisi

dengan variabel stasiun pengisi untuk data asli maka dihitung koefisien

korelasinya. Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi

sebagai berikut :

Tabel 2. Interpretasi dari nilai korelasi

Sumber: Husaini Usman (Pengantar Statistika 2006)

Persamaan untuk estimasi koefisien korelasi data asli tertera pada Persamaan

(34)

20 Dimana :

m ,.... 2 , 1 , 0

 = nilai koefisien korelasi antar variabel data asli stasiun j yaitu

variabel stasiun yang diisi dengan masing- masing stasiun

pengisi yang besarnya -1 ≤ X,Y≤ 1

i m

i X

X0,... , = variabel data asli ke i dari stasiun 0 sampai stasiun m

Xm

= rata-rata dari seri data asli di stasiun m

Xm

X

0... = simpangan baku data asli di stasiun 0 sampai stasiun m

n = jumlah data

D. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah sekitar sungai yang melebar

sampai ke punggung bukit (gunung) yang merupakan daerah sumber air,

tempat semua curahan air hujan yang jatuh diatasnya mengalir di sungai.

(KBBI)

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang merupakan

satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi

menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan

di wilayah tersebut ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat

merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan perairan yang

masih terpengaruh aktivitas daratan. (UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air)

Jadi secara umum Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai

hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi

(punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan

unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada

(35)

21

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan perhitungan, diperlukan data-data sebagai

pendukung untuk analisis kekeringan. Teknik pengumpulan data yang

diperlukan terbagi atas empat jenis, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh seorang peneliti langsung

dari objeknya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Data diperoleh dengan

cara wawancara dengan Pelaksana Lapangan, Bapak Muhammad Dheny

Nugraha, di Unit Hidrologi dan Kualitas Air Hidrologi Balai Besar

Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian. Data berkaitan dengan

keadaan secara fisik Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung dalam setiap

keadaan, yaitu pada saat mengalami kekeringan, normal, dan banjir, dan

penggunaan air sungai Ciujung yang di sekitar sungai terdapat

permukiman warga, sawah, dan industri. Dan juga dilakukan wawancara

dengan Juru Bendung Pamarayan, Bapak Nendi di UNBAJA, berkaitan

dengan batasan debit air Sungai Ciujung, diperoleh data sebagai berikut.

Tabel 3. Nilai Batasan Debit

Sangat Kering < 3 m3/s

Kering 10 m3/s – 34 m3/s

Normal 35 m3/s – 749 m3/s

Banjir 750 m3/s 2500 m3/s

Sumber: Bapak Nendi (Juru Bendung Pamarayan)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh seorang peneliti secara

tidak langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain, baik lisan

(36)

22 dapatkan dari Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian

adalah sebagai berikut.

a) Data Curah Hujan

Dalam analisis kekeringan menggunakan metode Theory of Run untuk

suatu lokasi, dibutuhkan data curah hujan bulanan dengan periode

waktu yang cukup panjang. Dalam studi ini di gunakan data curah

hujan bulanan tahun 1998-2014 di 10 stasiun di Daerah Aliran Sungai

(DAS) Ciujung.

b) Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung

Peta yang diperlukan dalam analisis kekeringan di DAS Ciujung

adalah peta aliran sungai dan peta penakar hujan.

3. Data Observasi

Data observasi adalah data pengamatan atau penelusuran lapangan

(walk trough) untuk mendapatkan keterangan yang ada di lokasi

penelitian. Data tersebut bisa berbentuk kuisioner atau foto di lapangan.

Proses observasi yang dilakukan penulis menunjukkan muka air normal di

bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Sedangkan dokumentasi keadaan

sungai pada saat mengalami kekeringan di bagian hulu, tengah, dan hilir di

induk sungai dan di anak sungai diambil dari Balai Besar Wilayah Sungai

Cidanau-Ciujung-Cidurian.

Bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung di ambil di

Bojongmanik. Pada saat terjadi kekeringan muka air sungai turun. Foto

dokumentasi pada saat terjadi kekeringan ditunjukkan seperti pada Gambar

5 di bawah ini. Debit air pada saat terjadi kekeringan di Bojongmanik

(37)

23 Gambar 5. Bagian Hulu Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan

Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)

Adapun dalam kondisi muka air normal di Daerah Aliran Sungai

(DAS) Ciujung pada bagian hulu diperlihatkan seperti pada Gambar 6

berikut ini. Debit normal di Bojongmanik adalah 21,74 m3/s.

Gambar 6. Bagian Hulu Sungai Ciujung pada saat Muka Air Normal Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)

Bagian tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung di ambil di

(38)

24 sungai turun dengan debit 5,67 m3/s. Foto dokumentasi pada saat terjadi

kekeringan ditunjukkan seperti pada Gambar 7 di bawah ini.

Gambar 7. Bagian Tengah Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)

Adapun dalam kondisi muka air normal di Daerah Aliran Sungai

(DAS) Ciujung pada bagian tengah diperlihatkan seperti pada Gambar 8

berikut ini. Debit normal di Rangasbitung adalah 56,66 m3/s.

(39)

25 Bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung di ambil di

Kragilan. Pada saat terjadi kekeringan muka air sungai turun dengan debit

3,68 m3/s. Foto dokumentasi pada saat terjadi kekeringan ditunjukkan

seperti pada Gambar 9 di bawah ini.

Gambar 9. Bagian Hilir Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)

Adapun dalam kondisi muka air normal di Daerah Aliran Sungai

(DAS) Ciujung pada bagian hilir diperlihatkan seperti pada Gambar 10

berikut ini. Debit normal di Kragilan adalah 76,86 m3/s.

(40)

26 Pada saat kekeringan melanda DAS Ciujung, muka air sungai utama

dalam DAS ini menurun dari tinggi normalnya, tidak sampai kering.

Tetapi anak Sungai Ciujung, yang terletak di Leuwidamar kering. Debit air

di Leuwidamar pada saat kekeringan adalah 0,11 m3/s.

Gambar 11. Bagian Tengah Anak Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan

Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)

4. Data Literatur

Data literatur adalah buku-buku bacaan, tulisan mengenai suatu bidang

ilmu, jurnal dan pedoman sebagai pendukung penelitian. (Kamus Besar

Bahasa Indonesia)

B. Analisis Hidrologi

Dapat dikatakan valid jika memenuhi beberapa kriteria (Soemarto,

1987), yaitu bahwa data itu berada dalam range, tidak mempunyai trend,

homogen dan bersifat acak. Pada studi ini analisis hidrologi yang digunakan

adalah:

1. Pengisian data kosong

(41)

27 Analisis hidrologi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data

hujan yang layak untuk digunakan.

C. Perhitungan Durasi Kekeringan dan Jumlah Kekeringan

Langkah analisis kekeringan menggunakan theory of run yang

dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Analisis Parameter Statistik Curah Hujan, dengan menghitung nilai

rata-rata, simpangan baku, koefisien kepencengan dari masing-masing bulan

selama 17 tahun.

2. Menghitung nilai surplus dan defisit dengan mengurangkan data asli

tiap-tiap bulan setiap-tiap tahunnya dengan rata-rata dari seluruh data pada bulan

tersebut seperti pada persamaan (1) dan (2).

3. Melakukan perhitungan durasi kekeringan dengan menggunakan

persamaan (3). Bila perhitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai

nol (0) dan negative akan diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif

yang berurutan, maka jumlahkan nilai satu tersebut sampai di pisahkan

kembali oleh nilai nol, untuk kemudian menghitung dari awal lagi.

Langkah ini dilakukan dari data tahun pertama berurutan terus samapi data

tahun terakhir.

4. Melakukan perhitungan jumlah kekeringan dengan persamaan (3). Proses

ini hampir sama dengan cara menghitung nilai durasi kekeringan. Jika

durasi kekeringan berurutan dan lebih dari satu maka pada bulan

selanjutnya merupakan nilai kumulatifnya, demikian pula halnya dengan

jumlah kekeringan. Jumalh defisitnya akan dikumulatifkan denagn acuan

apakah nilainya surplus atau defisit. Jika bernilai positif maka diberi nilai

nol (0), jika bernilai negatif maka di beri nilai sesuai dengan nilai tersebut.

Ketika terjadi nilai negatif yang berurutan maka nilainya dikumulatifkan di

bulan selanjutnya dan berhenti ketika bertemu nilai positif atau nol.

5. Klasifikasi tingkat kekeringan bertujuan untuk mengetahui tingkat

kekeringan yang terjadi di setiap stasiun hujan. Klasifikasi dibagi menjadi

(42)

28 Tabel 4. Klasifikasi Tingkat kekeringan

Curah Hujan dari Kondisi Normal Tingkat Kekeringan

P = 70-85% Kering

P = 50-70% Sangat Kering

P = <50% Amat Sangat Kering

Sumber: Sonjaya (2007:2)

Untuk klasifikasi kekeringan diperlukan juga menghitung jumlah curah

hujan normal. Curah hujan normal adalah nilai rata-rata hujan suatu bulan

di seluruh tahun pengamatan. Selain curah hujan normal dihitung juga

jumlah curah hujan bulan-bulan kering, dilakukan dengan cara

menjumlahkan curah hujan bulan-bulan yang berurutan. Jumlah curah

hujan bulan-bulan kering dibandingkan dengan jumlah curah hujan

normal, maka didapatkan klasifikasi tingkat kekeringan.

6. Setelah perhitungan dilakukan pada seluruh stasiun hujan selama 17 tahun,

dilakukan rekapitulasi untuk nilai durasi kekeringan, jumlah kekeringan

dan kriteria kekeringan.

(43)

29

D. Bagan AlirMetodologi Penelitian

Agar penulisan sistematis (urut) dan terstruktur, maka penulisan seperti

diperlihatkan pada Gambar 12 di bawah ini.

Gambar 12. Bagan Alir(Flow Chart) Metodologi Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote Theory of Run Studi Kasus DAS Ciujung

Sumber: Hasil Analisis, 2015

Mulai

Pengumpulan Data dan Literatur: 1. Data Curah Hujan dan Peta DAS 2. Buku, Jurnal, dan Artikel yang

Berkaitan

3. Peraturan yang Berkaitan

Data Asli Curah Hujan DAS Ciujung

Analisis Kekeringan: 1. Pengisian Kekosongan Data Hujan 2. Perhitungan Korelasi

3. Perhitungan Dengan Metode Theory of

Run

Hasil Analisis

Kesimpulan

Selesai YA

(44)

30

E. Jadwal Penelitian

Adapun jadwal penelitian yang dilakukan seperti diperlihatkan pada Gambar 13 dibawah ini.

Gambar 13. Jadwal Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote Theory of Run Studi Kasus DAS Ciujung Sumber: Hasil Analisis, 2015

F. Hipotesa Sementara

Analisis perkiraan tingkat kekeringan dan kebasahan di DAS Ciujung adalah Agak kering sampai dengan Sangat kering, dengan

(45)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengisian Data Kosong

Terkadang stasiun hujan tidak dapat bekerja dengan baik, sehingga data

curah hujan kurang lengkap. Dengan cara apapun data yang hilang (rusak, tidak

terekam atau sangat meragukan) tidak dapat ditemukan kembali dengan tepat.

Data kosong adalah data yang dalam satu tahun terdapat satu atau lebih data

bulanan yang tidak tersedia. Namun data kosong tersebut dapat di bangkitkan

kembali dengan cara pengisian data kosong yang di bantu dengan data yang

tersedia di stasiun sekitarnya.

Persyaratan yang diperlukan untuk mengisi data hujan bulanan adalah

sebagai berikut:

1. Data yang digunakan harus lolos penyaringan

2. Panjang pencatatan data yang tersedia antara stasiun hujan yang akan diisi

dengan stasiun hujan pengisi harus sama

3. Jumlah stasiun pengisi minimal 3 stasiun

4. Jarak antara stasiun hujan pengisi dengan stasiun hujan yang akan diisi

maksimal 60 km dan sebaiknya masih dalam satu daerah aliran sungai

5. Pengisian data hujan dapat dilakukan apabila data kosong tidak lebih besar

25% dari hujan yang tersedia.

Ada tiga metode pengisian data kosong, diantaranya:

1. Metode Inverse Square Distance/Metode Reciprocal

2. Metode Normal Ratio Method

3. Metode Kombinasi

Dalam analisis ini, pengisian kekosongan data hujan menggunakan

Metode Reciprocal. Persamaan untuk Metode Reciprocal tertera pada

(46)

32

Berikut adalah contoh perhitungan pengisian data kosong di stasiun

Ragas Hilir pada bulan April tahun 1999, dengan 3 stasiun pengisi, yaitu

stasiun Pamarayan, Pipitan, dan Cadasari.

Tinggi hujan yang akan dicari : Stasiun Ragas Hilir

Stasiun Pengisi : Stasiun Pamarayan, Pipitan, dan Cadasari

Jarak (km) :

Analisis yang digunakan dalam analisis kerapatan jaringan stasiun

pengukuran hujan ini adalah uji kepanggahan (consistency), karena dalam

analisis ini tidak menggunakan data ekstrem curah hujan baik maksimum

maupun minimum. Pengujian kepanggahan data menggunakan perhitungan

korelasi dan kurva massa ganda (double mass curve) untuk panjang data 17

tahun.

Ke Pamarayan Pipitan Cadasari

(47)

33

1. Korelasi

Analisis korelasi bertujuan untuk mengukur kekuatan asosiasi

(hubungan) linear antara dua variable. Korelasi tidak menunjukkan

hubungan fungsional atau dengan kata lain, analisis korelasi tidak

membedakan antara variabel dependen (terikat) dengan variabel

independen (bebas)

Analisis kekeringan dilakukan di stasiun-stasiun hujan di DAS

Ciujung yang memenuhi nilai koefisien korelasi cukup (0,61 – 0,80).

Perhitungan koefisien korelasi menggunakan persamaan (4). Berikut hasil

perhitungan koefisien korelasi untuk 10 stasiun di DAS Ciujung.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Korelasi 10 Stasiun DAS Ciujung

Sumber: Analisis Penulis

Dari hasil perhitungan di atas, tidak semua stasiun hujan memenuhi

nilai koefisien korelasi yang cukup. Stasiun yang memiliki nilai koefisien

korelasi yang kecil tidak di gunakan dalam menganalisis kekeringan di

DAS Ciujung. Maka dari 10 stasiun dipilih 6 stasiun yang digunakan untuk

perhitungan.

Tabel 6. Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Korelasi 6 Stasiun DAS Ciujung

Stasiun Bojongmanik Pamarayan Pipitan Cibeureum Pasir

Ona Sampang Rata-Rata

Bojongmanik 1.000 1.000

Pamarayan 0.495 1.000 0.748

Pipitan 0.444 0.693 1.000 0.712

Cibeureum 0.647 0.605 0.568 1.000 0.705

Stasiun Bjngmanik Ciboleger Ragas

Hilir Pmrayan Pipitan Cadasari Cibeureum Ciminyak

Pasir

Ona Sampang

Rata-Rata

Bojongmanik 1 1.000

Ciboleger 0.397 1 0.698

Ragas Hilir 0.368 0.102 1 0.490

Pamarayan 0.495 0.262 0.509 1 0.567

Pipitan 0.444 0.210 0.576 0.693 1 0.585

Cadasari 0.330 0.114 0.472 0.573 0.545 1 0.506

Cibeureum 0.647 0.374 0.415 0.605 0.568 0.482 1 0.584

Ciminyak 0.365 0.148 0.307 0.484 0.442 0.337 0.468 1 0.444

Pasir Ona 0.491 0.286 0.452 0.666 0.534 0.402 0.643 0.423 1 0.544

Sampang 0.629 0.311 0.446 0.633 0.567 0.443 0.792 0.546 0.612 1 0.598

(48)

34

Pasir Ona 0.491 0.666 0.534 0.643 1.000 0.667

Sampang 0.629 0.633 0.567 0.792 0.612 1.000 0.705

Rata-Rata 0.618 0.719 0.667 0.811 0.806 1.000

Sumber: Analisis Penulis

Dari hasil rata-rata nilai koefisien korelasi di 6 stasiun memenuhi

syarat. Maka analisis kekeringan di DAS Ciujung menggunakan 6 stasiun

hujan, diantaranya Stasiun Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum,

Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy.

2. Kurva Massa Ganda (Double Mass Curve)

Analisis kurva massa ganda sama halnya dengan analisis regresi.

Analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel

atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen

dengan variabel independen.

Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai

R2 adalah antara 0 dan 1. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan

variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel-variabel dependen amat

terbatas. Nilai R2 yang mendekati 1 berarti variabel-variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi

variasi variabel dependen.

(49)

35 Hubungan Stasiun Bojongmanik dengan 5 stasiun lainnya memiliki

nilai R2 = 0,9962. Ini berarti 5 stasiun lain sangat mendukung dalam

analisis di Stasiun Bojongmanik. Begitu pula dengan 5 stasiun lainnya,

masing-masing memiliki nilai R2 diatas 0,99, yang di lampirkan pada

lampiran 5.

Uji kepanggahan data yang dilakukan dengan perhitungan korelasi dan

kurva massa ganda yang telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa 6 stasiun

hujan yang ada di DAS Ciujung yang diantaranya adalah Bojongmanik,

Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy dapat

digunakan dalam analisis kekeringan dengan menggunakan Theory of Run.

C. Analisis Kekeringan dengan Theory of Run

Kekeringan adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi

normal yang terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih

yang akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan air

yang dicanangkan.

1. Indeks Kekeringan

Indeks kekeringan (durasi kekeringan dan jumlah kekeringan) yang

dihasilkan dapat diterapkan dalam:

a) Perencanaan bangunan air seperti menentukan kapasitas tampungan

waduk;

b) Pengoperasian bangunan air seperti operasi bangunan irigasi di musim

kemarau;

c) Penanggulangan dan pengurangan dampak kekeringan, meliputi

penyusunan strategi yang bersifat reaktif dan proaktif.

Tingkat keparahan kekeringan yang dinyatakan oleh suatu nilai

tunggal dari durasi kekeringan (dalam bulan) dan jumlah kekeringan (dalam

mm). Untuk menggambarkan besarnya tingkat keparahan kekeringan

digunakan periode ulang dalam satuan tahun.

Kandungan keparahan kekeringan dalam suatu seri data hujan

(50)

36 umumnya seri data debit diperoleh dari model hubungan hujan-limpasan

karena panjang data debit sangat pendek dibandingkan data hujan, bahkan

kadang-kadang sulit diperoleh pos duga air di lokasi terpilih. Seri data debit

yang memperhitungkan keparahan kekeringan dan digunakan sebagai input

bagi model simulasi waduk akan menghasilkan besaran tampungan waduk

yang cukup handal, dalam arti mampu menanggulangi musim-musim kering

dengan periode ulang tertentu. Operasi bangunan irigasi yang berdasarkan

model neraca air (water balance) yang memperhatikan kandungan

keparahan kekeringan dari debit air sungainya akan menghasilkan

pembagian golongan dan pengaturan air yang mampu mengantisipasi

kekeringan

2. Data Hujan Bulanan Hasil Pengamatan

Data hujan yang digunakan untuk perhitungan indeks kekeringan

adalah data hujan bulanan dengan panjang 17 tahun untuk masing-masing

stasiun hujan. Perhitungan parameter statistik hujan bulanan pada 6 stasiun

hujan meliputi nilai Mean, Standar Deviasi, Skewness, dan Kurtosis.

Perhitungan nilai Mean, Standar Deviasi, Skewness, dan Kurtosis hujan

bulan Januari di Stasiun Bojongmanik seperti dibawah ini dan ditabulasi

pada Tabel 7.

Tabel 7. Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (mm)

No Thn Bln JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES Total 1 1998 299 221 294 365 323 42 233 217 63 219 269 295 2840 2 1999 352 437 174 220 128 81 157 134 134 224 243 333 2617 3 2000 321 289 332 105 109 200 150 53 128 131 175 102 2095 4 2001 240 316 129 152 241 118 239 102 195 52 75 252 2111 5 2002 227 329 111 302 64 16 20 14 15 12 80 150 1340

6 2003 397 95 18 7 12 24 26 20 32 62 64 73 829

(51)

37

15 2012 664 240 91 118 16 106 22 9 52 153 375 185 2031 16 2013 829 422 121 303 221 139 317 176 101 58 226 505 3419 17 2014 418 283 182 170 302 94 72 162 75 122 146 328 2355

18 n 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 204

19 Mean 400 286 244 180 181 98 167 95 90 157 218 286 2403 20 St. Dev 161 138.29 185 103.5 106.8 72.98 145.9 87.252 66.063 96.349 144.2 144.57 1452 21 Skewness 1.322 1.0064 1.248 0.045 -0.22 1.712 1.054 0.8481 0.6691 0.6582 1.8776 0.5903 11 22 Kurtosis 2.124 1.7967 1.612 -0.92 -1.33 3.871 1.419 -0.119 -0.628 0.0835 4.8926 -0.138 13 Sumber: Analisis Penulis

Berikut contoh perhitungan Standar Deviasi, Skewness dan Kurtosis bulan

Januari di Stasiun Bojongmanik.

a) Standar Deviasi

s =

n∑ xi

2-( x 1)2 n i=1 n

i=1

n (n-1)

=

17 . 3139037-46312380

17 (17-1)

= 161

b) Skewness

Cs = n ∑ xi−X

n−1 n− s

= 17 . 78170273

(17-1) (17-2) 1613

= 1,322

c) Kortosis

Ck =

[

n (n-1)

n-1 n-2 (n-3)

∑ xi-X 4 s4

]

-

[

3 (n-1)2 n-2 (n-3)

]

=

[

17 (17-1)

17-1 17-2 (17-3)

42660834993 1614

]

-

[

3 (17-1)2 17-2 (17-3)

]

= 2,124

3. Nilai Surplus dan Defisit dari Run

Nilai surplus dan defisit diperoleh dengan mengurangkan data asli

(52)

38 bulanan tersebut dengan menggunakan Persamaan (1). Perhitungan nilai

surplus dan deficit dari Run hujan bulanan stasiun Bojongmanik tahun 1998

seperti di bawah ini dan ditabulasi pada Tabel 8.

 Bulan Januari

Tabel 8. Nilai Surplus dan Defisit Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (mm)

No Thn Bln JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

Gambar 15. Hujan Bulanan dan Hujan Rata-Rata Bulanan di Stasiun Bojongmanik Sumber: Analisis Penulis

Grafik Hujan Surplus dan Defisit Stasiun Bojongmanik Tahun 1998

(53)

39 Grafik di atas merupakan grafik keadaan surplus dan defisit di

stasiun Bojongmanik. Terlihat di bulan Januari dan bulan Februari tinggi

hujan bulanan, yaitu 299 mm dan 221 mm terletak di bawah hujan rata-rata

bulanan yang memiliki nilai 400 mm dan 286 mm, ini artinya pada bulan

Januari dan bulan Februari terjadi defisit secara berurutan. Pada bulan Maret

sampai dengan bulan Mei tinggi hujan bulanan, yaitu 294 mm, 365 mm, dan

323 mm di atas hujan rata-rata bulanan yang memiliki nilai 244 mm,

180mm, dan 181 mm, yang berarti nilai hujan yang terjadi surplus. Pada

bulan Juni dan September tinggi hujan bulanan kembali berada di bawah

hujan rata-rata bulanan, yaitu 42 mm dan 63 mm, namun nilai defisitnya

tidak terlalu besar. Bila dikumulatifkan, ada 4 bulan yang tinggi hujannya

di bawah rata-rata. Nilai inilah yang menjadi durasi kurangnya hujan selama

1 tahun pada tahun 1998 di stasiun Bojongmanik. Pada grafik 1 lampiran 6

halaman 5 menggambarkan keadaan surplus dan defisit sepanjang 17 tahun

di Stasiun Bojongmanik yang memperlihatkan durasi kekeringan tiap

tahunnya dan durasi maksimum pada tahun tersebut.

4. Durasi Kekeringan

Perhitungan durasi kekeringan, menggunakan Persamaan (3). Bila

perhitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai nol (0) dan negatif

diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif yang berurutan, maka

jumlahkan nilai satu (1) tersebut sampai dipisahkan kembali oleh nilai nol

(0), untuk kemudian menghitung dari awal lagi. Langkah ini dilakukan dari

data tahun pertama berurutan sampai data tahun terakhir. Perhitungan nilai

durasi kekeringan hujan bulanan pada stasiun Bojongmanik tahun 1998

seperti di bawah ini dan di tabulasikan pada Tabel 9.

 Bulan Januari

Karena nilai Run adalah -101 yang berarti defisit maka diberi nilai 1

 Bulan Februari

Karena nilai Run adalah -65 yang berarti defisit dan berurutan dengan

(54)

40

 Bulan Maret

Karena nilai Run adalah 50 yang berarti surplus maka diberi nilai 0

Tabel 9. Durasi Kekeringan Kumulatif Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (bulan)

No Thn Bln JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

1 1998 1 2 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0

2 1999 1 0 1 0 1 2 3 0 0 0 0 0

3 2000 1 0 0 1 2 0 1 2 0 1 2 3

4 2001 4 0 1 2 0 0 0 0 0 1 2 3

5 2002 4 0 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8

6 2003 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

7 2004 21 0 0 0 1 2 0 0 0 0 1 0

8 2005 1 2 3 4 5 0 0 1 0 1 0 1

9 2006 0 1 0 0 0 1 2 3 4 5 6 7

10 2007 0 1 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0

11 2008 0 0 0 1 2 3 4 0 1 0 0 1

12 2009 0 1 2 3 0 1 2 3 4 5 0 1

13 2010 2 3 4 5 0 1 0 0 0 0 1 0

14 2011 1 0 0 0 0 0 0 1 2 0 1 0

15 2012 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1

16 2013 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0

17 2014 0 1 2 3 0 1 2 0 1 2 3 0

Sumber: Analisis Penulis

Setelah dihitung dan diberi nilai 1 (satu) atau 0 (nol) maka

didapatkan durasi terpanjang disetiap tahunnya dimana durasi terpanjang

tersebut digunakan untuk perhitungan nilai maksimum durasi kekeringan

selama kurun waktu T. Diperlihatkan pada pertengahan tahun 2002 sampai

awal tahun 2004 secara berurutan terjadi defisit hujan, yang artinya durasi

hujan maksimum di Stasiun Bojongmanik adalah 21 bulan.

Nilai maksimum durasi kekeringan selama kurun waktu T (2 tahun,

5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun) dihitung berdasarkan periode

waktu (bulanan) untuk masing-masing tahun selama 2 tahun, 5 tahun, 10

tahun, 15 tahun, dan 20 tahun kemudian dirata-ratakan, dan menghasilkan

durasi kekeringan untuk tiap periode tersebut. Hasilnya ditabulasikan pada

(55)

41 Tabel 10. Durasi Kekeringan Terpanjang Stasiun Bojongmanik (bulan)

No Thn Bln Max T.2 th T.5 th T.10 th T.15 th T.20 th

Pada periode ulang 10 tahun dan 15 tahun didapatkan hasil periode

ulang 10 tahun, yaitu 13 bulan, lebih besar dari periode ulang 15 tahun yang

hasilnya 12 bulan. Pada umumnya periode ulang yang lebih besar

menghasilkan nilai yang lebih besar juga. Untuk kasus ini dikarenakan

panjang data yang dimiliki 17 tahun sehingga data yang di rata-ratakan

untuk mengetahui periode ulangnya kurang dan menghasilkan data yang

ditabulasikan pada Tabel 10.

5. Jumlah Kekeringan Kumulatif

Menghitung jumlah defisit atau jumlah kekeringan hampir sama

dengan cara menghitung nilai durasi kekeringan. Jika durasi kekeringan

berurutan dan lebih dari satu maka pada bulan selanjutnya merupakan nilai

kumulatifnya, demikian pula halnya dengan jumlah kekeringan. Jumlah

defisitnya yang akan dikumulatifkan.

Bila perhitungan pada Tabel 8 yang dihasilkan adalah positif diberi

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote
Gambar 2. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung
Tabel 1. Tabel Pengelompokan Hasil Tinjauan Pustaka Terhadap Penelitian Sebelumnya
Gambar 4. Durasi dan Jumlah Defisit Pos Bojong (23) Pekalongan Sumber: Yevjevich et al(14)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil nilai indeks kekeringan Palmer setiap bulan pada seluruh tahun, menunjukkan sebaran yang hampir merata dengan nilai indeks rata-rata dari 40 stasiun di provinsi Banten

Data profil sungai dan data curah hujan digunakan untuk analisa debit banjir menurut periode kala ulang yang diinput ke dalam software HEC-RAS untuk menganalisa

Tanpa pengaruh pasang surut Setelah dilakukan simulasi dengan hujan kala ulang 5, 10 dan 20 tahun tanpa dipengaruhi pasang surut diperoleh bahwa saluran drainase

Hasil analisa juga menunjukkan bahwa untuk kejadian hujan dengan kala ulang 5 tahun serta penggunaan lahan tahun 2010, maka diperoleh prosentase saluran drainase yang

Pada perhitungan uji Chi-kuadrat dan Smirnov- Kolmogorov didapatkan bahwa distribusi yang terbaik adalah distribusi Gumbel, maka untuk menentukan atau menentukan kala ulang

kekeringan terparah selama 10 tahun pengamatan dengan kriteria amat sangat kering terbanyak untuk curah hujan bulanan adalah stasiun Gumarang dengan 4 kali

Uji kepanggahan data yang dilakukan dengan perhitungan korelasi dan kurva massa ganda menunjukkan bahwa hanya 8 stasiun hujan yang ada di Sub DAS Bengawan Solo Hulu

Dapat disimpulkan bahwa curah hujan dengan kala ulang 5 tahun akan terjadi dengan besaran yang sama atau lebih besar dari curah hujan tersebut dengan kemungkinan sebesar 20% dari tahun