MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
(Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah)
SAMSURI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Samsuri
ABSTRACT
SAMSURI. Spatial Model of Land and Forest Fire Risk Index, Case Study in Central Kalimantan Province. Under the direction of I NENGAH SURATI JAYA and LAILAN SYAUFINA
Forest fire is one of the causing factors of deforestation. According to hotspot data from NOAA 12 satellite, Central Kalimantan is one of Indonesia province with the most number of hotspot during 2002‐2006 year. Forest fire prevention is an effort to reduce forest degradation rate.
This paper describes spatial models of land and forest fire risk in Central Kalimantan. The models were established base on human factor and biophysical factor approaches. The main objective of this research is to map out forest fire risk index in Central Kalimantan as well as to identify the major factor that significantly affects the forest fire risk itself.
Materials used in this research were thematic maps within vector format. They were soil type map, land system map, road map, river map, village map, land cover map, city map, land allocation map and hotspot data.
The study use CMA (Composite Mapping Analysis) method to develop spatial model of land and forest fire risk. The mathematical model obtained from this study is: y = ‐0,00004x2 + 0,021x – 0,356 having R2 about 54 %. The significant factors that affect the forest fire risk are land allocation, land cover, land system and soil type. Model validation shows that the model can predict the risk fire index providing 66,76 % of accuracy.
RINGKASAN
SAMSURI. Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Di bawah bimbingan I NENGAH SURATI JAYA dan LAILAN SYAUFINA
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di berbagai negara. Kebakaran hutan menyebabkan kerusakan yang signifikan terhadap lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati dari hutan, polusi udara dan kerugian ekonomi lainnya. Kebakaran yang merusakkan area cukup luas terjadi pada tahun 1991 yang mencapai 118.831 ha, tahun 1994 seluas 161.798 ha, dan yang lebih luas lagi pada tahun 1997‐1998 mencapai 519.752 ha (Suratmo et al. 2003). Kebakaran hutan dan lahan memberikan dampak signifikan terhadap sosial ekonomi, dimana diperkirakan kerugian yang ditimbulkan kebakaran tahun 1997‐1998 berkisar US$ 8.7 juta sampai US$ 9.6 juta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan faktor‐faktor yang menjadi faktor utama pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta menganalisis data curah hujan dan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan; dan mendapatkan tingkat kerusakan tegakan di area bekas kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kalimantan Tengah yang merupakan daerah dengan hotspot lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
Bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi peta digital (format vektor) yaitu tipe sistem lahan, penutupan lahan, penggunaan lahan, jaringan sungai, jaringan jalan, pusat desa/perkampungan, kota kecamatan, batas administrasi, dan jenis tanah wilayah propinsi Kalimantan Tengah, Sebaran dan lokasi (koordinat) hot spot Kalimantan , dan data curah hujan harian. Sedangkan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi personal computer dan paket software ArcView GIS versi 3.2, Spiegel Relaskop Bitterlich (SRB), phi band, kompas, GPS Garmin XL dan kamera digital.
Metode yang digunakan untuk menyusun model adalah metode Composite Mapping Analysis (CMA). Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan dibuat berdasarkan pada distribusi kejadian titik panas di propinsi Kalimantan Tengah, khususnya pada bulan‐bulan di mana jumlah hotspot mencapai puncaknya. Penelitian ini melibatkan 8 faktor yang dapat mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan yaitu tutupan lahan (x1), jarak terhadap sungai (x2), jarak terhadap jalan (x3), jarak terhadap pusat desa (x4), jarak terhadap pusat kota (x5), penggunaan lahan (x6), tipe tanah (x7) dan sistem lahan (x8).
lahan HTI dengan cara membakar, selain aktifitas pembakaran di sekitar kawasan HTI juga diduga merembet ke area HTI sehingga terjadi kebakaran di luar area HTI. Jumlah hotspot pada tipe sistem lahan shallow peat (gambut dangkal) sebesar 1,613 adalah tertinggi disusul hotspot pada deeper peatswamp forest (rawa gambut dalam) sebanyak 1 491. Gambut dangkal pada musim kemarau lebih cepat kering yang berarti kadar air rendah. Kandungan kadar air yang rendah memerlukan energi yang relative lebih kecil umtuk menyalakan bahan bakar sehingga menjadi hotspot (Chandler et al 1983, Pyne et al 1996).
Untuk menghitung nilai koinsidensi antara skor kerawanan dan kejadian kebakaran, maka dipilih sebanyak 1.775 poligon berdasarkan area yang tercover oleh titik pengamatan lapangan. Empat faktor yaitu tutupan lahan, tipe tanah, sistem lahan dan fungsi kawasan, dan enam faktor (empat faktor ditambah jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jaringan jalan) menunjukkan potensi korelasi cukup baik dengan tingkat kepadatan hotspot. Dengan menggunakan koefisien persamaan regresi bobot masing‐masing faktor dapat ditentukan. Bobot masing‐masing faktor digunakan untuk menghitung skor komposit.
Bobot masing‐masing faktor menunjukkan tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap respon model. Fungsi kawasan memiliki pengaruh yang relatif lebih besar dibanding faktor lainnya yaitu sebesar 30,4 %. Perbedaan fungsi kawasan sebagai kawasan hutan produksi maupun kawasan bukan produksi dapat menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Hasil uji signifikansi model menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara model terpilih yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai Z hitung lebih kecil dari nilai kritis Z nya pada taraf nyata 5 %. Hasil perhitungan matrik koinsidensi model terpilih menunjukkan bahwa model terbaik mempunyai akurasi sebesar 52,56 %. Hasil uji akurasi menunjukkan juga bahwa pengkelasan ke dalam tiga kelas meningkatkan akurasi dari 52,56 % menjadi 66,76 %.
Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa semua daerah dengan kerawanan sangat tinggi sekali (extremely high) berada di lahan gambut yaitu seluas 85,018.70 ha (0.56 % dari total area studi), sedangkan area non gambut lebih banyak masuk ke dalam kelas sedang yaitu seluas 7,025,208.798 ha (46.02 % dari area studi). Hal ini karena tipe lahan gambut di Indonesia pada umumnya berupa gambut kayuan (Hutagalung et al 1998), yang pada saat musim kering sisa‐sisa kayu akan muncul dan akan sangat mudah terbakar. Kebakaran gambut sangat berbahaya dan sulit dideteksi karena tipe kebakaran gambut penjalarannya melalui bawah permukaan gambut dan membentuk cekungan (Syaufina, 2004).
Menurut tipe tutupan lahannya, maka area dengan tipe tutupan lahan semak seluas 80.708,99 ha (0,53 % total area studi) adalah area dengan tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan paling tinggi (extremely high). Hal ini disebabkan karena semak merupakan jenis bahan bakar yang lebih halus dibandingan dengan hutan, sehingga lebih mudah terbakar.
kawasan yang terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, sehingga kemungkinan terjadinya kebakaran lebih tinggi.
Jika dilihat dari tipe sistem lahannya, maka tiga sistem lahan yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran adalah sistem lahan deeper peat swamp, shallow peat, dan shallower peat. Hal ini ditunjukkan oleh model yang disusun dimana seluruh kawasan dengan tingkat resiko sangat tinggi sekali berada di tiga sistem lahan tersebut yaitu deeper peat swamp (8.188,44 ha atau 0,54 %), shallow peat (1.958,96 ha atau 0,01 % ) dan shallower peat (1.175,37 ha atau 0,01 %). Gambut terdiri dari sisa kayu, serasah dan ranting yang belum terdekomposisi yang pada musim kering akan mudah terbakar jika ada pemicunya. Makin dalam lapisan gambut, makin banyak kandungan sisa‐sisa kayu sehingga makin dalam lapisan gambut tingkat resiko kebakaran juga makin tinggi.
Berdasarkan analisis kecenderungan pola data antara data curah hujan bulanan dan jumlah hotspot menunjukkan bahwa jumlah hotspot dipengaruhi oleh besarnya curah hujan dengan koefisien determinasi 66.7 %.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) ada empat faktor (tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan) utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan nilai koefisien determinasi yang cukup (54 %), dan dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km2, (2). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan empat faktor memiliki akurasi sebesar 66,76 % untuk pengkategorian ke dalam tiga kelas, dan 52,6 % untuk pengkategorian ke dalam lima kelas, (3) besarnya curah hujan memiliki pengaruh terhadap jumlah hotspot, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 66,7 %, (4) tingkat kepadatan hotspot kurang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan tingkat, dimana nilai koefisien determinasinya hanya sebesar 1,7 %.
Hasil pemetaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa seluruh area dengan tipe tanah gambut merupakan daerah dengan tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sekali (extremely high risk). Oleh karena itu disarankan untuk melakukan penelitian yang mendalam, dengan menambahkan faktor ketebalan gambut untuk mengetahui perbedaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan ketebalan gambut.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi undang‐undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN:
Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
SAMSURI
Tesis
sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
Nama : Samsuri
NIM : E051040021
Disetujui
Komisi pembimbing P Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr. Ketua
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Tanggal lulus :
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia‐Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik penelitian yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret 2008 ini adalah pemodelan spasial, dengan judul Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan:Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya,M.Agr dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. yang dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi membimbing dan mengarahkan selama masa studi, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
2. Bapak Dr. Ir. M Buce Saleh, MS selaku penguji luar komisi atas nasehat, komentar, saran dan masukan untuk perbaikan tulisan.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS, wakil Program Studi IPK yang memberikan saran, kritikan dan nasehat sehingga tulisan ini menjadi lebih baik.
4. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara atas ijin dan dukungannya yang besar dalam melanjutkan studi pascasarjana
5. Internasional Research Institute (IRI), atas bantuannya sehingga penulis dapat melakukan survey lapangan.
6. Keluarga besar H Hamzah Zainuddin dan Lamiran atas dukungan dan doanya yang tiada henti
7. Pak Uus dan Kang Edwin yang membantu mempersiapkan data; teman‐ teman di Laboratorium Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis atas kebersamaannya; Mr & Mrs. Cupri atas bantuannya dalam seminar. 8. Rekan‐rekan dari Universitas Sumatera Utara, wadyabala IPK’2004;
mbak Tina UNPAR, Anderson dan mas Niin atas dukungannya selama di Kalimantan Tengah; serta semua kawan‐kawan yang tidak dapat disebutkan di sini.
9. Penulis sangat berterima kasih kepada yang penulis sayangi dan cintai istriku Nita serta anak‐anakku Najla dan Ziyan atas doa, pengorbanan dan kasih sayangnya selama menyelesaikan studi.
Mudah‐mudah tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan yang membaca tulisan ini.
Bogor, Agustus 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 9 Januari 1974 dari ayah Lamiran dan ibu Yaini. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.
Setelah menyelesaikan studi di SMA I Ponorogo pada tahun 1993, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Pada tahun 2000 penulis diangkat menjadi staf pengajar di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara sampai sekarang. Penulis melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2004 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
kupersembahkan
buat nita istriku,
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Kerangka Pemikiran ... 4
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Manfaat Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Kebakaran Hutan ... 9
B. Faktor‐Faktor Yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan ... 10
C. Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan ... 15
D. Pemodelan Spasial ... 17
III. METODE PENELITIAN ... 23
A. Tempat dan Waktu ... 23
B. Bahan dan Alat ... 23
C. Metode Penelitian ... 24
1. Pengumpulan Sekunder ... 24
2. Pengumpulan Data Lapangan ... 25
D. Metode Analisis Data ... 27
1. Tingkat Kerusakan ... 27
2. Analisis Data Spasial ... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A Sebaran Hotspot ... 33
B. Pemodelan Spasial Kebakaran Hutan dan Lahan ... 37
1. Jumlah hotspot dan tipe tutupan lahan ... 37
2. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan sungai ... 39
3. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan jalan ... 41
4. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat desa ... 42
5. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat kota ... 45
6. Jumlah hotspot dan jenis penggunaan lahan ... 47
7. Jumlah hotspot dan tipe tanah ... 50
8. Jumlah hotspot dan tipe sistem lahan ... 52
C. Pemberian Skor ... 54
ii
3. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 2 M2 (X1,X6,X7,
dan X8) ... 62
4. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 3 M3 (X1, X3, X4, X6, X7 dan X8) ... 64
5. Kepadatan hotspot dan skor komposit berdasarkan skor aktual .... 65
D. Validasi Model ... 67
E. Uji Akurasi Model. ... 69
F. Implementasi Model ... 70
G. Kerusakan Area Bekas Kebakaran ... 75
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
iii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Pengkelasan faktor yang akan digunakan dalam menyusun model ... 27
2. Selang nilai yang digunakan untuk membuat kelas kerawanan kebakaran hutan dan lahan ... 28
3. Pola pengolahan lahan petani di Kalimantan Tengah. ... 35
4. Kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan ... 38
5. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai ... 34
6. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan ... 41
7. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat desa ... 44
8 Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota ... 46
9. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak berbagai jenis penggunaan kawasan ... 48
10. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak tipe tanah ... 51
11 Kepadatan hotspot pada berbagai sistem lahan. ... 52
12. Nilai koefisien dan bobot
faktor penyusun skor komposit model ... 6113. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2 ... 62
14. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3 ... 67
15. Model hubungan antara skor komposit beberapa faktor dan tingkat kepadatan hotspot ... 68
16. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 ... 68
17. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 3 ... 59
18. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 dan model 3 ... 69
iv
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kerangka pemikiran ... 5
2. Tahapan pengolahan data ... 24
3. Pengelompokan kondisi pohon di area bekas terbakar ke dalam : (a) pohon mati komersial (a) pohon mati komersial, (b). pohon hidup, (c) pohon hidup merana, dan (d) pohon mati hangus ... 26
4. Perbandingan jumlah hotspot di Indonesia tahun 2002). ... 33
5. Sebaran hospot pada bulan Oktober 2002 di propinsi Kalimantan Tengah . ... 34
6. Diagram kepadatan penduduk di Kalimantan Tengah menurut wilayah kabupaten . ... 35
7. Diagram prosentase penduduk di Kalimantan Tengah menurut profesinya di di wilayah eks PLG ... 36
8 Pubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah hotspot ... 37
9. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan). ... 39
10. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai. ... 40
11. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan. ... 42
12. Pola jumlah hotspot per km2 pada berbagai jarak terhadap pusat desa/pemukiman). ... 44
13. Pola sebaran hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota kecamatan. ... 48
14. Sebaran jumlah hotspot pada berbagai fungsi kawasan ... 49
15. Area yang terbakar dengan tutupan lahan didominasi alang‐alang ... 50
16. Diagram jumlah hotspot pada tipe tanah gambut dan non gambut ... 50
17. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai tipe sistem lahan ... 53
18. Pola sebaran hotspot pada berbagai tipe sistem lahan ... 54
19. Diagram pencar skor tipe tutupan lahan terhadap jumlah hotspot per km2 ... 55
20. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan sungai terhadap jumlah hotspot per km2 ... 55
v
22. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak
terhadap pusat desa ... 57 23. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak
terhadap pusat kota km2 ... 58 24. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor
fungsi kawasan ... 59 25. Hubungan antara skor masing‐masing tipe tanah dan tingkat
kepadatan hotspot ... 59 26. Hubungan antara skor masing‐masing tipe sistem lahan dan
kepadatan hotspot per km2 ... 60 27. Hubungan antara skor komposit (X1, X6 dan X8) dengan tingkat
kepadatan hotspot per km2 ... 61 28. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) dan tingkat
kepadatan hotspot per km2 ... 64 29. Hubungan antara skor komposit (X1,X6, X3,X4,X7,dan X8) dan
tingkat kepadatan hotspot per km2 ... 65 30. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) dan tingkat
kepadatan hotspot per km2 (skor aktual) ... 66 31. Hubungan antara skor komposit (X1,X6, X3,X4,X7,dan X8) dan
tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual) ... 67 32. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah
Kalimantan Tengah (5 kelas) ... 71 33. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah
Kalimantan Tengah (3 kelas) ... 73 34. Kondisi tutupan lahan di area bekas terbakar pada area dengan
tingkat kerawanan sangat tinggi sekali ... 74 35 Kondisi area bekas terbakar di area bekas kebakaran (a). Pohon
terbakar bertunas kembali (hidup merana), dan (b) . Pohon mati
hangus ... 75 36. Hubungan antara persentase pohon hidup sehat di area bekas
kebakaran dengan jumlah hotspot ... 76 37. Peta tingkat kerusakan tegakan hasil analisis data lapangan ... 77
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks
1. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tutupan lahan ... 83
2. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap sungai ... 84
3. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jaringan jalan ... 85
4. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa ... 86
5. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa ... 88
6. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor fungsi kawasan ... 90
7. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tanah ... 91
8. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe sistem lahan ... 92
1 I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian kebakaran hutan di Indonesia telah menarik perhatian masyarakat internasional karena dampak terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan berdampak negatif terhadap pembangunan daerah dan nasional, juga berpengaruh langsung terhadap kanekaragaman hayati, mata pencaharian dan kesehatan masyarakat setempat. Dampak negatif juga menimpa infrastruktur transportasi dan industri.
Kebakaran hutan dan lahan yang hebat di Indonesia pada tahun 1981/1982 terjadi di Kalimantan Timur yang mencapai luas 3,6 juta Ha (Suratmo et al 2003). Menurut PHPA‐JICA 1998 dalam Suratmo 2003 dalam kurun waktu tahun 1985‐1990 luas kebakaran hutan di Indonesia berkisar antara 25.000 dan 50.000 Ha per tahun. Kebakaran yang merusakkan area cukup luas terjadi lagi pada tahun 1991 yang mencapai 118.831 Ha, tahun 1994 seluas 161.798 Ha, dan yang lebih luas lagi pada tahun 1997‐1998 mencapai 9.655.000 Ha Bappenas (1999) dalam Ganz (2002)
Menurut data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dalam Statistik Kehutanan tahun 2006, luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 berturut‐turut adalah 7.089,95 Ha, 4.868,78 Ha 13.742,01 dan 55.933,55 Ha. Luas kebakaran cenderung naik dari tahun 2003 sampai tahun 2006.
2 diikuti oleh Kalimantan Barat, sedangkan di pulau Sumatera terbanyak berada di propinsi Sumatera Selatan dan Riau.
Kebakaran hutan dan lahan berdampak negatif terhadap sosial ekonomi, dimana diperkirakan kerugian yang ditimbulkan kebakaran tahun 1997‐1998 berkisar US$ 8.7 juta sampai US$ 9.6 juta. Menurut WWF dalam Suratmo 2003 kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 mencapai 4.5 juta dollar AS.
Kebakaran hutan dan lahan juga menambah volume gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca diperkirakan berasal dari lebih dari 12 juta Ha hutan yang terbakar di Sumatera, Kalimantan, Brasilia dan Meksiko (Murdiyarso dan Adiningsih, 2006) dan diperkirakan Indonesia berkontribusi sekitar 1.45 Gt C ke atmosfer pada tahun itu. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 1997/1998 mengeluarkan emisi gas yang menyebabkan efek rumah kaca lebih dari 700 milliar metrik ton CO2 ke atmosfer.
Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tahun 1997 ini telah menghilangkan lapisan gambut setebal 35‐70 cm (Jaya et al 2000) berakibat atas kestabilan lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara dengan pelepasan karbon (C) sebanyak 0,2–0,6 Gt (Siegert, 2002).
Kebakaran tahun 2006 juga menimbulkan asap, yang berimplikasi pada
tertundanya penerbangan dan kegiatan pariwisata. Greenomic (2006) memperkirakan
potensi kerugian di bidang penerbangan dan pariwisata akibta kebakaran sebesar 4,89
miliar rupiah.
3 Diperlukan usaha‐usaha untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan untuk menghindari berbagai dampak negatif yang telah diketahui menimbulkan kerugian yang sangat besar baik dalam bidang sosial, ekonomi dan ekologi melalui pendekatan berbagai faktor penyebab dan pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan.
Salah satu usaha untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah melalui pengembangan sistem peringatan dini akan bahaya kebakaran. Sistem peringatan dini akan lebih memberikan informasi jika dilengkapi dengan data spasial.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka usaha pencegahan kebakaran hutan merupakan langkah pertama dalam pengurangan kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh kebakaran. Salah satu usaha untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan diantaranya adalah melalui sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini yang dapat digunakan antara lain peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Pengetahuan tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan suatu wilayah sangat penting bagi keberhasilan kegiatan pencegahan kebakaran hutan.
Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan dapat dibuat dengan menggunakan pemodelan hubungan antara kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan faktor‐faktor yang mempengaruhinya. Karena faktor‐faktor tersebut sebagian besar bereferensi keruangan, maka pemodelan ini dapat didekati dan dibangun dalam suatu sistem informasi geografis.
4 dan faktor pemicunya. Oleh karenanya pemahaman perilaku kebakaran sangat diperlukan dalam rangka menyusun rencana dan usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Perilaku kebakaran merupakan hasil interaksi dari faktor lingkungan dimana api menyala yang dinyatakan dalam konsep lingkungan api. Tiga unsur kebakaran yang menyusun segitiga api yaitu bahan bakar, oksigen atau udara dan sumber panas merupakan unsur yang saling terkait. Pelemahan satu unsur akan mengurangi peluang terjadinya penyalaan api.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia diduga lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Menurut Saharjo dan Husaeni (1998) dalam Soewarso (2003), kebakaran yang disebabkan proses alam sangat kecil dan sebagai contoh untuk kasus Kalimantan kurang dari 1%. Walaupun demikian, belum diketahui dengan pasti faktor‐faktor apa saja yang signifikan sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan khususnya di Indonesia baik dari segi manusia maupun lingkungan fisiknya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain:
- Faktor‐faktor apa saja yang menjadi faktor utama yang memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan ?
- Bagaimana kondisi tegakan di areal bekas kebakaran hutan dan lahan ?
C. Kerangka Pemikiran
5 Faktor manusia Kebakaran Hutan Data Spasial Cara pencegahan/ peringatan dinin Kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan Prediksi kebakaran/ pemodelan Faktor paling berpengaruh Tindakan pencegahan Data atribut meminimalkan perlu Faktor Alam
Fire risk Fire behaviour
Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran.
Bagian penting dalam usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan diantaranya adalah melakukan analisis tingkat resiko serta penyebab kebakaran hutan dan lahan. Dalam usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan akan sangat berguna jika disajikan juga data dan informasi tentang penyebab utama kebakaran, kerawanan suatu lokasi dan lokasi yang harus dilindungi. Informasi umum yang harus dimuat dalam petunjuk pencegahan kebakaran diantaranya adalah peta kejadian kebakaran, statistik kebakaran, peta tingkat kerawanan kabakaran, peta bahaya kebakaran dan peta kerja.
6 adalah aktivitas masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya jaringan jalan, jaringan sungai, pusat pemukiman dan lahan‐lahan budidaya.
Faktor tipe tutupan lahan diduga sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam hubungannya dengan ketersediaan bahan bakar. Tipe tutupan lahan yang berbeda menentukan sifat‐ karakteristik dan volume potensi bahan bakar.
Tipe sistem lahan dan tipe tanah menjadi salah satu faktor penentu tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan karena tipe sistem lahan dan tipe tanah menentukan karakteristik penyusun tanah. Pada tipe tanah dan sistem lahan yang berbeda, mengandung kadar bahan organik yang berbeda di mana bahan organik ini dapat memberikan pengaruh pada tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan yang berbeda
Faktor manusia yang mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan berkaitan dengan aktivitas manusia. Jaringan jalan diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan, karena jaringan jalan merupakan sarana bagi manusia untuk mendatangi suatu kawasan hutan atau lahan. Demikian juga dengan jaringan sungai juga menjadi salah satu prasarana transportasi khususnya di Kalimantan Tengah. Jika manusia memasuki suatu lahan tertentu, dapat diduga bahwa peluang terjadinya kebakaran lebih tinggi dibandingkan dengan jika tidak ada aktivitas manusia.
Pusat‐pusat pemukiman baik berupa desa maupun kota menjadi salah satu faktor yang diduga mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan. Penduduk yang tinggal di pusat‐pusat pemukiman akan memanfaatkan sumberdaya alam yang berada pada lahan yang lebih mudah dijangkau dari tempat tinggal mereka. Penggunaan lahan‐lahan di sekitar pusat pemukiman ini diduga dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sehingga pada area yang lebih dekat dengan pusat pemukiman peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan lebih tinggi.
7 menyebabkan masyarakat tidak akan memasuki kawasan tersebut karena adanya sanksi‐sanksi jika melakukan pemanfaatan lahan di kawasan yag dilindungi. Sedangkan penetapan kawasan sebagai kawasan produksi dan pengembangan budidaya menyebabkan masyarakat memasuki kawasan ini, sehingga peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan diduga akan lebih tinggi dibandingkan di kawasan yang dilindungi.
Identifikasi dan analisis dilakukan terhadap faktor‐faktor tersebut, sehingga dapat ditemukan faktor‐faktor mana yang paling berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Faktor‐faktor ini akan digunakan untuk menyusun model penduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang dapat digunakan dalam penyusunan sistem peringatan dini.
Jika sistem peringatan dini ini dapat dijalankan secara effektif dan benar maka pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat berhasil. Keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat dinilai dari penurunan kejadian kebakaran, dan pengurangan dampak akibat kebakaran.
Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji faktor yang diduga sebagai faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan yaitu faktor alam dan faktor manusia yaitu aktivitas masyarakat termasuk aksesibilitasnya. Kebakaran hutan dan lahan dalam penelitian ini dijadikan sebagai peubah respon.
8 D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan faktor‐faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Di samping tujuan utama tersebut terdapat beberapa tujuan tambahan yaitu :
a. Mendapatkan hubungan antara kondisi penggunaan lahan yang direpresentasikan oleh penutupan lahan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan
b. Mengidentifikasi hubungan curah hujan dan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan
c. Mendapatkan tingkat kerusakan tegakan di area bekas kebakaran hutan dan lahan
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh melalui identifikasi dan penemuan faktor‐ faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah penelitian antara lain :
• Bahan masukan dalam upaya penyusunan sistem informasi pengendalian,
khususnya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di wilayah penelitian
• Menambah informasi sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan di wilayah penelitian
9
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur‐unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya menyebar bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar berupa vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma (Brown dan Davis 1973).
Penyebab utama kebakaran hutan yang disebutkan adalah konversi ke penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, kebakaran, over eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001).
Dalam dua puluh tahun terakhir, kebakaran telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi hutan hujan tropis terutama di Indonesia. Kebakaran merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, membakar areal dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan 1997.
Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Kerugian ekonomi dan kerusakan ekologis begitu luar biasa (IFFM/GTZ 1998 dalam Sunuprapto 2000).
Hutan hujan Indonesia terbakar karena beberapa faktor yang saling berhubungan yang berkaitan dengan manusia dan alam. Kemungkinan terbakarnya suatu hutan bergantung pada tingkat bahaya dan resiko api. Bahaya api adalah ukuran tentang jumlah, jenis dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Tingkat resiko api umumnya berhubungan dengan tindakan manusia, seperti melakukan pembakaran di dekat hutan saat bahaya kebakaran tinggi (Glover dan Jessup 2002).
10 berpengaruh dalam proses kebakaran hutan. Upaya pencegahan kebakaran hutan telah mulai menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG digunakan untuk menghasilkan model yang dapat menunjukkan zona kerawanan kebakaran hutan.
Pencegahan kebakaran hutan merupakan langkah yang harus diambil guna mencegah kerusakan hutan lebih lanjut. Informasi mengenai daerah rawan kebakaran hutan menjadi sangat penting bagi pengelola hutan. Model spasial yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan akan kebakaran hutan yang berbeda dapat menjadi salah satu masukan bagi upaya pencegahan kebakaran hutan.
B. Faktor‐faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan
1. Faktor aktivitas manusia
Penyebab kebakaran hutan di Indonesia umumnya adalah manusia baik sengaja maupun karena unsur kelalaian, dimana kegiatan konversi menyumbang 34 %, peladang liar 25 %, pertanian 17 %, kecemburuan social 14 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam (Dephut, 2003).
Boonyanuphap (2001) menyatakan bahwa pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Faktor aktivitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003). Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan pembakaran.
11 penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang luas lahannya kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut kerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani, yayasan, atau koperasi (Pratondo 2007).
Beberapa aktivitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi sonor (dimana padi ditanam pada lahan‐lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim kemarau), diduga menjadi sumber pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (PFFSEA 2003). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan miliknya yang penyiapan lahannya dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar. Semak merupakan area dengan kemungkinan aktivitas peladang berpindah.
Pada umumnya mereka membuat sekat bakar, melakukan pembakaran balik, menjaga nyala api sampai padam. Hardjanto (1998) menyatakan bahwa pembakaran dilakukan oleh petani untuk menambah kesuburan dan biasanya satu keluarga hanya mampu membakar ladang seluas 1 ha. Pembukaan lahan juga dilakukan oleh perambah hutan, namun tujuannya adalah untuk mencari kayu. Perambahan hutan pada umumnya dilakukan di area milik perusahaan (Pratondo 2007). Kebakaran akan semakin luas dengan bertambahnya pendatang baru yang akan membuka ladang dengan pembakaran.
12 oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sedangkan sebesar 41 % oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK HT).
2. Faktor lingkungan biofisik
(a). Karakteristik bahan bakar
Karakteristik bahan bakar di hutan tropis bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang sangat tinggi atau kapasitas panas tinggi. Pembangunan HTI dengan spesies eksotis seperti Acacia mangium, Gmelina arborea atau Eucalyptus spp. bisa menyumbangkan tingkat resiko bahaya kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan ada muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan.
Brown dan Davis, (1973) dan Chandler (1983) menyebutkan bahwa terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu (1) bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, dan gambut; (2) bahan bakar permukaan terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang semua belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; (3) bahan bakar tajuk terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati berada di atas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter.
13
Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu :
1. Ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sulit terbakar
2. Susunan bahan bakar, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran
3. Volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperatur tinggi dan sulit dipadamkan
4. Kerapatan bahan bakar, kayu akan terbakar dengan baik pada kerapatan tinggi dan pada bila kerapatan rendah; sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi
5. Kadar air bahan bakar, bahan bakar yang banyak mengandung air lebih sulit terbakar
14 Noor, 2001). Kemampuan gambut yang terbakar dalam memegang air turun sekitar 50 % (Rieley et al. 1996 dalam Noor 2001).
(b). Tipe tanah
Kejadian kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Tengah lebih banyak terjadi pada tipe tanah gambut (peat soil). Hutan gambut yang tumbuh di atas tanah tipe gambut adalah tipe hutan rawa gambut (peat swamp forest). Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah bergambut pada umumnya dipengaruhi oleh kandungan air gambut, jumlahnya sesuai dengan curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi (Rahayu B. 1998), dan dipengaruhi oleh kondisi drainase (Kusmana et al. 2008). Selanjutnya Kusmana et al. 2008 juga menyatakan bahwa tanah gambut yang sudah terbuka dan dimanfaatkan cenderung padat, menjadi lebih kering sehingga mudah terbakar.
Kebakaran di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan tipe kebakaran hutan yang lainnya yang sulit dideteksi dan dikendalikan. Kebakaran di tanah gambut menembus ke bawah lapisan tanah dan membentuk lubang corong, kemudian api menyebar di bawah permukaan secara horizontal (Syaufina 2002). Lebih lanjut Syaufina (2002) menjelaskan bahwa variasi iklim berperan penting dalam mempengaruhi kebakaran rawan gambut. Secara statistik, musim mempengaruhi kandungan air, bulk density, potassium, magnesium, sodium dan tinggi muka air. Kecenderungan peningkatan ditemui pada bulk density dan kandungan magnesium terjadi pada musim kemarau, di samping terjadi kecenderungan penurunan kadar air, potassium, sodium dan tinggi muka air.
15 berdasarkan kedalamannya gambut digolongkan ke dalam 3 kriteria yaitu gambut dangkal (0.6 – 1 m), gambut sedang (1‐2 m) dan gambut dalam (> 2 m). Sebagai contoh daerah Palangkaraya umumnya bergambut tipis (shallow peat) dengan lapisan pasir kwarsa di bawahnya (van Veen 1998).
Tanah gambut memiliki daya penahan air yang sangat besar, dan akan menyusut serta menurun permukaannya bergantung pada sistem drainase. Gambut yang mengkerut tidak akan kembali lagi (irreversible drying) yang sangat mudah terbakar dan tererosi baik oleh air maupun angin. Susutnya air dalam gambut memunculkan sebagian besar sisa batang dan tunggul pohon, yang akan mudah terbakar. Kebakaran merambat sangat cepat dan sulit dideteksi karena merambat di bawah permukaan tanah (Syaufina 2004). Api pada kebakaran gambut tidak bergerak cepat tetapi dapat berlangsung berminggu‐minggu sampai sebulan atau lebih lama (de Bano et al. 1998).
C. Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan
1. Hotspot
Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR. Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km). Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch 1 0.66 um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan.
16 Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hot spot (fire exist) Hidayat et al. (2003) menyebutkan bahwa LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum) sebesar 322 o K. Sedangkan JICA menurut FFMP2 2004, memakai ambang batas suhu 315 o K pada siang hari dan 310 o K pada malam hari lebih rendah dibandingkan dengan ASMC yang memakai threshold sebesar 320 o K pada siang hari dan 314 o K pada malam hari.
2. Kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan
Dampak dari kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah rusaknya vegetasi yang tumbuh di area yang terbakar. Jaya dan Husaeni (1998) melakukan studi dampak kebakaran terhadap kerusakan tegakan di area HTI PT ITCI Kalimantan Timur, menemukan bahwa sebagian besar tegakan yang dikategorikan ke dalam kerusakan berat berada pada area bekas tebangan setelah 5 tahun. Kerusakan berat juga terjadi di area bekas tebangan 20 – 23 tahun yang lalu. Selanjutnya Jaya dan Husaeni (1998) mengkategorikan tingkat kerusakan tegakan bekas terbakar ke dalam 4 kelas yaitu :
a. Kelas hutan terbakar ringan, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat lebih besar dari 75 %
b. Kelas hutan terbakar sedang, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat berkisar 50 % ‐ 75 %
c. Kelas hutan terbakar berat, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat berkisar 25 % ‐ 50 %
17 D. Pemodelan Spasial
1. Sistem Informasi Geografis
Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait, seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility networks, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough 1986).
Burrough 1986 mengatakan bahwa SIG mempunyai tiga komponen penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan konteks organisasi yang baik. Ketiganya harus dalam keseimbangan agar sistem berjalan memuaskan.
Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000).
Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya.
Chuevieco et al. 1999 dalam Sunuprapto 2000 menyebutkan beberapa peubah spasial yang telah luas digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, peubah tersebut adalah:
18 3. Pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi)
4. Aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain 5. Tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan 6. Jarak dari kota atau pemukiman
7. Tanah dan bahan bawah tanah
8. Sejarah kebakaran atau catatan kebakaran dan 9. Ketersediaan air
Sistem informasi geografis (SIG) telah menjadi solusi bagi pengguna yang menginginkan kemudahan memasukkan data dan informasi keruangan, memadukan beberapa informasi menjadi keluaran informasi yang terpadu. Data dan informasi saat ini telah memungkinkan penyimpanan secara digital.
2. Pemodelan spasial
Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya :
- penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama
- pendefinisian masalah jelas dan logis
- penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata
- simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur
19 Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000).
Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya. Pemodelan digunakan dalam beberapa cara dan beberapa arti. Sebagai representasi beberapa bagian dari kondisi nyata di permukaan bumi dapat dipertimbangkan menggunakan sebuah model bagi bagian bumi tersebut. Keterwakilan tersebut akan memiliki karakteristik yang umum dengan kondisi nyata bumi (de By 2001).
Sebuah model merupakan penyederhanaan fenomena‐fenomena yang terjadi di bumi. Sebuah model yang baik harus memiliki kemampuan untuk memprediksi keluaran dari sebuah input. Model‐model adalah penyederhanaan bagi realita yang merepresentasikan atau menggambarkan bagian terpenting elemen‐elemen dan interaksinya. Proses pemodelan bertujuan pada peningkatan pemahaman dan perkiraan pengaruh proses‐proses alam dan sosial ekonomi dan interaksinya. Model mendiskripsikan perilkau sebuah fenomena yang direpresentasikan oleh lapangan, jejaring dan agen individu dengan berbagai tipe interaksi spasial pada tingkat lokal, regional dan global.
20 sungai) + 0,00004779 (jarak dari pemukiman). Selain itu dia juga berhasil menyusun model penduga area terbakar dengan menggunakan persamaan regresi logistik (logistics regression) yaitu : log (ODDS) area terbakar = ‐18,03 + 1,6848 (penutupan lahan) + 0,9784 (penggunaan lahan) + 2,3129 (tipe tanah) + 0,0003 (jarak dari rel) – 0,0002 (jarak dari kanal) + 0,0003 (jarak dari pemukiman).
Faktor lingkungan fisik dan aktivitas manusia merupakan dua kelompok utama faktor resiko kebakaran hutan dan lahan. Pusat perkampungan, jaringan jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan penutupan lahan merupakan faktor manusia yang mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan (Boonyanuphap 2001). Lapan (2004) berhasil memetakan kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan kriteria dan bobot tertentu terhadap faktor‐faktor penyebabnya. Faktor aktivitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip adalah kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003).
Purnama dan Jaya (2007) dalam penelitiannya di propinsi Riau menyatakan bahwa peubah aktivitas manusia berupa penggunaan lahan memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat penduduk (5,4 %), jarak terhadap jaringan jalan (16,1 %), dan jarak terhadap jaringan sungai (24,7 %). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang disusun adalah skor kerawanan kebakaran = (0,514 (0,054 JPP+0,161 JJL+0,247 JSN + 0,538 PGL))+(0,486(0,476 CH + 0,202 NDVI + 0,322 NDWI)).
21 ketebalan gambut, x2: skor sub faktor sub faktor tipe tutupan lahan dan vegetasi, x3: skor sub faktor sub faktor tingkat kehijauan dan y1: skor sub faktor sub faktor jarak jalan ; dengan validasi 85 %.
Disamping model di atas, peluang kebakaran hutan dan lahan daerah kabupaten Bengkalis juga dimodelkan oleh Thoha (2006) dengan metode regresi logistik menghasilkan formula log(ODDS) peluang kebakaran hutan = ‐0,47426 + 0,0015784 (curah hujan) – 0,0050383 (ketebalan gambut) – 3,8829293 (NDVI) – 0,000895 (jarak dari sungai) ‐ 0,0000233 (jarak dari HPH/HTI) – 0,0000191 (jarak dari perkebunan) + 0,0000322 (jarak dari lahan pertanian) dengan nilai akurasi 69,5 %.
Arianti (2006) menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa di sub das Kapuas Propinsi Kalimantan Barat model terbaik untuk menentukan tingkat kerawanan dan lahan menggunakan metode CMA yaitu TKB (tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan) = [(a(0,54 (NDVI) + 0,40 * (NDVI wetness index) + 0,06 (curah hujan)) + (b(0,22*(jarak sungai) + 0,24*(jarak jalan) + 0,27 (jarak pemukiman) + 0.27 tutupan lahan))]; dimana “a” adalah bobot makro faktor biofisik, dan “b” adalah bobot makro aktivias manusia.
Mutaqin 2008 berhasil menyusun model peluang kebakaran gambut dan kebakaran non gambut gambut di Propinsi Kalimantan Tengah menggunakan metode regresi linear untuk memetakan daerah kerawanan kebakaran. Model skor peluang kebakaran hutan dan lahan di daerah gambut diformulakan dengan: (skor penutupan lahan x (‐2,947)) + (skor buffer jalan x 0,713)) dengan koefisien determinasi 56 % dan (skor penutupan lahan x 0,013) + (skor buffer jalan x 10,850) dengan koefisien determinasi 72 %.
3. Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
22 dan kondisi bahan bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard digunakan untuk menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan oleh volume, tipe, kondisi, keteraturan, dan lokasi yang menentukan derajat kemudahan pembakaran dan ketahanan terhadap pengendalian (Hardy 2005). “Fire hazard” (bahaya kebakaran) merupakan perilaku potensi kebakaran berdasarkan tipe bahan bakar, tidak berhubungan dengan tipe cuaca bahan bakar‐pengaruh kelembaban bahan bakar yang penilaiannya didasarkan pada ciri fisik bahan bakar.
Sementara itu, NFDRS dalam Hardy 2005 menyatakan bahwa “fire risk” (kerawanan kebakaran) adalah suatu kesempatan kebakaran dapat terjadi sebagai akibat pengaruh dari faktor alamiah dan agen penyebab kejadian (incident of causative agent). The Fire Danger Rating System (Deeming et al, 1972 dalam Hardy 2005) menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan dan penjalaran kebakaran hutan dapat dikategorikan ke dalam “fire risk”. Sumber‐ sumber fire risk dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu lighting risk (LR) dan man cause risk (MCR). LR ditentukan oleh kejadian kebakaran pada saat ini dan kejadian harapan yang akan datang, yang dinyatakan dalam peluang kebakaran, sedangkan MCR diturunkan dari tingkat relatif aktivitas manusia, manusia sebagai aktor utama dalam kebakaran. Kedua nilai tersebut di atas dapat dinyatakan dalam skala 1‐100, dan jika keduanya dijumlahkan maka maksimal nilainya juga 100.
23
III.
METODE
PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kalimantan Tengah yang merupakan daerah dengan hotspot lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan dan Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan ‐ Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2008 sedangkan pengolahan data dilakukan pada bulan April 2008.
B. Bahan dan Alat
Bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1. Peta digital (format vektor) yaitu tipe sistem lahan, penutupan lahan, penggunaan lahan, jaringan sungai, jaringan jalan, pusat desa/perkampungan, kota kecamatan, batas administrasi, dan jenis tanah wilayah propinsi Kalimantan Tengah
2. Sebaran dan lokasi (koordinat) hot spot Kalimantan dari satelit NOAA – AVHRR tahun 1996 sampai dengan 2006 yang diperoleh dari SIPONGI. 3. Data cuaca yang meliputi suhu maksimum harian dan curah hujan harian,
kecepatan angin dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika
4. Data‐data penunjang lainnya dari Biro Pusat Statistik
C. Software, Hardware dan Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Personal Computer dan paket software ArcView GIS versi 3.2 2. Printer
3. Alat pengukuran vegetasi yaitu Spiegel Relaskop Bitterlich (SRB), phi band, kompas dan meteran
24
D. Metode Penelitian
Secara ringkas tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir pengolahan data seperti tertera pada Gambar 2.
Pengumpulan data
Pra pengolahan data
Data terpilih
Operasi spasial Analisis
statistik
Model-model Spasial
Validasi
Ya
Visualisasi Tidak
Mulai
Analisis Spasial
Model Terplih
Selesai
1. Pengumpulan data sekunder
Tahap pengumpulan data meliputi: perolehan data spasial, kodifikasi data, penyeragaman sistem proyeksi peta, konversi format data sesuai dengan perangkat lunak yang dipakai dalam menjalankan prosedur sistem informasi geografi (SIG). Input data yang digunakan sebagai peubah pembangun model
25 adalah data spasial faktor biofisik, aktifitas manusia, data hot spot (titik panas) hasil olahan dari citra NOAA AVHRR.
Sistem proyeksi yang digunakan sesuai standar nasional untuk data spasial adalah proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator). Adapun data yang digunakan pada penelitian ini sudah berbentuk digital sehingga tidak dilakukan lagi proses digitasi.
Faktor‐faktor yang dipilih untuk membangun prediksi kejadian kebakaran adalah jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari pemukiman, jarak dari kota kecamatan, tipe sistem lahan, tipe tanah, jenis penggunaan lahan, curah hujan dan kelas penutup lahan. Metode yang dipakai adalah metode analisis data CMA dan regresi.
2. Pengumpulan data lapangan
Data lapangan yang diambil terutama adalah data vegetasi diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi dengan metode point sampling. Plot ini diletakan pada lokasi‐lokasi bekas kebakaran hutan dan lahan (hot spot) yang ditentukan secara sengaja berdasarkan distribusi hot spot, tipe penutupan lahan (land cover) dan pola penggunaan lahan (land use). Parameter pohon yang diukur adalah tinggi pohon dan luas bidang dasar tegakan.
26 Gambar 3. Pengelompokan kondisi pohon di area bekas terbakar ke dalam : (a) Pohon mati komersial, (b). pohon hidup sehat, (c) pohon hidup merana, dan (d) pohon mati hangus.
(a) (b)
27 E. Metode Analisis Data
1. Tingkat kerusakan tegakan
Data hasil pengukuran lapangan dianalisis untuk mengetahui persentase pohon hidup yang sehat di area bekas terbakar. Persentase pohon sehat merupakan rasio antara jumlah pohon hidup sehat dalam satu plot terhadap jumlah total pohon dalam satu plot yang dinyatakan dalam persen. Berdasarkan data koordinat plot dan data persentase pohon sehat hasil analisis dibuat peta tingkat kerusakan tegakan akibat kebakaran hutan.
2. Analisis data spasial
a. Pengkelasan masing‐masing peubah
Masing‐masing faktor yang akan digunakan dalam penyusunan model, dibagi ke dalam beberapa kelas seperti tercantum pada Tabel 1
Tabel 1. Pengkelasan faktor yang akan digunakan dalam menyusun model
Peubah Faktor Kelas
X1 Tutupan lahan • Hutan Pegunungan
• Semak belukar
• Lahan terbuka
• Perkebunan
• Hutan sekunder
• Hutan dataran rendah
• Ladang
28 Tabel 1. (lanjutan)
Peubah Faktor Kelas
X6 Penggunaan lahan • Penelitian dan Perlindungan Hutan
• Taman Wisata
• Konservasi Air Hitam
• Kawasan Handil Rakyat
• Perairan
• Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain
• Penelitian Hutan
• Hutan Produksi Tetap
• Hutan Produksi
• Kawasan Perkebunan dan Pengembangan Budidaya
• Konservasi Flora Fauna
• Transmigrasi
• Konservasi Hidrologi
• Konservasi Gambut Tebal
• Hutan Tanaman Industri X7 Tipe tanah • Non gambut (non peat)
• Gambut (peat)
X8 Sistem lahan • Alluvial fans dan mountain • Back swamps
• Meander belt • Tidak ada data • Sedimentary ridges • Inter tidal‐mudflat • Minor valey floor • Coalescent estuarine • Permanently water logged • Shalower peat
• Undulating sandy • Swampy floodplains • Shallow peat
• Deeper peat swamps
b. Penentuan bobot
29 faktor. Faktor‐faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan faktor lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model regresi linear berganda. Bobot masing‐masing peubah adalah proporsi masing‐masing koefisien korelasi dari regresi linear terhadap total seluruh koefesien regresinya.
c. Penghitungan nilai skor
Nilai skor masing‐masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan formula (1) dan (2)
∑
⎜⎜⎝⎛ ⎟⎟⎠⎞ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = i i i i i e o 100 x e oX ……….………(1)
⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ = 100 F x T
Ei ..………..(2)
Dimana :
Xi = skor kelas (sub faktor) pada masing‐masing faktor
Oi = jumlah hotspot yang ada pada masing‐masing kelas (obserbved
hotspot)
Ei = jumlah hotspot yang diharapkan pada masing‐masing kelas (expected hotspot)
T = jumlah total hot spot
F = persentase luas pada masing‐masing kelas
d. Penghitungan skor dugaan
Berdasarkan pola kecenderungan (trend line nya) hubungan antara skor