berpengaruh dalam proses kebakaran hutan. Upaya pencegahan kebakaran hutan telah mulai menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG digunakan untuk menghasilkan model yang dapat menunjukkan zona kerawanan kebakaran hutan.
Pencegahan kebakaran hutan merupakan langkah yang harus diambil guna mencegah kerusakan hutan lebih lanjut. Informasi mengenai daerah rawan kebakaran hutan menjadi sangat penting bagi pengelola hutan. Model spasial yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan akan kebakaran hutan yang berbeda dapat menjadi salah satu masukan bagi upaya pencegahan kebakaran hutan.
B. Faktor‐faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan 1. Faktor aktivitas manusia
Penyebab kebakaran hutan di Indonesia umumnya adalah manusia baik sengaja maupun karena unsur kelalaian, dimana kegiatan konversi menyumbang 34 %, peladang liar 25 %, pertanian 17 %, kecemburuan social 14 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam (Dephut, 2003).
Boonyanuphap (2001) menyatakan bahwa pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Faktor aktivitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003). Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan pembakaran.
Kebakaran yang dilakukan oleh masyarakat dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep
11 penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang luas lahannya kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut kerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani, yayasan, atau koperasi (Pratondo 2007).
Beberapa aktivitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi sonor (dimana padi ditanam pada lahan‐lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim kemarau), diduga menjadi sumber pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (PFFSEA 2003). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan miliknya yang penyiapan lahannya dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar. Semak merupakan area dengan kemungkinan aktivitas peladang berpindah.
Pada umumnya mereka membuat sekat bakar, melakukan pembakaran balik, menjaga nyala api sampai padam. Hardjanto (1998) menyatakan bahwa pembakaran dilakukan oleh petani untuk menambah kesuburan dan biasanya satu keluarga hanya mampu membakar ladang seluas 1 ha. Pembukaan lahan juga dilakukan oleh perambah hutan, namun tujuannya adalah untuk mencari kayu. Perambahan hutan pada umumnya dilakukan di area milik perusahaan (Pratondo 2007). Kebakaran akan semakin luas dengan bertambahnya pendatang baru yang akan membuka ladang dengan pembakaran.
Pratondo (2007) menyatakan bahwa masyarakat maupun pengembang berupaya mengkonversi hutan secara besar‐besaran. Di Kalimantan Barat menurut dia, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan pembukaan lahan secara besar‐besaran untuk kelapa sawit, dimana setelah IUPHHK memanen kayu komersial, maka selanjutnya terjadi perubahan status lahan dari hutan menjadi perkebunan sawit atau IUPHHK HT. Dalam penyiapan lahannya mereka menggunakan api untuk membersihkan bahan bakar yang terdapat di atas permukaan tanah. Berdasarkan studi Bappedalda Kaltim tahun 1998 menunjukkan bahwa sebesar 22 % kebakaran disebabkan
12 oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sedangkan sebesar 41 % oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK HT).
2. Faktor lingkungan biofisik (a). Karakteristik bahan bakar
Karakteristik bahan bakar di hutan tropis bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang sangat tinggi atau kapasitas panas tinggi. Pembangunan HTI dengan spesies eksotis seperti Acacia mangium, Gmelina arborea atau Eucalyptus spp. bisa menyumbangkan tingkat resiko bahaya kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan ada muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan.
Brown dan Davis, (1973) dan Chandler (1983) menyebutkan bahwa terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu (1) bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, dan gambut; (2) bahan bakar permukaan terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang semua belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; (3) bahan bakar tajuk terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati berada di atas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter.
Wright dan Bailey (1982) menyatakan bahwa jenis bahan bakar semak dan anakan, penutup tanah serta serasah merupakan bahan bakar halus yang sangat mudah menyala. Demikian juga cabang yang mati dan sisa tebangan adalah bahan bakar potensial dan mudah menyala sehingga dalam jumlah banyak dapat menyebabkan area kebakaran yang sangat luas. Makin kecil ukuran bahan bakar, maka proses transfer panas melalui radiasi, konveksi dan konduksi dari titik yang sedang terbakar ke bahan yang belum terbakar dapat berlangsung bersamaan sehingga suhu penyalaan cepat tercapai (Davis 1959).
13
Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu :
1. Ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sulit terbakar
2. Susunan bahan bakar, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran
3. Volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperatur tinggi dan sulit dipadamkan
4. Kerapatan bahan bakar, kayu akan terbakar dengan baik pada kerapatan tinggi dan pada bila kerapatan rendah; sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi
5. Kadar air bahan bakar, bahan bakar yang banyak mengandung air lebih sulit terbakar
Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar (Chandler et al. 1983, dan Pyne et al. 1996) adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Selain itu kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar api sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air bahan bakar berubah seiring dengan perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek. Kadar air gambut (peat moisture) ditentukan ketebalan gambut. Kadar air gambut jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar air tanah mineral. Kadar air gambut yang belum mengalami perombakan berkisar antara 500 % ‐ 1000 %, sedangkan kadar air gambut yang telah mengalami perombakan berkisar 200 % ‐ 600 % (Boelter, 1996 diacu dalam
14 Noor, 2001). Kemampuan gambut yang terbakar dalam memegang air turun sekitar 50 % (Rieley et al. 1996 dalam Noor 2001).
(b). Tipe tanah
Kejadian kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Tengah lebih banyak terjadi pada tipe tanah gambut (peat soil). Hutan gambut yang tumbuh di atas tanah tipe gambut adalah tipe hutan rawa gambut (peat swamp forest). Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah bergambut pada umumnya dipengaruhi oleh kandungan air gambut, jumlahnya sesuai dengan curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi (Rahayu B. 1998), dan dipengaruhi oleh kondisi drainase (Kusmana et al. 2008). Selanjutnya Kusmana et al. 2008 juga menyatakan bahwa tanah gambut yang sudah terbuka dan dimanfaatkan cenderung padat, menjadi lebih kering sehingga mudah terbakar.
Kebakaran di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan tipe kebakaran hutan yang lainnya yang sulit dideteksi dan dikendalikan. Kebakaran di tanah gambut menembus ke bawah lapisan tanah dan membentuk lubang corong, kemudian api menyebar di bawah permukaan secara horizontal (Syaufina 2002). Lebih lanjut Syaufina (2002) menjelaskan bahwa variasi iklim berperan penting dalam mempengaruhi kebakaran rawan gambut. Secara statistik, musim mempengaruhi kandungan air, bulk density, potassium, magnesium, sodium dan tinggi muka air. Kecenderungan peningkatan ditemui pada bulk density dan kandungan magnesium terjadi pada musim kemarau, di samping terjadi kecenderungan penurunan kadar air, potassium, sodium dan tinggi muka air.
Menurut Harahap dan Hutagalung (1998), tanah gambut di Indonesia pada umumnya merupakan gambut kayuan dimana pembentukannya berasal dari pohon dan semak belukar yang tertimbun di daerah yang umumnya tergenang air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa