ANALISIS KEKERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN
METODE
THEORY OF RUN
STUDI KASUS DAS CIUJUNG
SKRIPSI
SULASTRI OKTAVIANI
3336111250
JURUSAN TEKNIK SIPIL
–
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
BANTEN
ANALISIS KEKERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN
METODE
THEORY OF RUN
STUDI KASUS DAS CIUJUNG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana S-1 Jurusan Teknik Sipil
SULASTRI OKTAVIANI
3336111250
JURUSAN TEKNIK SIPIL
–
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
BANTEN
v
PRAKATA
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena atas
kasih dan karunia-Nya Laporan Skripsi dengan judul “AnalisisKekeringan dengan
Menggunakan Metode Theory of Run (Studi Kasus: DAS Ciujung)” dapat
terselesaikan dengan baik. Penulisan Skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Skripsi ini secara garis besar berisi tentang tingkat kekeringan yang terjadi
di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung, dampak kekeringan tersebut, dan
langkah-langkah preventif untuk mencengah kekeringan.
Laporan Skripsi ini dapat Penulis selesaikan dengan baik atas bantuan dan
kerjasama dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak M. Fakhruriza Pradana, ST., MT dan Bapak Rama Indera Kusuma ST.,
MT selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Ibu Restu Wigati, ST,. MEng dan Bapak Soedarsono ST,. MMT selaku Dosen
Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dorongan sehingga
Skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Ibu Irma Suryani, ST., MSc selaku Koordinator Skripsi Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan Dosen Penguji II
yang telah memberikan masukan serta kritik yang membangun untuk
menyempurnakan penulisan.
4. Ibu Rindu Twidi Bethari, ST., MT selaku Dosen Penguji I yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan memberikan masukan-masukan yang
membantu Penulis dalam penyusunan Skripsi ini.
5. Pihak Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian yang telah
membantu dalam memberikan wawasan dan data yang Penulis butuhkan.
6. Bapak, Mama, Abang dan Kakak yang telah memberikan doa, semangat,
vi
7. Seluruh mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa, khususnya angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan
kepada Penulis.
Penulis menyadari dalam Skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, Penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan Laporan Skripsi ini.
Harapan Penulis semoga Laporan Skripsi ini bermanfaat bagi rekan-rekan
Mahasiswa/i Teknik Sipil serta bagi semua pihak yang membacanya. Atas
perhatiannya Penulis mengucapkan terimakasih.
Cilegon, Oktober 2015
Karena TUHANlah yang menberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.
Amsal 2:6
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan , untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
Yeremia 29:11
Karya Skripsi ini Kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat dan kasih-Nya,
memimpin saya dalam penyelesaian Skripsi ini. Kepada Keluarga saya,
M. Sihombing, S. Siallagan, Ari Tagor Sihombing, dan Yanna Rotua
Sihombing yang telah mendukung saya dalam doa, materi dan spirit. Kepada
Henrick PM dan seluruh Teman-teman seperjuangan, Civil Eleven, yang
selalu ada untuk membantu dan menyemangati saya dalam masa-masa kuliah,
khususnya dalam pengerjaan Skripsi ini.
viii
Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Metode Theory of Run
Studi Kasus DAS Ciujung
Sulastri Oktaviani
INTISARI
Letak geografis diantara dua benua dan dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Kekeringan merupakan parameter yang seharusnya dapat diukur seperti halnya banjir, terutama kekeringan meteorologi yang sepenuhnya berasal dari hujan.
Studi ini bertujuan untuk melakukan analisis untuk mengetahui tingkat kekeringan, durasi kekeringan dan pola kekeringan yang dapat terjadi di suatu daerah, sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh. Data yang digunakan adalah data hujan bulanan selama 17 tahun di 6 stasiun hujan di DAS Ciujung, diantaranya stasiun Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy. Metode yang di gunakan
adalah Theory of Run, dengan perhitungan indeks kekeringan berupa durasi
kekeringan terpanjang dan jumlah kekeringan terbesar dengan periode ulang tertentu di suatu wilayah.
Hasil penelitian menunjukkan dari keenam stasiun hujan, Stasiun Bojongmanik memiliki durasi dan defisit hujan yang paling besar, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan defisit 1574 mm, sedangkan stasiun Cibeureum memiliki durasi dan defisit hujan yang paling kecil, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan defisit 468 mm. Dan dari hasil perhitungan klasifikasi tingkat kekeringan dapat disimpulkan bahwa DAS Ciujung memiliki kondisi normal basah.
ix
Drought Analysis Using Theory of Run Method
Case Study Ciujung Watershed
Sulastri Oktaviani
ABSTRACT
Geographical location between two continents and two oceans and also in the equator line is a climatological factor that cause floods and droughts in Indonesia. Drought is a measurable parameter, as well as flood, especially meteorological drought that entirely caused by rain.
The aim of this study is to conduct an analysis to determine drought’s level,
duration, and pattern that could possibly happen in an area, so it can be used as an early warning of an upcoming and worse drought. The analyzed data is the data of rain frequency in a month for 17 years in 6 rain station in Ciunjung Watershed, i.e. Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy. The used method is Theory of Run, with drought index calculation will be longest
drought’s duration and highest drought’s number with a specific repeated period in an area.
The results showed that, among all of the sixth rain station, Station Bojongmanik duration and deficit rainfall is the greatest. It has deficit of 1574 mm for about 20 years. In other side, Station Cibeureum has the smallest duration and deficit rainfall. It has deficit of 468 mm for about 20 years. From the calculation of the classification level of drought, it is concluded that Ciujung Watershed have normal wet conditions.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
PRAKATA ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vii
INTISARI ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 2
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 3
F. Batasan Masalah ... 5
G. Keaslian Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
III. LANDASAN TEORI A. Kekeringan ... 13
1. Definisi Kekeringan ... 13
2. Jenis-Jenis Kekeringan ... 14
3. Analisis Kekeringan ... 15
4. Kekeringan dan Banjir ... 16
xi
B. Metode Theory of Run ... 17
C. Korelasi ... 19
IV. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 21
B. Analisis Hidrologi ... 26
C. Perhitungan Durasi Kekeringan dan Jumlah Kekeringan ... 27
D. Bagan AlirMetodologi Penelitian ... 29
E. Jadwal Penelitian ... 30
F. Hipotesa Sementara ... 30
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengisian Data Kosong ... 31
B. Uji Kepanggahan ... 32
1. Korelasi ... 33
2. Kurva Massa Ganda (Double Mass Curve) ... 34
C. Analisis Kekeringan dengan Theory of Run ... 35
1. Indeks Kekeringan ... 35
2. Parameter Statistik Data Hujan ... 36
3. Nilai Surplus dan Defisit dari Run ... 37
4. Durasi Kekeringan ... 39
5. Jumlah Kekeringan Kumulatif ... 41
6. Klasifikasi Tingkat Kekeringan ... 44
D. Faktor-Faktor Kekeringan dan Langkah-Langkah Preventif untuk Mencegahnya ... 48
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 54
B. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Pengelompokan Hasil Tinjauan Pustaka Terhadap Penelitian
Sebelumnya ... 9
Tabel 2 Interpretasi Dari Nilai Korelasi ... 19
Tabel 3 Nilai Batasan Debit ... 21
Tabel 4 Klasifikasi Tingkat Kekeringan ... 28
Tabel 5 Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Korelasi 10 Stasiun DAS Ciujung ... 33
Tabel 6 Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Korelasi 6 Stasiun DAS Ciujung ... 33
Tabel 7 Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik ... 36
Tabel 8 Nilai Surplus dan Defisit Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik ... 38
Tabel 9 Durasi Kekeringan Kumulatif Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik ... 40
Tabel 10 Durasi Kekeringan Terpanjang Stasiun Bojongmanik... 41
Tabel 11 Jumlah Kekeringan Kumulatif Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik ... 42
Tabel 12 Jumlah Kekeringan Terpanjang Stasiun Bojongmanik ... 43
Tabel 13 Klasifikasi Tingkat Kekeringan Bulan Januari Stasiun Bojongmanik ... 45
Tabel 14 Klasifikasi Tingkat Kekeringan Stasiun Bojongmanik ... 45
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian ... 4
Gambar 2 Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung... 5
Gambar 3 Posisi Penelitian Terhadap Penelitian Sebelumnya ... 12
Gambar 4 Durasi dan Jumlah Defisit Pos Bojong (23) Pekalongan ... 18
Gambar 5 Bagian Hulu Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan ... 23
Gambar 6 Bagian Hulu Sungai Ciujung pada saat Muka Air Normal ... 23
Gambar 7 Bagian Tengah Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan ... 24
Gambar 8 Bagian Tengah Sungai Ciujung pada saat Muka Air Normal ... 24
Gambar 9 Bagian Hilir Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan ... 25
Gambar 10 Bagian Hilir Sungai Ciujung pada saat Muka Air Normal ... 25
Gambar 11 Bagian Tengah Anak Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan ... 26
Gambar 12 Bagan Alir(Flow Chart) Metodologi Penelitian Analisis Kekeringandengan Menggunakan Medote Theory of Run Studi Kasus DAS Ciujung ... 29
Gambar 13 Jadwal Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote Theory of Run Studi Kasus DAS Ciujung ... 30
Gambar 14 Kurva Hubungan Antara Stasiun Bojongmanik dengan 5 Stasiun lain ... 34
Gambar 15 Hujan Bulanan dan Hujan Rata-Rata Bulanan di Stasiun Bojongmanik ... 38
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung
2. Data Asli Curah Hujan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung
3. Pengisian Data Kosong
4. Perhitungan Korelasi
5. Perhitungan Kurva Massa Ganda (Double Mass Curve)
6. Analisis Kekeringan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung dengan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Letak geografis diantara dua benua dan dua samudra serta terletak di
sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan
kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada
pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif
terhadap anomali iklim El Nino Southern Oscillation (ENSO). ENSO
menyebabkan terjadinya kekeringan apabila kondisi suhu permukaan laut di
Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El Nino). Faktor
penyebab kekeringan adalah adanya penyimpangan iklim, adanya gangguan
keseimbangan hidrologis dan kekeringan agronomis. (BMKG, 2011)
Kekeringan merupakan parameter yang seharusnya dapat diukur seperti
halnya banjir, terutama kekeringan meteorologi yang sepenuhnya berasal dari
hujan. Pada saat kekeringan melanda suatu wilayah, seringkali kurang
disadari oleh karena dampaknya belum dirasakan. Hal ini terjadi akibat
kurangnya informasi mengenai awal, akhir dan besarnya kekeringan yang
seharusnya dapat dihitung dan dijadikan dasar perkiraan bagi dampak yang
mungkin terjadi sehingga upaya mitigasi dapat dilakukan secepat mungkin
jauh sebelum dampak terjadi. Ada kecenderungan bahwa kekeringan lebih
sering terjadi dan intensitas meningkat serta durasinya bertambah panjang,
sesuai kajian dari Adidarma dkk (2009) dan Puslitbang SDA (2012).
Selain banjir, masalah yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ciujung adalah kekeringan. Kekeringan parah terakhir yang terjadi di DAS
Ciujung dan DAS sekitarnya, yaitu DAS Cidanau dan DAS Cidurian adalah
tahun 2012. Bencana kekeringan ini mengakibatkan keringnya saluran irigasi
2 sehingga memerlukan bantuan air baku dari Balai Besar Wilayah Sungai
(BBWS) Cidanau-Ciujung-Cidurian.
Di wilayah tropis, termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung,
penelitian tentang kekeringan masih jarang dilakukan. Oleh karena itu,
terdapat peluang untuk menganalisis pola kekeringan di DAS Ciujung, seperti
mengetahui durasi dan volume defisit maksimum. Pola kekeringan berguna
untuk mencegah kerusakan pada kondisi kekeringan dan mengetahui
kondisi-kondisi normal seperti pada saat kekeringan hidrologi agar reservoir di
wilayah kajian dapat bekerja saat kondisi tersebut (Zelenhasic 2002).
Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisis untuk mengetahui
tingkat kekeringan, durasi kekeringan dan pola kekeringan yang dapat terjadi
di suatu daerah, sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya
kekeringan yang lebih jauh. Kekeringan dapat diketahui atau dianalisis
dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya Percent of Normal,
Desil, Standardized Precipitation Index (SPI), Palmer Drought Severity Index
(PDSI), dan Theory of Run.
Dengan menggunakan Theory of Run dapat dilakukan perhitungan
indeks kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang dan jumlah
kekeringan terbesar dengan periode ulang tertentu di suatu wilayah. Indeks
kekeringan tersebut dapat digunakan untuk mengindikasikan tingkat
keparahan kekeringan yang terkandung dalam seri data hujan. Tingkat
keparahan kekeringan digambarkan oleh periode ulang. Indeks kekeringan
perlu diketahui agar perencanaan waduk tidak mengalami overdesign (jika
periode ulang kekeringan terlalu tinggi) atau sebaliknya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Apakah dalam uji kepanggahan data layak digunakan untuk analisis
kekeringan?
3
3. Berapa lama durasi kekeringan dan jumlah kekeringan dalam periode
ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun yang terjadi di
DAS Ciujung?
4. Bagaimana pola kekeringan yang terjadi di DAS Ciujung?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari analisis kekeringan adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kepanggahan data yang akan di analisis.
2. Mengetahui kaitan nilai korelasi beberapa stasiun hujan.
3. Menegetahui durasi kekeringan (Ln) dan jumlah kekeringan (Dn) dengan
periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun di DAS
Ciujung.
4. Mengetahui pola kekeringan yang terjadi di DAS Ciujung dengan
menggunakan Theory of Run.
D. Manfaat Penelitian
Tingkat kekeringan dan jumlah kekeringan yang dihasilkan dapat
dimanfaatkan dalam:
1. Perencanaan bangunan air, seperti menentukan kapasitas tampungan
waduk
2. Pengoperasian bangunan air, seperti operasi bangunan irigasi di musim
kemarau
3. Penanggulangan dan pengurangan dampak kekeringan, meliputi
penyusunan strategi yang bersifat reaktif dan proaktif.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah DAS Ciujung, yang memiliki luas
daerah 1.987 km2, dan mencakup 10 stasiun curah hujan, diantaranya
Bojongmanik, Cibeureum, Sampang Pendeuy, Ciminyak, Cibologer,
4 Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote
5 Gambar 2. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung
Sumber: BBWS Ciujung - Cidanau - Cidurian
F. Batasan Masalah
Agar masalah tidak melebar, maka pembahasan yang dilakukan sebagai
berikut:
1. Analisis kekeringan dilakukan di 10 stasiun pos hujan DAS Ciujung.
2. Analisis menggunakan metode Theory of Run untuk mengetahui durasi
kekeringan dan jumlah kekeringan dengan periode ulang 2 tahun, 5 tahun,
10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun di DAS Ciujung.
3. Menggunakan Reciprocal Methode untuk pengisian kekosongan data
6
4. Analisis kekeringan dilakukan di stasiun-stasiun hujan di DAS Ciujung
yang memenuhi nilai koefisien korelasi cukup (0,61 – 0,80).
G. Keaslian Penelitian
Penelitian analisis kekeringan ini telah diteliti oleh beberapa orang.
Namun setiap penelitian memiliki lokasi dan waktu yang berbeda. Analisis
kekeringan dengan menggunakan metode Theory of Run studi kasus DAS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang dilakukan oleh Adyansyah Pratama (2014) dengan
judul “Analisa Kekeringan Menggunakan Metode Theory of Run Pada Sub
DAS Ngrowo” meninjau tingkat kekeringan dan durasi kekeringan yang dapat
terjadi di Sub DAS Ngrowo. Salah satu metode untuk analisa kekeringan adalah
menggunakan metode Theory of Run. Metode ini bertujuan untuk melakukan
penghitungan kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang dan jumlah
kekeringan terbesar pada lokasi stasiun hujan yang tersebar di suatu wilayah. Data
hujan yang digunakan adalah data hujan bulanan selama 20 tahun (1993-2012)
dari 18 stasiun hujan. Setelah melakukan analisa kekeringan menggunakan
metode theory of run dibuat peta kekeringan dengan bantuan metode interpolasi
kriging pada software Arc GIS. Hasil studi menunjukkan bahwa durasi kekeringan
paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998, untuk jumlah
kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada tahun 1998 dengan jumlah -2303
mm. Dari hasil analisa juga disimpulkan bahwa kekeringan meteorologi
berhubungan dengan kekeringan hidrologi. Selain itu kekeringan meteorologi
yang terjadi juga memiliki korelasi terhadap nilai SOI (Southern Oscillation
Index) yang merupakan indikator terjadinya El Nino.
Penelitian yang dilakukan oleh Basillius Retno Santoso dengan judul
“Penerapan Teori Run untuk Menentukan Indeks Kekeringan di Kecamatan Entikong” meninjau tingkat kekeringan berdasarkan intensitas curah hujan yang
ada di Kecamatan Entikong yang meliputi jumlah bulan kering (durasi
kekeringan) dan jumlah kekeringan (total hujan minimum), serta memberikan
strategi perencanaan penanganan kekeringan berdasarkan hasil analisis yang
dilakukan. Metodologi yang digunakan dalam penerapan Teori Run untuk
menentukan indeks kekeringan di Kecamatan Entikong adalah dengan melakukan
8
dan SGU-03 Balai Karangan serta peta DAS Sekayam untuk membuat catchment
area, yang selanjutnya dilakukan analisis menggunakan metode Run untuk
mendapatkan jumlah bulan kering dan jumlah kekeringan. Berdasarkan hasil
perhitungan indeks kekeringan untuk Kecamatan Entikong, diperoleh durasi
kekeringan terpanjang untuk periode ulang 5 tahun adalah 8 bulan dan untuk
periode ulang 10 tahun adalah 10 bulan. Jumlah kekeringan terbesar untuk periode
ulang 5 tahun adalah 704,45 mm dan untuk periode ulang 10 tahun adalah 827,93
mm.
Penelitian yang dilakukan oleh Novreta Ersyidarfia, Manyuk Fauzi,
dan Bambang Sujatmoko dengan judul “Perhitungan Indeks Kekeringan
Menggunakan Teori Run Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri”
meninjau indeks kekeringan yang digunakan untuk mengindikasikan tingkat
keparahan kekeringan yang terkandung dalam seri data hujan berupa durasi
kekeringan dan jumlah kekeringan dengan menggunakan Teori Run. Data hujan
yang digunakan adalah data hujan 25 tahun untuk Stasiun Air Molek, Pangkalan
Kasai, Sentajo, dan Talang Jerinjing dan data hujan 15 tahun untuk Stasiun Air
Molek, Pangkalan Kasai, Sentajo, Talang Jerinjing, Lirik, Sijunjung, Tembilahan,
dan Usul. Periode waktu yang digunakan adalah bulanan, 15 harian, 10 harian,
dan mingguan. Stasiun hujan yang mengalami durasi kekeringan dan jumlah
kekeringan tertinggi untuk data 25 tahun adalah Stasiun Air Molek, sedangkan
yang terendah adalah Stasiun Talang Jerinjing. Untuk data 15 tahun , durasi
kekeringan tertinggi dan terendah untuk tiap periode waktu berada pada stasiun
yang berbeda, sedangkan untuk jumlah kekeringan tertinggi berada pada Stasiun
Pangkalan Kasai dan jumlah kekeringan terendah berada pada Stasiun Talang
Jerinjing. Penggambaran nilai durasi kekeringan dan jumlah kekeringan dibantu
dengan software Golden Sufer 8.0. penggambaran isohyet antara menggunakan
empat stasiun hujan dan delapan stasiun hujan menggunakan nilai perbedaan
9 Tabel 1. Tabel Pengelompokan Hasil Tinjauan Pustaka Terhadap Penelitian Sebelumnya
No Nama Peneliti Daerah Kajian Tujuan Metode Hasil Analisa
1 Adyansyah Pratama
DAS Ngrowo Analisis Kekeringan
Untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi pada Sub DAS Ngrowo sehingga bias dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh.
Theory of Run Hasil studi menunjukkan bahwa durasi
kekeringan paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998, untuk jumlah kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada tahun 1998 dengan jumlah -2303 mm. Dari hasil analisa juga disimpulkan bahwa kekeringan meteorologi berhubungan dengan kekeringan hidrologi. Selain itu kekeringan meteorologi yang terjadi juga memiliki korelasi terhadap nilai SOI (Southern Oscillation Index) yang merupakan indikator terjadinya El Nino. 2 Basillius Retno
Santoso
Kecamatan Entikong
Analisis Kekeringan
memberikan strategi perencanaan penanganan kekeringan berdasarkan hasil analisis
Theory of Run Berdasarkan hasil perhitungan indeks
10
3 Novreta Ersyidarfia, Manyuk Fauzi, dan Bambang Sujatmoko
DAS Indragiri Analisis kekerinngan
untuk mengindikasikan tingkat keparahan kekeringan yang terkandung dalam seri data hujan berupa durasi kekeringan dan jumlah kekeringan.
Theory of Run Data hujan yang digunakan adalah data
11
4 Sulastri Oktaviani
DAS Ciujung Analisis Kekeringan
Untuk menegetahui durasi kekeringan dan jumlah kekeringan dengan periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun di DAS Ciujung.
Theory of Run Analisis kekeringan dilakukan di 6 stasiun
hujan, yaitu Stasiun Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy dengan panjang data selama 17 tahun. Dari keenam stasiun hujan, Stasiun Bojongmanik memiliki durasi dan defisit hujan yang paling besar, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan defisit 1574 mm, sedangkan stasiun Cibeureum memiliki durasi dan defisit hujan yang paling kecil, yaitu pada kala ulang 20 tahun dengan defisit 468 mm. Dari hasil analisa juga didapat tingkat kekeringan, untuk Stasiun Bojonmanik kondisi basah 45,1%; kondisi normal 6,37%; kondisi kering 48,4%. Stasiun Cibeureum kondisi basah 42,1%; kondisi normal 12,7%; kondisi kering 45,1%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa DAS Ciujung memiliki kondisi normal basah.
12 Gambar 3. Posisi Penelitian terhadap Penelitian Sebelumnya
Sumber: Hasil Analisis, 2015
Keterangan :
Penelitian sejenis yang digunakan sebagai referensi
Penelitian yang bersifat mendukung
“Penerapan Teori Run untuk Menentukan
Indeks Kekeringan di Kecamatan
Entikong”
Basillius
“Analisa Kekeringan Menggunakan
Metode Theory of Run Pada Sub DAS
Ngrowo”
Adyansyah
“Analisis Kekeringan dengan
menggunakan metode Theory of Run
Studi Kasus DAS Ciujung”
Oktaviani
“Perhitungan Indeks Kekeringan
Menggunakan Teori Run Pada Daerah
Aliran Sungai (DAS) Indragiri”
BAB III
LANDASAN TEORI
A. Kekeringan
1. Definisi Kekeringan
Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi
secara perlahan (slow-onset disaster), berdampak sangat luas dan bersifat
lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain).
Kekeringan merupakan fenomena alam yang tidak dapat dielakkan dan
merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Variasi alam
dapat terjadi dalam hitungan hari, minggu, bulan, tahun, bahkan abad.
Dengan melakukan penelusuran data cuaca dalam waktu yang panjang,
akan dapat dijumpai variasi cuaca yang beragam, misalnya bulan
basah-bulan kering, tahun basah-tahun kering, dan dekade basah-dekade kering.
Berkurangnya curah hujan biasanya ditandai dengan
berkurangnya air dalam tanah, sehingga pertanian merupakan sektor
pertama yang akan terpengaruh. Cukup sulit untuk mengetahui kapan
kekeringan akan dimulai dan berakhir, dan kriteria apa yang akan
digunakan untuk menentukannya. Apakah kekeringan itu berakhir
ditandai dengan faktor-faktor meteorologi dan klimatologi atau ditandai
dengan berkurangnya dampak negatif yang dialami oleh manusia dan
lingkungannya. (BMKG 1:2014)
Indonesia terletak di wilayah geografis dimana diapit oleh dua
benua dan dua samudera. Indonesia juga terletak di sepanjang garis
khatulistiwa. Semua fakta geografis ini membuat wilayah Indonesia
rentan terhadap gejala kekeringan sebab iklim yang berlaku di wilayah
tropis memang monsoon yang diketahui sangat sensitif terhadap
perubahan ENSO atau El-Nino Southern Oscilation. ENSO inilah yang
14 permukaan laut Pasifik equator tepatnya bagian tengah sampai bagian
timur mengalami peningkatan suhu.
Meski demikian, anomali ENSO tidak menjadi penyebab
satu-satunya atas gejala kekeringan di Indonesia. Kekeringan umunya
diperparah penyebab lainnya, antara lain:
a) Terjadinya pergeseran DAS (Daerah Aliran Sungai) utamanya di
wilayah hulu. Hal ini membuat lahan beralih fungsi, dari vegetasi
menjadi non-vegetasi. Efek dari perubahan ini adalah sistem resapan
air di tanah yang menjadi kacau dan akhirnya menyebabkan
kekeringan.
b) Terjadinya kerusakan hidrologis wilayah hulu sehingga waduk dan
juga saluran irigasi diisi oleh sedimen. Hal ini kemudian menjadikan
kapasitas dan daya tampung menjadi berkurang. Cadangan air yang
kurang akan memicu kekerinagn parah saat musim kemarau tiba.
c) Persoalan agronomis atau dikenal juga dengan nama kekeringan
agronomis. Hal ini diakibatkan pola tanam petani di Indonesia yang
memaksakan penanaman padi pada musim kemarau dan
mengakibatkan cadangan air semakin tidak mencukupi.
2. Jenis-Jenis Kekeringan
a) Kekeringan Meteorologis
Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi
berada dibawah kondisi normalnya pada suatu musim. Perhitungan
tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama
terjadinya kondisi kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan
definisi meteorologis adalah sebagai berikut:
1) Kering: apabila curah hujan antara 70%-85% dari kondisi normal
(curah hujan dibawah kondisi normal).
2) Sangat kering: apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi
normal (curah hujan jauh dibwah normal).
3) Amat sangat kering: apabila curah hujan <50% dari kondisi
15
b) Kekeringan Hidrologis
Kekeringan ini terjadi berhubung dengan berkurangnya pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari
ketinggian muka air sungai, waduk, danau, dan air tanah. Ada jarak
waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya
ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan
hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai
berikut:
1) Kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran
dibawah periode 5 tahunan.
2) Sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang
aliran jauh di bawah periode 25 tahunan.
3) Amat sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode
ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan.
c) Kekeringan Pertanian
Kekeringan pertanian menghubungkan berbagai karakteristik
meteorologi atau hidrologi dengan dampak pertanian. Kondisi kurang
hujan dikaitkan dengan evapotranspirasi aktual dan potensi, air tanah
yang menyusut, karakteristik dari tanaman tertentu seperti tingkat
pertumbuhan, dan penyusutan aliran air sungai, waduk dan air tanah.
3. Analisis Kekeringan
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada beberapa pengertian
kekeringan. Oleh karena analisis kekeringan meteorologi selalu
digunakan dalam analisis lain seperti kekeringan hidrologi dan pertanian,
maka kajian kekeringan difokuskan pada kekeringan meteorologi. Ada
beberapa indeks kekeringan yang mengukur berapa besar hujan yang
jatuh pada suatu periode tertentu dan menyimpang dari kondisi normal
yang dihitung dari data historisnya.
Adapun macam-macam analisis indeks kekeringan yang telah
16
a) Percent of Normal
b) Desil
c) Standardized Precipitation Index (SPI)
d) Palmer Drought Severity Index (PDSI)
e) Theory of Run
4. Kekeringan dan Banjir
Kekeringan dan banjir secara bersamaan maupun terpisah menjadi
pandangan publik yang memilukan. Dalam beberapa dekade terakhir ini,
kekeringan berlangsung di berbagai tempat di Indonesia. Akibatnya,
jutaan hektar area pertanian di Jawa dan luar Jawa terancam gagal panen.
Sementara itu, masih sangat kental dalam ingatan bahwa musim hujan
selalu memaksa orang untuk tergopoh-gopoh karena datangnya banjir
yang merendam berbagai kota.
Untuk mengkaji lebih dalam kedua kejadian itu, perlu
dikemukakan faktor-faktor penyebab kekeringan dan banjir secara
menyeluruh. Berdasarkan kaidah ilmu pada hidrologi dan keseimbangan
Daerah Aliran Sungai (DAS), banjir dan kekeringan merupakan “saudara
kembar” yang pemunculannya datang susul-menyusul. Faktor penyebab kekeringan sama persis seperti faktor penyebab banjir. Keduanya
berprilaku linier-dependent, artinya semua faktor yang menyebabkan
kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah
kekeringan yang terjadi, semakin dahsyat pula banjir yang akan menyusul
dan hal yang demikian berlaku sebaliknya.
Terdapat beberapa faktor penyebab kekeringan dan banjir,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Iklim Ekstrem
b) Daya Dukung DAS
c) Pola Pembangunan Sungai
d) Kesalahan Perencanaan dan Implementasi Pengembangan Kawasan
e) Kesalahan Konsep Drainase
17
5. Indeks Kekeringan Untuk Perencanaan Bangunan Air
Perencanaan bangunan air seperti waduk dan bendung
membutuhkan seri data debit bulanan atau tengah bulanan yang cukup
panjang. Dalam seri waktu tersebut fluktuasi data memberikan gambaran
akan kondisi ekstrim yang pernah terjadi yaitu surplus mengakibatkan
banjir dan defisit menimbulkan kekeringan yang pernah terjadi. Panjang
data debit jauh lebih pendek dibandingkan dengan data hujan. Disamping
itu watak seri data debit sangat tergantung dari alih fungsi lahan, sehingga
tidak dapat diperhitungkan sebagai satu sampel data. Oleh karena itu data
hujan lebih tepat digunakan untuk perhitungan kekeringan yang butuh
data hidrologi menerus (berkesinambungan, continued).
Seberapa kuatnya kekeringan yang terkandung secara historis
dalam data mempengaruhi dimensi bangunan air. Misalnya, panjang data
debit 20 tahun mengandung tingkat keparahan kekeringan periode ulang
50 tahun akan menghasilkan kapasitas waduk yang besar. Sebaliknya,
dengan panjang data yang sama, dengan tingkat keparahan periode ulang
10 tahun misalnya, akan menghasilkan kapasitas waduk yang kecil. Oleh
karena itu, peranan indeks kekeringan dengan tingkat keparahan tertentu
sangat memegang peranan penting. Surplus tidak dapat mencerminkan
kondisi banjir yang sebenarnya dibandingkan dengan defisit yang lebih
mampu menggambarkan kondisi kekeringan.
B. Metode Theory of Run
Prinsip perhitungan Theory of Run mengikuti proses peubah tanggal
(univariate). Gambar 4 menunjukkan seri data, X (t,m), dari peubah hidrologi
dalam hal ini hujan bulan m dan tahun ke t. Dengan menentukan rata-rata
hujan bulanan jangka panjang sebagai nilai pemepatan, Y (m), seri data
terpotong dibeberapa tempat, sehingga menimbulkan peubah baru. Pengertian
baru yang timbul akibat perpotongan tersebut menghasilkan peubah seperti:
1. Bagian yang berada diatas garis normal (run positive), D (t,m), disebut
surplus.
18
a) Jumlah bagian yang mengalami defisit berkesinambungan disebut
jumlah kekeringan dengan satuan mm.
b) Lama atau durasi terjadi pada bagian defisit yang berkesinambungan
disebut durasi kekeringan dengan satuan bulan.
Setelah nilai pemepatan ditentukan, dari seri data hujan dapat dibentuk
dua seri data baru yaitu durasi kekeringan, Ln, dan jumlah kekeringan, Dn,
lihat gambar 4.
Jika Y (m) < X (t,m), maka D (t,m) = X (t,m) –Y (m)………..…...(1)
Jumlah kekeringan: Dn = ∑im=1 D t, m A t, m ……….………(2)
Durasi kekeringan: Ln = ∑i m=1 A t, m ………...…….…...……(3)
Dengan:
A (t,m) adalah indikator bernilai 0, jika Y (m) ≥ X (t,m)
A (t,m) adalah indikator bernilai 1, jika Y (m) < X (t,m)
A (t,m) adalah indikator defisit atau surplus
m adalah bulan ke m; t adalah tahun ke t
Y(m) adalah pemepatan bulan m
X (t,m) adalah seri data hujan bulanan bulan m tahun t
Dn adalah jumlah kekeringan dari bulan ke m sampai ke m+i (mm)
Ln adalah durasi kekeringan dari bulan ke m sampai ke m+i (bulan)
Gambar 4. Durasi dan Jumlah Defisit Pos Bojong (23) Pekalongan Sumber: Yevjevich et al(14)
Run sebagai ciri statistik dari suatu seri data, menggambarkan indeks
19
run negatif menunjukkan kekurangan air selama kekeringan. Durasi
kekeringan terpanjang maupun jumlah kekeringan terbesar selama T tahun
mencerminkan tingkat keparahan kekeringan.
Seri data baru dipilah-pilah menjadi bagian-bagian dengan panjang data
masing-masing T tahun, sesuai dengan periode ulangnya seperti 10 atau 20
tahun. Jika data yang tersedia 60 tahun, maka ada 6 buah nilai durasi
kekeringan terpanjang 10 tahunan dan 6 nilai jumlah kekeringan terbesar 10
tahunan. Nilai-nilai tersebut dihitung rata-ratannya dan merupakan indeks
kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang periode ulang T tahun dan
jumlah kekeringan terbesar periode ulang T tahun.
C. Korelasi
Untuk mendapatkan gambaran hubungan variabel dari stasiun yang diisi
dengan variabel stasiun pengisi untuk data asli maka dihitung koefisien
korelasinya. Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi
sebagai berikut :
Tabel 2. Interpretasi dari nilai korelasi
Sumber: Husaini Usman (Pengantar Statistika 2006)
Persamaan untuk estimasi koefisien korelasi data asli tertera pada Persamaan
20 Dimana :
m ,.... 2 , 1 , 0
= nilai koefisien korelasi antar variabel data asli stasiun j yaitu
variabel stasiun yang diisi dengan masing- masing stasiun
pengisi yang besarnya -1 ≤ X,Y≤ 1
i m
i X
X0,... , = variabel data asli ke i dari stasiun 0 sampai stasiun m
Xm
= rata-rata dari seri data asli di stasiun mXm
X
0... = simpangan baku data asli di stasiun 0 sampai stasiun mn = jumlah data
D. Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah sekitar sungai yang melebar
sampai ke punggung bukit (gunung) yang merupakan daerah sumber air,
tempat semua curahan air hujan yang jatuh diatasnya mengalir di sungai.
(KBBI)
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
di wilayah tersebut ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan perairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan. (UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air)
Jadi secara umum Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai
hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi
(punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan
unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada
21
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan perhitungan, diperlukan data-data sebagai
pendukung untuk analisis kekeringan. Teknik pengumpulan data yang
diperlukan terbagi atas empat jenis, yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh seorang peneliti langsung
dari objeknya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Data diperoleh dengan
cara wawancara dengan Pelaksana Lapangan, Bapak Muhammad Dheny
Nugraha, di Unit Hidrologi dan Kualitas Air Hidrologi Balai Besar
Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian. Data berkaitan dengan
keadaan secara fisik Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung dalam setiap
keadaan, yaitu pada saat mengalami kekeringan, normal, dan banjir, dan
penggunaan air sungai Ciujung yang di sekitar sungai terdapat
permukiman warga, sawah, dan industri. Dan juga dilakukan wawancara
dengan Juru Bendung Pamarayan, Bapak Nendi di UNBAJA, berkaitan
dengan batasan debit air Sungai Ciujung, diperoleh data sebagai berikut.
Tabel 3. Nilai Batasan Debit
Sangat Kering < 3 m3/s
Kering 10 m3/s – 34 m3/s
Normal 35 m3/s – 749 m3/s
Banjir 750 m3/s – 2500 m3/s
Sumber: Bapak Nendi (Juru Bendung Pamarayan)
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh seorang peneliti secara
tidak langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain, baik lisan
22 dapatkan dari Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian
adalah sebagai berikut.
a) Data Curah Hujan
Dalam analisis kekeringan menggunakan metode Theory of Run untuk
suatu lokasi, dibutuhkan data curah hujan bulanan dengan periode
waktu yang cukup panjang. Dalam studi ini di gunakan data curah
hujan bulanan tahun 1998-2014 di 10 stasiun di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciujung.
b) Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung
Peta yang diperlukan dalam analisis kekeringan di DAS Ciujung
adalah peta aliran sungai dan peta penakar hujan.
3. Data Observasi
Data observasi adalah data pengamatan atau penelusuran lapangan
(walk trough) untuk mendapatkan keterangan yang ada di lokasi
penelitian. Data tersebut bisa berbentuk kuisioner atau foto di lapangan.
Proses observasi yang dilakukan penulis menunjukkan muka air normal di
bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Sedangkan dokumentasi keadaan
sungai pada saat mengalami kekeringan di bagian hulu, tengah, dan hilir di
induk sungai dan di anak sungai diambil dari Balai Besar Wilayah Sungai
Cidanau-Ciujung-Cidurian.
Bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung di ambil di
Bojongmanik. Pada saat terjadi kekeringan muka air sungai turun. Foto
dokumentasi pada saat terjadi kekeringan ditunjukkan seperti pada Gambar
5 di bawah ini. Debit air pada saat terjadi kekeringan di Bojongmanik
23 Gambar 5. Bagian Hulu Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan
Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)
Adapun dalam kondisi muka air normal di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciujung pada bagian hulu diperlihatkan seperti pada Gambar 6
berikut ini. Debit normal di Bojongmanik adalah 21,74 m3/s.
Gambar 6. Bagian Hulu Sungai Ciujung pada saat Muka Air Normal Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)
Bagian tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung di ambil di
24 sungai turun dengan debit 5,67 m3/s. Foto dokumentasi pada saat terjadi
kekeringan ditunjukkan seperti pada Gambar 7 di bawah ini.
Gambar 7. Bagian Tengah Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)
Adapun dalam kondisi muka air normal di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciujung pada bagian tengah diperlihatkan seperti pada Gambar 8
berikut ini. Debit normal di Rangasbitung adalah 56,66 m3/s.
25 Bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung di ambil di
Kragilan. Pada saat terjadi kekeringan muka air sungai turun dengan debit
3,68 m3/s. Foto dokumentasi pada saat terjadi kekeringan ditunjukkan
seperti pada Gambar 9 di bawah ini.
Gambar 9. Bagian Hilir Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)
Adapun dalam kondisi muka air normal di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciujung pada bagian hilir diperlihatkan seperti pada Gambar 10
berikut ini. Debit normal di Kragilan adalah 76,86 m3/s.
26 Pada saat kekeringan melanda DAS Ciujung, muka air sungai utama
dalam DAS ini menurun dari tinggi normalnya, tidak sampai kering.
Tetapi anak Sungai Ciujung, yang terletak di Leuwidamar kering. Debit air
di Leuwidamar pada saat kekeringan adalah 0,11 m3/s.
Gambar 11. Bagian Tengah Anak Sungai Ciujung pada saat Mengalami Kekeringan
Sumber: BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian (2012)
4. Data Literatur
Data literatur adalah buku-buku bacaan, tulisan mengenai suatu bidang
ilmu, jurnal dan pedoman sebagai pendukung penelitian. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia)
B. Analisis Hidrologi
Dapat dikatakan valid jika memenuhi beberapa kriteria (Soemarto,
1987), yaitu bahwa data itu berada dalam range, tidak mempunyai trend,
homogen dan bersifat acak. Pada studi ini analisis hidrologi yang digunakan
adalah:
1. Pengisian data kosong
27 Analisis hidrologi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data
hujan yang layak untuk digunakan.
C. Perhitungan Durasi Kekeringan dan Jumlah Kekeringan
Langkah analisis kekeringan menggunakan theory of run yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Analisis Parameter Statistik Curah Hujan, dengan menghitung nilai
rata-rata, simpangan baku, koefisien kepencengan dari masing-masing bulan
selama 17 tahun.
2. Menghitung nilai surplus dan defisit dengan mengurangkan data asli
tiap-tiap bulan setiap-tiap tahunnya dengan rata-rata dari seluruh data pada bulan
tersebut seperti pada persamaan (1) dan (2).
3. Melakukan perhitungan durasi kekeringan dengan menggunakan
persamaan (3). Bila perhitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai
nol (0) dan negative akan diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif
yang berurutan, maka jumlahkan nilai satu tersebut sampai di pisahkan
kembali oleh nilai nol, untuk kemudian menghitung dari awal lagi.
Langkah ini dilakukan dari data tahun pertama berurutan terus samapi data
tahun terakhir.
4. Melakukan perhitungan jumlah kekeringan dengan persamaan (3). Proses
ini hampir sama dengan cara menghitung nilai durasi kekeringan. Jika
durasi kekeringan berurutan dan lebih dari satu maka pada bulan
selanjutnya merupakan nilai kumulatifnya, demikian pula halnya dengan
jumlah kekeringan. Jumalh defisitnya akan dikumulatifkan denagn acuan
apakah nilainya surplus atau defisit. Jika bernilai positif maka diberi nilai
nol (0), jika bernilai negatif maka di beri nilai sesuai dengan nilai tersebut.
Ketika terjadi nilai negatif yang berurutan maka nilainya dikumulatifkan di
bulan selanjutnya dan berhenti ketika bertemu nilai positif atau nol.
5. Klasifikasi tingkat kekeringan bertujuan untuk mengetahui tingkat
kekeringan yang terjadi di setiap stasiun hujan. Klasifikasi dibagi menjadi
28 Tabel 4. Klasifikasi Tingkat kekeringan
Curah Hujan dari Kondisi Normal Tingkat Kekeringan
P = 70-85% Kering
P = 50-70% Sangat Kering
P = <50% Amat Sangat Kering
Sumber: Sonjaya (2007:2)
Untuk klasifikasi kekeringan diperlukan juga menghitung jumlah curah
hujan normal. Curah hujan normal adalah nilai rata-rata hujan suatu bulan
di seluruh tahun pengamatan. Selain curah hujan normal dihitung juga
jumlah curah hujan bulan-bulan kering, dilakukan dengan cara
menjumlahkan curah hujan bulan-bulan yang berurutan. Jumlah curah
hujan bulan-bulan kering dibandingkan dengan jumlah curah hujan
normal, maka didapatkan klasifikasi tingkat kekeringan.
6. Setelah perhitungan dilakukan pada seluruh stasiun hujan selama 17 tahun,
dilakukan rekapitulasi untuk nilai durasi kekeringan, jumlah kekeringan
dan kriteria kekeringan.
29
D. Bagan AlirMetodologi Penelitian
Agar penulisan sistematis (urut) dan terstruktur, maka penulisan seperti
diperlihatkan pada Gambar 12 di bawah ini.
Gambar 12. Bagan Alir(Flow Chart) Metodologi Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote Theory of Run Studi Kasus DAS Ciujung
Sumber: Hasil Analisis, 2015
Mulai
Pengumpulan Data dan Literatur: 1. Data Curah Hujan dan Peta DAS 2. Buku, Jurnal, dan Artikel yang
Berkaitan
3. Peraturan yang Berkaitan
Data Asli Curah Hujan DAS Ciujung
Analisis Kekeringan: 1. Pengisian Kekosongan Data Hujan 2. Perhitungan Korelasi
3. Perhitungan Dengan Metode Theory of
Run
Hasil Analisis
Kesimpulan
Selesai YA
30
E. Jadwal Penelitian
Adapun jadwal penelitian yang dilakukan seperti diperlihatkan pada Gambar 13 dibawah ini.
Gambar 13. Jadwal Penelitian Analisis Kekeringan dengan Menggunakan Medote Theory of Run Studi Kasus DAS Ciujung Sumber: Hasil Analisis, 2015
F. Hipotesa Sementara
Analisis perkiraan tingkat kekeringan dan kebasahan di DAS Ciujung adalah Agak kering sampai dengan Sangat kering, dengan
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengisian Data Kosong
Terkadang stasiun hujan tidak dapat bekerja dengan baik, sehingga data
curah hujan kurang lengkap. Dengan cara apapun data yang hilang (rusak, tidak
terekam atau sangat meragukan) tidak dapat ditemukan kembali dengan tepat.
Data kosong adalah data yang dalam satu tahun terdapat satu atau lebih data
bulanan yang tidak tersedia. Namun data kosong tersebut dapat di bangkitkan
kembali dengan cara pengisian data kosong yang di bantu dengan data yang
tersedia di stasiun sekitarnya.
Persyaratan yang diperlukan untuk mengisi data hujan bulanan adalah
sebagai berikut:
1. Data yang digunakan harus lolos penyaringan
2. Panjang pencatatan data yang tersedia antara stasiun hujan yang akan diisi
dengan stasiun hujan pengisi harus sama
3. Jumlah stasiun pengisi minimal 3 stasiun
4. Jarak antara stasiun hujan pengisi dengan stasiun hujan yang akan diisi
maksimal 60 km dan sebaiknya masih dalam satu daerah aliran sungai
5. Pengisian data hujan dapat dilakukan apabila data kosong tidak lebih besar
25% dari hujan yang tersedia.
Ada tiga metode pengisian data kosong, diantaranya:
1. Metode Inverse Square Distance/Metode Reciprocal
2. Metode Normal Ratio Method
3. Metode Kombinasi
Dalam analisis ini, pengisian kekosongan data hujan menggunakan
Metode Reciprocal. Persamaan untuk Metode Reciprocal tertera pada
32
Berikut adalah contoh perhitungan pengisian data kosong di stasiun
Ragas Hilir pada bulan April tahun 1999, dengan 3 stasiun pengisi, yaitu
stasiun Pamarayan, Pipitan, dan Cadasari.
Tinggi hujan yang akan dicari : Stasiun Ragas Hilir
Stasiun Pengisi : Stasiun Pamarayan, Pipitan, dan Cadasari
Jarak (km) :
Analisis yang digunakan dalam analisis kerapatan jaringan stasiun
pengukuran hujan ini adalah uji kepanggahan (consistency), karena dalam
analisis ini tidak menggunakan data ekstrem curah hujan baik maksimum
maupun minimum. Pengujian kepanggahan data menggunakan perhitungan
korelasi dan kurva massa ganda (double mass curve) untuk panjang data 17
tahun.
Ke Pamarayan Pipitan Cadasari
33
1. Korelasi
Analisis korelasi bertujuan untuk mengukur kekuatan asosiasi
(hubungan) linear antara dua variable. Korelasi tidak menunjukkan
hubungan fungsional atau dengan kata lain, analisis korelasi tidak
membedakan antara variabel dependen (terikat) dengan variabel
independen (bebas)
Analisis kekeringan dilakukan di stasiun-stasiun hujan di DAS
Ciujung yang memenuhi nilai koefisien korelasi cukup (0,61 – 0,80).
Perhitungan koefisien korelasi menggunakan persamaan (4). Berikut hasil
perhitungan koefisien korelasi untuk 10 stasiun di DAS Ciujung.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Korelasi 10 Stasiun DAS Ciujung
Sumber: Analisis Penulis
Dari hasil perhitungan di atas, tidak semua stasiun hujan memenuhi
nilai koefisien korelasi yang cukup. Stasiun yang memiliki nilai koefisien
korelasi yang kecil tidak di gunakan dalam menganalisis kekeringan di
DAS Ciujung. Maka dari 10 stasiun dipilih 6 stasiun yang digunakan untuk
perhitungan.
Tabel 6. Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Korelasi 6 Stasiun DAS Ciujung
Stasiun Bojongmanik Pamarayan Pipitan Cibeureum Pasir
Ona Sampang Rata-Rata
Bojongmanik 1.000 1.000
Pamarayan 0.495 1.000 0.748
Pipitan 0.444 0.693 1.000 0.712
Cibeureum 0.647 0.605 0.568 1.000 0.705
Stasiun Bjngmanik Ciboleger Ragas
Hilir Pmrayan Pipitan Cadasari Cibeureum Ciminyak
Pasir
Ona Sampang
Rata-Rata
Bojongmanik 1 1.000
Ciboleger 0.397 1 0.698
Ragas Hilir 0.368 0.102 1 0.490
Pamarayan 0.495 0.262 0.509 1 0.567
Pipitan 0.444 0.210 0.576 0.693 1 0.585
Cadasari 0.330 0.114 0.472 0.573 0.545 1 0.506
Cibeureum 0.647 0.374 0.415 0.605 0.568 0.482 1 0.584
Ciminyak 0.365 0.148 0.307 0.484 0.442 0.337 0.468 1 0.444
Pasir Ona 0.491 0.286 0.452 0.666 0.534 0.402 0.643 0.423 1 0.544
Sampang 0.629 0.311 0.446 0.633 0.567 0.443 0.792 0.546 0.612 1 0.598
34
Pasir Ona 0.491 0.666 0.534 0.643 1.000 0.667
Sampang 0.629 0.633 0.567 0.792 0.612 1.000 0.705
Rata-Rata 0.618 0.719 0.667 0.811 0.806 1.000
Sumber: Analisis Penulis
Dari hasil rata-rata nilai koefisien korelasi di 6 stasiun memenuhi
syarat. Maka analisis kekeringan di DAS Ciujung menggunakan 6 stasiun
hujan, diantaranya Stasiun Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum,
Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy.
2. Kurva Massa Ganda (Double Mass Curve)
Analisis kurva massa ganda sama halnya dengan analisis regresi.
Analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel
atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen
dengan variabel independen.
Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai
R2 adalah antara 0 dan 1. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan
variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel-variabel dependen amat
terbatas. Nilai R2 yang mendekati 1 berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variasi variabel dependen.
35 Hubungan Stasiun Bojongmanik dengan 5 stasiun lainnya memiliki
nilai R2 = 0,9962. Ini berarti 5 stasiun lain sangat mendukung dalam
analisis di Stasiun Bojongmanik. Begitu pula dengan 5 stasiun lainnya,
masing-masing memiliki nilai R2 diatas 0,99, yang di lampirkan pada
lampiran 5.
Uji kepanggahan data yang dilakukan dengan perhitungan korelasi dan
kurva massa ganda yang telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa 6 stasiun
hujan yang ada di DAS Ciujung yang diantaranya adalah Bojongmanik,
Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy dapat
digunakan dalam analisis kekeringan dengan menggunakan Theory of Run.
C. Analisis Kekeringan dengan Theory of Run
Kekeringan adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi
normal yang terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih
yang akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan air
yang dicanangkan.
1. Indeks Kekeringan
Indeks kekeringan (durasi kekeringan dan jumlah kekeringan) yang
dihasilkan dapat diterapkan dalam:
a) Perencanaan bangunan air seperti menentukan kapasitas tampungan
waduk;
b) Pengoperasian bangunan air seperti operasi bangunan irigasi di musim
kemarau;
c) Penanggulangan dan pengurangan dampak kekeringan, meliputi
penyusunan strategi yang bersifat reaktif dan proaktif.
Tingkat keparahan kekeringan yang dinyatakan oleh suatu nilai
tunggal dari durasi kekeringan (dalam bulan) dan jumlah kekeringan (dalam
mm). Untuk menggambarkan besarnya tingkat keparahan kekeringan
digunakan periode ulang dalam satuan tahun.
Kandungan keparahan kekeringan dalam suatu seri data hujan
36 umumnya seri data debit diperoleh dari model hubungan hujan-limpasan
karena panjang data debit sangat pendek dibandingkan data hujan, bahkan
kadang-kadang sulit diperoleh pos duga air di lokasi terpilih. Seri data debit
yang memperhitungkan keparahan kekeringan dan digunakan sebagai input
bagi model simulasi waduk akan menghasilkan besaran tampungan waduk
yang cukup handal, dalam arti mampu menanggulangi musim-musim kering
dengan periode ulang tertentu. Operasi bangunan irigasi yang berdasarkan
model neraca air (water balance) yang memperhatikan kandungan
keparahan kekeringan dari debit air sungainya akan menghasilkan
pembagian golongan dan pengaturan air yang mampu mengantisipasi
kekeringan
2. Data Hujan Bulanan Hasil Pengamatan
Data hujan yang digunakan untuk perhitungan indeks kekeringan
adalah data hujan bulanan dengan panjang 17 tahun untuk masing-masing
stasiun hujan. Perhitungan parameter statistik hujan bulanan pada 6 stasiun
hujan meliputi nilai Mean, Standar Deviasi, Skewness, dan Kurtosis.
Perhitungan nilai Mean, Standar Deviasi, Skewness, dan Kurtosis hujan
bulan Januari di Stasiun Bojongmanik seperti dibawah ini dan ditabulasi
pada Tabel 7.
Tabel 7. Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (mm)
No Thn Bln JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES Total 1 1998 299 221 294 365 323 42 233 217 63 219 269 295 2840 2 1999 352 437 174 220 128 81 157 134 134 224 243 333 2617 3 2000 321 289 332 105 109 200 150 53 128 131 175 102 2095 4 2001 240 316 129 152 241 118 239 102 195 52 75 252 2111 5 2002 227 329 111 302 64 16 20 14 15 12 80 150 1340
6 2003 397 95 18 7 12 24 26 20 32 62 64 73 829
37
15 2012 664 240 91 118 16 106 22 9 52 153 375 185 2031 16 2013 829 422 121 303 221 139 317 176 101 58 226 505 3419 17 2014 418 283 182 170 302 94 72 162 75 122 146 328 2355
18 n 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 17 204
19 Mean 400 286 244 180 181 98 167 95 90 157 218 286 2403 20 St. Dev 161 138.29 185 103.5 106.8 72.98 145.9 87.252 66.063 96.349 144.2 144.57 1452 21 Skewness 1.322 1.0064 1.248 0.045 -0.22 1.712 1.054 0.8481 0.6691 0.6582 1.8776 0.5903 11 22 Kurtosis 2.124 1.7967 1.612 -0.92 -1.33 3.871 1.419 -0.119 -0.628 0.0835 4.8926 -0.138 13 Sumber: Analisis Penulis
Berikut contoh perhitungan Standar Deviasi, Skewness dan Kurtosis bulan
Januari di Stasiun Bojongmanik.
a) Standar Deviasi
s =
√
n∑ xi2-(∑ x 1)2 n i=1 n
i=1
n (n-1)
=
√
17 . 3139037-4631238017 (17-1)
= 161
b) Skewness
Cs = n ∑ xi−X
n−1 n− s
= 17 . 78170273
(17-1) (17-2) 1613
= 1,322
c) Kortosis
Ck =
[
n (n-1)n-1 n-2 (n-3)
∑ xi-X 4 s4
]
-
[
3 (n-1)2 n-2 (n-3)
]
=
[
17 (17-1)17-1 17-2 (17-3)
42660834993 1614
]
-
[
3 (17-1)2 17-2 (17-3)
]
= 2,124
3. Nilai Surplus dan Defisit dari Run
Nilai surplus dan defisit diperoleh dengan mengurangkan data asli
38 bulanan tersebut dengan menggunakan Persamaan (1). Perhitungan nilai
surplus dan deficit dari Run hujan bulanan stasiun Bojongmanik tahun 1998
seperti di bawah ini dan ditabulasi pada Tabel 8.
Bulan Januari
Tabel 8. Nilai Surplus dan Defisit Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (mm)
No Thn Bln JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
Gambar 15. Hujan Bulanan dan Hujan Rata-Rata Bulanan di Stasiun Bojongmanik Sumber: Analisis Penulis
Grafik Hujan Surplus dan Defisit Stasiun Bojongmanik Tahun 1998
39 Grafik di atas merupakan grafik keadaan surplus dan defisit di
stasiun Bojongmanik. Terlihat di bulan Januari dan bulan Februari tinggi
hujan bulanan, yaitu 299 mm dan 221 mm terletak di bawah hujan rata-rata
bulanan yang memiliki nilai 400 mm dan 286 mm, ini artinya pada bulan
Januari dan bulan Februari terjadi defisit secara berurutan. Pada bulan Maret
sampai dengan bulan Mei tinggi hujan bulanan, yaitu 294 mm, 365 mm, dan
323 mm di atas hujan rata-rata bulanan yang memiliki nilai 244 mm,
180mm, dan 181 mm, yang berarti nilai hujan yang terjadi surplus. Pada
bulan Juni dan September tinggi hujan bulanan kembali berada di bawah
hujan rata-rata bulanan, yaitu 42 mm dan 63 mm, namun nilai defisitnya
tidak terlalu besar. Bila dikumulatifkan, ada 4 bulan yang tinggi hujannya
di bawah rata-rata. Nilai inilah yang menjadi durasi kurangnya hujan selama
1 tahun pada tahun 1998 di stasiun Bojongmanik. Pada grafik 1 lampiran 6
halaman 5 menggambarkan keadaan surplus dan defisit sepanjang 17 tahun
di Stasiun Bojongmanik yang memperlihatkan durasi kekeringan tiap
tahunnya dan durasi maksimum pada tahun tersebut.
4. Durasi Kekeringan
Perhitungan durasi kekeringan, menggunakan Persamaan (3). Bila
perhitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai nol (0) dan negatif
diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif yang berurutan, maka
jumlahkan nilai satu (1) tersebut sampai dipisahkan kembali oleh nilai nol
(0), untuk kemudian menghitung dari awal lagi. Langkah ini dilakukan dari
data tahun pertama berurutan sampai data tahun terakhir. Perhitungan nilai
durasi kekeringan hujan bulanan pada stasiun Bojongmanik tahun 1998
seperti di bawah ini dan di tabulasikan pada Tabel 9.
Bulan Januari
Karena nilai Run adalah -101 yang berarti defisit maka diberi nilai 1
Bulan Februari
Karena nilai Run adalah -65 yang berarti defisit dan berurutan dengan
40
Bulan Maret
Karena nilai Run adalah 50 yang berarti surplus maka diberi nilai 0
Tabel 9. Durasi Kekeringan Kumulatif Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (bulan)
No Thn Bln JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
1 1998 1 2 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0
2 1999 1 0 1 0 1 2 3 0 0 0 0 0
3 2000 1 0 0 1 2 0 1 2 0 1 2 3
4 2001 4 0 1 2 0 0 0 0 0 1 2 3
5 2002 4 0 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8
6 2003 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
7 2004 21 0 0 0 1 2 0 0 0 0 1 0
8 2005 1 2 3 4 5 0 0 1 0 1 0 1
9 2006 0 1 0 0 0 1 2 3 4 5 6 7
10 2007 0 1 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0
11 2008 0 0 0 1 2 3 4 0 1 0 0 1
12 2009 0 1 2 3 0 1 2 3 4 5 0 1
13 2010 2 3 4 5 0 1 0 0 0 0 1 0
14 2011 1 0 0 0 0 0 0 1 2 0 1 0
15 2012 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1
16 2013 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0
17 2014 0 1 2 3 0 1 2 0 1 2 3 0
Sumber: Analisis Penulis
Setelah dihitung dan diberi nilai 1 (satu) atau 0 (nol) maka
didapatkan durasi terpanjang disetiap tahunnya dimana durasi terpanjang
tersebut digunakan untuk perhitungan nilai maksimum durasi kekeringan
selama kurun waktu T. Diperlihatkan pada pertengahan tahun 2002 sampai
awal tahun 2004 secara berurutan terjadi defisit hujan, yang artinya durasi
hujan maksimum di Stasiun Bojongmanik adalah 21 bulan.
Nilai maksimum durasi kekeringan selama kurun waktu T (2 tahun,
5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun) dihitung berdasarkan periode
waktu (bulanan) untuk masing-masing tahun selama 2 tahun, 5 tahun, 10
tahun, 15 tahun, dan 20 tahun kemudian dirata-ratakan, dan menghasilkan
durasi kekeringan untuk tiap periode tersebut. Hasilnya ditabulasikan pada
41 Tabel 10. Durasi Kekeringan Terpanjang Stasiun Bojongmanik (bulan)
No Thn Bln Max T.2 th T.5 th T.10 th T.15 th T.20 th
Pada periode ulang 10 tahun dan 15 tahun didapatkan hasil periode
ulang 10 tahun, yaitu 13 bulan, lebih besar dari periode ulang 15 tahun yang
hasilnya 12 bulan. Pada umumnya periode ulang yang lebih besar
menghasilkan nilai yang lebih besar juga. Untuk kasus ini dikarenakan
panjang data yang dimiliki 17 tahun sehingga data yang di rata-ratakan
untuk mengetahui periode ulangnya kurang dan menghasilkan data yang
ditabulasikan pada Tabel 10.
5. Jumlah Kekeringan Kumulatif
Menghitung jumlah defisit atau jumlah kekeringan hampir sama
dengan cara menghitung nilai durasi kekeringan. Jika durasi kekeringan
berurutan dan lebih dari satu maka pada bulan selanjutnya merupakan nilai
kumulatifnya, demikian pula halnya dengan jumlah kekeringan. Jumlah
defisitnya yang akan dikumulatifkan.
Bila perhitungan pada Tabel 8 yang dihasilkan adalah positif diberi