• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tsunami

2.5. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menghadapi Bencana Tsunami

2.5.1. Pengetahuan(Knowledge)

Menurut Notoatmoodjo (2012), pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata).

Pengetahuan adalah ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam bentuk konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun dan dapat merencanakan, dapat meringkaskan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Menurut LIPI (2006), pengetahuan merupakan faktor utama kunci kesiapsiagaan. Pengalaman bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh, Nias dan Yogyakarta serta berbagai bencana yang terjadi diberbagai daerah lainnya memberikan pelajaran yang sangat berarti akan pentingnya pengetahuan mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam menghadapi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah pesisir yang rentan terhadap bencana alam.

2.5.1.1 Pengetahuan Tentang Kearifan Lokal

Di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Hal ini merupakan gambaran bahwa paradigm konvensional masih kuat dan berakar di masyarakat. Pada umumnya mereka percaya bahwa

bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil langkah‐langkah pencegahan atau penanggulangannya (Bakornas PB, 2007).

Menurut Keraf (2010) bahwa kearifan lokal adalah adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik diantara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari.

Menurut Gobyah dalam Sartini (2004), mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal adalah produk masa lalu yang terus menerus dijadikan pegangan hidup. Walaupun lokal namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya bersifat universal.

Apriyanto, (2008) menjelaskan bahwa, menurut perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka. Termasuk berbagai mekanisme

dan cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan sebagai suatu tatanan sosial. Di dalam pernyataan tersebut terlihat bahwa terdapat lima dimensi kultural tentang kearifan lokal, yaitu (1) Pengetahuan lokal, yaitu informasi dan data tentang karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk menghadapi masalah serta solusinya. Pengetahuan lokal penting untuk diketahui sebagai dimensi kearifan lokal sehingga diketahui derajat keunikan pengetahuan yang dikuasai oleh masyarakat setempat untuk menghasilkan inisiasi lokal; (2) Budaya lokal, yaitu yang berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah terpola sebagai tradisi lokal, yang meliputi sistem nilai, bahasa, tradisi, teknologi; (3) Keterampilan lokal, yaitu keahlian dan kemampuan masyarakat setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki; (4) Sumber lokal, yaitu sumber yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan melaksanakan fungsi-fungsi utamanya; dan (5) Proses Sosial lokal, berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat dalam menjalankan fungsi-fugnsinya, sistem tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial serta kontrol sosial yang ada.

2.5.2. Sikap (Attitude)

Menurut Sunaryo (2002), sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu.

Menurut Notoatmodjo (2003), sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb dalam Notoatmodjo (2012), menyatakan sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:

1. Menerima (receiving).

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap berita bencana yaitu terlihat dari kesediaan dan perhatiannya terhadap berita.

2. Merespon (responding).

Merespon adalah memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena, suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valuing).

Menghargai dapat dilihat dari sikap mengajak orang lain mengerjakan sesuatu atau berdiskusi mengenai suatu masalah. Misalnya seorang petugas yang mengajak petugas lainnya untuk menilai resiko bencana disuatu daerah serta melakukan mitigasi terhadap resiko bencana tersebut.

4. Bertanggung jawab (responsible).

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung atau tidak langsung. Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2003), sikap biasanya memberikan penilaian (menerima atau menolak) terhadap objek yang dihadapi, oleh karena itu sikap merupakan predisposisi untuk berespon yang akan membentuk tingkah laku. Terdapat 3 (tiga) komponen pokok sikap yaitu:

1. Komponen kognisi yang berhubungan dengan kepercayaan atau keyakinan, serta ide dan konsep terhadap objek, artinya keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

2. Komponen afeksi yang berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang atau evaluasi orang terhadap objek, artinya penilaian (terkandung dalam faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.

3. Komponen konasi yang berhubungan dengan kecenderungan untuk bertingkah laku atau bertindak (tend to behave), sikap merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka.

Sikap pada fase kesiapsiagaan (preparedness), berbentuk adanya perilaku yang berlebihan pada masyarakat karena minimnya informasi mengenai cara mencegah dan memodifikasi bahaya akibat bencana jika terjadi. Berita yang berisi hebatnya akibat bencana tanpa materi pendidikan seringkali membuat masyarakat menjadi gelisah dan memunculkan tindakan yang tidak realistis terhadap suatu isu. Menumbuhkan suatu sikap dan pengetahuan dalam menghadapi bencana ini semakin menjadi bagian penting khususnya di negara yang seringkali dilanda bencana seperti Indonesia (Priyanto, 2006).

2.5.3. Pendidikan

Menurut Undang-Undang l No. 23 tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengedalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan yang tinggi kepala keluarga sangat berpengaruh terhadap bagaimana mengatur kehidupan anggota keluarganya dimana kepala kelurga sebagai kunci (key person) pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan kepala keluarga maka semakin besar juga tingkat kepeduliannya dan mengantisipasi ancaman yang datang terhadap keluarganya.

Usaha meningkatkan kesadaran adanya kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, di dunia pendidikan harus dilaksakanakan baik pada taraf penentu kebijakan

maupun pelaksana pendidikan di pusat dan daerah. Dengan harapan pada seluruh tingkatan memiliki pemahaman yang sama akan perlunya pendidikan kesiapsiagaan bencana tersebut.

2.5.4. Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isterIdan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU RI No.10 Tahun 1992)

Menurut Mattessich dan Hill (Zeitlin 1995) dalam Puspitawati (2012), keluarga merupakan suatu kelompok yang berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-tugas keluarga)

Fungsi perlindungan keluarga menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1992 adalah memenuhi kebutuhan akan rasa aman diantara anggota keluarga (bebas dari rasa tidak aman yang tumbuh dari dalam maupun dari luar keluarga), membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari dalam maupun luar, serta membina, menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal menuju keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan salah satu wujud perlindungan keluarga terhadap ancaman dan tantangan yang datang dari luar bagi anggota keluarga.

Dokumen terkait