• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Manajemen Pelayanan Pasien

Dalam dokumen BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 30-47)

2.12.1 Pengetahuan

Dalkir, K. (2005) mengutip dari Nonaka & Takeuchi (1995) dalam buku yang berjudul “The knowledge creating company” menyatakan bahwa pengetahuan merupakan cara efektif berinovasi meruih kesuksesan, pendapat ini mengatakan bahwa faktor kunci keberhasilan masyarakat Jepang dalam berinovasi adalah manajemen pengetahuan. Skema dibawah ini adalah model manajemen pengetahuan yag dikemukakan oleh Nonaka & Takeuci.

Gambar 2.3 Model manajemen pengetahuan Nonaka & Takeuchi, 1995

Sumber Journal Lireratur Review about Knowledge SECI tahun 2007

Gambar tersebut menjelaskan tentang model manajemen pengetahuan menurut Nonaka & Takeuchi yang biasa disebut dengan teori SECI. Franc & Harvey (2012) pada penelitiannya dengan menggunakan metode studi kasus yang mengadopsi aktivitas transfer pengetahuan mengungkapkan bahwa transfer pengetahuan explicit yaitu transfer pengetahuan mudah ditransfer tanpa kehilangan integritas contohnya (aturan, prosedur, dll). Akan tetapi pendapat Bhardwaj & Monin (2006) dengan mengumpulkan cerita dari delapan profesional sumber daya manusia yang bekerja di delapan organisasi berkembang dengan pengetahuan yang berbeda di Selandia Baru menyatakan bahwa tacit merupakan latar belakang pengetahuan untuk menafsirkan dan mengembangkan pengetahuan explicit.

Pendapat dari Wiig (1993) dalam buku yang berjudul “Knowledge Management Foundation” juga mengemukakan bahwa yang mendorong perusahaan secara efektif adalah pengetahuan, serta pendapat dari Haslinda & Sarinah (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “A Review of Knowledge Management Models”

melakukan kajian secara kritis berbagai model manajemen

pengetahuan model, diperoleh bahwa proses manajemen pengetahuan dapat digunakan untuk mendorong dan meningkatkan pengembangan pengetahuan suatu organisasi. Transfer pengetahuan dapat dilakukan baik secara tacit maupun explicit.

Marlina (2015) dalam penelitiannya yang berjudul ”Journal Factors Affecting Low Incident Reporting”, melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pelaporan insiden pada instalasi farmasi RSUD Ngudi Waluyo Wlingi menyatakan bahwa pengetahuan adalah domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan, sikap, dan tingkah laku seseorang.

Pengetahuan merupakan sistem pendidikan dan dengan pengetahuan akan memberikan pemahaman. Rendahnya pemahaman akan berpengaruh terhadap kesiapan manajer keperawatan. Selaras dengan Astuty (2015) penelitian kuantitatif dengan Unit analisis adalah bank umum swasta nasional di Sumatera Utara berjumlah 34 dan responden penelitian adalah manajer bidang akuntansi dan keuangan menyatakan bahwa besarnya pengaruh penegtahuan manajer tentang sistem informasi manajamen terhadap gaya penggunaan informasi manajemen.

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap suatu objek dari indra yang dimilikinya (Notoadmodjo, 2012). Tingkat pengetahuan dalam Kholid dan Notoadmodjo (2012) ada 6 tingkat yaitu:

2.12.1.1 Tahu (Know)

Tahu adalah mengingat kembali memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

2.12.1.2 Memahami (Compreshension)

Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan tentang suatu objek yang diketahui dan diinterprestasikan secara benar.

2.12.1.3 Aplikasi (Aplication)

Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk mempraktekkan materi yang sudah dipelajari pada kondisi sebenarnya atau nyata.

2.12.1.4 Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan menjabarkan atau menjelaskan suatu objek atau materi tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan yang lainnya.

2.12.1.5 Sintesis (Synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

2.12.1.6 Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi adalah pengetahuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.12.2 Kebijakan rumah sakit

Menurut Swanburg (2000) dalam buku “Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan” menyatakan bahwa kebijakan sebagai suatu pernyataan yang umum dan luas dari tindakan yang diharapkan yang digunakan sebagai petunjuk untuk membuat keputusan manajerial atau untuk mengawasi tindakan bawahannya.

Aldridge, et al. (2016) hasil literatur review dan pengumpulan data primer pada 405 rumah sakit di Amerika Serikat menyatakan bahwa ada 3 hambatan tentang manajer keperawatanan paliatif di rumah sakit, yaitu pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan; seperti obat mengidentifikasi pasien yang tepat dan budaya untuk berubah

dan kemudian yang ke tiga adalah faktor kebijakan terkait dana di rumah sakit.

Kneafsey (2015) dalam penelitian yang berjudul “Persepsi kebijakan penanganan manual rumah sakit dan dampaknya pada keterlibatan tim keperawatan dalam mempromosikan mobilitas pasien” menyatakan bahwa persepsi perawat terhadap kebijakan rumah sakit didapatkan ada 4 sub kategori yaitu kebijakan sebagai stimulus untuk meningkatkan praktik kebijakan sebagai pemisah dari kenyataan, kebijakan sebagai suatu ancaman, dan kebijakan sebagai halangan untuk pelaksanaan rehabilitasi.

Menurut Swansburg (2000) dalam buku “Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan untuk Perawatan Klinis”, kebijakan pelayanan keperawatan ada untuk standarisasi dan sumber petunjuk bagi staf keperawatan. Sebagai petunjuk, kebijakan pelayanan keperawatan memberi masukan pada perawat dalam aktifitas keperawatan pada tiap-tiap unit, ruangan dan klinik dimana anggota perawat berpraktik.

Secara umum kebijakan dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu kebijakan yang digunakan oleh pasien, manajer keperawatan dan untuk lingkungan dimana pasien dirawat dan manajer keperawatan bekerja. Pembuatan kebijakan merupakan bagian dari fungsi perencanan manajemen puncak keperawatan. Semua kebijakan manajemen tingkat bawah, melengkapi dan menyokong manajemen tingkat atas. Kebijakan biasanya dikembangkan oleh komite pembuat kebijakan. Tingkat organisasi, komite akan mewakili departemen dan manajemen puncak. Kebijakan merupakan batasan untuk menentukan arah yang akan diikuti oleh tenaga keperawatan.

2.12.3 Motivasi

Nursalam (2015) dalam buku berjudul “Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan” menyatakan bahwa motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku. Robbins (2014) dalam buku yang berjudul

“Organizational Behavior” menyatakan bahwa motivasi adalah proses yang menjelaskan mengenai kekuatan, arah, dan ketekunan seseorang dalam upaya untuk mencapai suatu tujuan. Darmawan (2013) dalam buku berjudul “Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi”

mendefinisikan bahwa motivasi adalah kejiwaan yang mendorong mengaktifkan atau menggerakkan untuk mengarahkan perilaku, sikap, dan tindakan seseorang untuk mencapai suatu tujuan.

Swansburg (2000) dalam buku “Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan” mendefinisikan bahwa motivasi adalah konsep yang menggambarkan baik kondisi ekstrensik yang merangsang perilaku tertentu, dan respon intrinsik yang menampakkan perilaku seseorang. Toode, et al. (2015) pada penelitian kuantitatif untuk mengkaji motivasi perawat di Estonia di rumah sakit dan mengkaji faktor apa yang mempengaruhi motivasi perawat bekerja di rumah sakit tersebut, didapatkan bahwa faktor yang paling berpengaruh adalah faktor intrinsik motivasi (p 0,004) daripada faktor ekstrensik (p 0,016).

McClelland dalam buku Darmawan (2013) yang berjudul “Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi” menyatakan bahwa motivasi kerja adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Indikator-indikator motivasi menurut McClelland adalah kebutuhan terhadap prestasi, kebutuhan terhadap kekuasaan, kebutuhan

terhadap afiliasi yaitu kebutuhan anggota organisasi untuk bekerjasama dengan orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah faktor penggerak untuk melakukan sesuatu tujuan yang telah ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan dan pencapaian, dengan adanya motivasi yang kuat maka akan menggerakkan seseorang melakukan prestasi kerja yang lebih baik.

2.12.4 Supervisi

Kelly (2012) dalam bukunya yang berjudul “Essentials of Nursing Leadership and Management“ menyatakan bahwa supervisi dapat memberikan arahan dan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan, dan pendapat Nursalam (2015) dalam buku “Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan” menyatakan bahwa supervisi dapat digunakan dalam pembinaan dan meningkatkan kemampuan pihak yang akan disupervisi dan untuk mengetahui apakah orang yang disupervisi telah melaksanakan tugas kegiatan yang telah ditetapkan. Severinsson, et al. (2014) yang melakukan penelitian deskriptif pada mahasiswa perawat yang menjalani pengawasan kelompok berorientasi proses selama pendidikan mereka menyatakan bahwa supervisi merupakan kemampuan penting dan bagian dari peran kepemimpinan perawat.

Supervisi yang dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit untuk mengetahui apakah sudah terselanggara atau belum kesiapan manajemen pelayanan pasien tersebut, dan juga dapat membantu untuk memberikan arahan terhadap apa yang telah dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan. Supervisi ini sangat diperlukan dan penting dalam kesiapan manajemen pelayanan pasien.

2.12.5 Perencanaan dalam pencapaian tujuan

Perencanaan memiliki fungsi utama aktivitas manajerial yang terdiri atas mendifinisikan sasaran organisasi, menetapkan strategi menyeluruh untuk mencapai sasaran itu dan menyusun serangkaian rencana yang menyeluruh untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan pekerjaan organisasi, hal ini dikemukakan oleh teori Robbins & Coulter (2000) dalam buku berjudul

“Management” yang diterjemahkan oleh Hermaya & Slamet (2004) tentang perencanaan. Jadi perencanaan oleh manajer dimaksudkan untuk memberikan arah, mengurangi ketidakpastian, mengurangi pemborosan dan kegiatan rangkap serta menjadi standar yang digunakan dalam pengendalian.

Robbins & Coulter dalam buku berjudul “Management” juga berpendapat dalam melakukan perencanaan, seorang manajer harus memperhatikan elemen perencanaan yang terdiri atas tujuan (sasaran) dan rencana. Pada tujuan (sasaran) meliputi hasil yang diinginkan individu, kelompok atau seluruh anggota organisasi serta memberi arah dan kriteria penilaian kerja, sedangkan pada rencana meliputi dokumen yang menentukan kerangka bagaimana tujuan itu akan terpenuhi serta meliputi alokasi sumber daya, jadwal, dan tindakan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Perencanaan menurut jenisnya terdiri atas perencanaan strategis dan perencanaan operasional yang secara fungsi jika dihubungkan dengan hirarki organisasi terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2.4 Hubungan fungsi jenis perencanaan dengan hirarki organisasi

Sumber: Robbins Stephen dan Coulter Mary, Manajemen Edisi 7.

PT Indeks Edisi Bahasa Indonesia

Dalam perencanaan strategis, diperlukan proses formulasi strategi yang meliputi 3 tahap, yaitu: tahap input (input stage), tahap pencocokan (matching stage), dan tahap keputusan (decision stage). Dalam model ini terdapat 9 teknik matriks yang akan menghasilkan 1 strategi yang akan dieksekusi dalam proses manajemen strategi berikutnya, yaitu implementasi strategi.

Teknik-teknik perumusan strategi tersebut dapat diintegrasikan kedalam kerangka pengambilan keputusan tiga tahap.

Tabel 2.3 Formulasi strategis

TAHAP 1: TAHAP INPUT Matriks Evaluasi

Faktor Eksternal (EFE)

Matriks Profil Kompetitif (CPM) Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE)

Berlaku bagi organisasi secara keseluruhan

Menjadi sasaran umum organisasi

Berusaha menetapkan organisasi tersebut kedalam lingkungannya

Mencakup jangka waktu yang lebih panjang

Rencana yang merinci detail cara mencapai perencanaan strategis

Mencakup jangka waktu yang lebih pendek

TAHAP 2: TAHAP PENCOCOKAN Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM)

Sumber: David, F. R. (2006). Manajemen Strategis: Konsep. Edisi Kesepuluh: PT.

Indeks

Tahap pertama; Matrik EFE, IFE dan CPM disebut tahap input.

Tahap ini meringkas informasi input dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi. Tahap kedua disebut tahap pencocokan, memfokuskan pada menghasilkan strategi alternatif yang layak dengan memadukan faktor eksternal dan internal. Tahap kedua ini meliputi; Matriks SWOT, SPACE, BCG, IE, dan strategi besar (grand strategy). Tahap ketiga, disebut tahap keputusan menggunakan satu macam teknik, Quantitative Strategic Planing Matrix (QSPM).

Kajian kesiapan manajer keperawatan dapat dianalisis dengan mengumpulkan data yang merupakan kekuatan dan kelemahan internal keperawatan serta peluang dan ancaman yang datangnya dari luar manajer keperawatan menggunakan matriks IFE dan EFE, sehingga skor yang didapatkan akan menetukan kesiapan manajer keperawatan ada di tingkat lemah atau sedang dalam mempersiapkan implementasi manajemen pelayanan pasien. Selain itu, untuk melihat sudah sesuai atau tidaknya perencanaan yang dilakukan manajer keperawatan dalam perencanaan strategis diperlukan tahap selanjutnya yaitu pencocokkan (matching stage) yang akan diformulasikan oleh peneliti menggunakan matriks

TOWS. Tahap keputusan tidak dilakukan dalam formulasi strategis pada penelitian ini. Pengambilan keputusan terhadap pilihan strategi alternatif berdasarkan QSPM sudah terlalu jauh dari tujuan penelitian.

Tahap input menggunakan matriks IFE dan EFE. Masing-masing matriks dibuat dalam 5 tahapan sebagai berikut:

Tabel 2.4 Tahapan pembuatan matriks IFE dan EFE

No Matriks IFE Matriks EFE

1 Tuliskan faktor internal utama seperti diidentifikasi dalam proses audit internal. Gunakan total sepuluh hingga dua puluh faktor internal, mencakup kekuatan dan termasuk peluang dan ancaman, yang mempengaruhi perusahaan dan industrinya. Tuliskan peluang terlebih dahulu dan kemudian ancaman.

2 Berikan bobot yang berkisar dari 0,0 (tidak penting) hingga 1,0 (sangat penting) untuk masing-masing faktor. Bobot yang diberikan kepada masing-masing faktor mengindikasikan tingkat penting relatif dari faktor paling besar dalam kinerja organisasi harus diberikan bobot yang paling tinggi. Jumlah seluruh bobot harus sama dengan 1,0

Berikan bobot untuk masing-masing faktor dari 0,0 (tidak penting) hingga 1,0 (paling penting). Bobot

mengindikasikan tingkat paling relatif dari faktor terhadap keberhasilan perusahaan dalam suatu industri. Peluang sering kali diberi bobot lebih tinggi dari ancaman, tetapi ancaman juga dapat diberi bobot yang tinggi jika mereka sangat serius atau sangat mengancam. Bobot yang tepat dapat ditentukan dengan membandingkan keberhasilan atau kegagalan pesaing atau dengan mendiskusikan faktor dan mencapai konsensus kelompok. Penjumlahan dari seluruh bobot yang diberikan kepada semua faktor harus sama dengan 1,0

3 Berikan peringkat 1 sampai 4 untuk masing-masing faktor untuk mengindikasikan apakah faktor tersebut menunjukkan kelemahan utama (peringkat = 1), atau kelemahan minor

Berikan peringkat 1 hingga 4 untuk masing-masing faktor eksternal kunci tentang seberapa efektif strategi perusahaan saat ini dalam merespons faktor tersebut, di mana 4= respons perusahaan

(peringkat = 2), kekuatan minor (peringkat = 3), atau kekuatan utama (peringkat = 4). Perhatikan bahwa kekuatan harus

mendapatkan peringkat 3 atau 4 dan kelemahan harus

mendapatkan peringkat 1 atau 2.

Peringkat adalah berdasarkan perusahaan, di mana bobot di langkah 2 adalah berdasarkan ndustri

superior, 3= respons perusahaan di atas rata-rata, 2= respons perusahaan rata-rata, dan 1=

respons perusahaan jelek.

Peringkat didasari pada efektifitas strategi perusahaan. Dengan demikian,

peringkat didasarkan pada perusahaan (company-based), sedangkan bobot dalam Tahap 2 didasarkan pada industri

(industry-based). Penting untuk diperhatikan bahwa ancaman dan peluang dapat diberi peringkat 1, 2, 3, atau 4.

4 Kalikan masing-masing bobot faktor dengan peringkat untuk

Sumber: David, F. R. (2006). Manajemen Strategis: Konsep. Edisi Kesepuluh: PT. Indeks

Berapapun banyaknya faktor yang dimasukkan dalam Matriks IFE, total rata-rata tertimbang berkisar antara yang terendah 1,0 dan tertinggi 4,0, dengan rata-rata 2,5. Total rata-rata tertimbang di bawah 2,5 menggambarkan organisasi yang lemah secara internal, sementara total nilai di atas 2,5 mengindikasikan posisi internal yang kuat. Tanpa mempedulikan jumlah peluang dan ancaman kunci yang dimasukkan dalam Matriks EFE, total nilai tertimbang tertinggi untuk suatu organisasi adalah 4,0 dan nilai tertimbang terendah adalah 1,0. Total nilai tertimbang rata-rata adalah 2,5.

Total nilai tertimbang sebesar 4,0 mengindikasikan bahwa organisasi merespons dengan sangat baik terhadap peluang dan ancaman yang ada dalam industrinya. Dalam kata lain, strategi perusahaan secara efektif mengambil keuntungan dari peluang yang ada saat ini dan meminimalkan efek yang mungkin muncul dari ancaman eksternal. Total nilai 1,0 mengindikasikan bahwa

strategi perusahaan tidak memanfaatkan peluang atau tidak menghindari ancaman eksternal.

Tahap selanjutnya adalah pencocokan. Alat yang digunakan adalah matriks SWOT. Matriks SWOT Adalah sebuah alat pencocokan yang penting yang membantu para manajer mengembangkan empat jenis strategi, yaitu: 1) Strategi SO (strengths-Opportunities). Memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk memanfaatkan peluang eksternal. Posisi ini merupakan posisi yang diharapkan oleh perusahaan, dimana kekuatan internal yang dimiliki perusahaan dapat digunakan untuk memanfaatkan peluang eksternal; 2) Strategi WO (Weaknesses-Opportunities). Bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang eksternal. Apabila perusahaan memiliki peluang eksternal kunci tetapi disatu sisi perusahaan memiliki kelemahan internal yang menghambatnya untu mengeksploitasi peluang tersebut.

Salah satu alternative strategi WO adalah merekrut dan melatih staf dengan kemampuan teknis yang dibutuhkan; 3) Strategi ST (Strengths-Threats). Menggunakan kekuatan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal; dan 4) Strategi WT (Weaknesses-Threats). Merupakan taktik defensive yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman eksternal. Sebuah organisasi yang menghadapi berbagai ancaman eksternal dan kelemahan internal benar-benar dalam posisi yang membahayakan. Dalam kenyataan, perusahaan semacam itu mungkin harus berjuang untuk bertahan hidup, melakukan merger, penciutan, menyatakan diri bangkrut, atau memilih likuidasi.

Tabel 2.5 Matriks SWOT

Sumber: Fred, R. D., Strategic Management: Concept and Cases Hasil rencana strategis dengan menggunakan matriks TOWS akan menjadi pembanding terhadap perencanaan manajer keperawatan dalam penelitian ini dalam mempersiapkan manajemen pelayanan pasien yang ideal.

Robbins dalam Max Weber (2010) yang telah mengembangkan teori tipe ideal organisasi yang disebutnya Birokrasi, yang menggambarkan kegiatan organisasi yang didasarkan pada sejumlah hubungan wewenang. Jadi birokrasi adalah bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja, hirarki yang didefinisikan dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang rinci dan sejumlah hubungan impersonal. Dalam praktek disain organisasi ideal mengalami adaptasi, tetapi jiwanya masih tetap melekat pada pembentukan organisasi pemerintahan. Organisasi ideal menurut Max Weber dapat dilukiskan dalam gambar di bawah ini:

Gambar 2.5 Organisasi ideal menurut Max Weber

Sumber: Robbins Stephen dan Coulter Mary, Manajemen Edisi 7.

PT Indeks Edisi Bahasa Indonesia

Pencapaian tujuan yang telah dijelaskan pada theory of goal attainment, yang dikemukakan oleh King, dan memperkenalkan suatu model konseptual yang terdiri atas tiga sistem yang saling berinteraksi. Model keperawatan terakhir dari King memadukan tiga sistem interaksi yang dinamis meliputi personal, interpersonal, dan sosial yang mengarah pada perkembangan teori pencapaian tujuan seperti yang dijelaskan Christensen (2009) dalam bukunya

“Nursing Process: Aplication Of Conceptual Model” . Teori ini menjelaskan dalam sistem ini ada tiga level penting yang berbeda yaitu: individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat.

Teori ini menyatakan bahwa tujuan manajer keperawatanan dalam hal ini juga bisa tujuan organisasi adalah memperhatikan keschatan individu-individu dan penanganan kesehatan kelompok, dan jika seorang manusia merupakan sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungan. Teori King yang dikemukakan oleh Alligood (2014) dalam buku yang berjudul “Nursing Theorists and Their Work” mengungkapkan bahwa konsep yang ditempatkan dalam

sistem personal terutama berhubungan dengan individu, sedangkan konsep yang ditempatkan dalam sistem interpersonal menekankan pada interaksi antara dua orang atau lebih.

Konsep yang ditempatkan dalam sistem sosial adalah hubungan dengan tingkat yang lebih besar yaitu suatu kelompok orang (group). Hubungan interpersonal sistem manajer keperawatan-pasien berinteraksi dalam suatu area (space). Menurut King, intensitas dari interpersonal sistem sangat menentukan dalam menetapkan pencapaian tujuan keperawatan atau organisasi.

Adapun beberapa karakteristik teori Imogene King:

2.12.5.1 Sistem personal adalah individu atau manajer keperawatan yang dilihat sebagai sistem terbuka, mampu berinteraksi, mengubah energi, dan informasi dengan lingkungannya. Hubungan interaksi manajer keperawatan-manajer keperawatan merupakan faktor pedukung untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini juga telah dikemukakan oleh partisipan bahwa mereka mengharapkan bahwa faktor personal individu untuk mencapai suatu tujuan melalui interaksi, kemudian informasi sehingga menimbulkan pengetahuan manajer keperawatan untuk dalam mencapai suatu tujuan.

2.12.5.2 Sistem interpersonal adalah dua atau lebih individu atau group yang berinteraksi

2.12.5.3 Sistem sosial merupakan sistem dinamis yang akan menjaga keselamatan lingkungan. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat, interaksi, persepsi, dan kesehatan. Sistem sosial dapat mengantarkan organisasi keschatan dengan memahami konsep organisasi, kekuatan, wewenang, dan pengambilan keputusan.

Gambar 2.6 Sistem konseptual dinamis dari King Sumber: Alligood, Martha R. Nursing Theorists and Their

Work 8th edition (2014)

Bahwa manusia seutuhnya (Human Being) sebagai sistem terbuka yang secara konsisten berinteraksi dengan lingkungannya.

Asumsi dasar King tentang manusia seutuhnya (Human Being) meliputi sosial, perasaan, rasional, reaksi, kontrol, tujuan, orientasi kegiatan dan orientasi pada waktu.

Interaksi tersebut terjadi aktivitas-aktivitas yang dijelaskan sebagai konsep utama, dimana konsep-konsep tersebut saling berhubungan dalam setiap situasi praktik keperawatan sesuai yang dijelaskan Christensen (2009) dalam buku yang berjudul ”Nursing Process: Aplication Of Conceptual Model”.

Konsep hubungan manusia menurut King terdiri dari komponen:

a. aksi merupakan proses awal hubungan dua individu dalam berperilaku, dalam memahami atau mengenali kondisi yang ada dalam keperawatan yang digambarkan melalui hubungan manajer keperawatan dan pasien untuk melakukan kontrak untuk pencapaian tujuan.

b. reaksi adalah suatu bentuk tindakan yang terjadi akibat adanya aksi dan merupakan respon individu; c. interaksi merupakan suatu bentuk kerjasama yang saling mempengaruhi antara perawat dan pasien, yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi.

c. transaksi merupakan kondisi dimana antara perawat dan pasien terjadi suatu persetujuan dalam rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan.

Interaksi antara individu dan individu dengan kelompok atau sosial dilakukan untuk mencapai tujuan rumah sakit dalam membangun persiapan manajemen pelayanan pasien demi keselamatan pasien dan mutu rumah sakit. Interaksi tersebut bisa berbentuk transfer informasi/pengetahuan yang akan mempengaruhi perilaku kelompok/orang lain yang menjadi landasan dalam pengambilan keputusan apakah sistem itu akan dilaksanakan atau tidak. yaitu dalam hal ini adalah pencapaian tujuan organisasi untuk melaksanakan persiapan manajemen pelayanan pasien.

Dalam dokumen BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 30-47)

Dokumen terkait