• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak Sosial a. Perhatian kasih sayang dan komunikasi timbal balik

Perhatian dan kasih sayang memnag sangat dibutuhkan oleh para remaja, terlebih pada masa-masa di mana mereka telah bergaul bebas bersama teman-teman sejawatnya. Menurut Syekh Abdul Rosyad Ghanim mengemukakan bahwa di antara yang paling dikhawatirkan dari sikap anak remaja adalah: adanya ketidaksetabilan dalam maslah sekssualitas. Para guru dan orang tua serta semua pihak yang bertanggung jawab terhadap kesetabilan dan keselamatan masyarakat, hendaklah memberikan perhatian yang besar dan memberikan pengarahan yang memuaskan kepada mereka. Perlakuan yang buruk dan kasar dari keluarga dan berdampak kurang baik pada perkembangan dan pertumbuhan seorang remaja.

Keadaan yang demikian akan berpengaruh pada gangguan jiwa mereka. Misalnya sulit mengeluarkan pendapat, tidak kretif, tidak percaya diri dan lain sebgainya.

Nashih Ulwan berpendapat bahwa akibat perlakuan kasar dan kejam orang tua dapat mempengaruhi jiwa anak mereka, bukan saja dapat melahirkan sikap-sikap cemas, gejala takut, tapi juga lebih parah yakni dapat saja mereka membunuh kedua orang tuanya. Atau perilaku yang lebih ringan dar itu, meninggalkan lingkungan keluarga untuk mencari lingkungan lain yang dapat memberikan perlindungan secara utuh.

Sementara menurut Zakiah Darajat mengemukakan bahwa banyak alasan mengapa para orang tua melakukan tindakan kasar dank eras. Di anatanya adalah keinginan orang tua agar anaknya disiplin, hidup tertaur, kedua, merupakan aksi balas dendam atas perlakuan orang tuanya tempo dudlu, maka dilampiaskan kepada anaknya.

Karenanya, dalam rangka pembinaan akhlak social anak di lingkungan keluarga, agama Islam memberikan tuntunan tentang pentingnya perlakuan yang

ramah dan penuh kasih saying dari kedua orang tuanya terhadap anaknya Allah berfirman sebagai berikut: (QS. 3:159)

َا بَف

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Al-Imran:159)(Hasbi Assiddiqi, dkk: 1989: 103) b. Panutan dalam Keluarga

Secara psikologis, remaja memang sangat membutuhkan panutan atau contoh dalam keuarga. Sehingga dengan contoh tersebut remaja dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, jika remaja tidak memperoleh model atau perilaku yang mencerminkan perilaku yang karimah, tentu merekapun akan melakukan hal-hal yang kurang baik. Sebagaimana ungkapan Nashih Ulwan antara lain:

Pada dasarnya sang anak yang melihat orang tuanya berbuat dusta, tidak mungkin ia belajar jujur. Sang anak melihat orang tuanya berkhinanat, tidak mungkin ia belajar amanah. Sang anak, yang melihat orang tua selalu mengikuti hawa nafsu, tidak mungkin akan belajar keutamaan. Sang anak, yang mendengar kedua orang tuanya berkata kufur, caci maki dan celaan, tidak mungkin akan belajar bertutur manis. Sang anak, yang melihat kedua orang tua marah, bertegang urat dan emosi, tidak mungkin ia akan belajar sabar. Sang anak yang melihat kedua orang tuanya bersikap keras dan bengis, tidak mungkin iaakan belajar kasih sayang.

Zakiah Daradjat mengemukakan tentang tidak adanya panutan atau contoh dalam keluarga akan berdampak pada jeleknya pribadi anak. Lebih lanjut ia mengatakan sebagai berikut:

Apabila orang tua pasif atau kurang memperhatikan pendidikan ankanya dan tidak menjauhkannya dan pengaruh contoh yang tidak baik dalam lingkungan itu, maka akan sukarlah untuk mengatur kelakuan anak-anak. Karena anak-anak mudah terpengaruh oleh tinadakan-tindakan dan kelakuak orang dewasa daripada

nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk. Misalnya seorang bapak yang mengindahkan kaidah-kaidah moral, suka mengganggu kepentingan orang lain, main wanita, dan sebagainya. Maka anak yang telah remaja akan lebih tertarik kepada perbuatan-perbuatan yang dilihatnya menggembirakan dan menyenangkan itu, daripada mendengarkan nasihat-nasihat, yang berlainan dengan contoh yang diberikan itu.

Demikian sang anak tumbuh dalam kebaikan dan terdidik dalam keutamaan akhlak jika ia melihat kedua orang tuanya memberikan teladan yang baik. Charles Schaefer berpendapat bahwa contoh teladan dapat lebih efektif dari bahasa sendiri, karena teladan itu menyediakan isyarat-isyarat nonverbal yang berarti menyediakan suatu contoh yang jelas untuk ditiru. (Charles Schaefer, 1997:14) demikian pula sang anak akan tumbuh dalam penyelewengan dan berjalan di jalan kufur, fusuq, dan maksiat, jika melihat orang tuanya memberi teladan yang buruk. Lebih lanjut Nashihah Ulwan mengungkapkan pendapatnya melalui syairyqang berbunyi:

Apakah diharapkan bagi anak-anak, untuk menjadi manusia sempurna, jika mereka bersusukan pada kekurangan-kekurangan (Abdullah Nashih Ulwan:

1990:36).

Pendidikan dan pembinaan akhlak anak dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua. Contoh yang terdapat pada prilaku dan sopan santun orang tua dalam hubungan dan pergaulan antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.

Berapa besar pengaruh contoh dan prilaku orang tua pada anak. Benjamin Spock (1982) mengemukakan, bahwa setiap individu akan selalu mencari figure yang dapat dijadikan teladan ataupun idola bagi mereka. Orang tua, pada umumnya merupakan teladan bagi anak-anak mereka yang sejenis, serta idola bagi mereka yang berlainan jenis. Artinya, seorang ayah adalah teladan bagi anak laki-lakinya dan idola bagi anak perempuannya.

c. Lingkungan Bermain dan Bergaul

Umar Hasyim mengemukakan bahwa:

Lingkungan sekitar benar-benar amat besar pengaruhnya kapada perkembangan pribadi seseorang. Kawan sekerja, kawan sepermainan, kawan

sekolah, masyarakat yang mengelilinginya, semua itu besar pengaruhnya terhadap seseorang. Karena pengaruh dorongan dan ajakan orang lain, seseorang bisa menjadi pencopet, pencuri, pemabuk, maenjadi budak heroin dan narkotika, menjadi anak yang nakal dan sebagainya.

Pandangan Umar Hasyim di atas, mengisyaratkan bahwa betapa kuat dan besar pengaruhnya pergaulan dengan orang-orang yang kurang baik (nakal dan jahat). Lebih-lebih, andaikata pembinaan aqidah akhlak di lingkungan keluarga kurang relative kurang. Kondisi ini semakin parah dan mendorong remaja jatuh pada perbuatan-perbuatan yang penuh dengan noda dan dosa. Nashihah Ulwan mengemukakan bahwa:

…Yang mengakibatkan anak menyimpang adalah pergaulan negative dan rusak. Terutama jika anak itu bodoh, lemah aqidahnya dan mudah terombang-ambing akhlaknya. Mereka cepat terpengaruh oleh teman-teman yang nakal dan jahat, di samping cepat mengikuti kebiasaan dan akhlak yang rendah, sehinmgga perbuatan yang jahat dan menyimpang menjadi bagian dari tabiat dan kebiasaan mereka.

Berkaitan dengan persoalan tentang pentingnya selektif dalam bergaul, Allah SWT berfirman: tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul" (28) Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku)” (QS. Al-Furqan:27-28)(Hasbi Assiddiqi, dkk: 1989: 563)

Selanjutnya, Rasul lebih konkrit memberikan perumpamaan tentang pentingnya setiap individu untuk memilih dan memilah teman bergaul. Beliau bersabda yang artinya:

“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk bagaikan pembawa minyak kesturi dan peniup api. Pembawa minyak kesturi, baik dmia memberimu atau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau yang harum darinya. Sedangkan peniup api, baik ia kan membakar pakaianmu ataukah engkau akan mendapatkan bau busuk darinya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pergaulan dengan orang-orang yang nakal dan jahat cukup besar dampaknya terhadap perkembangan pribadi seorang remaja. Dengan kata lain, pengaruh negative tersebut akan memberikan warna yang kurang baik bahkan jelek. Pengaruh yang

kurang baik tersebut adalah berupa kebiasaan-kebiasaan atau perilaku-perilaku yang tidak mencerminkan keluhuran norma agama.

d. Pendidikan Agama

Agama dalam masyarakat manusia bukan hanya sebagai fenomena sosial melainkan sebagai daya dorong kehidupan (motivator), sebagai elan vitale- nya ataupun sebagai pattern of reference manusia dalam kehidupan. Daya kehidupan merupakan kebutuhan manusia untuk mempertahankan dan mengembangkannya.

Agama dalam pengertiannya yang terbatas di lingkungan pemeluk agama samawi terutama Islam, merupakan petunjuk Allah yang tertuang dalam bentuk kaidah-kaidah perundangan yang dtunjukan kepada orang-orang yang berakal budi, supaya mereka mampu berusaha di jalan yang benar dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat nanti (Muzayyin, 2003: 86).

Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, dalam kajiannya tentang pendidikan agama telah menyimpulkan beberapa tujuan yang asasi bagi pendidikan agama Islam yang diuraikan dalam bukunya, al-Tarbiyah al-Islamiyah waFalsafaha, diantaranyayaitu:

1. Membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan agama Islam.

2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan agama Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan dan keduniaan saja, tetapi menaruh perhatian pada keduanya sekaligus.(Jamali Sahrodi, 2008:24)

Pengetahuan, pengamalan, serta pengalaman tentang ajaran agamanya merupakan suatu keterpaduan yang tampak jelas dalam perilaku sosialnya. Agama juga memberikan prinsip-prinsip landasan bagi manusia untuk mengembangkan potensi kejiwaan (berpikir, berkehendak, berperasaan dan sebagainya) (Abdullah, 1981:151).

Orang tua bertanggung jawab memberikan pendidikan agama maksud tangung jawab ini adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan, keislaman, sejak anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Dasar-dasar keimanan

dalam pengertian ini adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan dengan jalan khabar secara benar berupa hakikat keimanan dengan masalah gaib.

Penanaman aqidah ini, telah dicontohkn oleh para Nabi terdahulu, sebagaimana diceritakan oleh Allah Swt dalam Qur’an yaitu dalam surat Al-Baqarah:132:

َُٰ حصَّوَو

ُ هََٰرۡب إُ ٓ َه ب ُ

ُ حَ إُ ح نَِبََٰيُ بو قۡعَيَوُ هي نَبُ م

َُ حللّٱ

ُ

َُٰ َف َط ۡصٱ

ُ

ُ م كَل

َُني لٱ

ُ

ُ َلََف

ََُو ا ل ۡسُّمُم تو َ أَوُ ح

لَ إُ حن تو اَت ١٣٢

ُ

Artinya: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya´qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam" (QS. Al-Baqarah:132)(Hasbi Assiddiqi, dkk: 1989: 34)

Dokumen terkait